Jumat, 11 Mei 2012

Pengertian Qadzaf

PENGERTIAN
Qadzaf dalam arti bahasa adalah ا لر مى با لحخا ر ة و نحو ها artinya melempar dengan batu dan lainnya.
Jarimah qadzaf menurut Abdur Rahman Al-Jaziri adalah
 ا لقد ف عبا ر ة عن ان يتهم شخص ا خر با لز نا صر يحا او د لا لة
Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang lain dengan tuduhan zina, baik dengan menggunakan lafadz yang sharih (tegas) atau secara dilalah (tidak jelas).
Ada beberapa hadis yang membicarakan tentang sanksi hukum qadzaf  diantaranya :
1.   
عن ا بى هر ير ة ا ن ر سو ل الله صل الله عليه و سلم قال ا جتنبوا السبع المو بقات قيل يا رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التى حرم الله الا با لحق واكل مال اليتيم واكل الر الربا والتو لى يوم الرحف المحصنات الغا فلات المو منات
2.   
عن ابي هويرة قال قال ابو القاسم صلى الله عليه وسلم من قدف مملوكه بالزنا يقام عليه ابحد يوم القيامة الا ان يكون كما قال
3.   
عن اسامة بن زيد رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما تر كت بعدي فتنة هي ضر علي الرخال من النساء
4.   
عن ابن عباس رضي الله عنهم ذكر التلاعن عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال عاصم بن عدي فى ذلك قولا ثم انصرف واتاه رجل من قومه يشكو انه وجد مع اهله رجلا فقل عاصم ما ابتليت بهذا الا لقولى فذهب به الى النبي صلى الله عليه وسلم فا خبره بالذي وجد عليه امراته وكان ذلك الرجل مصفرا قليل اللحم سبط الشعر وكان الذي ادعى عليه انه وجده عند اهله ادم خدلا كثير الحم فقال النبي صلي الله عليه وسلم الهم بين فوضعت شبيها با لرجل الذي ذكر زوخها انه وجده عندها فلا عن النبي صلى الله عليه وسلم بينهما فقال رجل لابن عباس فى المجلس هي التي صلى اللهعليه وسلم لورجمت احدا بغير بينة رجمت هذه فقال لا تلك امراةكانت تظهر فى الاسلام السوء
1.    Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya: Rasulullah saw. Bersabda: Jauhilah tujuh perkara yang boleh membinasakan kamu, yaitu menyebabkan kamu masuk neraka atau dilaknat oleh Allah.
Para Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah tujuh perkara itu? Rasulullah bersabda: Mensyariatkan Allah, yaitu menyekutukan-Nya, melakukan perbuatan sihir, membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah melainkan dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan pertempuran dan memfitnah perempuan-perempuan yang baik melakukan perbuatan zina.
2.    Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Katanya: Abu Al-Qasim saw. Pernah bersabda: Siapa yang menuduh hamba miliknya melakukan zina maka pada Hari Kiamat kelak dia akan dikenakan hukuman kecuali tuduhannya itu benar.
3.    Diriwayatkan dari Usman bin Zaid ra. katanya : Rasulullah saw. Bersabda: Tidak ada fitnah yang paling membahayakan kaum lelaki sesudah zamanku kecuali fitnah dari kaum wanita.
4.    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Katanya: Satu peristiwa li’an telah disampaikan kepada Rasulullah saw. Lalu Aasim bin Adiy memberikan sedikit ulasan kemudian beredar dari situ. Suatu hari, seorang lelaki dari kaumnya datang mengadu kepadanya bahwa dia mendapati istrinya bersama dengan lelaaki lain. Maka Aasim pun berkata: kejadian seprti ini hendaklah kamu hadapkan kepada rasulullah SAW. Dan Aasim memberitahu bahwa lelaki yang menuduh itu berkulit kuning, bertubuh kurus dan berambut lurus. Adapun lelaki yang  dituduh bersama istrinya berbetis padat dan bertubuh gemuk. Rasulullah SAW bersabda: kalau begitu buktikan saja nanti. Ternyata wanita itu melahirkan anak yang mirip dengan ciri-ciri lelaki yang dituduh. Maka Rasulullah SAW. Meli’an diantara keduanya. Sesorang bertanya kepada Ibnu Abbas: adakah dia wanita yang disebut-sebut Rasulullah SAW. Dalam sabdanya: seandainya aku boleh menghukum rajam kepada seseorang tanpa bukti, niscaya aku menghukum rajam keatas wanita ini? Ibnu Abbas berkata: bukan! Kalau dia adalh wanita yang memang terang-terang berniat buruk terhadap Islam.

Unsur-unsur Qadzaf
Dari definisi yang dikemukan di atas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur qadzaf itu ada tiga yaitu sebagai berikut
A.    Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab
B.    Orang yang dituduh adalah orang muhshan
C.    Adanya maksud jahat atau niat yang melawan hokum
1.  Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab
Unsur ini dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan zina atau tuduhan menghilangkan nasabnya, dan Ia (pelaku/penuduh) tidak mampu membuktikan apa yang dituduhkanya. Tuduhan zina kadang-kadang menghilangkan nasab korban dan kadang tidak. Kata-kata seperti “ Hai anak Zina”, menghilangkan nasab anaknya dan sekaligus menuduh ibunya berbuat zina. Sedangkan kata-kata seperti “ Hai Pezina” hanya menuduh zina saja dan tidak menghilangkan nasab atau keturunannaya.
Dengan demikian, apabila kata-kta itu tidak berisi tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya maka pelaku (penuduh) tidak dihukum dengan hukuman had, melainkan hanya dikenai hukuman ta’zir. Misalnya tuduhan mencuri, kafir, minum minuman keras, dan sebagainya. Demikian pula halna penuduhan yang berisi perbuatan maksiat, walaupun dalam kenyatannya tuduhan tersebut memang benar, seperti menyebut orang lain pincang dan sebagainya.
Dari uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa tuduhan merupakan kata-kata yang menyakiti orang lain dan perasaanya. Ukuran untuk menyakiti ini didasarkan kepada adat istiadat.
Tuduhan pelakunya (penuduh) dikenai hukuman had haarus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)    Kata-kata tuduhan harus tegas dan jelas (sharih), yaitu tidak mengandung pengertian lain selain tuduhan zina. Apabila tuduhan itu tidak sharih, maka berarti ta’ridh atau tuduhan dengan kinyah (sindiran). Adapun qadzaf (tuduhan) dengan kinyah, hukumannya dipersilisihkan oleh para Ulama. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari madzhab Hanbali, pelaku (penuduh) tidak dikenai hukkuman ta’zir. Adapun menurut mazhab Syafi’i, apabila tuduhan kinayahnya itu memang diniatkan sebagai qadzaf maka menuduh dikenia hukuman had. Akan tetapi, kalau tidak ada niat qadzaf maka penuduh tidak dikenai  hukuman had. Menurut Imam Malik, apabila kata-kata kinayahnya bias diartikan sebagai qadzaf atau ada qarinah (tanda) yang menunjukan bahwa pelaku sengaja menuduh maka ia dikenai hukuman had. Di antara qarinah itu adalah seperti adanya permusuhan atau pertengkaran antara penuduh dan orang yang dituduh.
b)    Orang dituduh harus tertentu (jelas). Apabila orang yang dituduh itu tidak diketahui maka penuduh tidak dikenai hukuman had.
c)    Tuduhan harus mutlak, tidak dikaitkan dengan syarat dan tidak disandarkan dengan wkatu tertentu. Dengan demikian, apabila tuduhan dikaitkan dengan syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang maka penuduh tidak dikenai hukuman had.
d)    Imam Abu Hanifah mensyaratkan terjadinya penuduhan tersebut di negeri Islam. Apabila penuduhan terjadi di darul harb maka penuduh tidak dikenai hukuman had. Akan tetapi, Imam-imam yang lain tidak mensyaratkan hal ini.
2. Orang yang Dituduh harus Orang yang Muhshan
Dasar hukum tentang syarat ihsan untuk maqdzuf (orang yang tertuduh) ini adalah ada dlam surat An Nuur ayat 4 yang artinya :
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Dalam ayat yang pertama" (QR. An Nur:4)
yang dimaksud dengan ihsan adalah ….. , yaitu bersih dari zina menurut satu pendapat…..
Di samping tiga syarat tersebut, terdapaat syarat ihsna yang lain, yaitu baligh dan berakal. Illat dari dua syarat ini bagi maqzuf (orang yang dituduh) adalah jarena zina tidak mungkin terjadi kecuali dari orang yang baligh dan berakal. Di samping itu, zina yang terjadi kecuali dari orang gila atau anak dibawaah umur tidka dikenai hukuman had. Namun syarat baligh ini tidak disepakati oleh para fuqaha. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memasukannya syarat ihsan baik untuk laki-laki maupun perempuan, sedangkan Imam Malik mensyaratkan hanya untuk laki-laki, tidak untuk perempuan. Dikalangan Ulama Hanabilah berkembang dua pendapat. Segolongan mensyaratkan, sedangkan segolongan lagi tidak mensyaraatkan.
3. Adanya Niat yang Melawan Hukum
Unsure melawan hukum dalam qadzaf dapat terpenuhi apabila seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya, padahal ia tahu bahwa apa yang dituduhkannya tidak benar dan seseorang mengetahui ketidakbenaran tuduhannya apabila ia tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhannya.
Ketentuan ini didasarkan kepada ucapan Rasulullah kepada Hilal ibn Umayyah ketika ia menuduh istrinya berzina dengan Syarik ibn Salma:
... البينة والا فحد فى ظهرك ( ا لحد يت ا خر جه ابويعلى )

Padahal Hilal sendiri menyaksikan peristiwa perzinaan tersebut. Hilal sendiri tidak bias bebas dari hukuman had, andaikata tidak turun ayat lain, inilah yang ditunjukan oleh Al-Quran dengan jelad dalam surah An Nuur, ayat 13;

لَوْلا جاؤُو عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَداءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَداءِ فَأُولئِكَ عِنْدَ اللهِ هُمُ الْكاذِبُون
Artinya; mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.
Atas dasar inilah jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila saksi dalam zina kurang dari empat orang maka mereka dikenai hukuman had sebagai penuduh, walaupun menurut  sebagian yang lain mereka tidak dikenai hukuman had, selama mereka betul-betul bertindak sebaga saksi.

HAK  ALLAH dan MANUSIA dalam QADZAF
Dalam qadzaf terkandung dua hak, yaitu hak campuran antara Allah dan hak manusia. Akan tetapi, di antara kedua hak tersebut yang lebih kuat mnerut Imam Hanifah, dalam qadzaf hak Allah lebih besar daripada hak manusia  (individu). Oleh karena itu, apabila perkaranya telah sampai ke pengadilan (hakim) maka hukuman harus dilaksanakan , meskipun orang yang dituduh tidak mengajukan tuntutan. Di samping itu, sebagai konsekuensi dari hak Allah, hukuman qadzaf tidak terpengaruh oleh maaf dari korban.
Menurut mazhab Syafi’I di dalam qadzaf hak manusia lebih kuat daripada hak Allah. Hal ini karena qadzaf merupakan tindakan yang melanggar kehormatan korban dan kehormatan itu adalah haknya. Oleh karena itu, apabila korban memberikan maaf kepada pelaku maka pelaku biosa dibebaskan dari hukuman, meskipun perkaranya sudah sampai pengadilan. Pendapat ini juga diikuti oleh mazhab Hanbali. Di samping itu, sebagai konsekuensi dari hak manusia yang lebih dominan, maka hukuman had bias diwarisi oleh ahli waris dari korban apabila ia (orang yang dituduh/korban) meninggal dunia.
Dikalangan mazhab Maliki juga tidak ada kesepakatan mengenai hal ini, karena Imam Malik sendiri mempunyai dua pendapat. Suatu ketika pendapatnya sama dengan pendapat Imam Syafi’I, yaitu hak manusia lebih kuat daripada Allah, sehingga ada pengaruh maaf. Akan tetapi, pendapat yang masyur dari Imam Malik adalah bahwa hak manusia lebih kuat daripada hak Allah sebelum adanya pengaduan dari orang yang dituduh. Akan tetapi, setelah adanya pengaduan maka hak Allah lebih kuat daripad hak manusia, sehingga tidak ada pengaruh maaf. Alasan Imam Malik adalah hak masyarakat belum begitu terlihat kecuali setelah adanya pengaduan. Apabila tidak ada pengaduan maka tidak ada hak lain kecuali hak manusia (individu). Tapi, setelah adanya pengaduan maka barulah terdapat hak masyarakat dan pada saat itulah hak masyarkat lebih besar daripada hak manusia.
Meskipun Ulama berbeda pendapat dalam hak Allah (masyarakat) dan hak manusia (individu), dalam qadzaf, namun karena adanya campuran di dalamnya, mereka sepakat mengenai perlu adanya pengaduan dan tuntutan oleh orang yang dituduh secara langsung, tidak boleh oleh orang lain. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari kaidah umum yang berlaku dalam syariat Islam, bahwa dalam jarimah hudud pengaduan dari korban tidak menjadi syarat untuk melaksnakan penuntutan terhadap pelaku. Alasan dari pendapat ini adalah walupun qadzaf termasuk jarimah hudud, namun jarimah ini melanggar kehormatan orang yang dituduh secara pribadi.
Orang yang berhak memiliki pengaduan itu adalah orang yang dituduh itu sendiri. Apabila ia meninggal setelah mengajukan pengaduannya, maka menurut Imam Abu Hanifah tuntutan menjadi gugur, karena hak semata-mata yang tidak bernilai mal (harta) tidak bisa diwaris. Sedangkan menurut Imam Malik, Syafi’I, dan Ahmad, hak pengaduan dan tuntutan bisa diwarisi oleh ahli waris. Apabila ahli warisnya tidak ada maka tuntutan menjadi gugur. Apabila orang yang dituduh itu orang yang sudah meninggal, maka menurut jumhur Fuqaha termasuk imam yang empat, bisa diadakan penuntutan terhadap mpenuduh atas dasar pengaduan dari orang yng memiliki hak pengaduan. Apabila pemilik hak pengaduan tidak ada maka tuntutan menjadi gugur. Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dianggap sebagai pemilik hak pengaduan ini. Menurut Imam Malik, orang yang dianggap sebagai pemilik hak pengaduan ini adalah orang tua dari orang yang dituduh dan anak-anaknya yang laki-laki. Apabila mereka ini sama sekali tidak ada maka yang menjadi pemilik hak adalah ashabah dan anak-anaknya yang perempuan, setelah itu saudara perempuan dan neneknya. Menurut Imam Abu Hanifah, hak pengaduan itu dimiliki oleh semua anak dan keturunannay, orang tuanya, termasuk cucu dari anak perempuan. Imam Syafi’I berpendapat bahwa pemilik hak pengaduan adalah semua ahli waris dari orang yang dituduh.

PEMBUKTIAN UNTUK QADZAF
Adapun pemnbuktian qadzaf dapat dibuktikan dengan tiga macam alat bukti, yaitu:
1.    Dengan saksi
Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk qadzaf. Syarat-syarat saksi sama dengan syarat dalam jarimah zina, yaitu; baligh, berakal, adil, dan tidak ada penghalang menjadi saksi. Adapun jumlah saksi dalam qadzaf sekurang-kurangnya adalah dua orang.
2.    Dengan Pengakuan
Qadzaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku (penuduh) bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam majelis pengadilan.
3.    Dengan Sumpah
Menurur Imam Syafi’I, qadzaf  bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada skasi dan pengakuan. Akan tetapi, Imam Malik dan Ahmad membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang dikemukakan oleh mazhab Syafi’i. Sedangkan, sebagian ulama Hanafiyah berpendapat  sama dengan Imam Syafi’I, yaitu membenarkan pembuktian dengan sumpah, tetapi sebagian lagi tidak membenarkanya.

HUKUMAN UNTUK QADZAF
Hukuman untuk qadzaf ada dua macam yaitu:
1.    Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan ratus kali. Hukuman ini merupakan hukuman had yaitu hukuman yang ditentukan oleh syara, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan.
2.    Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksian. Namun, dalam hal ini apabila pelaku (penuduh) bertobat  ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Menurut ulama Imam Abu Hanifah, kesaksian penuduh tetap gugur, meskipun ia telah bertobat. Sedangkan menurut Imam Malik, Syafi’I, dan Ahmad, kesaksian penuduh diterima kembali apabila ia bertobat. Adapun yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah karena perbedaan penafsiran terhadap firman Allah dalam surah An Nuur, ayat 5;

إِلاَّ الَّذينَ تابُوا مِنْ بَعْدِ ذلِكَ وَ أَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحيم

Artinya; Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa istisna’ (pengecualian) setelah adanya beberapa kalimat yang dirangkaikan, hanya kembali kepada kalimat yang terakhir. Dengan demikina, berdasarkan penafsiran ini tobat hanya berpengaruh terhadap kefasikan, artinya dengan tobat maka penuduh tidak fasik lagi, tetapi Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, istisna’ (pengecualian) setelah adanya beberapa kalimat yang di-athaf-kan (dirangkaikan) kembali kepada semua kalimat sebelumnya. Berdasarkan penafsiran ini, tobat berpengaruh terhadap kefasikan dan pencabutan hak sebagai saksi, artinya dengan tobatnya penuduh maka ia tidak fasik lagi dan haknya untuk menjadi saksi dapat diterima kembali.
HAL-HAL yang MENGGUGURKAN HUKUMAN
Hukuman qadzaf dapat gugur karena hal-hal sebagai berikut;
1.    Karena para saksi yang diajukan oleh orang yang dituduh mencbut kembali persaksiannya.
2.    Karena orang yang dituduh melakukan zina membenarkan tuduhan penuduh.
3.    Karena korban (orang yang dituduh pezina) tidak mempercayai keterangan para saksi.
4.    Karena hilangnya kecakapan para saksi sebelum pelaksanaan hukuman.

KESIMPULAN
a.    Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang lain dengan tuduhan zina, baik dengan menggunakan lafadz yang sharih (tegas) atau secara dilalah (tidak jelas).
b.    Qadzaf boleh dijatuhkan dengan syarat membuat suatu kenyataan dengan cara yang nyata seperti menyatakan bahwa seseorang itu telah melakukan zina atau dengan tersirat seperti menyatakan bahwa seseorang itu bukan anak atau bukan bapak kepada seseorang tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.Wahabah al-zuhaili (Fiqh Islam) jilid 7 wa adillatuhu
Prof. Dr. H. zainudin ali, M.A (Hukum Pidana Islam)
Teunku Muhamad Hasbi Ash Shiddieqy (Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab)
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich (Hukum pidana Islam)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar