Allah
Swt. berfirman :
و اذا حضر القسمة اولوا القربى و اليتمى و المسكين فارزقوهم منه
“Dan jika pada waktu pembagian itu
hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu”
(QS. An-Nisa : 8)
Allah Swt. berfirman :
ممّا قلّ منه او كثر نصيبا مفروضا
“Dari bagian yang sedikit atau
banyak, sebagai bagian yang diwajibkan” (QS. An-Nisa : 7)
Dan Rasulullah Saw. bersabda :
ايّما دار قسمت فى الجاهليّة فهى على قسم الجاهليّة. وايّما ددار
ادركها الإسلام و لم تقسم فهى على قسم الإسلام
“Setiap rumah yang dibagi pada masa jahiliyah, maka pembagian
rumah itu berdasarkan pembagian masa jahiliyah. Dan setiap rumah yang belum
dibagi hingga mencapai masa Islam, maka pembagian rumah itu berdasarkan
pembagian Islam”
Macam-macam Pembagian
Pembagian dibagi menjadi 2 bagian :
- Pembagian harta-harta pokok.
- Pembagian manfaat harta-harta pokok.
Pembagian harta pokok yang tidak
ditakar atau tidak pula ditimbang, secara garis besar dibagi menjadi 3 macam :
- Pembagian undian sesudah dinilai dan disbanding.
- Pembagian suka sama suka sesudah dinilai dan dibanding.
- Pembagian suka sama suka tanpa dinilai dan disbanding.
Mengenai barang yang ditakar dan
ditimbang, pembagiannya adalah dengan takaran dan timbangan.
Macam-macam harta pokok dibagi
menjadi 3 macam :
- Barang yang tidak dapat dipindahkan dan tidak pula diubah-ubah, seperti rumah dan pohon.
- Barang yang dapat dipindahkan dan diubah-ubah, dan ini dibagi pula menjadi dua macam : (a) kadang tidak ditakar dan ditimbang. (b) dan kadang ditakar dan ditimbang.
Pembagian yang Mengakibatkan
Perubahan Manfaat
Fuqaha berselisih pendapat tentang
apabila barang tersebut dibagi kemudian manfaatnya berubah menjai manfaat lain,
seperti kamar mandi.
Imam Malik perpendapat bahwa barang
tersebut dibagi jika salah seorang peserikat menuntut demikian. Asyhab juga
berpendapat demikian.
Inbu Qasim berpendapat bahwa barang
tersebut tidak dibagi. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i.
Fuqaha yang melarang pembagian
beralasan dengan sabda Nabi Saw. :
لا ضرر ولا صرار
“Tidak ada keraguan dan tidak ada hal-hal yang menyebabkan
kerugian”
Sedang fuqaha yang membolehkan
pembagian beralasan dengan Firman Allah Swt. :
ممّا قلّ منه او كثر نصيبا مفروضا
“Dari bagian yang sedikit atau banyak, sebagai bagian yang
diwajibkan” (QS. An-Nisa : 7)
Fuqaha yang tidak mengadakan
pembagian antara lain beralasan dengan hadits Nabi Saw. :
لا تعضية على اهل الميراث الاّ ماحمل القسم
“Tidak ada pembagian atas hal waris kecuali apa yang dapat
dibagi”
Kata ta’dhiyah dalam hadits
ini bermakna pemisahan atau pembagian. Jabir berkata, “Tidak ada pembagian
diantara mereka”.
Imam Malik berpendapat bahwa, jika
terdiri dari satu kualitas. Maka tempat-tempat tersebut dibagi berdasarkan
penilain (taqwim), penyamaran (ta’dil), dan undian (sahmah). Imam Malik
beralasan bahwa cara pembagian yang dikemukakannyabitu lebih sedikit kerugian
yang ditimbulkannya atas para serikat dibanding jika melalui pembagian
pertempat.
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I berpendapat
bahwa tiap-tiap tempat justru dibagi sendiri-sendiri.
Syarat Pembagian Tanah
Para pengikut Imam Malik
berbeda-beda dalam tiga pendapat apabila tanah-tanah tersebut berbeda-beda
kualitasnya tetapi sama pasarannya meskipun saling berjauhan tempat.
Namun, pihak lain yang beralasan
bahwa tiap-tiap itu memiliki kedudukan sendiri-sendiri karena masing-masingnya
berkaitan dengan syuf’ah.
Berbeda halnya jika tempat-tempat
tersebut berbeda-beda kualitasnya, seperti jika sebagiannya ada rumah padanya,
dan sebagian lainya ada kebun-kebun atau tanah, maka tidak diperselisihkan lagi
bahwa barang-barang tersebut boleh dikumpulkan dalam pembagian melalui undian.
Syarat Pembagian Kebun
Syarat pembagian kebun-kebun yang
berbuah adalah tidak boleh membagi kebun-kebun tersebut bersama buah-buahnya
manakalan buah-buah tersebut sudah Nampak kebaikannya. Pendapat ini disepakati
oleh Madzhab Maliki. Karena, pembagian seperti itu berarti menjual makanan
dengan makanan di atas pohon, dan ini adalah Muzabanah.
Mengenai pembagian buah sebelum Nampak
kebaikannya, dikalangan pengikut Imam Malik masih diperselisihkan.
Ibnu Qasim berpendapat bahwa
pembagian sebelum dilakukan pembuahan (al-ibbar) tidak boleh sama sekali. Alasannya
bahwa cara seperti itu termasuk bab menjual makanan dengan makanan dengan
pelebihan.
Imam Malik tidak membolehkan
pembagian sesudah dilakukannya pembuahan kecuali jika salah satu pihak
mengajukan syarat kepada pihak lain mengajukan syarat kepada pihak yang lain
bahwa buah-buah yang terdapat pada bagiannya termasuk dalam pembagian, sedang
buah-buah yang tidak termasuk dalam bagiannya dibagi bersama. Ia mengemukakan
alasan bahwa pembeli itu dapat mensyaratkan buah-buahan sesudah pembuahan, tetapi
tidak boleh sebelum pembuahan.
Cara Pembagian Melalui Undian
Pembagian melalui undian adalah
bagian-bagian tertentu (menurut ilmu fara’id) itu dibagi, diteliti, kemudian
dikalikan, yakni pada bagian masing-masing tedapat pecahan hingga bagian-bagian
itu menjadu genap. Tempat dan tiap-tiap macam tanamannya dinilai, lalu
dipersamakan dengan bagian harga bagian yang terkecil. Karena, boleh jadi satu
bagian dari tiga bagian pada suatu tempat itu dipersamakan dengan nilai semua
tanah dan bagian-bagiannya pada tempat lain.
Jika pembagian diperlukan
dengan cara tersebut dan diadakan
pertimbangan-pertimbangan, maka dituliskah di atas kartu-kartu nama para
peserta dan nama-nama arah (yang menunjukan barang). Maka siapa yang namanya
keluar dari satu arah, ia mengambil barang yang ada padanya. Satu pendapat
mengatakan bahwa nama-nama peserta itu dilemparkan ke atas nama-nama arah. Maka
siapa yang namanya keluar pada suatu arah, ia mengambil barang darinya.
Jika bagiannya lebih banyak dari
barang yang terdapat pada arah tersebut, maka bagian pada arah tersebut
dilipatkan sehingga genaplah bagiannya.
Allah Swt, berfirman :
فساهم فكان من المدحضين
“Kemudian ia (Nabi Yunus) ikkut berundi lalu ia termasuk
orang-orang yang kalah dalam undian” (QS. Ash-Shaffat : 141)
Allah Swt. berfirman :
وماكنت لديهم اذ يلقون اقلا مهم ايّهم يكفل مريم
“Padahal engkau (Muhammad) tidak hadir bersama mereka, ketika
mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapakah diantara
mereka yang akan memelihara Maryam” (QS. Ali-Imran : 44)
Dari Rasulullah Saw. bersabda :
انّ رجلا اعتق ستّة اعبد عند موته, فأسهم رسول الله صلّى الله عليه
وسلّم بينهم فأعتق ثلث ذلك الرّقيق
“Sesungguhnya seorang lelaki hendak memerdekakan enam orang
hamba sahaya pada saat kematiannya, maka rasulullah Saw. mengadakan undian
diantara mereka. Lalu orang tersebut memerdekakan sepertiga dari hamba-hamba
itu”
Hewan dan Barang Bergerak
Fuqaha telah setujuh mengenai
ketidak bolehan pembagian terhadap hewan dan barang bergerak (al-‘arudh),
karena adanya kerusakan yang diakibatkannya. Namun, mereka berselisih pendapat
apabila kedu perserikat bersengketa tentang barang atau hewan yang satu, dimana
keduanya tidak suka memakan bersamaan, kemudian salah satunya hendak menjual
bagiannya kepada kawannya.
Imam Malik dan para pengikutnya
berpendapat bahwa ia dipaksa atas pemakain bersama. Jika salah satunya hendak
mengambil barang dengan harga yang ditentukannya, maka ia bisa mengambilnya. Alasanya,
bahwa jika tidak dilakukan pemaksaan, maka akan mendatangkan kerugian, dan ini
termasuk dalam Qiyas Mursal.
Golongan ahiri berpendapat bahwa ia
tidak boleh dipaksa atas demikian, kerena menurut aturan pokok, milik seseorang
itu tidak dapat keluar dari tangannya kecuali berdasarkan dalil dari AlQur’an
dan As-Sunnah, atau Ijma’.
Berbeda halnya jika barang tersebut
lebih dari satu maka fuqaha telah sependapat bahwa barang-barang tersebut dapat
dibagi berdasarkan suka sama suka. Tetapi mereka berselisih pendapat mengenai
pembagian tersebut berdasarkan pertimbangan dan undian.
Imam Malik dan pengikutnya
membolehkan pembagian tersebut pada satu macam barang. Tetapi Abdul Aziz bin
Abu Salamah dan Ibnu Majasyun melarang.
Hukum Pembagian
Mengenai barang yang ditakar dan
ditimbang, fuqaha telah sepakat tentang tidak bolehnya dilakukan undian padanya
kecuali apa yang diceritakan dari Al-Lakhami.
Mengenai barang yang ditakar,
terkadang juga berupa satu shubrah (yakni pembagian yang ditukar atau
ditimbang) atau dua shubrah lebih. Jika terdiri satu macam, maka pembagiannya
terkadang didasarkan atas perimbangan dengan menggunakan takaran atau timbangan
manakah salah satu perserikat mengajak demikian.
Tidak diperselisihkan lagi mengenai
kebolehan pembagian tentang berdasarkan suka sama suka dengan pelebihan, baik
pada makanan ribawi atau bukan, yakni barang yang tidak boleh terjadi pelebihan
padanya. Dan pelebihan itu boleh terjadi dengan timbangan yang diketahui dan
yang tidak diketahui. Sedangkan pembagian yang hanya berdasarkan taksiran saja
tanpa ditakar atau ditimbang, maka tidak boleh.
Refrensi
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, Jilid 4, th. 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar