PENDAHULUAN
Adakah system politik dalam Islam? Pertanyaan ini barangkali menarik untuk dikemukakan, karena hingga saat ini kalangan umat Islam sendiri terdapat perbedaan-perbedaan dalam menjawab masalah ini. System politik sendiri adalah suatu konsep yang dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kekuasaan Negara, kepada siapa pelaksanaan itu dipertanggung jawabkan.
Dalam kesampatan kali ini pemakalah akan menjelaskan beberapa teori dalam ketatanegaraan dalam Islam. Diantaranya konsep Walayah Al-Faqih, Syuro, HAM, Respon Islam tentang Demokrasi.
I. KONSEP WALAYAH AL-FAQIH
Wilayah dalam bahasa Arab berarti kedaulatan, kekuasaan, perwalian dan pengawasaan. Dalam terminology syiah, kata ini menjadi istilah kunci perumusan politik Islam, yang mengindikasikan kepemimpinan universal. Adaun faqih, secara terminologis, dari bahasa Arab yang bermakna “seseorang yang baik pemahamannya”. Berbeda dengan fahim, arif, atau alim dan kata serupa lainnya, maka faqih telah menjadi term khusus yang berkaitan dangan ilmu yurisprudensial Islam (fikih), artinya seorang faqih adalam seorang yang ahli dalam ilmu fikih, mirip dengan hakim yang berarti seorang yang ahli hukum dan tabib yang berarti ahli dalam pengobatan. Jadi, faqih adalah seorang mujtahid yang berhak mengeluarkan hokum Islam dan mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan peraturan-peraturan Islam yang sah dari sumber-sumber yang asli.
Dengan demikian wilayatul faqih secara sederhana berarti sebuah system pemerintah yang kepemimpinannya di dawah kekuasaan seorang faqih yang adil dan berkompeten dalam urusan Agama dan Dunia atas seluruh kaum Muslimin di Negara Islam yang bersumber dari kekuasaan dan kedaulatan absolut Allah atas umat manusia dan alam semesta. Dalam bentuk aplikatifnya di Iran, pemimpin tertinggi wilayah faqih ini disebut juga dengan rahbah dan wali al-amr. Konsep wilayah faqih ini, merupakan kelanjutan dari doktrin kenabian dan imammah, yang mana secra periodic dalam sejarah Syiah, kepemimpinan universal berdasarkan mandate Ilahi terbagi pada empat periode, yaitu Periode Nabian, Periode Imammah, Periode kegaiban Sughro (gaib kecil), dan Periode kegaiban Kubro (gaib besar/sempurna). Selama Imam ke 12 mengalami gaib kubra (kegaiban panjang), hingga ia muncul (zuhur) kembali pada akhir zaman, maka para ulama (faqih) dinobatkan menjadi penerus rangkaina kepemimpinan umat ini sebagai wakil Imam (naib al-Imam). Meski begituh, sebagimana para imam mengambil alih seluruh peran kepemimpinan umat dari Nabi SAW, maka para faqih juga memiliki hak dan peran yang sama dalam hal ini. Tepatnya, mereka mewakili pelaksanaan peran ini dalam Imam, yakni Imam terakhir (Muhammad al-Mahdi) yang sedang gaib. Hanya bedanya, jika para Imam mendapatkan kedudukannya dari Allah, sehingga dengan demikian maksum (terpelihara dari kesalahan), para ulama (faqih) ini memperoleh kedudukannya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya. Dan, tidak seperti Nabi dan Imam, mereka tidaklah maksum. Dalam bentuk formalnya, di Republik Islam Iran, faqih yang kedudukannya sebagi Wali faqih dipilih oleh siatu Dewan Ahli yang beranggotakan para ulama terkemuka, yang memperoleh jabatannya itu lewat pemilu Demokratis.
II. SYURO
Kata Syuro berasal dari kata sya-wa-ra, yang secara terminologi berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah. Sejalan dengan pengertian ini, kata syura atau dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal ini sema dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia. Dengan demikian, keputusan yang diambil berdasarkan syura merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kepentingan kehidupan manusia.
Al-Qur’an menggunakan kata syura dalam tida ayat. Pertama, surat Al-baqarah, ayat 233 mengenai kesepakatan (musyawarah) yang harus ditempuh suami-istri kala mereka menginginkan menyapih anak sebalum dua tahun. Sedangkan ayat kedua dan ketiga yaitu surat Ali Imran ayat 159 dan Al-Syura ayat 38 berbicara lebih umum konteks yang lebih luas. Dalam surat Ali Imran, Allah memerintahkan kepada Nabi untuk melakukan musyawarah dengan para sahabat.
Artinya :
“maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwallah kepada Allah. Sehingga Allah menyukai orang-orang bertawakal kepada-Nya.”
Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa perang Uhud yang membawa kekalahan umat Islam. Ayat ini mengajarkan kepada Nabi, dan tentunya seluruh umat beliau, agar bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu yang menyangkut kepentingan umt Islam. Sedangkan dalam surat As-Syura Allah menggambarkan sifat orang mukmin yang salah satunya mementingkan musyawarah dalam setiap persoalan yang mereka hadapi (wa amruhum syura bainahum).
Sepintas terkesan bahwa ayat yang berbicara tentang musyawarah sangat sedikit dan itupun bersifat sangat umum dan global. Al-Qur’an memeng tidak membicarakan masalah ini lebih jauh dan detail. Kalau dilihat secara mendalam, hikmahnya tetntu sangat besar. Al-Qur’an hanya memberikan seperangkat nilai-nilai yang bersifat universal yang harus diikuti umat Islam. Semantara masalah cara, sistem, bentuk, dan hal-hal lainnya yang bersifat teknis berkembang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik umat Islam maka Al-Qur’an hanya menerapkan garis-garis besarnya saja. Seandainya masalah musyawarah ini dijelaskan dalam Al-Qur’an secara rinci dan kaku, bear kemungkinan umat Islam akan mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan realitas social yang berkembang. Umat Islam terpaku pada tek-tek Al-Qur’an saja tanpa mberani melakukan improvisasi.
Agar perinsip syura ini dapat berjalan dengan baik sesuai yang ditentukan Allah setidaknya musyawarah yang dilakukan harus mempertimbangakan tiga hal, yaitu : masalah apa saja menjadi lapangan musyawarah, dengan siapa musyawarah dilakukan, serta bagaimana etika dan cara musyawarah dilakukan
Dalam dua ayat terakhir di atas Allah menyebut bahwa yang dimusyawarahkan adalah Al-Amr (wa syawirhum fi al-amr dan wa amruhum syura bainahum). Secara sederhana kata “amr” ini dapat diartikan dengan urusan, persoalan, dan permasalahan. Dengan demikian, dua ayat ini dapat dipahami bahwa musyawarah dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan umat Islam secara umum. Dalm hal ini terdapat perbedaan ulama, diantaranya ada yang memandang bahwa perintah musyawarah kepada Nabi hanyalah dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan taktik dan strategi perang menghadapi musuh. Pendapat ini berasal dari Muqathil, al-Rabi’, Qatadah dan Syafi’i. pendapat Hasan Al-Bisri dan al-Dahhaq mengatakan bahwa masalah musyawarah ini hanyalah dibatasi terhadap urusan-urusan duniawi yang tidak ada wahyunya, bukan persoalan agama. Menurut mereka, Nabi diperintahkan Allah untuk bermusyawarah tidaklah menunjukan bahwa Nabi membutuhkan pendapat mereka. Akan tetapi perintah ini dimaksudkan untuk mendidik umatnya betapa musyawarah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial, politi umat Islam. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa musyawarah juga dapat dilakukan dalam masalah keagamaan. Dengan alasan bahwa adanya perubahan sosial seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan membuat sebagian permasalahan agama juga ikut terimbas dan menuntut “penyesuaian”, karena Al-Qur’an dan Sunnah belum menentukan cara penyelesaian secara rinci dan tegas. Ini merupakan pendapat yang lebih maju dan lebih dapat diterima oleh akal. Sebab kalu perkembangan masyarakat dan perubahan sosial tidak diantisipasi secara bersama dengan jalan bermusyawarah,tidak tertutup kemungkinan umat Islam akan tertinggal.
Dari pembahasn ini dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang sudah baku dan rinci diuraikan Allah dan Rasul-Nya tidak mendapatkan tempat untuk dimusyawarahkan. contuohnya dalam hal dasar-dasar keimanan atau ibadah kepada Allah. Ini merupakan otoritas Allah sepenuhnya. Sebaliknya masalah yang dijelaskan secara umum dan global atau yang tidak dapat dijelaskan sama sekali, maka umat Islam diperintahkan untuk melakukan musyawarah sesuai dengan kebutuhan mereka. Contohnya musyawarah yang dilakukan dalm menentukan kebijakan-kebijakan publik, seperrti menentukan hukum pajak, perdagangan, dan lain-lain.
Dalm hal kedua, dengan siapa musyawarah terseut dilakukan Nabi, sebagimana dikuti Quraish Shihab, pernah menasihatkan kepada Ali :
“wahai Ali jangan bermusyawarah dengan orang penakut, karena dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan orang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga jangan yang berambisi, karena dia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi merupakan bawaan yang sama. Semuanya bermuara pada perasangka buruk kepada Allah.”
Adapun suatu kenyataan bahwa tidak semua manusia mempunyai kemampuan intelektual dan ketajaman pemikiran. Karena itu, tidak mungkin musyawarah dilakukan dengan menghimpun seluruh manusia dan meminta pendapat mereka tentang suatu masalah. Nabi sendiri dalam melakukan musyawarah lebih banyak mengikut sertakan sahabat-sahabat senior atau shabat tertentu saja yang memiliki pandangan dan pemikiran yang tajam. Karena itu para ulama memandang bahwa musyawarah ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam dan ketajaman pemmikiran. Sesuai surat an-Nisa ayat 59 disebut dengan “ulu al-amr”. Merekalah yang akan melakukan musyawarah mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam. Dalam lembaga sekarang ini yang disebut dengan ahl hal wal aqd atau lembaga legislative merupakan wakil masyarakat untuk memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yang bersangkutan, sehingga tercapai kemaslahatan hidup mereka.
Tentunya bagai mana etika musyawarah dilakukan surat ali Imran ayat 159 dapat dijadikan rujukan. Ayat ini menunjukan 3 sikap yang diperintahkan Allah dan Nabi dalam melakukan musyawarah. Yaitu, lemah lembut, memberi maaf, dan yang ketiga hubungan vertikal dengan Allal. Dengan tiga cara tersebut barulah dapat dicapai kesepakatan, semua hasil tersebut diserahkan kepada Allah (tawakkal) .
Sedangkan bagaimana melakukan musyawarah, Allah tidak menentukan secara rinci. Ini diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Dalam suatu pemerintahan atau Negara boleh saja musyawarah ini dilakukan dengan membentuk suatu lembaga tersendiri seperti parlemen.
Dalam pengambilan keputusan, tidak bearti suara terbanya mutlak harus diikuti. Ada kalanya keputusan diambil berdasarkan suara minoritas kalau ternyata pendapat tersebut lebih logis dan lebih baik dari suara mayoritas.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa musyawarah merupakan esensi ajaran islam yang wajib diterapkan dalam kehidupan sosial. Syuro merupakan tradisi arab pra-Islam yang sudah turun temurun dan harus dipertahankan karena merupakan tuntutan abadi dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
III. RESPON DEMOKRASI
Sebagai mana halnya syuro, Demokrasi juga menekankan unsure musyawarah dalam mengambil keputusan. Demokrasi yang diartikan sebagai bentuk kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagaimana didefinisikan Abraham Lincolen salah seorang mantan presiden AS, mengharuskan adanya partisipasi rakyat dalam menentukan suatu permasalahan dan mengontrol pemerintah yang berkuasa. Disamping itu, prinsip dasar Demokrasi, menurut Sadek J. Sulaiman, adalah adanya kesamaan antara seluruh manusia. Apapun bentuk diskriminasi manusia baik yang berdasarkan ras, gender, agama atau status sosial adalah bertentangan dengan Demokrasi.
Lebih lanjut, Sadek mantan duta besar Oman untuk PBB mengemukakan tujuan prinsip utama sistem Demokrasi :
1. Kebebasan berbicara.
2. Pelaksanaan pemilu dalam yang luber dan jujur secara teratur.
3. Kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan control minoritas. Prinsip mengakui adanya hak oposisi suatu kelompok terhadap pemerintah.
4. Karenanya sejalan dengan prinsip ketiga, dalam sistem demokrasi, partai politik memainkan peran penting. Rakyat berhak dengan bebas mendukung partai mana yang lebih sesuai dengan pandangan dan pilihannya.
5. Demokrasi meniscayakan pemisahan antara kekuasaan legislatife, eksekutif dan yudikatif.
6. Demokrasi menekankan adanya supremasi hokum. Semua individu harus tunduk dibawah hukum, tanpa memandang kedudukan dan status sosialnya.
7. Dalam Demokrasi semua individu atau kelompok, bebas melakukan perbuatan. Karenanya setiap individu bebas memiliki hak milik, tanpa boleh diganggu oleh pihak manapu.
Berdasrkan hal ini sepintas kita dapat melihat bahwa Demokrasi sesuai dengan prinsip-prinsip syuro sebaimana diajarkan Al-Qur’an. Secara esensi baik Demokrasi maupun Syura sama-sama membatasi kekuasaan pemerintah dan menekankan peran penting masyarakat dalam mengontrol kekuasaan. Syura dan Demokrasi juga menekankan keputusan diambil secara musyawarah. Yang lebih penting kedua perinsip ini sama-sama menolak segala bentuk kediktaktoran dan kesewenang-wenangan pemerintah yang berkuasa.
Namun demikian apabila dilihat lebih jauh pada praktek-praktek Demokrasi yang dilakukan Negara Barat yang dipandang sebagai kampung Demokrasi, maka kita perlu member beberapa catatan agar tidak lekas mengidentikkan Syura dengan Demokrasi. Bagaimana pun, keduanya merupakan konsep yang berbeda secara prinsip maupun aplikatif. Secara prinsip, konsep Syura berasal dari “langit” yang di wahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Demokrasi adalah konsep yang lahir dari budaya Barat yang dalam beberapa sisi jelas-jelas berbeda dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Demokrasi merupakan salah satu produk dari pertentangan orang-orang barat terhadap agama. Berdasarkan hal ini Al-Maududi mencap bahwa Demokrasi modern merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Penilaia lain menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, menurut Iqbal Demokrasi barat pun kehilangan sisi-sisi spiritualnya. Disamping itu, praktik Demokrasi ternyata mengakibatkan terjadinya korupsi moral dalam prilaku politik. Dalam hal ini Iqbal melihat bahwa Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh dan untuk rakyat mengabaikan keberadaan agama. Parlemen yang merupakan salah satu pilar Demokrasi dapat menetapkan hukum yang bertentangan dengan agama, kalau anggotanya menghendaki. Demokrasi hanya mengakui rakyat sebagai kekuasaan tertinggi dan tidak mengakui nilai-nilai wahyu. Dalam perakteknya Demokrasi Barat dapat mengesahkan Undang-Undang yang membolehkan perkawinan kaum homo/lesbi dan mengakui hak-hak mereka.
Sebagai alternatife Iqbal menekankan prinsip Demokrasi yang bisa disejajarkan dengan Syura dalam Islam. Pertama, tauhid sebagai landasan asasi; kedua, kepatuhan kepada hukum; ketiga, toleransi sesame warga; keempat, Demokrasi Islam tidak dibatsi oleh wilayah geografis, ras, dan bahasa; kelima, penafsirah hukum Tuhan harus dilakukan melalui ijtihad.
Menurut Abdul Hamid Ismail al-Anshari juga membuat beberapa pendapat mendasar antara Syyura dan Demokrasi. Pertama,kekuasaan majlis Syura dalam Islam terbatas sejauh tidak bertentangan dengan nash. Sementara Demokrasimenekankan kekuasaan mutlak manusia tidak mempunyai batas yang boleh dan tidak boleh dimusyawarahkan, sejauh anggota masyarakat menghendaki. Kedua, hak dan kebebasan manusia dalam Syura dibatasi oleh kewajiban sosial dan agama. Sedangkan dalam Demokrasi, kebebasan manusia berada diatas segalanya. Ketiga, Syura dalam Islam ditegakan atas dasar akhlak yang berasal dari agama, sedangkan Demokrasi Modern berdasarkan suara mayoritas.
IV. ISLAM TENTANG HAM
Adanya ajaran tentang HAM dalam Islam menunjukan bahwa Islam sebagai agama telah menetapkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan ajaran itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesame manusia tanpa terkecuali. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal dan abadi, tidak boleh dirubah atau dimodifikasi (Abu A’al-Almaududi, 1998). Dalam Islam terdapat dua konsep tentang hak, yakni hak manusia (hak al-Insan) dan hak Allah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi hak manusia dan juga sebaliknya. Dalam aplikasinya, tidak ada satupun hak yang terlepas dari kedua hak tersebut, misalnya Shalat.
Sementara dalam hal al-Insan seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya.
Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan teosentris (theocentries) atau yang menetapkan Allah melalui ketentuan syariatnya sebagai tolak ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga bangsa. Dengan demikian konsep Islam tentang HAM berpijak pada ajaran Tauhid. Konsep tauhid mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk yang oleh Harun Nasution dan Bahtir Effendi disebutkan dengan ide perikemahlukan. Islam dating secara inheren membawa ajaran tentang HAM, ajaran Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber ajaran normative, juga terdapat praktek kehidupan umat Islam.
Dilihat dari tingkatanya, ada 3 bentuk HAM dalam Islam, pertama, hak Darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga eksistensinya bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Sebagai contoh, bila hak hidup dilanggar berarti orang itu mati. Kedua, hak sekunder (hajy) yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat hilangnya hak-hak elementer misalnya, hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak makan akan mengakibatkan hilangnyan hak hidup. Ketiga, hak tersier (tahsiny) yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder (Masdar F. Mas’udi, 2002).
Mengenai HAM yang berkaitan dengan hak-hak warga Negara, Al Maududi menjelaskan bahwa dalam Islam hak asasi pertama dan utama warga Negara dalah :
1) Melindungi nyawa, harta dan martabat mereka bersama-sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak kami campur, kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan ilegal.
2) Perlindungan atas kebebasan pribadi kebebaan pribadi tidak bias dilanggar keuali setelah melalui proses pembuktian yang meyakinkan secara hukum dan memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk mengajukan pembelaan.
3) Kemerdekaan mengemukakan pendapat serta menganut keyakinan masing-masing.
4) Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua warga Negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan. Salah stu kewajiban, Zakat kepada umat Islam, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pokok warga Negara.
PENUTUP
Kesimpulan :
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan esensi ajaran Islam yang wajib diterapkan dalam kehidupan sosial. Syura merupakan tradisi arab pra-Islam yang sudah turun temurun dan harus dipertahankan karena merupakan tuntutan abadi ari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Hanya saja Al-Qur’an merupakan Syura dari sebuah intitusi suku yang dilandaskan pada hubungan darah menjadi institusi komuniitas yang menekankan prinsip hubungan iman.
Dari uraian pada sub bab pembahasan bahwa Deokrasi dn Syura ukanlah dua hal yang idetik, tapi bukan pula dua hal yang harus dipertentangkan. Demokrasi dapat menjadi bagian ari sistem politik umat Islam apabila orientasi dan sistem nilainya diberi muatan nilai-nilai agama dan moralitas.
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap individu memiliki keinginan agar HAM-nya dipenuhi, tetapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAN orang lain.
HAM setiap individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam Islam, sudah mengajarkan lebih dahulu memperhatikan HAM. Ajaran Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam itu Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber ajaran normative, juga terdapat dalam praktek kehidupan umat Islam.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh Undang-Undang RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, peradilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara perailan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang perradilan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
• Iqbal Muhammad, Fiqh Siyasah Konstitusional Doktrin Politik Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007
• Maarif Syafi’I, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta : LP3ES, 1985
• Hussain Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta : Gema Insani 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar