PENDAHULUAN
Adakah system politik dalam Islam? Pertanyaan ini barangkali menarik untuk dikemukakan, karena hingga saat ini kalangan umat Islam sendiri terdapat perbedaan-perbedaan dalam menjawab masalah ini. System politik sendiri adalah suatu konsep yang dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kekuasaan Negara, kepada siapa pelaksanaan itu dipertanggung jawabkan.
Dalam kesampatan kali ini pemakalah akan menjelaskan beberapa teori dalam ketatanegaraan dalam Islam. Diantaranya konsep Walayah Al-Faqih, Syuro, HAM, Respon Islam tentang Demokrasi.
I. KONSEP WALAYAH AL-FAQIH
Wilayah dalam bahasa Arab berarti kedaulatan, kekuasaan, perwalian dan pengawasaan. Dalam terminology syiah, kata ini menjadi istilah kunci perumusan politik Islam, yang mengindikasikan kepemimpinan universal. Adaun faqih, secara terminologis, dari bahasa Arab yang bermakna “seseorang yang baik pemahamannya”. Berbeda dengan fahim, arif, atau alim dan kata serupa lainnya, maka faqih telah menjadi term khusus yang berkaitan dangan ilmu yurisprudensial Islam (fikih), artinya seorang faqih adalam seorang yang ahli dalam ilmu fikih, mirip dengan hakim yang berarti seorang yang ahli hukum dan tabib yang berarti ahli dalam pengobatan. Jadi, faqih adalah seorang mujtahid yang berhak mengeluarkan hokum Islam dan mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan peraturan-peraturan Islam yang sah dari sumber-sumber yang asli.
Dengan demikian wilayatul faqih secara sederhana berarti sebuah system pemerintah yang kepemimpinannya di dawah kekuasaan seorang faqih yang adil dan berkompeten dalam urusan Agama dan Dunia atas seluruh kaum Muslimin di Negara Islam yang bersumber dari kekuasaan dan kedaulatan absolut Allah atas umat manusia dan alam semesta. Dalam bentuk aplikatifnya di Iran, pemimpin tertinggi wilayah faqih ini disebut juga dengan rahbah dan wali al-amr. Konsep wilayah faqih ini, merupakan kelanjutan dari doktrin kenabian dan imammah, yang mana secra periodic dalam sejarah Syiah, kepemimpinan universal berdasarkan mandate Ilahi terbagi pada empat periode, yaitu Periode Nabian, Periode Imammah, Periode kegaiban Sughro (gaib kecil), dan Periode kegaiban Kubro (gaib besar/sempurna). Selama Imam ke 12 mengalami gaib kubra (kegaiban panjang), hingga ia muncul (zuhur) kembali pada akhir zaman, maka para ulama (faqih) dinobatkan menjadi penerus rangkaina kepemimpinan umat ini sebagai wakil Imam (naib al-Imam). Meski begituh, sebagimana para imam mengambil alih seluruh peran kepemimpinan umat dari Nabi SAW, maka para faqih juga memiliki hak dan peran yang sama dalam hal ini. Tepatnya, mereka mewakili pelaksanaan peran ini dalam Imam, yakni Imam terakhir (Muhammad al-Mahdi) yang sedang gaib. Hanya bedanya, jika para Imam mendapatkan kedudukannya dari Allah, sehingga dengan demikian maksum (terpelihara dari kesalahan), para ulama (faqih) ini memperoleh kedudukannya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya. Dan, tidak seperti Nabi dan Imam, mereka tidaklah maksum. Dalam bentuk formalnya, di Republik Islam Iran, faqih yang kedudukannya sebagi Wali faqih dipilih oleh siatu Dewan Ahli yang beranggotakan para ulama terkemuka, yang memperoleh jabatannya itu lewat pemilu Demokratis.