Selasa, 08 Mei 2012

Istishhab dan Mazhab Shahabi

ISTISHHAB

Secara etimologi, istishhab berarti meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah), atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash-shuhbah). Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi istishhad yang di kemukakan ulama, antara lain :
a.    Menurut asy-Syaukani      
بَقَاءُ الأَمرِ مَالَم يُوجَد مَا يُغَيِّرُهُ                                                                          
"tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya".
Maksudnya adalah pada perinsipnya eksistensi hukum suatu masalah di masa lalu tetap berlaku di masa kini dan di masa yang akan datang, dengan syarat tidak terdapat perubahan pada masa terrtentu. Akan tetapi, jika terdapat perubahan pada objek tersebut, maka dengan sendirinya hukumnya juga menjadi berubah.
b.    Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah
إِستِدَامَةُ مَاكَانَ ثَابِتًا وَنَفَي مَاكَانَ مَنفِيًّا حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى تَغَيُّرِ الحَالِ                                   
"mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegaskan suatu hukum yang memeng tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut".
Maksubnya adalah suatu hukum, baik dalam bentuk positif ataupun negatif, tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya, dan status keberlakuan hukum tersebut tidak memerlukan dalil lain untuk tetap terus barlaku.
c.    Menurut Ibnu Hazm
بَقَاءُ حُكمِ الأَصلِ الثَّابِتِ بِالنُّصُوصِ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيلُ مِنهَا عَلَى التَّغَيُّرِ                                    
"tetap berlaku suatu hukum didasarkan atas nashsh, sampai ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut".
Maksudnya adalah suatu hukum dinyatakan tetap berlaku, jika landasannya adalah nashah. Dengan demikian Ibnu Hazm hendak menekankan, bahwa penetapan hukum tidak cukup hanya berdasarkan perinsip kebolehan dasar (al-ibahah al-ashliyyah), tetapi harus dikukuhkan oleh dalil yang bersumber dari nashah. 
   Dari tiga definisi tersebut dapat dipahami bahwa yang dinamakan dengan istishhab memiliki beberapa unsur:
1)    (hukum) maupun dalam bentuk nafy (penegasan hukum), maka hukum tersebut dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang.
2)    Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya.
3)    Pengakuan terhadap berlakunya hukum di masa lalu itu harus berdasarkan dalil nashah. Tidak cukup hanya berdasarkan prinsip al-ibahah ash-ashiliyyah. Akan tetapi, jika diperhatikan lebih jauh, perbadaan pendapat tersebut tidak sampai menimbulkan pertentangan hukum. Dengan kata lain, perbedaan tersebut hanya dari segi redaksi saja.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
Kaidah-kaidah istishab antara lain
•    الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره 
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
Maksudnya adalah pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya seperti kasus orang hilang diatas. Ia tetap dihukumi masih hidup sampai ada dalil yang menunjukkan atas kematiannya.
•    الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
Maksudnya adalah pada dasarnya hal-hal yang bersifat bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad/transaksi dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan atas batalnya. Sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang melarangnya, maka hukumnya boleh.
•    الاصل في الانسان البراءة  
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
•    بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas, kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
Dalil Kehujahan al-Istishhab
    Sebagai dalil syara’ istishhab memiliki landasan yang kuat, baik dari segi syara’ maupun logika. Landasan dari segi syara’ adalah berbagai hasil penelitian hukum menunjukan, bahwa suatu hokum syara’ senantiasa tetap berlaku, selama belum ada dalil yang merubahnya. Sebagai contoh, syara’ menetapkan bahwa semua minuman yang memabukan adalah haram, kecuali ada perubahan pada sifatnya, jika sifat memabukkannya hilang karena berubah menjadi cuka, misalnya, maka hukumnya juga berubah dari haram menjadi halal. Demikianlah watak hukum syara’, ia tidak akan berubah kecuali jika ada dalil lain yang mengubahnya.
    Adapun landasan dari segi logika, secara singkat dapat ditegaskan, logika yang benar pasti mendukung sepenuhnya prinsip al-istishhab. Misalnya, jika seorang telah dinyatakan sebagi pemilik suatu barang, maka logika akan menetapkan, setatusnya sebagi pemilik tidak akan berubah, kecuali jika ada alasan dalil lain yang mengubahnya, misalnya, karena ia menjual atau menghadiahkan barang tersebut kepada orang lain. Demikian juga, jka seorang dikatakan telah sah melakukan perkawinan dengan seorang wanita, maka logika dengan mudah menetapkan bahwa status perkawinan mereka tetap berlaku kecuali jika ada dalil lain yang mengubahnya, misalnya, karena si suami menceraikan si istri.
Macam-macam istihhsab
a.    Istishab hukum al-ibahah al-asliyyah lil asy-ya.
Maksudnya adalah menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misal; seluruh pepohonan dihutan merupakan milik bersama umat manusia dan setiap orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan hutannya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang. Dalam kaitan ini, alasan yang dikemukakan adalah firman Allah :
قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق                                                            
Artinya ;”katakanlah: siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) rizki yang baik”. dari ayat ini bisa kita fahami bahwasannya Allah SWT menegaskan bahwa memanfaatkan perhiasan dan mencari rizki yang baik adalah hak setiap orang. Istishab seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
b. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nas selama tidak ada dalil yang menasakhnya.
Misalnya, dalam surat al-baqarah:267 Allah SWT menjelaskan bahwa manusia wajib menafkahkan seluruh hasil usaha dan seluruh yang diperoleh melalui pengekploitasian sumber daya alam. Kalimat “nafkah” tersebut, menurut kesepakatan Ulama ushul fiqh bersifat umum, karena nafkah wajib meliputi zakat, nafkah keluarga dan nafkah kaun kerabat. Kalimat “hasil usaha” disinipun bersifat umum, meliputi seluruh jenis hasil usaha dari bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut sebagian Ulama ushul fiqh tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan ini dinamakan istishhab. Akan tetapi menurut sebagian Ulama ushul fiqh lainnya, seperti Imam Abu al-Ma’ali al- Juaini (madzhab Syafi’i), Imam Muhammad bin Aly Asy-Syaukani mengatakan hal ini bukan merupakan istishab, melainkan berdalih berdasarkan kaidah bahasa, yaitu kaidah yang menyatakan “suatu dalil yang umum tetap berlaku sesuai dengan keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya” . Contoh istishab nas selama tidak ada yang menasakhnya adalah kewajiban bepuasa dalam surat al-baqarah ayat 183. kewajiban berpuasa di bulan Ramadlan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat diatas, selama tidak ada nas lain yang membatalkannya
c. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Ibnu Qoyyim al-Jauziah (ahli ushul fiqh madzhab Hambali) menyebutnya dengan “sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukun yang berbeda dengan itu”. Misalnya, hak milik pada suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi pemilikan, yakni akad, sampai ada sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah kepada orang lain. Contoh hukum wudlu seseorang yang sudah berwudlu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila ia ragu apakah wudlunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan istishab wudlunya tetap ada. Karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudlu tersebut, tidak bisa mengalahkan kenyakinan seseorang bahwa ia telah berwudlu.
d. Istishab al-bara’ah al-ashliyyah (kebebasan dasar),
yakni umat manusia terbebas dari kewajiban-kewajiban syar’iy, sampai ada dalil yang menunjukkan taklif atau sampai datangnya syara’. Anak kecil terbebas dari taklif sampai ia mencapai usia baligh. Orang yang buta hukum atau berasal di daerah musuh, terbebas dari taklif sampai ia melek hukum atau sampai berada didaerah Islam. Contoh lain Apabila si A menuduh bahwasannya B memiliki hutang pada dirinya, maka A berkewajiban untuk mengemukakan bukti-bukti utang tersebut. Apabila A tidak sanggup mengemukakan alat bukti, maka B bebas dari tanggungan (tuntutan) dan B dinyatakan tidak pernah berutang pada A.
e. Istishab terhadap hukum yang ditetapkan berdasarkan ijmak.
Istishab ini dipersilisihkan Ulama tentang kehujahannya. Misalnya; Ulama fiqh berdasarkan ijmak menetapkan bahwa ketika air tidak ada, seseorang boleh bertayamum dan apabila shalatnya telah selesai ia kerjakan, maka shalatnya sah. Akan tetapi apabila dalam keadaan shalat ia melihat air, timbul perbedaan apakah shalatnya ia batalkan untuk kemudian melakukan wudlu ataukah ia teruskan. Menurut Syafi’i dan Maliki orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena ada ijmak yang mengatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum ijmak itu tetap berlaku sampai ada dalil yang mengatakan bahwa “ apabila orang yang bertayamum melihat air pada waktu shalat, maka ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan mengulangi shalatnya.”
Akan tatapi Ulama Abu Hanifah dan Ahmad mengatakan bahwa orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan mengulangi shalatnya. Mereka beralasan karena ijmak itu hanya terkait dengan sahnya shalat bagi orang yang tidak menemukan air, bukan dalam keadaan adanya air.

Madzhab Sahahabi

Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Sedangkan menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri menunjuk pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimanan pendapat para sahabat tersebut nerupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara keduannya ialah, qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan, yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan mazhab shahabi merupakan pendapat bersama.
Namun ada juga pendapat lain yang memberikan defenisi mazhab shahabi tersebut. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perorangan. maksudnya adalah bahwa fatwah itu adalah mengandung suatu keterangan atau penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. Namun perbedaan pengertian ini tidaklah harus kita jadikan sebagai permasalahan, karena dari beberapa defenisi diatas tentang mazhab shahabi itu adalah mengarah pada pengertian yang sama, hanya saja penggunaan bahasa yang sedikit berbeda. Oleh karena itu perbedaan pengertian yang ada hanyalah sebuah tujuan penulis untuk mempermudah pembaca, agar lebih mudah untuk diapahami.
Baik juga disebutkan, terdapat perbedaan pengertian antara jumhur ulama ushul fiqh dan jumhur ulam hadist tentang yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah. Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan sahabat ialah, setiap orang mukmin yang bertemu dengan Rasulullah, wafat dalam keadaan mukmin dan bergaul dengan beliau dalam waktu yang lama. Sedangkan menurut jumhur ulama hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang mukmin yang bertemu dengan Rasulullah dan wafat dalam keadaan mukmin, baik pergaulan mereka tersebut dalam waktu yang lama maupun sebentar. Sejarah membuktikan, qaul ash shahabi merupakan rujukan hukum mengenai peristiwa- peristiwa hukum yang baru terjadi setelah wafatnya Rasulullah, yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi harus dikatakan sebagaimana layaknya suatu komunitas masyarakat, tidak semua sahabat ahli dalam hukum Islam. Bakat dan keahlianya pun berbeda-beda. Sebagian sahabat mendalami dan menekuni masalah-masalah hukum, sehingga tidaklah mengherankan, jika sebagian sahabat populer dengan fatwa-fatwa hukumnya.
Muhammad ; Ajjaj al-Khatib ahli hadist berkebangsaan syiria, dalam karyanya ushul al-hadist mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimbah ilmu dari Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum islam.
Menurut Ulama hadits yang disebut sahabat yaitu orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan wafat dalam keadaan islam. Menurut pandangan ahli ushul fiqh yang disebut sahabat ialah orang yang pernah bertemu Nabi dan beriman kepadanya serta menyertai kehidupan Nabi dalam masa yang panjang. Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menambah persyaratan untuk disebut sahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu pada dirirnya terdapat bakat  atau bawaan (malakah) dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabi dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).

Kehujjahan Madzhab Sahahabi
Maksud kehujjahan disini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu;
Pembahasan dari kehujjahannya terhadap sesama sahabat lain, dan kehujjahannya terdapat generasi berikutnya atau orang yang selain sahabat. Pembahasan dari segi bentuk mazhab shahabi dapat dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Beberapa diantaranya yaitu;
Pendapat sahabat yang berada diluar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara qath’I berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).
Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tafiq, tenetang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat sahabat itu diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pwndapat sahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainya, baik ia seorang imam,hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini di nukilkan oleh dua pakar ushul fiqh, yaitu; Ibn Subki dan al-Asnawi, yang mengajukan beberapa argumen.
Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab, dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah.
Para ulam juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi) baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih) maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang  (ijma’ as-sukuti) yang dalam istialh lain disebut dengan mazhab ash-shahabi, misalnya : bagian warisan nenek perempuan adalah seperenam harta warisan. Sebaliknnya, para ulam juga sepakat, bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah menunjukan dikalangan sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu. Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi. Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in dan generasi berikutnya atau tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama diantaranya yaitu; Menurut jumhur ulama, yaitu ulama Hanfiyyah, Imam Malik, pendapat Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qadim) dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi merupakan hujjah. Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut : Firman Allah SWT pada suarah Ali Imran (3): 110 Artinya :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Ayat ini ditujukan kepada sahabt, sehingga menunjukan bahwa apa yang mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yan berbunyi : “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.
Dari segi alasasn logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah  karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan persyariatan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau,dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadits yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-adalah), yang sangat sulit diterima, menurut kebiasaan, jika melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.
Dalam beberapa literature  ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat sahabat itu adalah secara terbatas bagi sahabat-sahabat tertentu saja. Beberpa pendapat mereka adalah sebagai berikut :
1.      Pendapat sahabat yang berdaya hujjah hanyalah lia lahir dari Abu Bakar dan ‘Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang menyatakan “ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan ‘Umar”. Hadits ini dinyatakan hasan al-Tarmidzi.
2.      Pendapat dari empat orang Khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari sahabat lainya. Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh al-Tarmidzi; “adalah kewajibanmu untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa al-Rasyidin yang datang sesudahku”.
3.      Pendapat selain Khulafa al-Rasyidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi’i. tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya disbandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukanya ke khulafa dan waktu itu para sahabat yang bisa menjadi nara sumber bagi khalifah dalam forum musyawarah  pada masa sebelum ‘Ali sudah tidak ada lagi.
4.      Pendapat sahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Rasulullah menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid bin Tsabit dalam bidang faraid (hukum waris);Muaz ibn Jabal dalam bidang hukum diluar faraid, dan Ali Abi Thalib dalam masalah peradilan. Dikalangan ulama yang menerima kehujjahan pendapat sahabat secara mutlak muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas. Ulama yang berpendapat bahwa sahabat itu menjadi hujjah dan berada diatas qiyas, sehingga kalau terjadi pembenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah pendapat sahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini, bila ada dua pendapat yang berada dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana penyelesaiannya dua dalil yang bertentangan yaitu melalui tarjih (mencari dalil yang terkuat).  
5.      Ulama yang berpendapat bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah, namun kedudukanya dibawah qiyas dan bila terjadi pembenturan antara keduanya maka harus didahulukan qiyas atas pendapat sahabat. Berdasarkan pendapat kedua diatas, apakah pendapat sahabat itu dapat digunakan untuk mentakhsis umunya dalil lafaz suatu hukum? Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat yaitu: Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umunya dalil, sebagaimana berlaku terhadap dalil-dalil lain yang berdaya hujjah.
Ulama lainya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum. Dikalangan ulama yang menolak kehujjahan mazhab shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang (generasi) sesudah sahabat boleh bertaqlid kepada sahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat yaitu: (1) Membolehkan secara mutlak dengan alasan rasional, bahwa bila orang boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid sesudah sahabat, tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujatahid sahabat.   (2) Qaul qadim (pendapat lama)dari al-Syafi’I mengatkan boleh  bertaqlid kepada sahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas, meskipun belum dibukukan.

Daftar Pustaka
Dr.H. Dahlan Abdullah Rahman, Ushul Fiqhi, Jakarta; Amzah, 2010
Prof.Dr.H.Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh, Jakarta;Kencana,2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar