Sabtu, 29 Desember 2012

Tanggung Jawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial

A. Pendahuluan
Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dalam sila kelima Pancasila serta Undang-Uundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menekankan bahwa prinsip keadilan social mengamanatkan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial[1]. Namun demikian, amanat konstitusi tersebut belum dipraktikkan secara konsekuen, baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas wacana dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Pembangunan dalam bidang sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional yang mendapat perhatian cukup memadai dari pemerintah sehingga dari waktu ke waktu pembangunan bidang sosial ekonomi mengalami banyak kemajuan yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian pada gilirannya pula kesejahteraan tersebut dapat dijangkau dan dapat dinikmati secara adil, berkelanjutan, merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu bentuk pembangunan sosial ekonomi menjadi dinamika tersendiri dalam pembangunan nasional bangsa Indonesia karena dalam praktiknya masih banyak mengalami tantangan dan tuntutan yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, utamanya seperti dimaksud dalam Pasal 28H ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan matabat kemanusiaan”.
Lebih lanjut Sistem Jaminan Sosial juga diatur dan dijamin dalam deklarasi umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, dan juga ditegaskan dalam konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor 102 Tahun 1952 yang pada intinya menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Selanjutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam TAP MPR Nomor X/MPR/2001 menugaskan kepada Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia yang menyeluruh dan terpadu dan sebagai tindak lanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2002 tentang pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. SJSN pada dasarnya merupakan program pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian atas perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melalui program SJSN diharapkan setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak yang sewaktu-waktu dapat hilang atau berkurang antara lain karena berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), habis masa bekerja (pensiun) maupun karena memasuki usia lanjut. SJSN seperti yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip-prinsip[2]:
  1. Prinsip kegotong-royongan, prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong-royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat, peserta yang beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
  2. Prinsip nirlaba, bahwa pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan bagi badan penyelenggara jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesarbesarnya kepentingan peserta. 
  3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas, prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pegelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan dari hasil pengembangannya. 
  4. Prinsip kehati-hatian, pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib. 
  5. Prinsip akuntabilitas, pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 
  6. Prinsip Portabilitas, bahwa jaminan sosial yang dimaksud untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal, tetapi masih dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertambah majunya pertumbuhan ekonomi lebih lancarnya transportasi nusantara dan meluasnya usaha-usaha pemerintah maupun sektor swasta di seluruh nusantara menyebabkan penduduk akan lebih sering berpindah-pindah. 
  7. Prinsip kepesertaan yang bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta walaupun dalam penerapannya tetap menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Peserta dimulai dari pekerja pada sektor formal dan pekerja pada sektor informal yang dapat menjadi peserta acara sukarela. 
  8. Prinsip dana amanat, bahwa dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. 
  9. Prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial nasional bahwa hasil berupa deviden dari para pemegang saham dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Dengan demikian tampak jelas bahwa dengan hadirnya Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dimaksudkan untuk memberikan jaminan dasar yang layak bagi seluruh masyarakat karena itu menjadi kewajiban konstitusional pemerintah terhadap rakyatnya yang harus dikelola langsung oleh pemerintah agar terciptanya suatu pemerataan dan keadilan di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Konsep Negara Hukum
Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan konstitusionalisme terhadap sistem kekuasaan yang absolut. Negara Hukum dalam kepustakaan Indonesia sering diterjemahkan rechtsstaat atau the rule of law. Paham rechtsstaat mulai populer di Eropah sejak Abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada[3]. Sedangkan paham the rule of law populer setelah diterbitkan buku Albert Venn Dicey pada tahun 1885, dengan judul Introduction to Study of the Law of the Constitution[4]. Paham rechtsstaat lahir karena menentang absolutisme, yang sifatnya revolusioner, dan bertumpu pada sistem hukum continental yang disebut civil law.
Walaupun demikian, perbedaan keduanya dalam perkembangannya tidak dipersoalkan lagi karena mengarah pada tujuan yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia[5]. Dalam karyanya tersebut di atas, Albert Venn Dicey mengemukakan tiga unsur utama negara hukum (the rule of law), yaitu, (a) supremacy of law; (b) equality before the law; dan (c) constitution based on individual rights[6]. Meskipun ada perbedaan latar belakang paham rechtsstaat dan the rule of law, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran istilah Negara hukum atau dalam istilah UUD 1945 negara berdasarkan atas hukum tidak lepas dari pengaruh kedua konsep tersebut[7]. Konsep negara hokum atau negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat atau the rule of law), yang mengandung prinsip-prinsip asas legalitas, asas pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, semuanya itu bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan bertindak sewenang-wenang atau penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam negara berkedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum (negara hukum demokratis)[8], terkandung pengertian bahwa kekuasaan dibatasi oleh hukum dan sekaligus pula menyatakan bahwa hukum adalah supreme dibanding semua alat kekuasaan yang ada[9]. Dengan kata lain, negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum[10], tidak dengan kekuasaan sewenang-wenang. Dalam perkembangan selanjutnya, sistem kapitalisme dalam bidang perekonomian secara perlahan-lahan menyebabkan terjadinya kepincangan-kepincangan dalam pembagian sumber-sumber kemakmuran bersama[11]. Akibatnya, terjadi proses kemiskinan yang sulit dipecahkan.
Hal ini menimbulkan munculnya suatu pemikiran baru, yang menghendaki agar keterlibatan negara untuk mengatasi kepincangan-kepincangan yang ada dihidupkan kembali. Negara dianggap tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara perlu campur tangan untuk mengatur agar sumber-sumber kemakmuran tidak dikuasai oleh segelintir orang[12]. Sehingga untuk itu, pada permulaan abad ke- 20 peran negara sebagai penjaga malam (nachwachterstaat), berubah menjadi negara kesejahteraan (welvaart staat atau welfare state).
Pada mulanya paham ini lebih dipelopori oleh aliran sosialisme yang menentang paham individualisme, liberalism, dan kapitalisme. Konsep welfare state berkembang di negara-negara Eropa, bahkan meluas hampir ke seluruh negara-negara di dunia. Pengertian konsep welfare state secara umum sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-XIV dan XV, dimulai dari proses perkembangan politzei staat (welfare state klasik), liberale staat, kemudian welfare state modern (akhir abad ke- XIX dan XX). Selanjutnya, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Negara hukum adalah negara yang di dalam penyelenggaraannyaberdasarkan pada hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa, sedangkan dalam arti material adalah negara juga turut serta secara aktif untuk kesejahteraan rakyatnya (welfare state)[13], atau dikenal dengan nama negara kesejahteraan yang kemudian dikenal dengan nama verzorgingsstaat, atau disebutnya sociale rechtsstaat (Negara hukum sosial).
Dalam pengertian modern, pemerintah dituntut untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Persamaan di muka hukum, perlindungan hukum, dan asas legalitas bertujuan untuk menghindarkan negara atau pemerintah bertindak sewenang-wenang. Perbuatan atau tindakan negara atau pemerintah tidak boleh melampaui atau melanggar hak asasi, tidak boleh menyebabkan seseorang atau sekelompok orang tidak mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya, tidak boleh membedabedakan orang karena alas an-alasan yang tidak sah dan semua perbuatan atau tindakan-tindakan pemerintah harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Konsep kerakyatan tidak dapat dipisahkan dari konsep negara hukum. Begitu pula sebaliknya sehingga suatu negara semacam ini disebut “Negara hukum demokratis”[14].

C. Jaminan Sosial Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Filosofi jaminan sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berakar pada sistem kapitalisme karena jaminan sosial diterjemahkan sebagai strategi penyediaan cadangan dana mengatasi resiko ekonomi yang timbul secara sistemik dalam siklus ekonomi kapitalisme (krisis)[15].
Sejarah pembentukan sistem jaminan sosial mengacu pada kaidah internasional dimasukkan dalam hukum nasional melalui amandemen terhadap UUD 1945, dengan memasukkan kata jaminan sosial sebagai metode yang harus dikembangkan oleh negara pasca krisis ekonomi Indonesia. Dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”, kemudian Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pelaksanaan kedua pasal tersebut dapat memenuhi amanat Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 34 ayat (1) berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”. Pasalpasal inilah yang secara material menjadi alasan konstitusional di bidang Jaminan Sosial, yang menegaskan bahwa jaminan sosial (social security) merupakan “hak” (right) bukan merupakan “hak istimewa” (privilege), karena[16]: “Privilege is a particular benefit or advantage enjoyed by a person, company,or class beyond the common advantages of other citizen. An exceptional or extraordinary power or exemptions. A peculiar right, advantage, exception, power, franchise, or immunity held by a person or class, not generally possessed by others”.
Konsep ini diakomodasi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Pasal 14 ayat (1) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan “Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”. Kemudian Pasal 14 ayat (2) berbunyi “Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu”. Kemudian Pasal 17 ayat (4) menyebutkan bahwa “Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah”.
Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa “Asuransi kesejahteraan sosial diselenggarakan untuk melindungi warga Negara yang tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya”. Ayat selanjutnya menyatakan “Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh Pemerintah”. Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa urusan sosial masuk dalam urusan Pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apabila diteliti lebih lanjut, sebenarnya Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ini justru mendasari pemikirannya berdasarkan Pasal 34 ayat (3) hasil amandemen yang ditambahkan (fasilitas) “sosial” dan “lainnya” untuk lebih menegaskan unsur-unsur yang menjadi tanggung jawab negara, bukan pada Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan ini didasarkan kepada kebutuhan meningkatkan jaminan konstitusional yang mengatur kewajiban negara di bidang kesejahteraan sosial. Adanya ketentuan mengenai kesejahteraan sosial yang jauh lebih lengkap dibanding sebelum perubahan, merupakan bagian upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Di dalam rumusan tersebut terkandung maksud untuk lebih mendekatkan gagasan negara kesejahteraan dalam Pembukaan Undang Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam realita.
Selanjutnya, negara Indonesia menganut paham sebagai Negara kesejahteraan[17], berarti terdapat tanggung jawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.
Konsep jaminan sosial[18] dalam arti luas meliputi setiap usaha di bidang kesejahteraan sosial untuk meningkatkan taraf hidup manusia dalam mengatasi keterbelakangan, ketergantungan, ketelantaran, dan kemiskinan. Konsep ini belum dapat diterapkan secara optimal di Indonesia, karena keterbatasan pemerintah di bidang pembiayaan dan sifat ego sektoral dari beberapa pihak yang berkepentingan dalam jaminan sosial. Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.
Sebagaimana diketahui, sampai saat ini SJSN belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Permasalahan yang mengemuka selama ini adalah tidak adanya validitas data masyarakat di Indonesia, contohnya terdapat perbedaan data masyarakat miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Pemerintah Daerah (Pemda) sehingga berdampak pada ketidakakuratan data kepesertaan penerima jaminan sosial itu sendiri dan berpotensi melanggar hak-hak setiap warga negara untuk mendapatkan jaminan sosial yang diamanatkan dalam konstitusi.

D. Tanggung Jawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial
Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran kehidupan negara dan bangsa Indonesia[19]. Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang tampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights 1948[20].
Di dalam UUD 1945 tersebut, terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hokum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia[21].
SJSN merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu[22].

E. Kesimpulan
Kegiatan operasional jaminan sosial berbasis hukum bilangan besar dan hal itu akan efektif apabila penyelenggaraannya dilakukan tidak secara parsial. Penyelenggaraan jaminan sosial yang terintegrasi diharapkan dapat menjamin terciptanya suatu mekanisme yang efektif dan efisien sehingga mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Secara universal, penyelenggaraan sistem jaminan sosial pada prinsipnya merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dengan dalil suatu penyelenggaraan untuk satu negara karena jaminan social sebagai supra sistem untuk pengikat berdirinya sebuah negara.

Daftar Pustaka
Ø    Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia (Suatu sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1992.
Ø    Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsurunsurnya, Jakarta: UI Press, 1997.
Ø    Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1982.
Ø    Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1993.
Ø    Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia, makalah Dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Atmanjaya, Yogyakarta, 1994.
Ø    Hafiz Habibur Rahman, Political Science and Government, Eighth Enlarged Edition, Dacca: Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road, 1971.
Ø    Henry Champbell Black, Black Law Dictionary with Pronounciations, Edisi VI, USA: West Publishing, 1990.
Ø    Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet. I, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Ø    Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Ø    Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: In-Hill Co, 1989.
Ø    Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Ø    R. Herlambang Perdana Wiratraman, Jurnal Ilmu Hukum YURIDIKA Vol. 20. No. I Januari 2005.
Ø    Salamuddin Daeng, Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945, FreeTrade Watch Edisi Desember 2011.
Ø    Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Ø    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kesejahteraan Sosial.
Ø    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.



[1] Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 28H ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, dan ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
[2] Pasal 4, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
[3] Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsipprinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, , 1987), hlm.72.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, (Jakarta: UI Press, 1997), hlm. 39.
[7] Ahli-ahli hukum lain juga menekankan bahwa konsep negara hukum bertujuan untuk perlindungan hak asasi manusia, ahli hukum tersebut diantaranya : Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der rechtslehre, mengemukakan konsep negara hukum liberal. Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwakerstaat atau nachtwachterstaat. Lihat dalam Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 73-74. Selanjutnya, Frederich Julius Stahl dalam bukunya Philosophie des Rechts yang menganut paham negara hukum kesejahteraan dan kemakmuran (welvaarstaat dan verzorgingstaat) menyebutkan bahwa unsur-unsur utama dari negara hukum adalah, (a) Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia; (b) Penyelenggaraan negara harus berdasrkan pada teori trias politika; (c) Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang (wetmatigbestuur); dan (d) Adanya peradilan administrasi negara. Lihat dalam, Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta : In-Hill Co, 1989), hlm. 151.
[8] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 128. 9
[9] Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia, makalah Dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Atmanjaya, Yogyakarta, 1994, hlm.8.
[10] A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia (Suatu sisi Ilmu Pengetahuan Perundangundangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 8
[11] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 222.
[12] Ibid.
[13] Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 22-23.
[14] Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah……., Loc.Cit.
[15] Salamuddin Daeng, Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945, Free Trade Watch Edisi Desember 2011.
[16] Henry Champbell Black, Black Law Dictionary with Pronounciations, Edisi VI, (USA: West Publishing, 1990), hlm. 1197.
[17] Hafiz Habibur Rahman, Political Science and Government, Eighth Enlarged edition (Dacca: Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road, 1971), hlm. 89. “… The Social Welfare Theory of Rights: The advocate of the social welfare theory hold that rights are conditions of social welfare. They are creations of society, and therefore law, customs, traditions and the natural rights “should all yield to what is socially useful or socially desireble.” The ultiratians, Bentham and Mill are the real exponents of the social welfare theory of rights. They set up the principle of the greatest happiness of the greatest number, and made it the criterion of utility. But, utility, they believed should be determined by consideration of reason and experience. The social welfare theory of rights has much to commend. But one cannot say what social welfare actually means. Does it mean the greatest happiness of the greatest number to be common good? In fact, much political wrong has been done, during recent time, to the individuality of man in the name of social goods.”
[18] Dalam Arikel 25 Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan: “everyone shall, ‘as a member of society’, have the right to social security. Kemudian dilanjutkan pada ayat (1) “refers to the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or lack of livelihood in circumstances beyond one’s control. Kemudian dalam Artikel 9 International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights provides for the right of everyone to ‘social security, including social insurance’. Kemudian dalam Artikel 10 disebutkan, which deals with protection of the family, mentions social security benefits during maternity leave. The Brief text of Article 9 of the International Convenant on Economic Social, and Cultural Rights must be seen againts the background of the much more developed ILO standards. The principal ILO instrument in the field of social security is the Social Security (Minimum Standards) Convention of 1952. This menu type Convention is stuctured around nine specific branches of social security: (1) medical care, (2) sickness benefit, (3) unemployment benefit, (4) old-age benefit, (5) employment injury benefit, (6) family benefit, (7) maternity benefit, (8) invalidity benefit, (9) survivor’s benefit.
[19] R.Herlambang Perdana Wiratraman, Jurnal Ilmu Hukum YURIDIKA Vol. 20, No. I Januari 2005, hlm. 9.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Lihat juga dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar