A. Pendahuluan
Pembangunan kesejahteraan sosial di
Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dalam sila
kelima Pancasila serta Undang-Uundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menekankan bahwa prinsip keadilan social mengamanatkan tanggung jawab
pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial[1]. Namun
demikian, amanat konstitusi tersebut belum dipraktikkan secara konsekuen, baik
pada masa Orde Baru maupun era reformasi, pembangunan kesejahteraan sosial baru
sebatas wacana dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Pembangunan dalam bidang sosial ekonomi
sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional yang mendapat perhatian
cukup memadai dari pemerintah sehingga dari waktu ke waktu pembangunan bidang
sosial ekonomi mengalami banyak kemajuan yang pada gilirannya diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian pada gilirannya pula
kesejahteraan tersebut dapat dijangkau dan dapat dinikmati secara adil,
berkelanjutan, merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu bentuk
pembangunan sosial ekonomi menjadi dinamika tersendiri dalam pembangunan
nasional bangsa Indonesia karena dalam praktiknya masih banyak mengalami tantangan
dan tuntutan yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan Sistem
Jaminan Sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, utamanya seperti dimaksud dalam Pasal 28H ayat
(3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34
ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
matabat kemanusiaan”.
Lebih lanjut Sistem Jaminan Sosial juga
diatur dan dijamin dalam deklarasi umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak
Asasi Manusia yang dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, dan juga
ditegaskan dalam konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor
102 Tahun 1952 yang pada intinya menganjurkan semua negara untuk memberikan
perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Selanjutnya, Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam TAP MPR Nomor X/MPR/2001 menugaskan kepada
Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka
memberikan perlindungan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia yang menyeluruh dan
terpadu dan sebagai tindak lanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 20
Tahun 2002 tentang pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. SJSN pada
dasarnya merupakan program pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian atas
perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melalui program SJSN diharapkan setiap
penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak yang sewaktu-waktu
dapat hilang atau berkurang antara lain karena berkurangnya pendapatan, karena
menderita sakit, mengalami kecelakaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK),
habis masa bekerja (pensiun) maupun karena memasuki usia lanjut. SJSN seperti
yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip-prinsip[2]:
- Prinsip kegotong-royongan, prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong-royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat, peserta yang beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Prinsip nirlaba, bahwa pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan bagi badan penyelenggara jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesarbesarnya kepentingan peserta.
- Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas, prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pegelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan dari hasil pengembangannya.
- Prinsip kehati-hatian, pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib.
- Prinsip akuntabilitas, pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
- Prinsip Portabilitas, bahwa jaminan sosial yang dimaksud untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal, tetapi masih dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertambah majunya pertumbuhan ekonomi lebih lancarnya transportasi nusantara dan meluasnya usaha-usaha pemerintah maupun sektor swasta di seluruh nusantara menyebabkan penduduk akan lebih sering berpindah-pindah.
- Prinsip kepesertaan yang bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta walaupun dalam penerapannya tetap menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Peserta dimulai dari pekerja pada sektor formal dan pekerja pada sektor informal yang dapat menjadi peserta acara sukarela.
- Prinsip dana amanat, bahwa dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
- Prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial nasional bahwa hasil berupa deviden dari para pemegang saham dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Dengan demikian tampak jelas bahwa
dengan hadirnya Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional dimaksudkan untuk memberikan jaminan dasar yang layak bagi
seluruh masyarakat karena itu menjadi kewajiban konstitusional pemerintah terhadap
rakyatnya yang harus dikelola langsung oleh pemerintah agar terciptanya suatu
pemerataan dan keadilan di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Konsep
Negara Hukum
Negara hukum lahir sebagai hasil
perjuangan konstitusionalisme terhadap sistem kekuasaan yang absolut. Negara
Hukum dalam kepustakaan Indonesia sering diterjemahkan rechtsstaat atau the
rule of law. Paham rechtsstaat mulai populer di Eropah sejak
Abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada[3]. Sedangkan
paham the rule of law populer setelah diterbitkan buku Albert Venn
Dicey pada tahun 1885, dengan judul Introduction to Study of the Law of
the Constitution[4].
Paham rechtsstaat lahir karena menentang absolutisme, yang sifatnya
revolusioner, dan bertumpu pada sistem hukum continental yang disebut civil
law.
Walaupun demikian, perbedaan keduanya
dalam perkembangannya tidak dipersoalkan lagi karena mengarah pada tujuan yang
sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia[5]. Dalam
karyanya tersebut di atas, Albert Venn Dicey mengemukakan tiga unsur
utama negara hukum (the rule of law), yaitu, (a) supremacy of law;
(b) equality before the law; dan (c) constitution based on individual
rights[6].
Meskipun ada perbedaan latar belakang paham rechtsstaat dan the rule
of law, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran istilah Negara hukum
atau dalam istilah UUD 1945 “negara berdasarkan atas hukum” tidak
lepas dari pengaruh kedua konsep tersebut[7]. Konsep
negara hokum atau negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat atau the rule
of law), yang mengandung prinsip-prinsip asas legalitas, asas pemisahan (pembagian)
kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, semuanya itu bertujuan
untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan bertindak
sewenang-wenang atau penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam negara berkedaulatan rakyat dan berdasarkan
hukum (negara hukum demokratis)[8],
terkandung pengertian bahwa kekuasaan dibatasi oleh hukum dan sekaligus pula menyatakan
bahwa hukum adalah supreme dibanding semua alat kekuasaan yang ada[9].
Dengan kata lain, negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah
kekuasaan hukum[10],
tidak dengan kekuasaan sewenang-wenang. Dalam perkembangan selanjutnya, sistem
kapitalisme dalam bidang perekonomian secara perlahan-lahan menyebabkan
terjadinya kepincangan-kepincangan dalam pembagian sumber-sumber kemakmuran
bersama[11].
Akibatnya, terjadi proses kemiskinan yang sulit dipecahkan.
Hal ini menimbulkan munculnya suatu
pemikiran baru, yang menghendaki agar keterlibatan negara untuk mengatasi kepincangan-kepincangan
yang ada dihidupkan kembali. Negara dianggap tidak dapat melepaskan tanggung
jawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara perlu campur
tangan untuk mengatur agar sumber-sumber kemakmuran tidak dikuasai oleh segelintir
orang[12]. Sehingga
untuk itu, pada permulaan abad ke- 20 peran negara sebagai penjaga malam (nachwachterstaat),
berubah menjadi negara kesejahteraan (welvaart staat atau welfare state).
Pada mulanya paham ini lebih dipelopori
oleh aliran sosialisme yang menentang paham individualisme, liberalism, dan
kapitalisme. Konsep welfare state berkembang di negara-negara Eropa,
bahkan meluas hampir ke seluruh negara-negara di dunia. Pengertian konsep welfare
state secara umum sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-XIV dan XV,
dimulai dari proses perkembangan politzei staat (welfare state klasik),
liberale staat, kemudian welfare state modern (akhir abad ke- XIX
dan XX). Selanjutnya, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Negara hukum adalah negara yang di dalam
penyelenggaraannyaberdasarkan pada hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan
oleh penguasa, sedangkan dalam arti material adalah negara juga turut serta secara
aktif untuk kesejahteraan rakyatnya (welfare state)[13], atau
dikenal dengan nama negara kesejahteraan yang kemudian dikenal dengan nama verzorgingsstaat,
atau disebutnya sociale rechtsstaat (Negara hukum sosial).
Dalam pengertian modern, pemerintah
dituntut untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyatnya. Persamaan di muka hukum, perlindungan hukum, dan asas legalitas
bertujuan untuk menghindarkan negara atau pemerintah bertindak sewenang-wenang.
Perbuatan atau tindakan negara atau pemerintah tidak boleh melampaui atau
melanggar hak asasi, tidak boleh menyebabkan seseorang atau sekelompok orang
tidak mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya, tidak boleh
membedabedakan orang karena alas an-alasan yang tidak sah dan semua perbuatan
atau tindakan-tindakan pemerintah harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang
berlaku. Konsep kerakyatan tidak dapat dipisahkan dari konsep negara hukum.
Begitu pula sebaliknya sehingga suatu negara semacam ini disebut “Negara hukum
demokratis”[14].
C. Jaminan
Sosial Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
Filosofi jaminan sosial sebagaimana
dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) berakar pada sistem kapitalisme karena jaminan sosial diterjemahkan sebagai
strategi penyediaan cadangan dana mengatasi resiko ekonomi yang timbul secara
sistemik dalam siklus ekonomi kapitalisme (krisis)[15].
Sejarah pembentukan sistem jaminan
sosial mengacu pada kaidah internasional dimasukkan dalam hukum nasional
melalui amandemen terhadap UUD 1945, dengan memasukkan kata jaminan sosial
sebagai metode yang harus dikembangkan oleh negara pasca krisis ekonomi Indonesia.
Dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermartabat”, kemudian Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negera Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan “Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pelaksanaan kedua pasal tersebut
dapat memenuhi amanat Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 34 ayat (1) berbunyi
“Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”. Pasalpasal inilah yang
secara material menjadi alasan konstitusional di bidang Jaminan Sosial, yang
menegaskan bahwa jaminan sosial (social security) merupakan “hak”
(right) bukan merupakan “hak istimewa” (privilege), karena[16]: “Privilege
is a particular benefit or advantage enjoyed by a person, company,or class
beyond the common advantages of other citizen. An exceptional or
extraordinary power or exemptions. A peculiar right, advantage,
exception, power, franchise, or immunity held by a person or class, not
generally possessed by others”.
Konsep ini diakomodasi dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Pasal 14 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan
“Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”. Kemudian Pasal 14 ayat (2) berbunyi
“Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin
dan orang tidak mampu”. Kemudian Pasal 17 ayat (4) menyebutkan bahwa “Iuran
program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar
oleh Pemerintah”.
Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa
“Asuransi kesejahteraan sosial diselenggarakan untuk melindungi warga Negara yang
tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf
kesejahteraan sosialnya”. Ayat selanjutnya menyatakan “Asuransi kesejahteraan
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk bantuan iuran
oleh Pemerintah”. Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa urusan sosial masuk dalam
urusan Pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apabila diteliti lebih lanjut,
sebenarnya Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional ini justru mendasari pemikirannya berdasarkan Pasal 34 ayat (3) hasil
amandemen yang ditambahkan (fasilitas) “sosial” dan “lainnya” untuk lebih
menegaskan unsur-unsur yang menjadi tanggung jawab negara, bukan pada Pasal 34
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan ini didasarkan kepada
kebutuhan meningkatkan jaminan konstitusional yang mengatur kewajiban negara di
bidang kesejahteraan sosial. Adanya ketentuan mengenai kesejahteraan sosial
yang jauh lebih lengkap dibanding sebelum perubahan, merupakan bagian upaya mewujudkan
Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) sehingga rakyat
dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Di dalam rumusan
tersebut terkandung maksud untuk lebih mendekatkan gagasan negara kesejahteraan
dalam Pembukaan Undang Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 ke dalam realita.
Selanjutnya, negara Indonesia menganut
paham sebagai Negara kesejahteraan[17],
berarti terdapat tanggung jawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara di
berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public
services) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan
oleh masyarakat.
Konsep jaminan sosial[18]
dalam arti luas meliputi setiap usaha di bidang kesejahteraan sosial untuk meningkatkan
taraf hidup manusia dalam mengatasi keterbelakangan, ketergantungan,
ketelantaran, dan kemiskinan. Konsep ini belum dapat diterapkan secara optimal
di Indonesia, karena keterbatasan pemerintah di bidang pembiayaan dan sifat ego
sektoral dari beberapa pihak yang berkepentingan dalam jaminan sosial. Konsep
negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara
pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social
services), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan
ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial
sebagai haknya.
Sebagaimana diketahui, sampai saat ini
SJSN belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Permasalahan
yang mengemuka selama ini adalah tidak adanya validitas data masyarakat di
Indonesia, contohnya terdapat perbedaan data masyarakat miskin versi Badan Pusat
Statistik (BPS) dengan Pemerintah Daerah (Pemda) sehingga berdampak pada ketidakakuratan
data kepesertaan penerima jaminan sosial itu sendiri dan berpotensi melanggar
hak-hak setiap warga negara untuk mendapatkan jaminan sosial yang diamanatkan
dalam konstitusi.
D. Tanggung
Jawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara
yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam
amandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun
pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan,
konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap
penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia[19].
Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat
dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan,
yang tampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak
yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human
Rights 1948[20].
Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip
konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state
responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang
menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hokum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.” Keduanya, merupakan kunci dalam melihat
tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini
pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia[21].
SJSN merupakan program negara yang
bertujuan memberikan kepastian perlindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan
social bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor X/MPR/2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan
sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat
yang lebih menyeluruh dan terpadu[22].
E. Kesimpulan
Kegiatan operasional jaminan sosial
berbasis hukum bilangan besar dan hal itu akan efektif apabila
penyelenggaraannya dilakukan tidak secara parsial. Penyelenggaraan jaminan
sosial yang terintegrasi diharapkan dapat menjamin terciptanya suatu mekanisme
yang efektif dan efisien sehingga mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Secara
universal, penyelenggaraan sistem jaminan sosial pada prinsipnya merupakan
tanggung jawab Pemerintah Pusat dengan dalil suatu penyelenggaraan untuk satu
negara karena jaminan social sebagai supra sistem untuk pengikat berdirinya
sebuah negara.
Daftar
Pustaka
Ø
Hamid S. Attamimi, Teori
Perundang-undangan Indonesia (Suatu sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan
Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman), Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1992.
Ø
Azhari, Negara Hukum Indonesia
Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsurunsurnya, Jakarta: UI Press, 1997.
Ø
Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1982.
Ø
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa
Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1993.
Ø
Bagir Manan, Pengujian Yustisial
Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia, makalah
Dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Atmanjaya, Yogyakarta, 1994.
Ø
Hafiz Habibur Rahman, Political Science
and Government, Eighth Enlarged Edition, Dacca: Lutfor Rahman Jatia Mudran
109, Hrishikesh Das Road, 1971.
Ø
Henry Champbell Black, Black Law
Dictionary with Pronounciations, Edisi VI, USA: West Publishing, 1990.
Ø
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan
Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet. I, Jakarta:
PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Ø
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum,
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Ø
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di
Indonesia, Jakarta: In-Hill Co, 1989.
Ø
Philipus M. Hadjon, Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya,
Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan peradilan Umum dan Pembentukan
Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Ø
R. Herlambang Perdana Wiratraman, Jurnal
Ilmu Hukum YURIDIKA Vol. 20. No. I Januari 2005.
Ø
Salamuddin Daeng, Jaminan Sosial dan
Posisi Konstitusi UUD 1945, FreeTrade Watch Edisi Desember 2011.
Ø
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Ø
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Kesejahteraan Sosial.
Ø
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
[1]
Pasal 27
ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. 28H ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan social
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat. Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara, ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan, ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, dan ayat
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
[2] Pasal 4, Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
[3]
Philipus
M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang
Prinsipprinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan peradilan Umum
dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, ,
1987), hlm.72.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6]
Azhari, Negara
Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, (Jakarta:
UI Press, 1997), hlm. 39.
[7]
Ahli-ahli
hukum lain juga menekankan bahwa konsep negara hukum bertujuan untuk
perlindungan hak asasi manusia, ahli hukum tersebut diantaranya : Immanuel Kant
dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der rechtslehre,
mengemukakan konsep negara hukum liberal. Kant mengemukakan paham negara hukum
dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat,
hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara
diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan
keamanan masyarakat. Paham Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwakerstaat atau
nachtwachterstaat. Lihat dalam Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 73-74. Selanjutnya, Frederich Julius Stahl
dalam bukunya Philosophie des Rechts yang menganut paham negara
hukum kesejahteraan dan kemakmuran (welvaarstaat dan verzorgingstaat)
menyebutkan bahwa unsur-unsur utama dari negara hukum adalah, (a) Mengakui dan
melindungi hak-hak asasi manusia; (b) Penyelenggaraan negara harus berdasrkan pada
teori trias politika; (c) Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah harus
berdasarkan Undang-Undang (wetmatigbestuur); dan (d) Adanya peradilan
administrasi negara. Lihat dalam, Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di
Indonesia, (Jakarta : In-Hill Co, 1989), hlm. 151.
[8]
Bagir
Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1993), hlm. 128. 9
[9]
Bagir
Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan
Administrasi Negara di Indonesia, makalah Dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum
Universitas Atmanjaya, Yogyakarta, 1994, hlm.8.
[10]
A. Hamid
S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia (Suatu sisi Ilmu Pengetahuan
Perundangundangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman),
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 8
[11]
Jimly
Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm.
222.
[12] Ibid.
[13] Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok
Hukum Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 22-23.
[14] Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa
Masalah……., Loc.Cit.
[15]
Salamuddin
Daeng, Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945, Free Trade Watch
Edisi Desember 2011.
[16]
Henry
Champbell Black, Black Law Dictionary with Pronounciations, Edisi VI,
(USA: West Publishing, 1990), hlm. 1197.
[17]
Hafiz
Habibur Rahman, Political Science and Government, Eighth Enlarged edition (Dacca:
Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road, 1971), hlm. 89. “… The
Social Welfare Theory of Rights: The advocate of the social welfare
theory hold that rights are conditions of social welfare. They are
creations of society, and therefore law, customs, traditions and the natural
rights “should all yield to what is socially useful or socially
desireble.” The ultiratians, Bentham and Mill are the real exponents of
the social welfare theory of rights. They set up the principle of the greatest
happiness of the greatest number, and made it the criterion of utility.
But, utility, they believed should be determined by consideration of
reason and experience. The social welfare theory of rights has much to commend.
But one cannot say what social welfare actually means. Does it mean the
greatest happiness of the greatest number to be common good? In fact,
much political wrong has been done, during recent time, to the individuality of
man in the name of social goods.”
[18]
Dalam
Arikel 25 Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan: “everyone
shall, ‘as a member of society’, have the right to social security. Kemudian
dilanjutkan pada ayat (1) “refers to the right to security in the event of
unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or lack of livelihood in
circumstances beyond one’s control. Kemudian dalam Artikel 9 International
Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights provides for the right of
everyone to ‘social security, including social insurance’. Kemudian dalam
Artikel 10 disebutkan, which deals with protection of the family, mentions
social security benefits during
maternity
leave. The Brief text of Article 9 of the International Convenant on Economic
Social, and Cultural Rights must be seen againts the background of the much
more developed ILO standards. The principal ILO instrument in the field of
social security is the Social Security (Minimum Standards) Convention of 1952.
This menu type Convention is stuctured around nine specific branches of social
security: (1) medical care, (2) sickness benefit, (3) unemployment benefit, (4)
old-age benefit, (5) employment injury benefit, (6) family benefit, (7)
maternity benefit, (8) invalidity benefit, (9) survivor’s benefit.
[19]
R.Herlambang
Perdana Wiratraman, Jurnal Ilmu Hukum YURIDIKA Vol. 20, No. I Januari 2005,
hlm. 9.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22]
Lihat juga
dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar