Sabtu, 12 Mei 2012

Makna Had Zina dalam As-Sunnah

Pendahuluan
     Kajian tentang pengetahuan had zina pada dasarnya membicarakan hal-hal yang menunjukan dalil-dalil yang jelas sehingga dapat ditentukan hukuman bagi orang yang melakukan zina. Dalil-dalil tersebut diambil dari dua sumber yang mana telah menjadi landasan bagi umat islam seluruhnya yaitu Qur’an dan Sunnah.

Pengertian zina
     Zina memiliki satu arti dalam segi etimologi dan terminologi yaitu adalah hubungan badan yang dilakukan antara lak-laki dan perempuan tanpa melalui pernikahan yang sah, baik melalui alat kelamin maupun dubur.

Pembahasan
(أ‌)    عن أبي هريرة, و زيد بن خالد, أنّهما قالا: إن رجلاً من الأعراب أتى رسول الله صلى الله عليه و اله و سلم, فقال : يا رسول الله, أنشدك الله إلاّ قضيت لى بكتاب الله, و ائذن لى. فقال رسول الله صلى الله و اله و سلم (( قل )) قال : إن ابنى كان عسيفا على هذا, فزنى بامرأته, وإنّى أخبرت أن على ابنى الرجم, و افتدَيْتُ منه بمائة شاة و وليدة, فسألت أهل العلم, فأخبرنى أن على ابنى جلد مائة و تغريب عام, و أنّ على امرأة هذا الرجم. فقال الرسول الله صلى الله عليه و اله و سلم (( و الذى نفسى بيده لأقضينّ بينكما بكتاب الله : الوليدة و الغنم ردٌّ, و على ابنك جلد مائة و تغريب عام, و اغد يا أنيس - لرجل مِن أسلم - إلى امرأة هذا, فإن اعترفت فارجُمها )) قال: فغدا عليها, فاعترفت, فأمر بها رسول الله صلى الله عليه و اله و سلم فرُجمت. –متفق عليه-
Artinya : Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid r.a : sesungguhnya seorang lelaki arab badwi datang menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku bermohon kepada engkau dengan nama Allah, agar engkau memutuskan hukum terhadapku berdasarkan ketetapan Allah.
Seorang lawannya yang lebih lancar bicaranya, berkata: Benar, putuskanlah perkara di antara kami dengan ketetapan Allah, dan izinkanlah saya berbicara. Maka Rasulullah berkata: Bicaralah,dia berkata: sesungguhnya anakku bekerja sebagai orang upahan pada orang ini. Dia berzina dengan istri orang ini, dan mengabarkan bahwa anakku harus dirajam, namun aku tebus hukuman itu dengan seratus ekor bir-biridan membebaskan seorang budak. Saya menanyakan kepada orang alim, dan mereka mengatakan bahwa hukuman terhadap anakku adalah 100 kali cambukan, dan mengusirnya dari kampung selama satu tahun, dan terhadap istri orang ini, hukuman rajam, Rasullullah bersabda: Demi Allah, yang diriku di tanganNya, aku akan memutuskan perkara ini dengan ketetapan Allah. Budak dan kambing dikembalikan kepadamu, dan anakmu dicambuk 100 kali dan diusir dari kampung selama satu tahun. Pergilah hai Unais (seorang lelaki dari bani Aslam) kepada istri orang ini. Jika dia mengaku, rajamlah dia. Unais menjumpai perempuan itu, dan dia mengaku. Rasulullah memerintahkan agar perempuan itu dirajam, dan dilaksakanlah perintah itu”. ( H.R Muttafaqun Alaih ).

    و عن عُبّادةَ ابن الصامت قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم          (( خذوا عنى, خذوا عنى, قد جعل الله لهنّ سبيلا. البكر بالبكر جلد مائة و نفى سنة. و الثيب بالثيب جلد مائة و الرجْمُ)). -رواه الجماعة -                                       
Artinya : “Rasulullah SAW bersabda: ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah membuka jalan bagi perempuan perempuan itu. Perawan dengan perawan, dicambuk 100 kali dan diusir dari kampung selama satu tahun. Dan mereka yang sudah menikah dengan yang sudah menikah, dicambuk 100 kali dan dirajam”. ( H.R Al-Jama’ah ).

Hadis pertama : Kata penyusun kitab “Al-Fathu”, dalam kalimat “Ansyuduka” itu dengan pengertian “Ansyudu bika”  lalu membuang huruf ba’ itu. Jadi, maksudnya adalah saya memohon kepadamu lewat engkau dengan mengeraskan suaraku. Kata “Ansyudu” dengan fathah di huruf hamzah lau dengan huruf nun sukun dan dengan dhummah huruf syin titik tiga, yang artinya : saya meminta pertolongan kepada Allah lewat engkau untuk memutuskan bagiku berdasarkan Kitabullah. Ini termasuk pengecualian dengan pengertian pembatasan, karena pengertiannya : saya tidak meminta kepada engkau selain putusanmu berdasarkan Kitabullah (maksudnya : saya hanya memohon putusanmu berdasarkan Al-Qur’an).
     Kata yang lain (temannya) yang nampaknya dia lebih mengerti daripada lelaki itu (yang seakan-akan perawinya mengetahui bahwa temannya lebih mengerti dari lelaki itu atau dia sudah menanyakan ahli fiqh) Ya, putuskanlah antara kami berdasarkan Kitabullah, dan izinkanlah saya. Lalu Rasulullah SAW bersabda : jelaskanlah dahulu permasalahannya. Dia menjelaskannya, bahwa anakku menjadi buruh pada orang ini, lalu dia berzina dengan istrinya, kata “Asifan” (buruh) itu dengan huruf ‘ain dan sin lalu ya’, kemudian fa’, seperti kata “Ajir”, baik wazannya maupun artinya. 
     Sesungguhnya saya diberitahu, bahwa hukuman atas anak saya adalah rajam. Lalu saya menebusnya dengan 100 ekor kambing dan seorang hamba wanita. Setelah saya tanyakan orang yang berilmu (ulama), lalu mereka memberitahukan saya bahwa hukuman atas anak saya, cambuk 100 kali dan pengasingan (pembuangan) setahun. Dan sesungguhnya hukuman atas istri lelaki ini adalah rajam. Lalu Rasulullah SAW bersabda : Demi Allah dengan jiwaku ditangan-Nya : Sungguh saya akan memutuskan perkara antara kamu berdua berdasarkan Kitabullah hamba sahaya dan kambing 100 ekor itu kembali kepada engkau (ambil kembali) hukuman atas anakmu, cambuk 100 kali dan hukuman buangan setahun.
    Seakan-akan beliau sudah mengetahui bahwa lelaki yang berzina itu bukan pezina muhshan  dan seakan-akan beliau sudah mengetahui pula bahwa anak itu sudah mengakui perzinaannya. Sabda beliau “pergilah Unais. Unais itu adalah isim tashghir  yaitu Anas bin Dlahaq Al Aslami. Dia seorang sahabat yang tidak disebutkan namanya kecuali dalam hadis ini. Sabda beliau kepadanya: pergilah engkau kepada istri lelaki ini. Jika dia mengakui perbuatannya, maka rajamlah dia. Hadis tersebut diriwayatkan oleh : Al Bukhari dan Muslim (muttafaq ‘alaih), tetapi susunan matan hadis tersebut menurut riwayat muslim.
     Hadis tersebut menjadi dalil kewajiban hukuman atas pezina muhshan (pezina yang sudah menikah) dan cukup pengakuan pezinaan sekali saja, sebagaimana hukum-hukum yang lainnya. Demikian menurut pendapat : Al Hasan, Imam Malik, Imam Syafi’I, Daud dan beberapa ulama lain. Menurut pendapat ulama Al Hadawiyyah,  ulama Hanafiyah, ulama Hambali dan beberapa ulama lain, pengakuan perzinaan itu harus 4 kali mereka berdasarkan dalil hadis yang akan datang yang akan menjelaskan tentang kisah Ma’iz. Penjelasan bantahannya dalam syarah hadis tersebut.
   Perintah Rasulullah SAW kepada unais untuk merajam istri majikannya itu setelah dia mengakui perbuatannya, menjadi dalil bagi orang yang mengatakan boleh putusan hakim dalam masalah hudud dan selainnya berdasarkan apa yang diakui oleh pihak yang bersangkutan, di hadapan hakim itu. Itu adalah salah satu dari dua pendapat imam Syafi’i, dan berdasarkan itulah pula pendapat Abu Tsaur sebagai mana yang dikutib oleh Al Qadli ‘Iyadl.
     Kata mayoritas ulama, tidak benar demikian itu. Alasan mereka bahwa Unais itu mengandung beberapa kemungkinan. Dan sesungguhnya sabda beliau : “Rajamlah istri majikannya itu” adalah setelah (Unais) memberitahukan kepada Rasulullah SAW. Atau setelah beliau menyerahkan urusan itu kepada Unais. Maksudnya : apabila wanita itu sudah mengetahui perbuatannya di hadapan hakim yang memutuskan perkaranya dengan ucapan : Saya putuskan. Menurut As Shan’ani : jelas ini hanyalah alasan yang dibuat-buat.
   Ketahuilah bahwa Rasulullah SAW tidak mengutus Unais kepada istri majikannya itu untuk tujuan penetapan hukuman atasnya, karena sesungguhnya beliau sudah memerintahkan kita untuk menutupi rahasia orang yang melakukan perbuatan keji itu dan kita merahasiakannya. Beliau juga telah melarang kita untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Jadi sebenarnya, tatkala istri itu dituduh berzina, lalu beliau mengutus Unais kepadanya, adalah agar dia mengingkarinya, jika tidak benar, lalu dia menuntut hukuman karena tuduhan atas orang yang mengaku berzina dengannya. Atau dia mengakui perzinaannya sehingga gugurlah hukuman tuduhan dari lelaki yang mengaku berzina dengannya. Setelah itu mengakui perzinaanya itu berarti dia mewajibkan hukuman rajam atas dirinya sendiri.
    Adapun yang menguatkan pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa’I dari Ibnu Abbas : bahwa seorang lelaki mengaku bahwa dia berzina dengan seorang wanita, lalu Nabi SAW mencambuknya 100 kali. Kemudian beliau menanyakan wanita itu lalu dia menjawab : dia bohong. Lalu dia mencambuk lagi lelaki itu sebagai hukuman tuduhan delapan puluh kali. Abu Daud tidak memberi komentar tentang derajat hadis itu, sedangkan Al Hakim menilainya hadis shahih, dan An Nasa’i menilainya hadis munkar.

Hadis kedua, ini suatu isyarat kepada firman Allah, yang artinya :
"Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,  hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya".

     Berdasarkan hadis di atas Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Allah tetap menetapkan jalan hukuman keluar bagi mereka (para istri) yang berzina itu dengan hukuman yang disebutkan dalam hadis tersebut.
Dalam hadis tersebut tekandung dua masalah, yaitu sebagai berikut :
1.    Putusan hukuman bagi jejaka apabila berzina. Adapun yang dimaksudkan jejaka itu menurut Fuqaha’ ialah lelaki yang merdeka yang belum pernah bersetubuh dalam pernikahan yang sah. Sabdanya “Bil Bikri” (dengan gadis) itu menyimpang dari kebiasaan (maksudnya : tidak selamanya pasangan jejaka itu adalah gadis) oleh karena itu tidak boleh mengambil pengertian sebaliknya (mafhum mukhalafahnya), karena sesungguhnya tetap hukuman cambuk itu atas jejaka, baik yang menjadi pasangan perzinaannya itu dengan gadis atau wanita yang sudah menikah. Sebagaimana dalam kisah buruh (dengan istri majikannya dalam hadis no. 1).

Sabdanya : “pembuangan setahun”. Menjadi dalil kewajiban pengasingan/pembuangan setahun itu bagi lelaki pezina dan sesunggunya itu termasuk kesempurnaan hukuman. Demikian menurut pendapat Khulafa yang empat (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali r.a) imam Malik, imam Syafi’i, Ahmad, Ishak dan selain mereka, serta diakui sebagai ijma’ ulama.

Menurut pendapat ulama Al Hadawiyah dan ulama Hanafiyah, bahwa hukuman pembuangan itu tidak wajib. Ulama Hanafiyah mengemukakan argumentasi bahwa hukuman pembuangan itu tidak disebutkan dalam ayat 2 surat An Nur, yang artiNya : 

"perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman." (An-Nur ayat 2)

Pembuangan itu adalah tambahan dari ketetapan nas Al Qur’an, dan itu hanya berdasarkan hadis ahad, oleh karena itu tidak dapat diamalkan (tidak dapat dijadikan landasan) karena kalau hadis dijadikan landasan berarti hadis tersebut menjadi pembatal hukum dalam ayat 2 surat An Nur.

     Bantahan pendapat ulama Hanafiyah tersebut ialah bahwa hadis itu adalah hadis masyhur, karena banyak sanadnya dan banyak kalangan sahabat yang mengamalkannya (menjadikannya sebagai landasan hukum). Padahal ulama Hanafiyah mengamalkan hadis seperti itu dan bahkan hadis yang lebih rendah dari itu. Seperti batal wudhu karena tertawa terbahak-bahak, boleh berwudhu karena meminum nabidz  dan selain itu yang termasuk tambahan dari apa yang terdapat dalam Al Qur’an. Sedangkan hukuman buangan itu adalah termasuk dari penafsiran dari Al Qur’an itu. Menurut kat Ibnul Mu’adzir : Nabi SAW. Bersumpah dalam kisah buruh yang berzina, sesungguhnya beliau akan memutuskan perkaranya berdasarkan Kitabullah, kemudian Rasulullah bersabda : Sesungguhnya hukuman atasnya adalah cambuk seratus kali dan pengansingan setahun. Sabdanya itu menjelaskan ayat Kitabullah (surat An Nur ayat 2) tersebut. Berdasarkan hadis itu pula Umar bin Khathab berpidato diatas beberapa mimbar.

2.    Mengenai sabdanya : Lelaki yang sudah menikah dengan wanita yang menikah (ats tsayyibu bits tsayyibi). Adapun yang dimaksudkan tsayyibi itu adalah lelaki yang sudah bersetubuh dalam pernikahan yang sah dan dia orang yang sudah baligh dan berakal, wanita seperti itu juga (pengertian asal kata tsayyib itu ialah duda dan janda) ketentuan hukum ini sama bagi orang muslim dan kafir. Hukuman yang dimaksudkan itu sebagai ditunjukkan dalam sabdanya : “Cambuk seratus kali dan rajam”. Sesungguhnya sabda itu menggabungkan dua macam hukuman yang yang sudah menikah, antara cambuk dan rajam.itu sebagaimana ucapan Ali r.a. yang diriwayatkan oleh Al Bukhari : “Bahwa Ali r.a. mencambuk Syurahah pada hari kamis dan merajamnya pada hari jum’at seraya mengatakan : Saya mencambuknya berdasarkan Kitabullah dan merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah”. Kata Asy Sya’bi : Ali r.a. ditanya orang apakah kamu menggabungkan dua macam hukuman ? lalu beliau menjawabnya dengan jawaban tersebut di atas.

Kata Imam Syafi’i : Sunnah tekah menunjukan bahwa hukuman cambuk sudah jelas bagi jejaka dan gadis tetapi gugur baig duda dan janda. Kata mereka bahwa hadis dari Ubbadah terdahulu pendapat itu dibantah dengan alasan : Sesungguhnya dalam kisah Ma’iz dan mereka yang disebutkan bersamanya itu dengan perkiraan belakangan, kemudian disabdakan tidak ada penjelasan gugurnya hukuman cambuk dari orang yang dirajam itu, karena boleh jadi tidak diriwayatkan itu disebabkan sudah pasti karena hukuman cambuk itulah hukuman asal (pokok). Imam Syafi’i sudah mengemukakan hujjah sebagai bandingan masalah ini, yaitu mengenai kewajiban umrah bahwa Nabi SAW memerintahkan orang yang bertanya kepada beliau untuk menghajikan ayah dan beliau tidak menyebutkan umrah. Lalu beliau (Syafi’i) menjawab bahwa Nabi SAW tidak menyebutkan umrah dalam perintahnya itu, tidak menunjukan gugurnya kewajiban umrah itu.

Untuk lebih rincinya, demi pemahaman hadis, berikut ini dijelaskan secara ringkat makna atau maksud dari beberapa kata kunci dalam hadis terkait:

خذوا عني
Kata ini mengisyaratkan kepada al-Nisa’ (4) : 15. Pada ayat terdapat ungkapan au yaj’alallahu lahunna sabila. Maka, hadis ini adalah penjelasan dari ungkapan tersebut.  Ayat ini merupakan penjelasan had zina sebelum turunnya surat al-Nur—al-zaniyatu wa al-zani fajlidu kulla wahidin minhuma miata jildatin. Artinya, hukum pada ayat ini berlaku hingga turunnya surat al-Nur dan hadis ini. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini akan dibahas pada aspek historis.

(الثيب atau ,المحصن يحصن pada hadis kedua)
Kata ini berasosiasi kepada perempuan yang telah menikah, dan dengan pasti ia telah disentuh suaminya. Sementara Ibnu Manzhur menambahkan keterang faraqat zaujaha bi ayi wajhin kana. Artinya, berdasarkan pemaknaan ini, saib adalah perempuan yang telah menikah, telah bersetubuh dengan suaminya, dan telah bercerai. Kata ini, dalam kasus zina, juga diungkapkan dengan ‘muhsan. Kata muhsan berasal dari hasana. Dari beberapa kemungkinan makna yang tersedia, yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah kawin seperti pada ahsana al-rajulu atau suci dari perbuatan tercela, atau kokoh. Begitu juga dengan beberapa penjelasan dari kamus-kamus lainnya seperti al-‘Ain dan Lisan al-‘Arab. Makna-makna tersebut terlihat relevan, ketika seorang wanita atau suami yang telah menikah dengan sah (ahsana) atau seseorang yang semestinya mampu dan memiliki penjagaan yang kokoh terhadap harga dirinya karena telah menikah, ternyata justru berzina, sehingga perzinaan oleh orang-orang semacam ini dikelompokkan kepada zina muhsan. Dan perzinaan oleh orang-orang selain mereka disebut gair muhsan, yang disebut bikr dalam hadis di atas.
Akan tetapi, terdapat permasalahan dengan pemaknaan dari Ibnu Manzur di atas, dimana ia memberikan salah satu kriteria saib adalah telah bercerai atau ditalak suaminya. Artinya, ketika seorang suami atau istri berzina dengan pasangan yang tidak sah, dan mereka masih dalam ikatan pernikahan, maka mereka bukanlah saib. Akan tetapi, sepertinya kriteria ini bukanlah sebuah kemestian, dalam artian seseorang baik telah bercerai atau belum jika telah menikah dan berhubungan intim, dalam konteks ini disebut saib atau muhsan. Hal ini sepertinya telah diisyaratkan oleh al-Nisa’ (4) : 15 yang menyebutkan wallati ya’tina al-fahisyata min nisa’ikum. Kalimat tersebut menjelaskan bahwasanya yang ditunjuk oleh ayat tersebut adalah ‘perempuan kamu’ atau ‘istri kamu’. Hal ini tentunya menandakan tiadanya perceraian, karena kalau telah bercerai tentu tidak disebut istri lagi, dan kalaupun tetap ingin menyebut istri atau suami, tentunya harus dibarengi kata ‘mantan’. Oleh sebab itu, tepatlah ketika Nawawi memaknai saib dengan seorang yang telah berhubungan intim dengan nikah yang sah.

البكر
Kata al-bikr ketika berkaitan dengan unta (ibil) bermakna ma lam yabzul (yang belum tumbuh gigi taringnya). Apabila taring tersebut telah tumbuh, maka ia disebut jamal atau naqah. Ketika berbicara tentang manusia, al-bikr bersinonim dengan ‘azriyyu (plural: ‘uzara’). Keduanya bermakna perawan. Jika dalam bahasa Indonesia, perawan lebih identik kepada perempuan, akan tetapi al-bikr menunjuk kepada keduanya, laki-laki dan perempuan. Berangkat dari pemaknaan di atas, artinya al-bikr pada hadis ini menunjuk kepada makna pelaku zina yang masih perawan, yang belum menikah.

جلد
Dalam bahasa Indonesia, jild berarti mencambuk atau mendera. Kitab Shahah fi al-Lugah menyebutkan bahwa jaladahu al-hadda jaldan bermakna dharabahu wa ashaba jildahu (memukul dengan mengenai kulitnya). Sementara dalam taj al-urus dimaknai dengan dharbun alimun bisabtin yal’aj al-jilda (pukulan keras dengan cambuk yang menyakitkan kulit). Artinya, penerjemahan jild dalam bahasa Arab kepada bahasa Indonesia sebagai mencambuk bukanlah suatu permasalahan.

رجم
Disebutkan dalam beberapa referensi bahasa, rajm sepadan dengan qatl, hanya saja rajm memiliki cara yang khas. Rajm dilakukan dengan melempar batu hingga korban lemparan meninggal. Akan tetapi, tidak jarang pembunuhan disebut dengan rajm. Sementara, dalam bahasa Indonesia sendiri, kata ini diterjemahkan menjadi melempar dengan batu atau melaknati, disamping makna-makna lainnya. Penerjemahan seperti ini tidak berbeda dengan istilah rajm itu sendiri yang digunakan oleh fiqh.

نفي  atau تغريب
Dalam Tuhfat al-Ahwazi disebutkan makna dari tagrib ini adalah mengeluarkannya dari kampung halaman. Dari beberapa referensi syarah lainnya, tidak ada perbedaan pendapat seputar pemaknaan kata ini. Semuanya memaknainya seragam yaitu sebagai pengusiran dari kampung halaman.

Syarat-syarat pemberlakuan had zina
     Had zina menjadi tidak berlaku kecuali terdapat syarat-syarat yang menimbulkan had zina, terdapat beberapa syarat menurut Muttafaq ‘Alaihi dan Mukhtalif Fih.
1.    Orang yang berzina telah baligh, kesepakatannya tidak sah jika anak kecil yang belum baligh.
2.    Berakal, dengan kesepakatan tidak ada had bagi orang yang gila. Jika lelaki yang berakal berzina dengan wanita yang gila atau lelaki yang gila berzina dengan wanita yang berakal maka yang mendapatkan had zina adalah bagi orang yang berakal.
3.    Beragama islam, menurut Maliki tidak ada had zina bagi orang kafir. Dan menurut jumhur Ulama, berlaku had zina bagi orang kafir akan tetapi tidak dirajam zina muhshan, menurut Hanafiyah, tetap didera. Menurut Imam Syafi’i dan Hambali bahwa tidak ada had bagi pezina dan pemabuk; karena Allah SWT yang memiliki hak.
4.    Orang yang taat, dan terdapat pertentangan dari kalangan Fuqaha bahwa apakah orang yang taat itu mendapat had jika ia berzina? Jumhur Ulama berkata bukan termasuk had, dan menurut Hambali termasuk had.
5.    Mengetahui dengan haramnya berzina
6.    Wanita yang berzina hidup. Menurut jumhur tidak ada had apabila wanita telah meninggal 

Kesimpulan
1.    Arti zina: adalah hubungan badan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tanpa melalui pernikahan yang sah, baik melalui alat kelamin maupun dubur.
2.    Hukum zina: 100 kali dera (QS. An-Nuur:2)
3.    Syarat-syarat pemberlakuan had zina: pelaku zina adalah muslim dan berakal, melakukan dengan senang hati perbuatan zina dan tidak ada perasaan benci, mengakui perbuatan sedang ia dalam keadaan stabil (jika tidak mengakui setidaknya harus ada 4 saksi), tidak ada pencabutan pengakuan pelaki zina.
4.    Cara memberlakukan had zina kepada wanita yang berzina: Perawan (didera 100 kali dan diasingkan 1 tahun), janda/ bersuami (didera 100 kali kemudian dirajam/dilempari batu).
5.    Hukum perempuan yang diperkosa, jika ada saksi maka lepas dari hukuman had.
6.    Rajam bagi wanita muhshan yang hamil karena zina: dirajam setelah melahirkan.
7.    Batalnya kesaksian dan gugurnya hukuman had jika wanita itu masih gadis atau kemaluannya sangat sempit sehingga kemaluan laki-laki akat terputus karenanya.
8.    Mendera dengan tandan kurma ketika yang didera dalam keadaan sakit.

Daftar pustaka
•    Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Fiqh Al Islami wa Adillatuh juz 6, Daar Al-Fikr.
•   Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, PT. Pustaka Rizki Putera, Semarang cet: 3 Semarang edisi •   Abu Al-Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rusydi Al-Qorthoby Al-Andalus, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Daar Al-Fikr.
•    Al-Asqallany, Subul al-Salam.
•    Imam al-Bukhary, Kitab Shahih Bukhary.
•    Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar