Kamis, 20 Desember 2012

Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme Indonesia



“Pada zaman dimana semua komunitas masyarakat adat tergabung dalam institusi negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa mereka harus menegosiasikan bahkan memperjuangkan hak atas wilayah hidup mereka diantara berbagai kategori hak yang dibuat oleh negara.”
1.      Pengantar
Eddie Riyadi Terre[1] menyebutkan ada tiga persoalan mendasar yang dialami oleh masyarakat adat (indigenous peoples): Pertama, masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah dimana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupan; Kedua, masalah self-determination yang sering menjadi berbias politik dan sekarang masih menjadi perdebatan sengit; dan Ketiga, masalah identification, yaitu siapakah yang dimaksud dengan masyarakat adat, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat bukan adat/asli/pribumi (non-indigenous peoples ).
Tulisan ini mencoba membahas persoalan pertama yaitu soal hubungan masyarakat adat dengan wilayah dimana mereka hidup dan mendapatkan penghidupan. Dalam beberapa literature di Indonesia, hubungan tersebut disebut hak ulayat[2]. Hak ulayat dalam tulisan ini dilihat dari dua sudut pandang. Pertama pendekatan hak asasi manusia yang melihat hak ulayat sebagai hak asasi masyarakat adat atas wilayah kehidupan mereka. Kedua pendekatan konstitusionalisme yang melihat hak ulayat sebagai hak konstitusional masyarakat adat dalam setiap rumusan undang-undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia

2.      Istilah Masyarakat Adat
Saat ini perdebatan tentang peristilahan “masyarakat adat” masih berlangsung. Dokumen internasional seperti Konvensi ILO 169 membedakannya dalam dua kategori, yaitu indigenous peoples dan tribal peoples. Sandra Moniaga dan Stephanus Djuweng[3] mengusulkan penerjemahannya dua istilah tersebut sebagai berikut: indigenous peoples diterjemahkan menjadi “bangsa pribumi” dan tribal peoples diterjemahkan menjadi “masyarakat adat”. Istilah masyarakat adat lebih dekat dengan tribal peoples daripada indigenous peoples. Namun berbagai diskursus dan dokumen HAM internasional setelah Konvensi ILO 169 lebih banyak menggunakan istilah indigenous peoples dari pada tribal peoples dan istilah indigenous peoples dipakai untuk menunjuk kedua-duanya.
Dalam dokumen hukum di Indonesia lebih banyak digunakan istilah “Masyarakat Hukum Adat” daripada “Masyarakat Adat”. Istilah masyarakat hukum adat lahir dari bentuk kategori pengelompokkan masyarakat yang diajarkan oleh pemikir hukum adat seperti Van Vallenhoven dan Ter Haar. Kategori kelompok sosial itu yang kemudian dikenal dengan bentuk masyarakat hukum (rechtsgemeenchappen) adalah masyarakat yang seluruh anggota komunitasnya terikat sebagai satu kesatuan oleh hukum yang dipakai, yaitu hukum adat. Bahkan Van Vallenhoven[4] membagi wilayah di Indonesia (Nederlandsh Indie dahulu) ke dalam 19 (sembilan belas) lingkaran hukum (rechtskringen) yang setiap lingkar hukum dapat dibagi lagi ke dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgouwen). Jelas sekali bahwa pakar hukum adat dari Belanda menekankan pengategorian masyarakat adat berdasarkan hukum. Bahkan selain membagi berdasarkan teritori, hukum adat juga dibagi berdasarkan lapangan-lapangan yang berkembang dalam hukum barat, misalkan hukum waris adat, hukum tanah adat, hukum adat mengenai tata negara, hukum hutang-piutang, hukum delik adat dan bidang hukum lainnya.
Istilah masyarakat hukum adat juga mengandung kerancuan antara “masyarakat-hukum adat” dengan “masyarakat hukum-adat”. Yang satu menekankan kepada masyarakat-hukum dan yang lain menekankan kepada hukum adat. Pada pihak lain, kalangan yang keberatan dengan penggunaan istilah “masyarakat hukum adat” berargumen bahwa “masyarakat hukum adat” hanya mereduksi masyarakat adat dalam satu dimensi saja, yaitu hukum, sedangkan masyarakat adat tidak saja tergantung pada dimensi hukum, melainkan juga dimensi yang lainnya seperti sosial, politik, budaya, agama, ekonomi dan ekologi.
Sedangkan Departemen Sosial menggunakan istilah “masyarakat terasing” atau “masyarakat suku terasing” yang kemudian diganti dengan istilah “komunitas adat terpencil” untuk menyebut masyarakat adat[5]. Tulisan ini menghindari perdebatan lebih jauh tentang definisi yang ada dengan memilih menggunakan istilah “Masyarakat Adat” karena istilah masyarakat adat yang paling umum dipakai oleh komunitas untuk menyebut komunitasnya setelah menyebutkan nama khas komunitas mereka seperti Orang Dayak, Urang Kanekes (Masyarakat Baduy), Orang Dani, Orang Amungme, Orang Kaili dan lainnya. Dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pertama tahun 1999, Masyarakat Adat diartikan sebagai berikut:
”Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.”
3.      Hak Ulayat sebagai Hak Asasi Manusia  
Pengemban hak ulayat adalah masyarakat adat yang sering juga disebut indigenous peoples atau penduduk asli. Menurut James Anaya[6], mereka disebut indigenous karena akar turun temurun kehidupan mereka menjadi satu kesatuan tak terpisah dengan tanah dan wilayah yang mereka huni. Mereka juga disebut peoples karena mereka merupakan komunitas yang unik dengan eksistensi dan identitas mereka yang berkelanjutan secara turun temurun, yang menghubungkan mereka dengan komunitas, suku, atau bangsa dari sejarah masa lampau. Senada dengan pandangan James Anaya, beberapa pakar hukum adat, seperti Van Dijk[7] juga menyatakan bahwa faktor yang menjadi unsur utama masyarakat adat adalah faktor genealogis dan faktor teritorial.
Faktor Genealogis secara umum dapat dilihat dari sistem pewarisan, misalkan matrilineal, patrilineal, dan parental. Faktor Teritorial menunjukkan dalam bentuk apa masyarakat adat mengorganisir diri di kampung halamannya. Bentuk-bentuk dari teritorial itu misalnya desa, nagari, marga, subak, dan bentuk lainnya.
Pada dasarnya, hubungan antara masyarakat adat dengan wilayah kehidupan mereka bukanlah hubungan ‘hak’, melainkan lebih tepat disebut sebagai hubungan ‘kewajiban’. Hal ini sesuai dengan pandangan kosmologis yang menempatkan wilayah kehidupan masyarakat adat yang terdiri dari tanah, air dan sumberdaya alam lainnya sebagai satu kesatuan dengan sistem kehidupan mereka. Sehingga memanfaatkan dan menjaga alam merupakan suatu kewajiban untuk kelangsungan kehidupan mereka sendiri. Masyarakat adat di Papua menganggap alam sebagai ‘ibu’ mereka sendiri, sehingga mereka wajib menjaganya dari kerusakan. Masyarakat Baduy di Provinsi Banten mempercayai bahwa mereka diperintahkan oleh “Adam Tunggal” untuk menjaga alam dan gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa dari kerusakan[8]. Ketika mereka menjaga alam, maka hal itu merupakan wujud dari kewajiban mereka memenuhi perintah yang maha kuasa.
Marianus Kleden[9] menyebutkan ada empat cara pandang masyarakat komunal[10] atau masyarakat adat yang menyebabkan mereka menganggap bahwa hubungan mereka dengan wilayah hidup merupakan hubungan kewajiban, tidak hanya sebagai hak.
Pertama, totalitas. Masyarakat adat tidak memandang sesuatu secara parsial melainkan dalam keseluruhan, kelengkapan dan simetri,Segala sesuatu dipandang sebagai hal yang komplementer: ada kiri ada kanan, ada wadah ada tutupan, dan begitu seterusnya. Demikian pula kalau ada hak maka ada pula kewajiban sebagai satu kesatuan, dan sebaliknya, kalau kita sudah menjalankan kewajiban, maka hak-hak kita akan dipenuhi.
Kedua, altruisme. Secara positif altruisme berarti mendahulukan kepentingan orang lain. Secara negatif altruisme berarti ketakutan menjadikan diri sebagai pusat perspektif. Dalam logika masyarakat adat: Dahulukan kepentingan orang lain maka hak-hak anda akan terpenuhi. Mendahulukan hak orang lain ini merupakan bentuk tanggungjawab dalam masyarakat adat dalam stuktur-struktur sosial yang dibangun di dalam komunitas. Misalkan tanggungjawab orang tua kepada anak, tanggungjawab mamak kepada kemenakan, tanggungjawab individu dalam mengadakan acara adat, menyumbang untuk kepentingan komunitas, tanggungjawab menjaga alam demi kepentingan bersama generasi sekarang dan untuk anak cucu.
Ketiga, panteisme. Masyarakat adat melihat keseluruhan alam semesta: laut, sungai, gunung, daratan, hutan, rumah adat, kampung halaman, sebagai satu tertib kosmik yang mengatur hidup manusia – dan karena itu pada sebagian masyarakat adat, alam semesta disamakan dengan Tuhan. Dalam tertib kosmik tersebut, wilayah kehidupan atau kampung halaman menjadi sentral dan diseru menjadi sumber perlindungan.
Keempat, kolektivitas. Sistem kekerabatan dalam masyarakat adat yang komunal tidak menciptakan iklim yang kondusif bagi seseorang untuk tampil sebagai individu yang cuek terhadap kehidupan komunal dan kepentingan kolektif. Seorang individu tidak akan terelakkan untuk berada dalam jejaring peran dan jejaring kepentingan antarwarga, yang membuat pemenuhan kebutuhan hidupnya hanya mungkin terlaksana berkat kehadiran individu lain. Sehingga pemenuhan hak seseorang individu hanya bisa dimungkinkan kalau seseorang memenuhi hak-hak warga komunitas yang lain, dan menjalankan kewajibannya sebagai anggota komunitas. Kolektivitas ini salah satunya diikat dengan kepemilikan bersama terhadap wilayah hidup atau kampung halaman.
Hubungan ini menjadi ‘hak’ ketika masyarakat adat berhubungan dengan pihak luar. Hubungan dengan pihak luar bukan lagi berdimensi kosmologis, melainkan berdimensi politis karena terkait dengan perebutan manfaat atas sumberdaya. Ketika kolonialisme datang, masyarakat adat tidak sepenuhnya berdaulat atas wilayahnya karena pemerintahan kolonial merampas tanah-tanah masyarakat adat. Kaum kolonialis dan penyebar agama (Kristen) dari Eropa beranggapan bahwa tanah-tanah yang mereka datangi adalah tanah tak bertuan yang tidak berpemilik (terra nullius) dan manusia mereka jumpai pada tanah atau negeri yang mereka datangi adalah “makhluk yang perlu ditobatkan dan diadabkan”[11].  Doktrin kepemilikan (doctrine of dispossession)[12] yang mereka bawa ini berimplikasi pada teralienasinya masyarakat adat dari tanah dimana mereka hidup.
Munculnya negara-negara merdeka menggantikan kolonialisme di belahan dunia ketiga juga tidak menyelesaikan persoalan. Negara baru merdeka ini yang mengandaikan diri menjadi negara modern melalui perangkat hukum negara melanjutkan perampasan itu secara lebih halus melalui aturan yang dibuat dalam bentuk tertulis, dibuat secara sadar oleh institusi negara, dan berlaku umum untuk seluruh teritori tanpa menandang kapasitas sosial kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat[13].
Baik kolonialisme dan negara modern menganggap hubungan masyarakat adat dengan wilayahnya sebagai hubungan hak. Hak tersebut diakui disamping mengakui hak-hak milik atas sumberdaya lainnya yang diemban oleh individu (privat property) dan hak milik negara (state property). Dalam pandangan demikian, negara adalah wadah besar dimana individu, masyarakat dan korporasi berada di dalamnya. Negara kemudian menjadi instansi yang paling ekstensif untuk melakukan penguasaan sumberdaya dan kemudian membagi-bagi tanah, air dan sumberdaya alam lainnya dalam bentuk konsep-konsep hukum seperti hak milik, hak ulayat, hak guna usaha, hak pengusahaan hutan dan hak-hak lainnya.
Dalam perkembangan hak asasi manusia, hak atas sumberdaya alam sebagai hak asasi manusia sudah muncul sejak abad XVII di Eropa dari pemikiran John Locke tentang hak milik. Menurut Locke, hak milik merupakan kodrat alamiah manusia, bagian dari manusia dan bagian dari penegasan diri manusia[14]. Namun pemikiran Locke tersebut hadir dalam upaya untuk mengafirmasi hak-hak individu warga dan borjuis berhadapan dengan dominasi raja dan gereja. Pada belahan dunia lain di luar Eropa, hak milik ini tidak dapat direduksi hanya sebagai hak individu. Hal ini karena struktur masyarakat pada negara-negara non eropa tersebut masih memiliki watak komunal yang kuat. Masyarakat komunal yang kemudian dikenal dengan indigenous people atau masyarakat adat ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan sumberdaya alam sebagai wilayah kehidupan dan sekaligus sebagai penanda keberadaan mereka.
Dalam semua pengertian yang ada tentang masyrakat adat, hubungan antar masyarakat dengan tanah, air atau wilayah hidupnya adalah salah satu faktor kunci untuk mengidentifikasi suatu komunitas disebut sebagai masyarakat adat. Tanpa hubungan itu, suatu komunitas tidak akan pernah disebut sebagai masyarakat adat. Dengan demikian, hubungan kepemilikan kolektif masyarakat adat dengan wilayah kehidupan merupakan kodrat alamiah masyarakat adat.
4.      Hak Ulayat dalam Instrumen HAM Internasional
Diskursus tentang hak masyarakat adat sebagai hak asasi manusia (HAM) berusia muda bila dibandingkan hak-hak asasi lainnya, bahkan sekarang diskursus itu tengah berlangsung sengit. Hal ini terpinggirkan karena pengembangan HAM selama ini berkonsentrasi kepada hak-hak yang bersifat individual dan mereduksi persoalan HAM hanya pada ranah hukum dan politik semata. Sementara hak masyarakat adat, misalkan hak ulayat merupakan hak yang berkarakter komunal dan berdimensi sosial, ekonomi dan budaya.
Tiga instrumen utama dalam HAM yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Hak Sipil dan Politik (Sipol) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) tidak mengatur secara tegas tentang hak komunal masyarakat hukum adat atas wilayah hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat adat, hak mereka atas wilayah hidup merupakan bagian integral dengan kehidupan mereka. Tanpa mengakui hak ulayat sama dengan tidak mengakui keberadaan masyarakat adat. Hak ulayat adalah hak asasi masyarakat adat yang menjadi penanda keberadaan suatu komunitas masyarakat adat.
Hak ulayat menjadi salah satu basis perjuangan masyakat adat yang menyebar di seluruh penjuru bumi. Di Afrika Selatan misalnya, perjuangan kemerdekaan berkelindan dengan perjuangan hak-hak masyarakat asli yang terdiskriminasi atas dasar ras dan hak mereka atas sumberdaya alam. Bahkan setelah kemerdekaan negara-negara dunia ketiga dari kolonialisme, perjuangan masyarakat adat untuk menuntut hak ulayat tidak pernah usai. Noer Fauzi[15] dalam bukunya menuliskan gerakan-gerakan rakyat dunia ketiga tidak saja menjadikan petani sebagai basis gerakan perjuangan hak atas tanah. Pada beberapa tempat seperti Ekuador, Zimbabwe, India, Thailand, Filipina dan Indonesia, masyarakat adat juga menjadi basis gerakan sosial. Kebanyakan petani adalah masyarakat adat dan umumnya masyarakat adat adalah petani. Gerakan-gerakan pada level lokal dan nasional ini meningkat pada advokasi internasional terutama berkaitan dengan perkembangan hak-hak asasi manusia pada tahap lanjut seperti hak atas pembangunan dan hak atas lingkungan.
Pada tahun 1966 lahir World Council of Indigenous Peoples (WCIP) di Kiruna Swedia 1966 menekankan agar masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah mereka tanpa harus melihat apakah mereka memegang hak resmi yang diterbitkan oleh penguasa ataupun tidak. Kemudian dalam United Nations Declaration and Programme of Action to Combat Racism and Racial Discrimination (Deklarasi dan Program Aksi PBB untuk menetang rasisme dan diskriminasi rasial) yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1978 hak-hak masyarakat adat diakui sebagai bagian dari perjuangan melawan diskriminasi rasial. Pasal 21 deklarasi tersebut mengakui hak masyarakat adat untuk memelihara struktur ekonomi tradisional dan budaya mereka, termasuk bahasa, dan hubungan khusus dengan tanah dan sumber daya alam untuk tidak boleh dirampas dari mereka.
Pada tahun 1982 Komisi Hak Asasi Manusia membentuk Working Group on Indigenous Peoples (WGIP) atau Kelompok Kerja untuk Masyarakat Adat yang disetujui oleh Dewan Sosial dan ekonomi PBB. Kelompok Kerja ini merupakan salah satu forum PBB yang terbesar di bidang hak asasi manusia yang pernah ada. Selain mendukung dan mendorong dialog antara pemerintah dengan masyarakat adat, Kelompok Kerja memiliki dua tugas utama[16]:
1.      Meninjau kembali pembangunan nasional yang menyangkut pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar masyarakat adat; dan
2.      Mengembangkan standar internasional yang berkaitan sehubungan dengan hak masyarakat adat dengan mempertimbangkan baik persamaan maupun perbedaan situasi dan aspirasi mereka di seluruh dunia.
Selain PBB, Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organisation (ILO) juga berperan dalam pengembangan instrumen HAM terkait masyarakat adat. ILO mengeluarkan Konvensi ILO 169 Tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka yang menetapkan bahwa setiap pemerintah harus menghormati kebudayaan dan nilai-nilai spiritual masyarakat adat dalam hubungan mereka dengan lahan yang mereka tempati atau gunakan. Masyarakat adat adalah suatu entitas yang harus diakui dan dilindungi melalui pengakuan terhadap hak-hak asasi masyarakat adat seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas pembangunan, hak atas milik, hak hidup, hak atas kesehatan, dan sejumlah hak lain. Konvensi ILO 169 ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia meskipun sejak tahun 1998 sudah ada upaya dari kalangan masyarakat adat dan pendukung hak-hak masyarakat adat mendorong Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ini.
PBB mengadakan seminar tentang pengaruh rasisme dan diskriminasi rasial dalam konteks ekonomi dan sosial antara masyarakat adat dan negara di Jenewa pada Januari 1989 dengan menghadirkan para ahli dari kelompok-kelompok pemerintah dan masyarakat adat. Kesimpulan dan rekomendasi dari seminar menunjukkan bahwa masyarakat adat telah dan masih menjadi korban rasisme dan diskriminasi sosial dan masyarakat adat harus dianggap sebagai subjek dalam hukum internasional dengan hak kolektif yang dimilikinya[17]. Kesimpulan dari seminar ini menunjukkan bahwa setelah munculnya negara-negara bangsa dan pemerintahan negara yang berasal dari orang dengan suku dan ras sendiri, marjinalisasi terhadap masyarakat tetap berlangsung. Pada 18 Desember 1990 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi No. 45/164 yang mengakui dibutuhkannya suatu pendekatan baru dalam masalah masyarakat adat. Resolusi ini menyatakan bahwa 1993 adalah Tahun Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Pada upacara pembukaan di New York, untuk pertama kalinya dalam sejarah PBB, pemimpin-pemimpin masyarakat adat berbicara secara langsung dari podium PBB. Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diadakan di Rio de Janeiro pada Juni 1992, menghasilkan sebuah perkembangan baru bagi masyarakat adat tentang hubungan mereka dengan PBB. Konferensi ini dikenal juga dengan sebutan Pertemuan Bumi.
Konferensi tersebut mengakui bahwa masyarakat adat dan komunitasnya memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan, berdasarkan ilmu yang dimiliki dan praktik-praktik tradisional mereka. Ditekankan bahwa usaha dalam lingkup nasional dan internasional untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan dan berorientasi lingkungan harus mengakui, mengakomodasi, memajukan dan memperkuat peran masyarakat adat dan komunitasnya. Salah satu yang dihasilan dari Pertemuan Bumi ini adalah Agenda 21. Pasal 26 paragfar 1 sampai paragraf 9 dari Agenda 21 menekankan pentingnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam pembangunan. Dalam Pasal 26 paragraf 1 disebutkan:
“Indigenous people and their communities have an historical relationship with their lands and are generally descendants of the original inhabitants of such lands. In the context of this chapter the term “lands” is understood to include the environment of the areas which the people concerned traditionally occupy...”
Dalam Pertemuan Bumi forum Organisasi pendukung hak-hak masyarakat adat juga melakukan advokasi dengan menetapkan Deklarasi Kari-Oka, sebuah deklarasi mengenai lingkungan dan pembangunan. Salah satu hasil dari forum tersebut adalah ditandatanganinya Konvensi Keanekaragaman Hayati yang memasukkan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan masyarakat adat.
“Each contracting Party shall, as far as possible and as appropriate:
Subject to national legislation, respect, preserve and maintain knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable use of biological diversity and promote their wider application with the approval and involvement of the holders of such knowledge, innovations and practices and encourage the equitable sharing of the benefits arising from the utilization of such knowledge innovations and practices.”
Kemudian Konferensi Dunia mengenai Hak Asasi Manusia pada tahun 1993 menghasilkan resolusi PBB No. 48/163 yang menetapkan tahun 1993 sebagai Tahun Masyarakat Adat. Tahun 1994-2004 sebagaui dekade Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Tujuan dari diproklamirkannya dekade ini adalah untuk memperkuat kerja sama internasional dalam rangka penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat di bidang HAM, lingkungan hidup, pembangunan, pendidikan, dan kesehatan[18].
Dalam resolusi 49/214 pada 23 Desember 1994, Majelis Umum PBB menetapkan bahwa 9 Agustus merupakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Peristiwa ini digunakan oleh PBB untuk memberikan perhatian terhadap masalah-masalah masyarakat adat. Pada hari tersebut, pemerintah, ornop, dan kelompok-kelompok lain yang peduli mempunyai kesempatan untuk mengadakan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran akan keberadaan dan kebudayaan masyarakat adat[19].
Pada Maret 1996 diadakan Seminar Ahli tentang Pengalaman Praktis sehubungan dengan Hak atas Tanah dan Tuntutan-tuntutan Masyarakat Adat diselenggarakan di Whitehorse, Kanada[20]. Seminar ini merupakan bagian dari Program Aksi Dekade Internasional Masyarakat Adat Dunia. Seminar ini menetapkan kesimpulan dan rekomendasi akhir mengenai hak atas tanah dan tuntutan dari masyarakat adat. Seminar ini menekankan bahwa pemajuan dan perlindungan hak atas tanah dan sumber daya alam masyarakat adat merupakan hal yang penting bagi perkembangan masyarakat dan perjuangan budaya. Lebih lanjut ditegaskan tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Seminar ini juga menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan harus benar-benar memperhatikan nilai-nilai masyarakat adat, pengetahuan, dan teknologi, dalam rangka menjamin sumber daya alam bagi generasi-generasi selanjutnya.
Kemudian pada tahun 2000 terbentuk United Nation Permanent Forum on Indigenous Peoples. Badan ini menjadi jaringan internasional di bawah naungan PBB untuk mendiskusikan dan mengembangkan upaya-upaya penguatan hak-hak masyarakat adat. Buah dari kerja badan ini misalkan disahkannya United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) atau Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Asli/Masyarakat Adat pada tanggal 12 September 2007 Majelis Umum PBB. Draft deklarasi ini sebenarnya sudah disiapkan sejak tahun 1984 oleh Working Group on Indigenous Peoples. Deklarasi ini merupakan buah panjang dari perjuangan masyarakat adat pada level internasional. Pasal 25 UNDRIP yang menyebutkan hubungan masyarakat adat dengan wilayah kehidupannya berbunyi sebagai berikut:
“Indigenous peoples have the right to maintain and strengthen their distinctive spiritual relationship with their traditionally owned or otherwise occupied and used lands, territories, waters and coastal seas and other resources and to uphold their responsibilities to future generations in this regard.”
“Masyarakat adat memiliki hak untuk mempertahankan dan mengembangkan hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air dan wilayah-wilayah lepas pantai, dan sumber-sumber lainnya dan meningkatkan tanggung jawab mereka akan nasib generasi masa depan.” (Terjemahan bebas oleh Penulis)
Deklarasi ini bersifat progresif karena mengakui landasan-landasan penting dalam perlindungan, pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Yang juga berisi pengakuan baik terhadap hak individu maupun hak kolektif masyarakat adat, hak atas identitas budaya, hak atas pendidikan, kesehatan, bahasa dan hak-hak dasar lainnya. Deklarasi ini mengakui hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), dan pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam dan partisipasi dalam pembangunan. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi tersebut.
Deklarasi tersebut bersifat tidak mengikat (non legally binding). Oleh karena itu, sekarang sedang dirancangan draft konvensi internasional tentang hak-hak masyarakat adat supaya bisa menjadi norma mengikat bagi negara-negara pihak yang meratifikasinya. Jadi deklarasi tersebut berisi harapan, janji dan konsep tentang pengakuan hak masyarakat adat yang masih membutuhkan mobilisasi. Disinilah tantangan bagi institusi politik (Pemerintah) untuk membuat tindakan hukum yang berkaitan dengan tanggungjawabnya di bidang HAM. Saat ini sudah banyak instrumen HAM internasional yang memasukkan hak-hak masyarakat adat di dalamnya. Rafael Edy Bosco[21] dalam tesisnya menyampaikan bahwa ada sejumlah hak-hak prinsip dalam instrumen hukum HAM internasional yang berkaitan dengan hak atas sumberdaya alam atau hak ulayat. Hak-hak itu antara lain:
a.       Hak menentukan nasib sendiri (self determination)
b.      Hak untuk tidak didiskriminasi
c.       Hak atas tanah dan sumberdaya alam
d.      Hak atas kebudayaan
e.       Hak untuk berpartisipasi
f.       Hak atas lingkungan yang sehat  
g.      Hak untuk memberikan Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (FPIC)
Sebagai HAM maka terhadap hak ulayat berlaku doktrin umum tentang kewajiban negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak ulayat masyarakat adat. Melihat karakter hak ulayat lebih dekat dengan hak Ekosob dari pada Hak Sipol, maka tanggungjawab pemerintah terhadap hak ulayat adalah melakukan tindakan positif melalui serangkaian tindakan dalam menghormati, melindungi, memenuhi hak ulayat dan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak yang terjadi.
5.      Hak Ulayat sebagai Hak Konstitusiona
Munculnya negara modern memberikan tantangan baru bagi eksistensi masyarakat adat berserta hak-hak yang dimilikinya. Negara modern muncul bersamaan dengan paham demokrasi, hak asasi manusia dan konstitusionalisme. Dalam negara modern, konstitusi merupakan dokumen yang berisi perjanjian semua komponen yang berada dalam negara untuk mencapai tujuan bersama yang menggariskan cita-cita, hak-hak yang harus dipenuhi dan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak-hak tersebut.
Konstitusi sebagai dokumen perjanjian semua komponen dalam suatu negara merupakan ajaran yang dikembangkan oleh beberapa pemikir klasik seperti Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rouseau. Ajaran ini dikenal dengan ‘kontrak sosial’[22]. Thomas Hobbes menyatakan bahwa perjanjian itu diperlukan untuk mengikat semua orang yang ada di dalam negara agar bisa meminimalisir sifat ‘beringas’ manusia yang cenderung merugikan orang lain. Hal ini karena menurut Hobbes watak dasar manusia adalah menjadi musuh bagi manusia lainnya, homo homini lupus. John Locke menyatakan bahwa kontrak atau perjanjian itu sebagai ukuran untuk mengevaluasi jalannya pemerintahan, bila pemerintah lari dari apa yang sudah dijanjikan, maka warga negara memiliki hak untuk melakukan pembangkangan. Sedangkan Rouseau menyatakan bahwa dokumen perjanjian tersebut merupakan kontrak yang berisi hak-hak setiap warga negara yang sudah dibersihkan dari kehendak-kehendak egoistis individu, sehingga yang tersisa adalah kehendak umum (volonte generale) yang tidak dapat dicabut, tidak dapat dibagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat salah.
HAM menjadi hak konstitusional ketika dituliskan sebagai norma-norma di dalam konstitusi. Sejalan dengan doktrin kontrak sosial, positivisasi[23] HAM itu banyak dipengaruhi oleh pandangan para pemikir klasik. John Locke yang paling banyak dikutip dalam sejarah HAM menyatakan bahwa HAM merupakan hak alamiah (natural rights) yang seiring dengan kelahiran negara membutuhkan konversi agar hak alamiah itu menjadi bagian dari unsur negara. Cara yang ditempuh adalah dengan meneguhkan hak alamiah (natural rights) menjadi hukum alamiah (natural law) yang tertulis dalam hukum suatu negara. Dan hukum tertinggi dalam suatu negara adalah konstitusi. Didasarkan pada pandangan Herbert Lionel Adolphus Hart (1907-1992), positivisasi hak-hak masyarakat merupakan upaya untuk mendamaikan antara hukum modern yang dipakai untuk menata kehidupan bernegara (secondary rules) dengan hukum asli yang ada di dalam komunitas masyarakat (primary rules). Meskipun demikian sifat HAM sebagai hak alamiah tidak luntur ketika ia dipositivisasi ke dalam konstitusi maupun dalam bentuk hukum tertulis lainnya. Tanpa dipositivisasi pun, HAM tetaplah HAM sebagai hak yang melekat pada manusia.
Dalam logika pengembangan HAM dari para pemikir tersebut, posisi hak ulayat menjadi dilematis. Pada satu sisi karena membutuhkan positivisasi maka hak ulayat hanya akan diakui apabila diatur di dalam hukum tertulis yang dibuat oleh institusi negara. Secara negatif, dapat dikatakan bahwa, jika tidak diakui secara hukum maka eksistensi masyarakat adat itu dianggap lenyap (excluded)[24]. Padahal hak ulayat sebagaimana HAM yang lain adalah hak yang melekat pada diri masyarakat adat. Hak ulayat adalah hak yang otohton atau hak asal yang menjadi penanda keberadaan suatu komunitas masyarakat adat. Bukan hak berian. Tanpa dituliskan di dalam konstitusi maupun dalam bentuk hukum tertulis lainnya yang dibuat oleh negara, hak ulayat tetap menjadi lembaga yang hidup di dalam masyarakat adat.
Namun perkembangan kontemporer menunjukkan bahwa hak ulayat juga dituliskan di dalam konstitusi-konstitusi banyak negara, sebagaimana HAM lainnya. Hal ini terutama terlihat di dalam konstitusi-konstitusi negara berkembang yang masyarakatnya memanfaatkan tanah, air dan sumberdaya alam lainnya untuk melangsungkan kehidupan. Karena hak ulayat menjadi salah satu tema penting dalam masyarakat agraris, bukan masyarakat industri, maka tidak salah konstitusi-konstitusi negara Industri di Eropa – seperti Perancis, Inggris dan juga Amerika Serikat, dimana nilai-nilai HAM muncul di dalam konstitusinya tidak memasukkan hak ini sebagai salah satu norma konstitusi. Bagi negara-negara industri, hak milik individu lebih utama daripada hak ulayat yang berkarakter komunal.
Bahkan hak milik individu merupakan fondasi terpenting dalam pengembangan produksi dan industrialisasi karena individualisasi hak merupakan prakondisi bagi hak kebebasan individu untuk melakukan hubungan kontraktual dan memudahkan persaingan bebas di pasar. Ada perbedaaan mendasar antara bangunan negara-negara di Eropa dengan dasar pembangunan negara-negara dunia ketiga. Menurut Roberto Mangabeira Unger[25], negara modern di Eropa dibangun di atas ambruknya tatanan sosial lama sekaligus sebagai upaya untuk menampung aspirasi liberal individual. Sedangkan negara-negara dunia ketiga merebut kemerdekaan dari kolonial untuk membuat negara baru. Bagi negara-negara dunia ketiga, tatanan sosial lama tidak benar-benar ambruk, melainkan tatanan itu menjadi dasar bagi pembangunan negara baru, misalkan hukum adat. Sehingga tatanan yang berkembang dari the old still existing natives menjadi bagian yang dipakai dalam membangun negara modern.
Sebagai buah dari perjuangan kemerdekaan, negara-negara dunia ketiga yang bercorak agraris memasukkan pengaturan pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak ulayat di dalam konstitusinya. Misalkan Filipina yang memasukkannya dalam Article II section 22 dan Article XII section 5 yang berbunyi:
“Article II Section 22 : The State recognizes and promotes the rights of indigenous cultural communities within the framework of national unity and development
Article XII Section 5 : The State, subject to the provisions of this Constitution and national development policies and programs, shall protect the rights of indigenous cultural communities to their ancestral lands to ensure their economic, social, and cultural well-being.
The Congress may provide for the applicability of customary laws governing property rights and relations in determining the ownership and extent of ancestral domain.”
Papua New Guinea mengaturnya dalam Point 54 tentang Special Provision In Relation To Certain Lands, yang berbunyi sebagai berikut: “Nothing in Section 37 (protection of the law) or 53 (protection from unjust deprivation of property) invalidates a law that is reasonably justifiable in a democratic society that has a proper regard for human rights and that provides–
(a) for the recognition of the claimed title of Papua New Guinea to land where–
(i) there is a genuine dispute as to whether the land was acquired validly or at all from the customary owners before Independence Day; and
(ii) if the land were acquired compulsorily the acquisition would comply with Section 53(1) (protection from unjust deprivation of property); or
(b) for the settlement by extra-judicial means of disputes as to the ownership of customary land that appear not to be capable of being reasonably settled in practice by judicial means; or
(c) for the prohibition or regulation of the holding of certain interests in, or in relation to, some or all land by non-citizens.”
Pengaturan hak ulayat di dalam konstitusi menjadi penting karena konstitusi menggambarkan bagaimana masyarakat dalam suatu negara akan diorganisir. Sejak permulaannya, konstitusi merupakan ruang dimana HAM pada suatu negara tumbuh dan diadopsi. Muatan konstitusi suatu negara merupakan dokumen antropologis tentang bagaimana suatu negara menghargai HAM dan membatasi kekuasaan Negara. Bahkan sejarah HAM Internasional tidak dapat dilepaskan dari perkembangan konstitusi-konstitusi negara demokratis. Penelusuran pada norma konstitusi penting dilakukan karena dalam negara demokratis yang berdasarkan hukum seperti Indonesia, konstitusi merupakan hukum tertinggi dimana semua tindakan hukum pemerintah dan tindakan sosial ditujukan dan dievaluasikan, termasuk hak ulayat. Namun problem mendasar yang diidap dalam konstitusi bagi pengakuan HAM akan membuat pelanggaran HAM terjadi lebih struktural.
Dalam pendekatan struktural, negara merupakan struktur besar yang di bawahnya ada individu, masyarakat dan korporasi. Setiap komponen yang ada di dalam negara saling berkompetisi satu sama lain untuk memperjuangkan kepentingannya. Pada zaman dimana semua komunitas masyarakat adat tergabung dalam institusi negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa mereka harus menegosiasikan bahkan memperjuangkan hak atas wilayah hidup mereka diantara berbagai kategori hak yang dibuat oleh negara.
Oleh karena itu, ketika hubungan mereka dengan wilayah hidup mereka dikategorikan sebagai hak, maka hubungan tersebut digiring masuk dalam logika yang bersifat formal dan relasional beserta dengan implikasi-implikasi yang mengikutinya[26].
6.      Konstitusionalitas Hak Ulayat dalam Konstitusi di Indonesia
Sebelum Proklamasi Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa lama di Indonesia menerapkan politik pluralisme hukum dengan membagi sistem hukum ke dalam tiga stelsel hukum, yaitu hukum perdata barat, hukum untuk bangsa timur asing, serta hukum adat untuk penduduk pribumi. Pascakolonialisme, proses unifikasi hukum diupayakan Pemerintah Indonesia mulai dari UUD 1945 sampai pada UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pada permulaan republik, para pemikir hukum Indonesia berupaya mengadopsi hukum adat yang menjadi dasar pengaturan hak ulayat untuk digunakan sebagai fondasi pembangunan hukum nasional. Hal ini menghadapi tantangan besar karena sistem sosial pada masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan memiliki lokalitas hukumnya masing-masing. Perdebatan-perdebatan itu salah satunya terekam dalam dokumen-dokumen hukum yang dihasilkan. Berikut dijelaskan beberapa pengaturan terkait hak ulayat di dalam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia.
a.      Pembahasan UUD 1945
Dalam pembahasan UUD 1945 pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, taktis hanya Soepomo dan M. Yamin yang menyentuh tentang keberadaan hukum adat dalam konstitusi yang akan dibentuk. Tidak terlihat secara tegas ada anggota sidang lainnya yang memberikan pemikiran konseptual berkaitan dengan posisi hukum adat dalam negara republik yang sedang dirancang. Pada permulaan republik, diskusi hukum adat lebih maju dari pada soal masyarakat dan hak-haknya meskipun kedua-duanya saling memasuki (included).
M. Yamin menyampaikan bahwa kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya. Susunan itu begitu kuat sehingga tidak bisa diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme dan pengaruh Eropa[27].
Yamin tidak menjelaskan lebih jauh konsepsi hak atas tanah dari persekutuan hukum yang disinggungnya, melainkan menyatakan bahwa adanya berbagai macam susunan persekutuan hukum adat itu dapat ditarik beberapa persamaannya tentang ide perwakilan dalam pemerintahan. Sehingga Yamin menyimpulkan bahwa persekutuan hukum adat itu menjadi basis perwakilan dalam pemerintahan republik.
Sedangkan Soepomo dengan paham negara integralistik menyampaikan bahwa[28]:
“... Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang intergralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun”
Lebih lanjut dalam menjelaskan susunan pemerintahan, Soepomo mengaitkannya dengan hak ulayat:
“hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan (kooti), baik di Jawa maupun di luar Jawa, yang dalam bahasa Belanda dinamakan zelfbesturendelanschapen. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh . . . dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunannya asli.”
Berbeda dengan Yamin, Soepomo yang merupakan sarjana hukum adat pada masa itu menjelaskan bahwa hak asal usul atau yang juga disebutnya dengan istilah hak pertuanan memiliki dua jenis pengemban hak. Pertama adalah kerajaan dan subjek lainnya adalah susunan pemerintahan desa atau nama lainnya.
Pembicaraan tentang hak ulayat dalam pembahasan UUD 1945 kemudian menghasilkan Pasal 18 UUD 1945 yang mengaitkan antara hak ulayat dengan sistem pemerintahan. Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa.”
Dalam pengaturan demikian, maka persoalan hak asal-usul atau hak ulayat direduksi menjadi persoalan tata pemerintahan. Keistimewaan kerajaan lama dan susunan persekutuan masyarakat asli beserta hak asal usulnya dihormati dalam rangka menopang pemerintahan pusat. Kerajaan lokal dan persekutuan masyarakat asli diharapkan menjadi pemerintahan bawahan yang menyatu dengan pemerintahan atasan.
Memang fokus utama pembahasan pada pembentukan UUD 1945 adalah menjadikannya sebagai konstitusi politik penanda keberadaan republik baru. Sebagai konstitusi politik, orientasinya adalah untuk melakukan konsolidasi kekuatan dari setiap unit sosial yang ada. Oleh karena itu, perdebatan yang muncul tentang HAM di dalam konstitusi pada waktu itu antara pihak yang mendukung pemasukkan HAM di dalam konstitusi dengan pihak yang menentang tidak diselesaikan secara tuntas. Jalan tengah yang diambil pada waktu itu adalah dengan menyatakan bahwa UUD 1945 hanya sebagai UUD sementara, Presiden Soekarno menyebutnya sebagai UUD kilat. Lebih lanjut para pendiri republik menyatakan akan menmbuat konstitusi yang lebih baik dari UUD 1945 setelah situasi lebih kondusif. Karena itulah UUD 1945 sedikit sekali mengatur jaminan HAM baik hak individu maupun hak ulayat masyarakat adat.
Disamping hak ulayat yang diatur secara implisit, UUD 1945 juga mengatur (hak) penguasaan negara atas sumberdaya alam yang dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (3), yang berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Mohammad Hatta menyatakan bahwa Pasal 33 ayat (3) itu memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pengaturan agar penguasaan negara atas sumberdaya alam dapat ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Implikasi dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945 terhadap hak ulayat dijelaskan pada salah satu bagian dalam tulisan ini di bawah.
b.      Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) disahkan pada tanggal 29 Oktober 1949. Konstitusi ini merupakan hasil dari suatu kesepakatan (Konferensi Meja Bundar) antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda. Sama dengan UUD 1945, nuansa yang menyelimuti KRIS adalah nuansa politik dalam memperjuangkan kedaulatan suatu negara baru yang diwakili oleh pemerintahnya. Atas pengutamaan itu, maka hal-hal yang berkaitan dengan hak warga negara, terutama hubungan warganegara/masyarakat dengan sumberdaya alam, belum menjadi tema yang penting dijabarkan lebih jauh dan konkret. Hak ulayat tidak mendapat tempat di dalam KRIS.
Meski demikian, dalam KRIS diatur hubungan hukum antara warga negara dengan benda (termasuk sumberdaya alam/agraria), dalam bentuk hubungan hak kepemilikan. Hal ini diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) KRIS yang berbunyi:
“(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik milik pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.”
Pada intinya Pasal 25 ayat (1) KRIS menyebutkan bahwa hak milik dapat dimiliki oleh individu dan kolektif. Ketentuan ini menjadi tautan bagi kepemilikan bersama masyarakat adat atas wilayah hidupnya. Meskipun sebenarnya antara hak milik dengan hak ulayat tidak mudah dipersamakan. Selain ketentuan di atas, KRIS secara implisit mendelegasikan supaya dibuat aturan lebih lanjut tentang hak-hak atas persekutuan rakyat. Hal ini disebutkan dalam Pasal 47 KRIS yang berbunyi:
“Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada pelbagai persekutuan rakyat di dalam lingkungan daerah mereka dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan tentang penyusunan itu secara demokratis dalam daerah-daerah otonom.”
Namun delegasi pengaturan itu tidak pernah muncul dalam usia KRIS yang sangat singkat, tidak sampai satu tahun. Pada tanggal 17 Agustus 1950 Pemerintah mengganti KRIS dengan mengundangkan UUD Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950).
c.       UUDS 1950
Pengaturan tentang hak ulayat tidak mengalami banyak perubahan antara KRIS dengan UUDS 1950. Perubahan mendasar dari UUDS 1950 adalah perubahan bentuk negara yang sebelumnya federal kembali kepada bentuk negara kesatuan. Hubungan warga negara dengan benda (termasuk sumberdaya alam/agraria), yaitu hubungan hak kepemilikan diatur dalam Pasal 26 yang bunyinya sama dengan Pasal 25 KRIS, yaitu ayat (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik milik pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain. Ayat (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan semena-mena. Dan ayat (3) hak milik itu adalah suatu fungsi sosial.
Disamping pengakuan terhadap hak milik, UUDS 1950 menghidupkan kembali hak penguasaan negara atas sumberdaya alam yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Sebelumnya dalam KRIS ketentuan tentang penguasaan negara atas sumberdaya alam tidak dimasukkan. Penguasaan negara atas sumberdaya alam dalam UUDS 1950 ditemukan dalam Pasal 38 ayat (3) yang bunyinya persis sama dengan Pasal 33 ayat (3). Dalam UUDS 1950 tidak ditemukan rumusan pengaturan tentang hak ulayat.
d.      Persidangan Konstituante 
Pemilu demokratis pertama di Indonesia pada tahun 1955 disamping memilih DPR, juga dilakukan untuk memilih anggota Konstituante yang bersidang merumuskan Konstitusi Indonesia yang dapat dipergunakan dalam jangka waktu panjang. Sidang Konstituante diandaikan sebagai suatu konsensus nasional membentuk hukum dasar tertinggi dalam pemerintahan demokratis. Persidangan Konstituante terjadi pada suasana politik massa yang menghangat pasca Pemilu 1955.
Adnan Buyung Nasution (ABN)[29] dalam disertasinya merekam perdebatan konstituante yang dianggap sebagai cerminan sistem bernegara yang demokratis. Naskah-naskah yang ada dari persidangan konstituante memasukkan banyak sekali pengaturan tentang HAM. ABN mencatat setidaknya ada 24 jenis HAM beserta turunannya yang diterima oleh Konstituente[30], tetapi hak-hak tersebut pada umumnya bercorak individual. Dalam Disertasi ABN tidak ditemukan konstruksi hak ulayat yang diperbincangkan, serta juga tidak ditemukan hak-hak masyarakat adat secara lebih luas. Karena sangat mengutamakan HAM individu, maka banyak kalangan yang menilai bahwa perdebatan HAM yang berlangsung di dalam konstituante mengadopsi banyak sekali konsep barat yang diduga tidak sepenuhnya cocok dengan konsteks masyarakat Indonesia yang bersifat komunal, gotong royong dan kekeluargaan.
Perdebatan dalam persidangan konstituante berlangsung alot antara tiga kelompok besar nasionalis, islam dan komunis. Perdebatan yang sengit antara tiga kelompok itu tentang dasar negara mengalami deadlock sehingga Presiden Soekarno atas dasar tidak tercapainya kesepakatan tentang dasar negara itu mengeluarkan Dekrit Presiden membubarkan konstituante dan mengembalikan UUD 1945. Dekrit tersebut dapat dinilai sebagai suatu penolakan Soekarno terhadap model demokrasi yang akan dikembangkan dari konstitusi baru yang sedang dibahas Konstituante, sehingga ia menggantikannya dengan Demokrasi Terpimpin.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membubarkan Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945 dan mendelegasikan pembentukan MPRS yang terdiri dari Anggota DPR ditambah utusan daerah-daerah dan golongan-golongan. Dengan berlaku kembali UUD 1945, pengaturan tentang hak ulayat di dalam konstitusi Indonesia juga kembali kepada Pasal 18 UUD 1945. Perkembangan pengaturan hak ulayat setelah kembali ke UUD 1945 lebih banyak pada level peraturan perundang-undangan.
UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) adalah peraturan terpenting yang menjadi dasar pengaturan hak ulayat setelah kembali ke UUD 1945. UUPA menyatakan bahwa penguasaan negara atas sumberdaya alam berasal dari pengangkatan hak ulayat bangsa Indonesia atas bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya. Ketentuan ini seakan-akan membuat masyarakat kehilangan kontrol atas hak ulayat dan negara menjadi satu-satunya pemegang hak. Kemudian dari konsepsi itu Negara melalui Pemerintah diberikan Hak Menguasai Negara. Hak Menguasai Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat[31].
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, landasan pengaturan hubungan hukum terkait sumberdaya alam dipecah-pecah (fragmented) ke dalam berbagai UU sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Pengairan, UU Lingkungan Hidup, dll. Sehingga pengaturan hak ulayat juga terpecah-pecah.
e.       UUD 1945 setelah empat kali amandemen
Gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tidak hanya menghadirkan suatu kebaruan dalam bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan lama ke dalam masa transisi. Hak ulayat dan pengusaan negara atas sumberdaya alam adalah tema yang kembali diperdebatkan diantara berbagai tema penting lainnya.
Paket empat kali amandemen UUD 1945 (1999-2002) menjadi ruang dimana pertarungan ide berlangsung. Pada bagian ini yang akan dibahas adalah tentang pengaturan hak ulayat dan hubungannya dengan penguasaan negara atas sumberdaya alam. Keterkaitan itu beranjak dari asumsi bahwa “hak” merupakan tema yang bersifat formal, relasional dan diskretif.
1.      Pengakuan dan Pembatasan Hak Ulayat
Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945. Kemajuan tersebut terlihat dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menyebutkan:
Pasal 18B UUD 1945
1)      Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2)      Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28I ayat (3) UUD 1945
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Ketentuan di atas memisahkan antara persoalan tata pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat (1) dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya (Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Pemisahan antara Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18B ayat (2) memberi arti penting untuk membedakan antara bentuk persekutuan masyarakat (hukum) adat dengan pemerintahan “kerajaan” lama yang masih hidup dan dapat bersifat istimewa. Hal ini menjadi penting karena selama ini soal hak ulayat sering dikaitkan dengan hak (istimewa) raja lokal atas wilayah penguasaannya.
Pemisahan ini merujuk kepada pemikiran Soepomo yang disampaikan pada sidang pembentukan UUD pada tahun 1945. Sehingga Pasal 18B ayat (1) ditujukan kepada Daerah-daerah Swapraja, yaitu daerah-daerah yang diperintah oleh raja-raja yang telah mengakui kedaulatan Pemerintah Belanda atas daerah-daerah mereka, baik atas dasar kontrak panjang (Kasunanan Solo, Kasultanan Yogyakarta dan Deli), maupun atas dasar pernyataan pendek (Kasultanan Goa, Bone, dan lain sebagainya). Sedangkan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) ditujukan kepada Desa, Marga, Huta, Kuria, Nagari, Kampong dan sebagainya, yakni suatu kesatuan hukum adat yang mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan hukum adat.
Meski sudah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat berserta hak ulayatnya secara deklaratif, Pasal 18B ayat (2) mencantelkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat (hukum) adat beserta hak ulayat yang dapat dimanfaatkannya. Persyaratan-persyaratan itu secara kumulatif adalah:
a.       Sepanjang masih hidup
b.      Sesuai dengan perkembangan masyarakat
c.       Sesuai dengan prinsip NKRI
d.      Diatur dalam Undang-undang.
Rikardo Simarmata[32] menyebutkan bahwa persyaratan terhadap masyarakat adat dan hak ulayatnya yang dilakukan oleh UUD 1945 setelah amandemen memiliki sejarah yang dapat dirunut dari masa kolonial. Persyaratan terhadap masyarakat adat sudah ada di dalam Aglemene Bepalingen (1848), Reglemen Regering (1854) dan Indische Staatregeling (1920 dan 1929) yang mengatakan bahwa orang pribumi dan timur asing yang tidak mau tunduk kepada hukum Perdata Eropa, diberlakukan undang-undang agama, lembaga dan adat kebiasaan masyarakat, “sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang keadilan.” Persyaratan yang demikian berifat diskriminatif karena terkait erat dengan eksistensi kebudayaan. Orientasi persyaratan yang muncul adalah upaya untuk menundukkan hukum adat/lokal dan mencoba mengarahkannya menjadi hukum formal/positif/nasional. Di sisi lain juga memiliki pra-anggapan bahwa masyarakat adat adalah komunitas yang akan “dihilangkan” untuk menjadi masyarakat yang modern, yang mengamalkan pola produksi, distribusi dan konsumsi ekonomi modern.
Sedangkan F. Budi Hardiman[33] menyebutkan pengakuan bersyarat itu memiliki paradigma subjek-sentris, paternalistik, asimetris, dan monologal, seperti: “Negara mengakui”, “Negara menghormati”, “sepanjang … sesuai dengan prinsip NKRI” yang mengandaikan peranan besar negara untuk mendefinisikan, mengakui, mengesahkan, melegitimasi eksistensi, sepanjang masyarakat adat mau ditaklukkan dibawah regulasi negara atau dengan kata lain “dijinakkan”. Paradigma seperti ini tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan dan otonomi yang ada dalam demokrasi.
Satjipto Rahardjo[34] menyebutkan empat persyaratan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai bentuk kekuasaan negara yang hegemonial yang menentukan ada atau tidaknya masyarakat adat. Negara ingin mencampuri, mengatur semuanya, mendefinisikan, membagi, melakukan pengkotakan (indelingsbelust), yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan negara. Sedangkan Soetandyo Wignjosoebroto[35] menyebutkan empat persyaratan itu baik ipso facto maupun ipso jure akan gampang ditafsirkan sebagai ‘pengakuan yang dimohonkan, dengan beban pembuktian akan masih eksisnya masyarakat adat itu oleh masyarakat adat itu sendiri, dengan kebijakan untuk mengakui atau tidak mengakui secara sepihak berada di tangan kekuasaan pemerintah pusat.
Pada level undang-undang, pengakuan bersyarat terhadap masyarakat adat dalam sejarah Republik Indonesia dimulai sejak UUPA, dilanjutkan oleh UU Kehutanan lama, UU Pengairan, UU Kehutanan baru dan beberapa peraturan departemen dan lembaga pemerintahan. Setelah UUD 1945 mengadopsi empat persyaratan bagi masyarakat adat, kemudian berbagai undang-undang yang lahir pasca amandemen juga mengikuti pola tersebut, antara lain oleh UU Sumberdaya Air, UU Perikanan dan UU Perkebunan. Bahkan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengikuti pola yang sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi: adat beserta hak ulayat [Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 51 ayat 1 huruf b UU MK] dengan beberapa tolak ukur sebagai berikut:
1)      Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang bersangkutan secara de facto masih ada dan/atau hidup (actual existence), apabila setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:
a)      ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
b)      ada pranata pemerintahan adat;
c)      ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
d)     ada perangkat norma hukum adat; dan
e)      khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu;
2)      Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dimaksud sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila:
a)      keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain, maupun dalam peraturan daerah;
b)      substansi hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia;
3)      Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dianggap sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila tidak mengganggu eksistensi NKRI sebagai satu kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu: (i) keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI; dan (ii) substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Namun berbagai pengakuan bersyarat yang ada belum memberikan penjelasan yang benar-benar jelas dan utuh tentang siapa seharusnya mengakui masyarakat adat. Hal ini
“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”
Mahkamah Konstitusi pun dalam putusannya mencoba menafsirkan tentang empat persyaratan pengakuan hak masyarakat mengindikasikan bahwa pemerintah masih belum bersungguh-sungguh membuat ketentuan yang jelas dan tegas untuk menghormati dan mengakui hak ulayat masyarakat adat. Dikatakan tidak jelas karena belum ada aturan yang konkret tentang apa saja hak-hak yang terkait dengan keberadaan masyarakat dan hak yang dapat dinikmatinya. Dikatakan tidak tegas karena belum diatur secara tegas bagaimana mekanisme pemenuhan dan penegakan yang dapat ditempuh agar masyarakat adat berserta dengan hak-haknya dapat dinikmati melalui administrasi pemerintahan dan dimuka pengadilan (justiciable).
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan itu terjadi dikarenakan dua hal, yaitu antara ketidakmampuan dan ketidak-mauan pemerintah membuat ketentuan yang umum tentang pengakuan (hak-hak) masyarakat adat. Tidak mampu karena persekutuan masyarakat adat di Indonesia sangat beragam berdasarkan sebaran pulau, sistem sosial, antropologis dan agama. Sehingga tidak mudah membuat satu ketentuan yang bersifat umum untuk mengakui masyarakat adat yang satu sama lain memiliki karakter yang berbeda-beda. Tidak mau karena pengaturan yang kabur tentang masyarakat memberikan ruang diskresi dan hegemoni kepada pemerintah untuk dapat memanipulasi hak-hak asli masyarakat demi kepentingan eksploitasi sumberdaya alam yang berada di wilayah masyarakat adat. Ketidakmauan ini menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat adat.
Persyaratan dalam Pasal 18B ayat (2) berserta dengan serangkaian persyaratan yang dilanjutkan oleh beberapa UU Sumberdaya Alam menunjukkan bahwa Negara cq Pemerintah baru bisa mengakui (to respect) hak ulayat masyarakat adat secara deklaratif, belum sampai pada tindakan hukum untuk melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfill) agar hak ulayat masyarakat adat dapat terpenuhi. Belum ada mekanime pemenuhan dan penegakan hukum nasional bila terjadi pelanggaran terhadap hak ulayat yang merupakan hak asasi manusia. Selama ini walaupun ada putusan pengadilan yang mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat dalam penyelesaian sengketa, hal itu masih sangat tergantung kepada penafsiran hakim terhadap aturan yang masih kabur.
2.      Tantangan dari Penguasaan Negara atas Sumberdaya Alam
Di samping menyisipkan pengakuan dan penghormatan kepada kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak ulayatnya, paket amandemen UUD 1945 juga menegaskan dan menambahkan nilai-nilai berkaitan dengan penguasaan negara atas sumberdaya alam. Sebenarnya antara hak ulayat dan penguasaan negara atas sumberdaya alam tidak perlu dipertentangkan sebab keduanya dapat bersifat komplementer, tetapi dinamika yang terjadi pada salah satu hak tersebut akan mempengaruhi jenis hak lainnya pada sisi lain. Bahkan dapat melemahkan hak lainnya.
Hasil Amandemen UUD 1945 mempertahankan pengaturan penguasaan negara atas sumberdaya alam yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3):
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Konsep penguasaan negara atas sumberdaya alam dari rumusan ketentuan di atas ditambahkan dengan nilai-nilai baru dalam fungsi penguasaan negara di atas dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara ekonomi. Nilai-nilai tambahan itu menjadi landasan perekonomian sumberdaya alam yang terlihat dalam tambahan ayat (4) dari Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Prinsip atau nilai-nilai konstitusional dalam penguasaan sumberdaya alam dalam kegiatan ekonomi sumberdaya alam itu tidak menyatakan pentingnya mengakomodasi hak-hak kolektif masyarakat seperti hak ulayat. Meskipun sebenarnya kolektivisme dalam ekonomi sumberdaya alam dapat ditarik dari Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan), tetapi ayat (4) dari Pasal 33 UUD 1945 bukanlah sebagai pelengkap Pasal 33 ayat (1) secara kumulatif, melainkan sebagai serangkaian nilai-nilai tambahan yang bersifat alternatif[36]. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa konstitusionalitas penguasaan negara atas sumberdaya alam tidak bersifat tunggal.
Asas demokrasi ekonomi yang sering dimaknai sebagai kompetisi meminggirkan hak-hak kolektif masyarakat (hak ulayat) yang posisinya dilemahkan. Asas ini tidak menganggap penting afirmative action bagi hak-hak yang selama ini berada pada posisi lemah. Nilai-nilai kesatuan ekonomi nasional memberikan mandat kepada pemerintah untuk membuat tolak ukur kepentingan nasional, sebagaimana pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat juga harus tunduk kepada kepentingan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Prinsip harus sesuai dengan NKRI yang sering dimaknai sebagai norma untuk menghindari ancaman disintegrasi.
Dalam hal ini, ancaman disintergrasi memiliki kemiripan dengan ancaman dari kepemilikan komunal (hak ulayat) yang dapat mengancam efisiensi ekonomi sebab banyak pihak yang mengeksploitasi sumberdaya alam berargumen bahwa hak ulayat menjadi salah satu faktor penghambat investasi. Sampai saat ini pemerintah masih mengutamakan iklim investasi yang kondusif sebagai salah satu indikator peningkatan ekonomi daripada pemenuhan hak-hak warganegara.
7.      Pembaruan Hukum: Menuju Pengakuan Hak Ulayat?
Gerakan sosial seringkali menjadi konsideran perubahan-perubahan instrumental. Demikianlah sejarah konstitusi-konstitusi banyak negara, bahkan juga sejarah lahirnya beberapa instrumen HAM internasional. Gerakan Reformasi 1998 yang digerakkan oleh mahasiswa juga mendorong perubahan-perubahan instrumental. Perubahan instrumental melalui pembaruan hukum yang pada awalnya diharapkan menjadi jalan untuk memperbaiki kondisi sebelumnya malah rentan untuk jatuh menjadi cara yang menguatkan ketidak-adilan dari masa lalu.
Reformasi 1998 menjadi masa transisi untuk melakukan refleksi terhadap perlakuan negara terhadap masyarakat adat sepanjang republik berdiri. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, masyarakat adat menjadi korban atas ambisi-ambisi pembangunan yang tersentralisasi[37].  Seiring dengan menguatnya wacana dan kebijakan desentralisasi dan otonomi, gerakan masyarakat adat di Indonesia juga ikut menguat. Gerakan ini muncul untuk mengoreksi pola pembangunan yang selama ini mendiskriminasi masyarakat adat secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Marjinalisasi masyarakat adat tidak saja terjadi karena political will penguasa, tapi terjadi secara struktural yang dilegitimasi dengan perangkat hukum. Karena itulah upaya untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat juga masuk dalam ranah hukum. Hukum lama yang mewakili corak hukum represif[38] berupaya menciptakan masyarakat Indonesia modern sesuai dengan tafsir penguasa. Reformasi yang menghadirkan masa transisi memberikan arena untuk melakukan koreksi atas pengembangan hukum untuk menciptakan hukum yang responsif[39] terhadap berbagai dimanika dan tuntutan masyarakat adat. Ada beberapa upaya pembaruan instrumen hukum yang dapat dikaitkan dengan isu hak ulayat setelah 1998. Misalkan Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang dikeluarkan pada tanggal 9 November 2001. TAP ini berisi perintah kepada Pemerintah untuk melakukan peninjauan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait sumberdaya alam, menyelesaikan konflik agraria dan sumberdaya alam serta mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria/sumberdaya alam.
Tap MPR ini kemudian direspons dengan menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang pengelolaan sumberdaya alam. Upaya ini dimotori oleh pihak-pihak yang selama ini terlibat aktif dalam isu lingkungan, sumberdaya alam/agraria, hak-hak masyarakat adat serta didukung oleh Kementerian Lingkungan Hidup. RUU ini mencoba menjadi aturan “payung” dengan mengkonsolidasikan berbagai prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini terpecah-pecah dalam banyak undang-undang, misalkan UUPA, UU Pengairan, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan UU lainnya.
Upaya melakukan konsolidasi berbagai ketentuan sumberdaya alam memiliki relevansi dengan perjuangan hak ulayat oleh masyarakat adat karena undang-undang di bidang sumberdaya alam yang selama ini terpecah-pecah (fragmented) menyulitkan masyarakat adat dalam menegosiasikan pemenuhan hak ulayat. Pengaturan melalui undang-undang yang terpecah-pecah yang diikuti dengan institusi tersendiri bagi setiap undang-undang membuat masyarakat adat harus menegosiasikan hak ulayat kepada banyak institusi negara di bidang sumberdaya alam. Namun upaya untuk mendorong lahirnya Undang-undang tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam akhirnya terhenti di DPR.
Pada level kebijakan teknis pernah lahir Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Tujuan dari Permen ini adalah untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi tanah ulayat yang ada di Indonesia. Namun, Permen ini tidak menjadi penyelesai masalah. Salah satu penyebab Permen ini tidak implementatif adalah karena Permen ini mengecualikan tanah ulayat pada tanah-tanah yang sudah dikuasai dengan alas hak-hak yang diatur di dalam UUPA. Padahal persoalan tanah ulayat selama ini muncul karena adanya klaim-klaim yang didasarkan pada hak-hak di dalam UUPA di atas hak ulayat.
Pemerintahan BJ. Habibie juga mengeluarkan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah. UU ini menjadi pemicu semakin kuatnya tuntutan desentralisasi tata pemerintahan sekaligus tuntutan otonomi komunitas. Segera setelah UU No. 22/1999 ini disahkan, banyak Pemerintah Daerah meresponsnya dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) yang pada intinya adalah untuk menghidupkan kembali institusi-institusi adat yang selama Orde Baru tidak mendapatkan tempat. Selain menghidupkan kembali institusi lokal yang pernah ada, juga ada upaya untuk mengangkat kembali nilai-nilai adat beserta dengan hak ulayat sebagai identitas lokal dalam otonomi daerah.
Pemerintah Daerah Sumatera Barat mengeluarkan Perda No. 9/2000 tentang Pemerintahan Nagari yang mengembalikan struktur pemerintahan nagari yang selama ini dikooptasi dengan model penyeragaman Pemerintahan Desa yang diwariskan oleh Orde Baru. Selain itu ada banyak Perda yang dilahirkan tentang lembaga adat seperti di Kabupaten Pasir, Banyumas, Bangkalan, Sambas, Bungo, Tulang Bawang, Kutai Barat dan daerah lainnya. Sedangkan terkait dengan hak ulayat terdapat sejumlah kebijakan daerah baik berbentuk Perda maupun SK Kepala Daerah yang mengatur hal ini, misalkan sebagai berikut:
1.      Perda Kabupaten Kampar 12/1999 tentang Hak Tanah Ulayat
2.      Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy
3.      Perda Kabupaten Nunukan No. 3/2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
4.      Perda Kabupaten Nunukan No. 4/2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan
5.      Perda Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
6.      SK Bupati Bungo No. 1249/2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Batu Kerbau SK Bupati
7.      Merangin No. 287/2003 Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin.
Puluhan kebijakan daerah yang lahir terkait masyarakat adat beserta pengakuan terhadap hak ulayat merupakan koreksi terhadap gagalnya aturan di tingkat nasional dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi masyarakat adat. Kegagalan aturan tingkat nasional baik konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya itu disebabkan pengaturan pengakuan bersyarakat dan lemahnya komitmen pemerintah pusat terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Namun dalam implementasinya Perda-perda adat ini juga mengalami berbagai kendala, misalkan ketiadaan instansi pemerintah yang ditugaskan khusus untuk menjalankan Perda, anggaran yang tidak memadai dan kebanyakan Perda adat yang dibuat bersifat partikular dan tidak mampu menembus batas-batas pemisahan sumberdaya alam yang dikonstruksi oleh pemerintah pusat. Kalau pun dibuat dengan norma yang lintas sektor misalkan meliputi tanah, sumberdaya air, hutan dan tambang, tetap implementasinya terhambat oleh kontrol pemerintah pusat yang masih besar.
Selain itu, aktor-aktor pada tingkat lokal juga mempengaruhi dinamika pengakuan hukum dalam kebijakan daerah. Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, misalnya, pada satu sisi memberikan kewenangan yang besar atas tanah ulayat kepada ninik mamak dan pemerintah nagari dan di sisi lain menghilangkan kontrol bundo kanduang terhadap tanah ulayat. Padahal corak pewarisan dan ‘pemilikan’ harta pusako dalam masyarakat Minangkabau diturunkan berdasarkan garis ibu (matrilineal).
Kendala lain adalah soal identifikasi, siapa yang dimaksud dengan masyarakat adat. Persoalan ini misalnya dialami oleh masyarakat Kasepuhan Citorek dan Cibedug di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Upaya mendorong lahirnya kebijakan daerah pengakuan hak ulayat bagi masyarakat Kasepuhan Citorek dan Cibedug terganjal ketika tafsir pemerintah daerah dalam menilai masyarakat adat adalah dengan ukuran-ukuran masyarakat Baduy yang menggunakan pakaian khas, menganut kepercayaan lokal dan mengisolasi kawasannya dari pihak luar[40]. Sedangkan masyarakat Kasepuhan Citorek dan Cibedug membuka diri terhadap pihak luar, berpakaian sebagaimana orang kebanyakan dan sebagian besar sudah beragama Islam.
Dimanika pembaruan hukum setelah 1998 baik pada level nasional dan lokal belum mampu memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas wilayah kehidupan mereka. Sedangkan pada sisi lain, melalui instrumen hukum negara, perampasan hak-hak masyarakat adat tetap berlangsung melalui pemberian hak-hak untuk kepentingan ekonomi seperti untuk perkebunan, pertambangan, penebangan hutan, dll.
Saat ini ada inisiatif untuk membuat aturan khusus tentang masyarakat adat. Selain upaya agar pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 169 Tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, ada juga inisiatif dari Dewan Perwakilan Daerah untuk mendorong lahirnya Undang-undang tentang Perlindungan Masyarakat Adat. Namun jalan masih panjang. Perdebatan soal RUU ini masih bergulir dan yang paling diresahkan adalah apakah undang-undang ini nantinya mampu mengkonsolidasikan pengaturan tentang masyarakat adat yang sudah menyebar pada banyak undang-undang, terutama pada undang-undang di bidang sumberdaya alam. Tanpa itu, bila kelak Undang-undang tentang Perlindungan Masyarakat Adat disahkan, belum akan mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat, yaitu soal hak ulayat. Sekali lagi ini karena hak ulayat merupakan salah satu faktor kunci yang menunjukkan eksistensi masyarakat adat.
8.      Penutup  
Hak ulayat atau hak atas wilayah kehidupan masyarakat adat merupakan hak terpenting bagi masyarakat adat, disamping hal itu menjadi penanda keberadaan masyarakat adat (deskriptif), juga merupakan hak yang menentukan keberlanjutan suatu persekutuan masyarakat adat (preskriptif). Hampir seluruh definisi yang ada tentang masyarakat adat menjadikan hubungan masyarakat adat dengan tanah sebaga salah satu faktor kunci utama yang menunjukkan keberadaan masyarakat adat. Oleh karena itu, hak atas wilayah hidup atau hak ulayat adalah hak kodrat dari masyarakat adat dengan pandangan kosmologisnya.
Diskursus dan gerakan perjuangan hak-hak masyarakat adat dalam beberapa dekade terakhir menguat, baik pada level internasional maupun nasional dan sudah bergeser dari hak untuk menuntut kemerdekaan menjadi hak untuk pengakuan keberadaan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Pada level internasional perjuangan masyarakat adat menunjukkan perkembangan-perkembangan yang dilihat dari diadopsinya berbagai hak-hak masyarakat adat, seperti hak ulayat, dalam instrumen HAM internasional. Pada level nasional di Indonesia terlihat dalam beberapa instrumen hukum pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat mulai dari konstitusi sampai dengan undang-undang. Pengakuan terhadap hak ulayat dalam konstitusi Indonesia mengalami pasang surut sejak republik berdiri. Sedangkan pada level lokal muncul berbagai inisiatif untuk membuat kebijakan daerah pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak ulayat terutama seiring dengan menguatnya otonomi daerah.
Namun ada problem mendasar di Indonesia terkait pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak ulayat. Masalah tersebut adalah model pengakuan bersyarat yang pada saat ini sudah menjadi bagian dari norma konstitusi. Pengakuan bersyarat terhadap hak-hak masyarakat adat beserta hak-hak tradisional dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mendistorsi tujuan pengakuan dan penghormatan itu sendiri. Persyaratan tersebut memberikan diskresi yang besar dan monopoli tafsir kepada pemerintah. Empat persyaratan dalam konstitusi itu kemudian diikuti dan dikembangkan dalam beberapa peraturan yang mengatur tentang masyarakat adat dan hak ulayat dalam sejumlah UU di bidang sember daya alam. Rikardo Simarmata menyebutkan pola yang demikian ini dengan istilah: loyalitas mengerem progresivitas.
Pengakuan bersyarat ini semakin mempersulit implementasi pengakuan hukum terhadap masyarakat adat. Permasalahan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dan hak ulayat masih akan menjadi agenda besar yang memerlukan waktu panjang mewujudkannya. Oleh karena itu, pembaruan hukum negara dalam pengakuan terhadap masyarakat adat harus terus diupayakan, terutama mengganti pola pengakuan bersyarat menjadi pengakuan masyarakat adat beserta hak-haknya yang berbasis pada pendekatan hak asasi manusia[41]. Idealnya, upaya ini harus mencapai perubahan pada level konstitusi. Selain itu perlu peraturan organik yang utuh, menyeluruh, lintas sektor yang tidak memecah-mecah masyarakat adat sebagai satu kesatuan antara masyarakat adat, kelembagaan adat, hukum adat dan wilayah hidupnya.
Substansi aturan harus memberikan otonomi kepada masyarakat adat untuk dapat menjadi pihak yang menentukan dalam setiap program dan proyek pembangunan yang dilakukan di wilayah hidupnya, misalnya dengan mengadopsi prinsip Free Prior and Informed Consent atau persetujuan tanpa paksa yang didahului dengan informasi berimbang sebelum proyek-proyek pembangunan dilakukan pada wilayah masyarakat adat. Konsep FPIC ini juga berkembang dalam sejumlah dokumen internasional dan sudah diterapkan sebagai mekanisme dalam hukum negara seperti di Filipina.



Daftar Pustaka
Ø  Arizona, Yance, 2008. Karakter Peraturan Daerah Sumberdaya Alam: Kajian Kritis terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah Sumberdaya Alam dan Hak Masyarakat dalam Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan, Jakarta: Perkumpulan HuMa.
Ø  Bahar, Syafrudin dkk (penyunting), 1995 Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Edisi III, Cet 2, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Ø  Berkes, Fikret, 1989. Common Property Resources: Ecology and Community-Based Sustainable Development, London: Belhaven Press.
Ø  Bosko, Rafael Edy, 2006. Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta: ELSAM dan AMAN.
Ø  Gaffar, Janedjri M., 2008. “Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, Seputar Indonesia, 25 Maret 2008.
Ø  Hardiman, F. Budi, 2006. “Posisi Struktural Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa dalam Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan di Indonesia (Ditinjau dari Perspektif Filsafat)”, dalam Ignas Tri (penyunting), Hubungan Struktural Masyarakat Adat, Suku Bangsa, Bangsa, Dan Negara (Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia), Jakarta: Komnas HAM.
Ø  Kleden, Marianus, 2009. Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal: Kajian atas Konsep HAM dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya terhadap HAM dalam UUD 1945, Cetakan II, Yogyakarta: Penerbit Lamalera dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Ø  Lembar fakta HAM, Edisi III, Komnas HAM, Jakarta.
Ø  Moniaga, Sandra, 1998. Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, dalam Sugeng Bahagio dan Asmara Nababan (editor), Hak Asasi Manusia: Tanggungjawab Negara, Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: Komnas HAM,1999.
Ø  Moniaga, Sandra dan Stephanus Djuweng, 2000. “Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk, Apakah Masih Punya Tempat di Indonesia?” Kata Pengantar untuk buku Konvensi ILO 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, Jakarta: ELSAM dan LBBT. Moniaga, Sandra, 2007.
Ø  “From Bumiputera to Masyarakat Adat: A Long and Confusing Journey,” dalam Jamie S. Davidson dan David Henley (edt), The Revival of Traditional in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism, New York: Roudledge.
Ø  Nasution, Adnan Buyung, 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Ø  Nonet, Philippe dan Philip Selznick, 2003. Hukum Responsif: Pilihan di Masa Transisi, terjemahan dari: Law and Society in Transition: Toward Responsif Law, alih bahasa Rafael Edy Bosco, Jakarta: Perkumpulan HuMa.
Ø  Rahardjo, Satjipto, 2000. Ilmu Hukum, Cetakan V, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ø  Rahardjo, Satjipto, 2005. “Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Perspektif Sosiologi Hukum)”, dalam Hilmi Rosyida dan Bisariyadi (edt), Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Jakarta: Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI, dan Departemen Dalam Negeri.
Ø  Sangaji, Arianto ,2007. “The Masyarakat Adat Movement in Indonesia: A Critical Insider’s view”, dalam Jamie S. Davidson dan David Henley (edt), The Revival of Traditional in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism, New York: Roudledge.
Ø  Saphiro, Ian, 2006. Evolusi Hak dalam Teori Liberal, terjemahan dari The Evolution of Rights in Liberal Theory, alih bahasa oleh Masri Maris, Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat bekerjasama dengan Freedome Institute dan Yayasan Obor Indonesia.
Ø  Sidarta, 2007. Positivisme Hukum”, Makalah dipresentasikan dalam Pelatihan Hukum Kritis untuk Pegawai Biro Hukum di Kalimantan Barat, diselenggarakan oleh Perkumpulan HuMa bekerjasama dengan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, 8-11 Mei 2007.
Ø  Simarmata, Rikardo, 2006. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta: UNDP. Steny, Bernadinus, 2007. “Quo Vadis Masyarakat Hukum Adat (Sebuah Pemikiran Awal untuk Merancang Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat)”, dalam Nanang Subekti, et.al, (edt), Membangun Masa Depan Minangkabau dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Komnas HAM, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat.
Ø  Steny, Bernadinus, 2009. “Politik Pengakuan Masyarakat Adat: Dari Warisan Kolonial Hingga Negara Merdeka”, Jurnal Jentera Edisi Lingkungan, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.
Ø  Suhada, 2003. Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah, Banten: Dinas Pendidikan Provinsi Banten.
Ø  Terre, Eddie Riyadi, 2006. “Masyarakat Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia”, Prolog dalam buku: Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta: ELSAM dan AMAN.
Ø  Unger, Roberto Mangabeira, 2007. Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern terjemahan dari Law and Modern Society: Toward Criticsm of Social Theory, alih bahasa oleh Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Bandung: Nusamedia.
Ø  Wattimena, Reza A. A., 2007. Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ø  Wignjosoebroto, Soetandyo, 2005. “Pokok-pokok Pikiran tentang Empat Syarat Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat”, dalam Hilmi Rosyida dan Bisariyadi (edt), Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Jakarta: Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI, dan Departemen Dalam Negeri.
Ø  Wiratraman, Herlambang Perdana, 2007, The Human Rights Situation Concerning Indigenous Peoples and Ethnic Minorities in Indonesia, A Research Report to ASIA FORUM for Human Rights and Development. Tidak dipublikasikan.



[1] Eddie Riyadi Terre, Masyarakat Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia, dalam Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, (Jakarta: ELSAM dan AMAN, 2006), hlm 8.
[2] Ulayat berasal dari bahasa arab Wilayatun, artinya suatu areal yang berada di bawah kekuasaan sekelompok orang. Van Vallenhoven yang disebut-sebut sebagai bapak hukum adat menggunakan istilah beschikkingsrecht untuk menyebutkan hak ulayat. Demikian juga dengan muridnya yang kemudian menjadi pengajar hukum di Indonesia, B. Ter Haar. Oleh Soepomo, yang merupakan murid Ter Haar, hak masyarakat adat atas wilayah hidupnya disebut dengan istilah “hak pertuanan”. Lihat Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur, 1982), hlm. 13-14. Sedangkan Hazairin menyebutnya hak bersama.
[3] Sandra Moniaga dan Stephanus Djuweng, Konvensi ILO 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, (Jakarta: ELSAM dan LBBT, 2000).
[4] Lihat Van Dijk, Op. Cit. hlm. 15-16.
[5] Lihat Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, 1998, dalam Sugeng Bahagio dan Asmara Nababan (editor), Hak Asasi Manusia: Tanggungjawab Negara, Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, (Jakarta: Komnas HAM, 1999), hlm. 135-136. Lihat juga Arianto Sangaji, The Masyarakat Adat Movement in Indonesia: A Critical insider’s view, dalam Jamie S. Davidson dan David Henley (edt), The Revival of Traditional in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism, (New York: Roudledge, 2007), hlm. 321.
[6] S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, (New York: Oxford University Press, 1996) dalam Eddie Riyadi Terre, Loc.cit.
[7] Van Dijk, Op. cit. hlm. 19.
[8] Penuturan seorang Jaro pamarentah atau Kepala Desa Kanekes dalam buku: Suhada, Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah, (Banten: Dinas Pendidikan Provinsi Banten, 2003), hlm. 48-54.
[9] Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal: Kajian atas Konsep HAM dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya terhadap HAM dalam UUD 1945, Cetakan II, (Yogyakarta: Penerbit Lamalera dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009), hlm. xvi – xix.
[10] Marius Kleden menggunakan istilah masyarakat komunal untuk menyebut masyarakat adat.
[11] Eddie Sius Riyadi, Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia: Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum Internasional Hak Asasi Manusia. Makalah dalam Training Monitoring Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang diselenggarakan oleh LP3ES – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 19 – 28 (22) Agustus 2002 di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jakarta.
[12] Van Vallenhoven menyebutkan bahwa hubungan yang utama antara masyarakat adat dengan wilayah dan sumberdaya alamnya adalah untuk menarik hasil dari pengelolaan (genotrecht), daripada disebut sebagai hubungan berbentuk hak kepemilikan, meskipun pada beberapa komunitas seperti Aceh, Madura, Bewean dan Jawa Barat hak kepemilikan itu hidup di dalam masyarakatnya. Lihat Cornelis Van Vallenhoven, “De Indinesier Enzujn Grond”, hlm 5-11, dalam Van Dijk, op.cit. hlm, 124.
[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan V, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 213-214.
[14] Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 18.
[15] Noer Fauzi, Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, (Yogyakarta: InsistPress, 2005)
[16] Lembar Fakta HAM, Edisi III, (Jakarta: KomnasHAM, tanpa tahun), hlm. 123.
[17] Ibid, hlm. 126.
[18] Ibid, hlm. 129.
[19] Ibid, hlm. 129.
[20] Ibid, hlm. 127.
[21] Rafael Edy Bosco, Op. Cit., hlm. 117-138.
[22] Lebih lanjut tentang perbedaan tiga pandangan tokoh ini (termasuk Jurgen Habermas) baca: Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007).
[23] Positivisasi berasal dari kata dasar “positif” yang diturunkan dari Bahasa Latin: ponere-posui-positus berarti meletakkan. Selain itu, kata “positif” memiliki banyak arti yang lain, misalkan, bisa berarti kenyataan (bukan khayalan), kepastian (bukan keraguan), ketepatan (bukan kekaburran), kemanfaatan (bukan sekedar ingin tahu), dan keteraturan (bukan keacakan). Lihat Sidarta, ”Positivisme Hukum”, Makalah dipresentasikan dalam Pelatihan Hukum Kritis untuk Pegawai Biro Hukum di Kalimantan Barat, diselenggarakan oleh Perkumpulan HuMa bekerjasama dengan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, 8-11 Mei 2007.
[24] Bernadinus Steny, “Politik Pengakuan Masyarakat Adat: Dari Warisan Kolonial Hingga Negara Merdeka,” (Jakarta: Jurnal Jentera Edisi Lingkungan, 2009).
[25] Roberto Mangabeira Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusamedia, terjemahan dari: Law and Modern Society: Toward Criticsm of Social Theory, alih bahasa Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 74-108. Lihat juga Satjipto Rahardjo, “Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Perspektif Sosiologi Hukum)”, dalam Hilmi Rosyida dan Bisariyadi (edt), Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI, dan Departemen Dalam Negeri,2005), hlm. 44.
[26] Ian Saphiro menyebutkan bahwa setiap hak yang terdiri dari subjek, substansi, landasan dan tujuan selalu bersifat formal dan relasional. Dengan kata lain, hak itu tidak ada untuk hak itu sendiri. Lihat Ian Saphiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, terjemahan dari: The Evolution of Rights in Liberal Theory, alih bahasa Masri Maris, (Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat bekerjasama dengan Freedome Institute dan Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 15-16.
[27] Syafrudin Bahar dkk (penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Edisi III, Cet 2, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hlm. 18
[28] Ibid, hlm. 36.
[29] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: StudiSosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995)
[30] Ibid. hlm. 246-258.
[31] Lihat Pasal 2 ayat (4) UUPA.
[32] Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, (Jakarta: UNDP, 2006), hlm. 309-310
[33] F. Budi Hardiman, Posisi Struktural Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa dalam Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan di Indonesia (Ditinjau dari Perspektif Filsafat), salam Ignas Tri (penyunting), Hubungan Struktural Masyarakat Adat, Suku Bangsa, Bangsa, Dan Negara (Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia), (Jakarta: Komnas HAM, 2006), hlm. 62.
[34] Satjipto Rahardjo, Loc. Cit.
[35] Soetandyo Wignjosoebroto, Pokok-pokok Pikiran tentang Empat Syarat Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat, dalam Hilmi Rosyida dan Bisariyadi (edt), Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI, dan Departemen Dalam Negeri, 2005), hlm. 39.
[36] Dalam putusan pengujian UU Penanaman Modal, Mahkamah Konstitusi menjabarkan prinsip-prinsip dasar demokrasi ekonomi yang diturunkan dari Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 sebagai berikut: (1) Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing; (2) Asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang; (3) Asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup; (4) Asas kemandirian adalah asas yang mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi; (5) Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan nasional.
[37] Janedjri M. Gaffar, Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, Seputar Indonesia, 25 Maret 2008.
[38] Karakter Hukum Represif antara lain bertujuan mencapai ketertiban, mendapat legitimasi dari ketahanan sosial dan tujuan negara, peraturan yang rinci namun berlaku lemah terhadap pembuat hukum, didasarkan atas pertimbangan partikular sepanjang memudahkan mencapai tujuan, diskresi yang sangat luas dan opurtunistik, paksaan yang bersifat ekstensif, moralitas pembatasan, hukum yang menjadi subordinat politik, bersifat memaksa dan tanpa syarat sehingga ketidaktaatan dianggap sebagai pembangkangan, partisipasi bersifat pasif sehingga kritik dianggap sebagai ketidak-setiaan. Lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif: Pilihan di Masa Transisi, terjemahan dari: Law and Society in Transition: Toward Responsif Law, alih bahasa oleh Rafael Edy Bosco, (Jakarta: Perkumpulan HuMa, 2003), hlm. 13.
[39] Karakter Hukum Responsif antara lain bertujuan untuk mencapai kompetensi, legitimasi dicapai dari keadilan substantif, peraturan subordinat dari prinsip dan kebijaksanaan, pertimbangan didasarkan kepada tujuan yang hendak dicapai, diskresi yang luas tetapi tetap sesuai dengan tujuan, paksaan bersifat alternatif, moralitas sipil, politik terintegrasi dengan aspirasi hukum, pembangkangan dilihat dari aspek bahaya substantif atau gugatan terhadap legitimasi, dan partisipasi diperbesar dengan integrasi advokasi hukum dan sosial. Lihat Ibid.
[40] Selain persoalan identifikasi ini, kendala yang ditemui adalah soal status kawasan yang sebagian wilayahnya termasuk dalam kawasan hutan. Sehingga pemerintah daerah harus juga menegosiasikan kawasan dengan departemen kehutanan yang merupakan bagian dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah terkesan enggan mengakui masyarakat adat dan hak ulayatnya yang berada di dalam kawasan hutan sebab untuk kawasan hutan diurus oleh instansi lain, Departemen Kehutanan.
[41] Lihat Bernadinus Steny, “Quo Vadis Masyarakat Hukum Adat (Sebuah Pemikiran Awal untuk Merancang Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat)”, dalam Nanang Subekti, et.al, (edt), Membangun Masa Depan Minangkabau dari Perspektif Hak Asasi Manusia, (Jakarta Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Komnas HAM, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, 2007), hlm. 325-326.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar