Pelaksanaan
demokrasi ketika diterapkan pada masyarakat Indonesia yang plural (majemuk)
meninggalkan pelajaran akan perlunya mempertimbangkan kondisi komunitas dan
masyarakat yang relatif tertinggal dari dalam berbagai aspek kehidupan, baik
sosial, pendidikan, ekonomi maupun politik.
Masyarakat
Yahukimo telah melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan caranya sendiri
(adat), yaitu pemilih memasukkan surat suara yang telah dicontreng ke dalam
“noken”, semacam kantong yang terbuat dari kain atau bahan alamiah lainnya.
Terungkap dalam persidangan
Mahkamah
Konstitusi bahwa pemilihan umum bagi masyarakat Yahukimo adalah identik dengan
pesta gembira. Pada Pemilu Legislatif, kepala suku mengumpulkan masyarakat
untuk bermusyawarah mengenai bagaimana cara melaksanakan Pemilu tersebut.
Musyawarah
memutuskan bahwa pencontrengan dilakukan oleh Kepala Suku terhadap
partai-partai yang telah disepakati, termasuk jumlah suaranya sekaligus. Sementara
itu, telah disiapkan lubang yang cukup besar yang diisi dengan batu dan ditaruh
babi serta umbi-umbian dan kayu bakar.
Setelah
babi dan umbi-umbian masak, maka mulailah rakyat berpesta ria, sementara Kepala
Suku tidak kalah sibuknya menyontreng surat suara untuk partai-partai yang
telah ditentukan berdasarkan surat suara yang dimasukkan ke dalam
kantong-kantong yang disebut “noken” tersebut.
Setelah surat surat dicontreng, kemudian
direkap dalam formulir C1. Akan tetapi, karena keterbatasan pengetahuan tentang
bagaimana merekap formulir C1, maka sampai berhari-hari formulir tersebut
dibawa kesana kemari dengan tidak diisi. Akhirnya, setelah dimintakan bantuan
oleh Pengawas Pemilu, rekapitulasi formulir C1 tersebut dapat dilakukan. Konon
pada Pemilu Presiden pun dilakukan serupa, hanya saja para pemilihnya memilih
sendiri calon Presiden dan Wakil Presiden yang suaranya dimasukkan ke dalam
“noken” sesuai dengan nomor urut pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
yang dipilih. Cara yang mereka lakukan jelas berbeda dengan cara yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10 Tahun 2008).
Alasannya, menurut Kepala Suku, Pemilu
tidak boleh meninggalkan permusuhan di antara mereka. Masyarakat Yakuhimo tidak
mau terpecah-belah karena berbedanya pilihan. Oleh sebab itu, mereka
bermusyawarah terlebih dahulu mengenai siapa atau partai mana yang akan
dipilih.
Sekalipun telah terjadi “penyimpangan”
karena tidak persis sama dengan tata cara yang telah ditentukan menurut UU 10
Tahun 2008, tetapi praktik tersebutlah yang selalu terjadi dari Pemilu ke
Pemilu sebagai bentuk perwujudan cara melaksanakan kedaulatan rakyat dari
masyarakat Yahukimo.