“Pada
zaman dimana semua komunitas masyarakat adat tergabung dalam institusi negara,
maka tidak dapat dielakkan bahwa mereka harus menegosiasikan bahkan
memperjuangkan hak atas wilayah hidup mereka diantara berbagai kategori hak
yang dibuat oleh negara.”
1.
Pengantar
Eddie Riyadi Terre[1]
menyebutkan ada tiga persoalan mendasar
yang dialami oleh masyarakat adat (indigenous peoples): Pertama, masalah
hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah dimana mereka hidup dan dari
mana mereka mendapatkan penghidupan; Kedua, masalah self-determination yang
sering menjadi berbias politik dan sekarang masih menjadi perdebatan sengit;
dan Ketiga, masalah identification, yaitu siapakah yang dimaksud dengan
masyarakat adat, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat bukan
adat/asli/pribumi (non-indigenous peoples ).
Tulisan ini mencoba membahas
persoalan pertama yaitu soal hubungan masyarakat adat dengan wilayah dimana
mereka hidup dan mendapatkan penghidupan. Dalam beberapa literature di
Indonesia, hubungan tersebut disebut hak ulayat[2].
Hak ulayat dalam tulisan ini dilihat
dari dua sudut pandang. Pertama pendekatan hak asasi manusia yang melihat hak
ulayat sebagai hak asasi masyarakat adat atas wilayah kehidupan mereka. Kedua
pendekatan konstitusionalisme yang melihat hak ulayat sebagai hak
konstitusional masyarakat adat dalam setiap rumusan undang-undang dasar yang
pernah berlaku di Indonesia
2. Istilah
Masyarakat Adat
Saat
ini perdebatan tentang peristilahan “masyarakat adat” masih berlangsung.
Dokumen internasional seperti Konvensi ILO 169 membedakannya dalam dua
kategori, yaitu indigenous peoples dan tribal peoples. Sandra
Moniaga dan Stephanus Djuweng[3]
mengusulkan penerjemahannya dua istilah
tersebut sebagai berikut: indigenous peoples diterjemahkan menjadi
“bangsa pribumi” dan tribal peoples diterjemahkan menjadi “masyarakat
adat”. Istilah masyarakat adat lebih dekat dengan tribal peoples daripada
indigenous peoples. Namun berbagai diskursus dan dokumen HAM
internasional setelah Konvensi ILO 169 lebih banyak menggunakan istilah indigenous
peoples dari pada tribal peoples dan istilah indigenous peoples dipakai
untuk menunjuk kedua-duanya.
Dalam
dokumen hukum di Indonesia lebih banyak digunakan istilah “Masyarakat Hukum
Adat” daripada “Masyarakat Adat”. Istilah masyarakat hukum adat lahir dari bentuk
kategori pengelompokkan masyarakat yang diajarkan oleh pemikir hukum adat
seperti Van Vallenhoven dan Ter Haar. Kategori kelompok sosial itu yang
kemudian dikenal dengan bentuk masyarakat hukum (rechtsgemeenchappen)
adalah masyarakat yang seluruh anggota komunitasnya terikat sebagai satu
kesatuan oleh hukum yang dipakai, yaitu hukum adat. Bahkan Van Vallenhoven[4]
membagi wilayah di Indonesia (Nederlandsh
Indie dahulu) ke dalam 19 (sembilan belas) lingkaran hukum (rechtskringen)
yang setiap lingkar hukum dapat dibagi lagi ke dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgouwen).
Jelas sekali bahwa pakar hukum adat dari Belanda menekankan pengategorian
masyarakat adat berdasarkan hukum. Bahkan selain membagi berdasarkan teritori,
hukum adat juga dibagi berdasarkan lapangan-lapangan yang berkembang dalam
hukum barat, misalkan hukum waris adat, hukum tanah adat, hukum adat mengenai
tata negara, hukum hutang-piutang, hukum delik adat dan bidang hukum lainnya.
Istilah
masyarakat hukum adat juga mengandung kerancuan antara “masyarakat-hukum adat”
dengan “masyarakat hukum-adat”. Yang satu menekankan kepada masyarakat-hukum
dan yang lain menekankan kepada hukum adat. Pada pihak lain, kalangan yang
keberatan dengan penggunaan istilah “masyarakat hukum adat” berargumen bahwa “masyarakat
hukum adat” hanya mereduksi masyarakat adat dalam satu dimensi saja, yaitu
hukum, sedangkan masyarakat adat tidak saja tergantung pada dimensi hukum,
melainkan juga dimensi yang lainnya seperti sosial, politik, budaya, agama,
ekonomi dan ekologi.
Sedangkan
Departemen Sosial menggunakan istilah “masyarakat terasing” atau “masyarakat
suku terasing” yang kemudian diganti dengan istilah “komunitas adat terpencil”
untuk menyebut masyarakat adat[5].
Tulisan ini menghindari perdebatan lebih
jauh tentang definisi yang ada dengan memilih menggunakan istilah “Masyarakat
Adat” karena istilah masyarakat adat yang paling umum dipakai oleh komunitas
untuk menyebut komunitasnya setelah menyebutkan nama khas komunitas mereka
seperti Orang Dayak, Urang Kanekes (Masyarakat Baduy), Orang Dani, Orang
Amungme, Orang Kaili dan lainnya. Dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) pertama tahun 1999, Masyarakat Adat diartikan sebagai berikut:
”Masyarakat
Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun
temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi,
ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.”
3. Hak
Ulayat sebagai Hak Asasi Manusia
Pengemban
hak ulayat adalah masyarakat adat yang sering juga disebut indigenous
peoples atau penduduk asli. Menurut James Anaya[6],
mereka disebut indigenous karena
akar turun temurun kehidupan mereka menjadi satu kesatuan tak terpisah dengan
tanah dan wilayah yang mereka huni. Mereka juga disebut peoples karena
mereka merupakan komunitas yang unik dengan eksistensi dan identitas mereka
yang berkelanjutan secara turun temurun, yang menghubungkan mereka dengan
komunitas, suku, atau bangsa dari sejarah masa lampau. Senada dengan pandangan
James Anaya, beberapa pakar hukum adat, seperti Van Dijk[7]
juga menyatakan bahwa faktor yang
menjadi unsur utama masyarakat adat adalah faktor genealogis dan faktor
teritorial.
Faktor
Genealogis secara umum dapat dilihat dari sistem pewarisan, misalkan
matrilineal, patrilineal, dan parental. Faktor Teritorial menunjukkan dalam
bentuk apa masyarakat adat mengorganisir diri di kampung halamannya.
Bentuk-bentuk dari teritorial itu misalnya desa, nagari, marga, subak, dan
bentuk lainnya.
Pada
dasarnya, hubungan antara masyarakat adat dengan wilayah kehidupan mereka
bukanlah hubungan ‘hak’, melainkan lebih tepat disebut sebagai hubungan
‘kewajiban’. Hal ini sesuai dengan pandangan kosmologis yang menempatkan
wilayah kehidupan masyarakat adat yang terdiri dari tanah, air dan sumberdaya
alam lainnya sebagai satu kesatuan dengan sistem kehidupan mereka. Sehingga
memanfaatkan dan menjaga alam merupakan suatu kewajiban untuk kelangsungan
kehidupan mereka sendiri. Masyarakat adat di Papua menganggap alam sebagai
‘ibu’ mereka sendiri, sehingga mereka wajib menjaganya dari kerusakan.
Masyarakat Baduy di Provinsi Banten mempercayai bahwa mereka diperintahkan oleh
“Adam Tunggal” untuk menjaga alam dan gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa dari
kerusakan[8].
Ketika mereka menjaga alam, maka hal itu
merupakan wujud dari kewajiban mereka memenuhi perintah yang maha kuasa.
Marianus
Kleden[9]
menyebutkan ada empat cara pandang
masyarakat komunal[10]
atau masyarakat adat yang menyebabkan
mereka menganggap bahwa hubungan mereka dengan wilayah hidup merupakan hubungan
kewajiban, tidak hanya sebagai hak.
Pertama,
totalitas. Masyarakat adat tidak memandang sesuatu secara parsial melainkan
dalam keseluruhan, kelengkapan dan simetri,Segala sesuatu dipandang sebagai hal
yang komplementer: ada kiri ada kanan, ada wadah ada tutupan, dan begitu
seterusnya. Demikian pula kalau ada hak maka ada pula kewajiban sebagai satu
kesatuan, dan sebaliknya, kalau kita sudah menjalankan kewajiban, maka hak-hak
kita akan dipenuhi.
Kedua,
altruisme. Secara positif altruisme berarti mendahulukan kepentingan orang
lain. Secara negatif altruisme berarti ketakutan menjadikan diri sebagai pusat
perspektif. Dalam logika masyarakat adat: Dahulukan kepentingan orang lain maka
hak-hak anda akan terpenuhi. Mendahulukan hak orang lain ini merupakan bentuk
tanggungjawab dalam masyarakat adat dalam stuktur-struktur sosial yang dibangun
di dalam komunitas. Misalkan tanggungjawab orang tua kepada anak, tanggungjawab
mamak kepada kemenakan, tanggungjawab individu dalam mengadakan acara adat,
menyumbang untuk kepentingan komunitas, tanggungjawab menjaga alam demi
kepentingan bersama generasi sekarang dan untuk anak cucu.
Ketiga,
panteisme. Masyarakat adat melihat keseluruhan alam semesta: laut,
sungai, gunung, daratan, hutan, rumah adat, kampung halaman, sebagai satu
tertib kosmik yang mengatur hidup manusia – dan karena itu pada sebagian
masyarakat adat, alam semesta disamakan dengan Tuhan. Dalam tertib kosmik
tersebut, wilayah kehidupan atau kampung halaman menjadi sentral dan diseru
menjadi sumber perlindungan.
Keempat,
kolektivitas. Sistem
kekerabatan dalam masyarakat adat yang komunal tidak menciptakan iklim yang
kondusif bagi seseorang untuk tampil sebagai individu yang cuek terhadap
kehidupan komunal dan kepentingan kolektif. Seorang individu tidak akan
terelakkan untuk berada dalam jejaring peran dan jejaring kepentingan
antarwarga, yang membuat pemenuhan kebutuhan hidupnya hanya mungkin terlaksana
berkat kehadiran individu lain. Sehingga pemenuhan hak seseorang individu hanya
bisa dimungkinkan kalau seseorang memenuhi hak-hak warga komunitas yang lain,
dan menjalankan kewajibannya sebagai anggota komunitas. Kolektivitas ini salah
satunya diikat dengan kepemilikan bersama terhadap wilayah hidup atau kampung
halaman.
Hubungan
ini menjadi ‘hak’ ketika masyarakat adat berhubungan dengan pihak luar.
Hubungan dengan pihak luar bukan lagi berdimensi kosmologis, melainkan
berdimensi politis karena terkait dengan perebutan manfaat atas sumberdaya.
Ketika kolonialisme datang, masyarakat adat tidak sepenuhnya berdaulat atas
wilayahnya karena pemerintahan kolonial merampas tanah-tanah masyarakat adat.
Kaum kolonialis dan penyebar agama (Kristen) dari Eropa beranggapan bahwa
tanah-tanah yang mereka datangi adalah tanah tak bertuan yang tidak berpemilik
(terra nullius) dan manusia mereka jumpai pada tanah atau negeri yang
mereka datangi adalah “makhluk yang perlu ditobatkan dan diadabkan”[11]. Doktrin
kepemilikan (doctrine of dispossession)[12]
yang mereka bawa ini berimplikasi pada teralienasinya masyarakat adat dari
tanah dimana mereka hidup.
Munculnya
negara-negara merdeka menggantikan kolonialisme di belahan dunia ketiga juga
tidak menyelesaikan persoalan. Negara baru merdeka ini yang mengandaikan diri
menjadi negara modern melalui perangkat hukum negara melanjutkan perampasan itu
secara lebih halus melalui aturan yang dibuat dalam bentuk tertulis, dibuat
secara sadar oleh institusi negara, dan berlaku umum untuk seluruh teritori
tanpa menandang kapasitas sosial kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat[13].
Baik
kolonialisme dan negara modern menganggap hubungan masyarakat adat dengan
wilayahnya sebagai hubungan hak. Hak tersebut diakui disamping mengakui hak-hak
milik atas sumberdaya lainnya yang diemban oleh individu (privat property)
dan hak milik negara (state property). Dalam pandangan demikian, negara
adalah wadah besar dimana individu, masyarakat dan korporasi berada di
dalamnya. Negara kemudian menjadi instansi yang paling ekstensif untuk
melakukan penguasaan sumberdaya dan kemudian membagi-bagi tanah, air dan
sumberdaya alam lainnya dalam bentuk konsep-konsep hukum seperti hak milik, hak
ulayat, hak guna usaha, hak pengusahaan hutan dan hak-hak lainnya.
Dalam
perkembangan hak asasi manusia, hak atas sumberdaya alam sebagai hak asasi
manusia sudah muncul sejak abad XVII di Eropa dari pemikiran John Locke tentang
hak milik. Menurut Locke, hak milik merupakan kodrat alamiah manusia, bagian
dari manusia dan bagian dari penegasan diri manusia[14].
Namun pemikiran Locke tersebut hadir
dalam upaya untuk mengafirmasi hak-hak individu warga dan borjuis berhadapan
dengan dominasi raja dan gereja. Pada belahan dunia lain di luar Eropa, hak
milik ini tidak dapat direduksi hanya sebagai hak individu. Hal ini karena struktur
masyarakat pada negara-negara non eropa tersebut masih memiliki watak komunal
yang kuat. Masyarakat komunal yang kemudian dikenal dengan indigenous people
atau masyarakat adat ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan
sumberdaya alam sebagai wilayah kehidupan dan sekaligus sebagai penanda keberadaan
mereka.
Dalam
semua pengertian yang ada tentang masyrakat adat, hubungan antar masyarakat
dengan tanah, air atau wilayah hidupnya adalah salah satu faktor kunci untuk
mengidentifikasi suatu komunitas disebut sebagai masyarakat adat. Tanpa
hubungan itu, suatu komunitas tidak akan pernah disebut sebagai masyarakat
adat. Dengan demikian, hubungan kepemilikan kolektif masyarakat adat dengan
wilayah kehidupan merupakan kodrat alamiah masyarakat adat.
4. Hak
Ulayat dalam Instrumen HAM Internasional
Diskursus
tentang hak masyarakat adat sebagai hak asasi manusia (HAM) berusia muda bila
dibandingkan hak-hak asasi lainnya, bahkan sekarang diskursus itu tengah
berlangsung sengit. Hal ini terpinggirkan karena pengembangan HAM selama ini
berkonsentrasi kepada hak-hak yang bersifat individual dan mereduksi persoalan
HAM hanya pada ranah hukum dan politik semata. Sementara hak masyarakat adat,
misalkan hak ulayat merupakan hak yang berkarakter komunal dan berdimensi
sosial, ekonomi dan budaya.
Tiga
instrumen utama dalam HAM yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),
Kovenan Hak Sipil dan Politik (Sipol) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (Ekosob) tidak mengatur secara tegas tentang hak komunal masyarakat
hukum adat atas wilayah hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat adat, hak mereka
atas wilayah hidup merupakan bagian integral dengan kehidupan mereka. Tanpa
mengakui hak ulayat sama dengan tidak mengakui keberadaan masyarakat adat. Hak
ulayat adalah hak asasi masyarakat adat yang menjadi penanda keberadaan suatu
komunitas masyarakat adat.
Hak
ulayat menjadi salah satu basis perjuangan masyakat adat yang menyebar di
seluruh penjuru bumi. Di Afrika Selatan misalnya, perjuangan kemerdekaan
berkelindan dengan perjuangan hak-hak masyarakat asli yang terdiskriminasi atas
dasar ras dan hak mereka atas sumberdaya alam. Bahkan setelah kemerdekaan
negara-negara dunia ketiga dari kolonialisme, perjuangan masyarakat adat untuk menuntut hak
ulayat tidak pernah usai. Noer Fauzi[15]
dalam bukunya menuliskan gerakan-gerakan rakyat dunia ketiga tidak saja
menjadikan petani sebagai basis gerakan perjuangan hak atas tanah. Pada
beberapa tempat seperti Ekuador, Zimbabwe, India, Thailand, Filipina dan
Indonesia, masyarakat adat juga menjadi basis gerakan sosial. Kebanyakan petani
adalah masyarakat adat dan umumnya masyarakat adat adalah petani.
Gerakan-gerakan pada level lokal dan nasional ini meningkat pada advokasi
internasional terutama berkaitan dengan perkembangan hak-hak asasi manusia pada
tahap lanjut seperti hak atas pembangunan dan hak atas lingkungan.
Pada tahun 1966 lahir World Council of Indigenous Peoples (WCIP)
di Kiruna Swedia 1966 menekankan agar masyarakat adat memiliki hak penuh atas
tanah mereka tanpa harus melihat apakah mereka memegang hak resmi yang
diterbitkan oleh penguasa ataupun tidak. Kemudian dalam United Nations
Declaration and Programme of Action to Combat Racism and Racial Discrimination (Deklarasi
dan Program Aksi PBB untuk menetang rasisme dan diskriminasi rasial) yang
diselenggarakan di Jenewa tahun 1978 hak-hak masyarakat adat diakui sebagai
bagian dari perjuangan melawan diskriminasi rasial. Pasal 21 deklarasi tersebut
mengakui hak masyarakat adat untuk memelihara struktur ekonomi tradisional dan
budaya mereka, termasuk bahasa, dan hubungan khusus dengan tanah dan sumber
daya alam untuk tidak boleh dirampas dari mereka.
Pada tahun 1982 Komisi Hak Asasi Manusia membentuk Working
Group on Indigenous Peoples (WGIP) atau Kelompok Kerja untuk Masyarakat
Adat yang disetujui oleh Dewan Sosial dan ekonomi PBB. Kelompok Kerja ini
merupakan salah satu forum PBB yang terbesar di bidang hak asasi manusia yang
pernah ada. Selain mendukung dan mendorong dialog antara pemerintah dengan
masyarakat adat, Kelompok Kerja memiliki dua tugas utama[16]:
1.
Meninjau kembali pembangunan
nasional yang menyangkut pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar masyarakat adat; dan
2.
Mengembangkan standar
internasional yang berkaitan sehubungan dengan hak masyarakat adat dengan mempertimbangkan baik
persamaan maupun perbedaan situasi dan aspirasi mereka di seluruh dunia.
Selain PBB, Organisasi Buruh
Internasional atau International Labour Organisation (ILO) juga berperan dalam
pengembangan instrumen HAM terkait masyarakat adat. ILO mengeluarkan Konvensi
ILO 169 Tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara
Merdeka yang menetapkan bahwa setiap pemerintah harus menghormati
kebudayaan dan nilai-nilai spiritual masyarakat adat dalam hubungan mereka
dengan lahan yang mereka tempati atau gunakan. Masyarakat adat adalah suatu
entitas yang harus diakui dan dilindungi melalui pengakuan terhadap hak-hak
asasi masyarakat adat seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas
pembangunan, hak atas milik, hak hidup, hak atas kesehatan, dan sejumlah hak
lain. Konvensi ILO 169 ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
meskipun sejak tahun 1998 sudah ada upaya dari kalangan masyarakat adat dan
pendukung hak-hak masyarakat adat mendorong Pemerintah untuk meratifikasi
Konvensi ini.
PBB
mengadakan seminar tentang pengaruh rasisme dan diskriminasi rasial dalam
konteks ekonomi dan sosial antara masyarakat adat dan negara di Jenewa pada
Januari 1989 dengan menghadirkan para ahli dari kelompok-kelompok pemerintah
dan masyarakat adat. Kesimpulan dan rekomendasi dari seminar menunjukkan bahwa
masyarakat adat telah dan masih menjadi korban rasisme dan diskriminasi sosial
dan masyarakat adat harus dianggap sebagai subjek dalam hukum internasional
dengan hak kolektif yang dimilikinya[17].
Kesimpulan dari seminar ini menunjukkan
bahwa setelah munculnya negara-negara bangsa dan pemerintahan negara yang
berasal dari orang dengan suku dan ras sendiri, marjinalisasi terhadap
masyarakat tetap berlangsung. Pada 18 Desember 1990 Majelis Umum PBB mengeluarkan
resolusi No. 45/164 yang mengakui dibutuhkannya suatu pendekatan baru dalam
masalah masyarakat adat. Resolusi ini menyatakan bahwa 1993 adalah Tahun
Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Pada upacara pembukaan di New York,
untuk pertama kalinya dalam sejarah PBB, pemimpin-pemimpin masyarakat adat
berbicara secara langsung dari podium PBB. Konferensi PBB
tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diadakan di Rio de Janeiro pada
Juni 1992, menghasilkan sebuah perkembangan baru bagi masyarakat adat tentang
hubungan mereka dengan PBB. Konferensi ini dikenal juga dengan sebutan
Pertemuan Bumi.
Konferensi tersebut
mengakui bahwa masyarakat adat dan komunitasnya memiliki peran yang sangat
penting dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan, berdasarkan ilmu yang
dimiliki dan praktik-praktik tradisional mereka. Ditekankan bahwa usaha dalam
lingkup nasional dan internasional untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan
dan berorientasi lingkungan harus mengakui, mengakomodasi, memajukan dan
memperkuat peran masyarakat adat dan komunitasnya. Salah satu yang dihasilan
dari Pertemuan Bumi ini adalah Agenda 21. Pasal 26 paragfar 1 sampai paragraf 9
dari Agenda 21 menekankan pentingnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat
dalam pembangunan. Dalam Pasal 26 paragraf 1 disebutkan:
“Indigenous people and their communities have an historical
relationship with their lands and are generally descendants of the original
inhabitants of such lands. In the context of this chapter the term “lands” is
understood to include the environment of the areas which the people concerned
traditionally occupy...”
Dalam Pertemuan Bumi forum Organisasi pendukung hak-hak masyarakat
adat juga melakukan advokasi dengan menetapkan Deklarasi Kari-Oka, sebuah
deklarasi mengenai lingkungan dan pembangunan. Salah satu hasil dari forum
tersebut adalah ditandatanganinya Konvensi Keanekaragaman Hayati yang
memasukkan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan masyarakat adat.
“Each contracting Party shall, as far as possible and as
appropriate:
Subject to national
legislation, respect, preserve and maintain knowledge, innovations and
practices of indigenous and local communities embodying traditional
lifestyles relevant for the conservation and sustainable use of biological
diversity and promote their wider application with the approval and involvement
of the holders of such knowledge, innovations and practices and encourage the equitable
sharing of the benefits arising from the utilization of such knowledge
innovations and practices.”
Kemudian
Konferensi Dunia mengenai Hak Asasi Manusia pada tahun 1993 menghasilkan
resolusi PBB No. 48/163 yang menetapkan tahun 1993 sebagai Tahun Masyarakat
Adat. Tahun 1994-2004 sebagaui dekade Internasional Masyarakat Adat Sedunia.
Tujuan dari diproklamirkannya dekade ini adalah untuk memperkuat kerja sama
internasional dalam rangka penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat
adat di bidang HAM, lingkungan hidup, pembangunan, pendidikan, dan kesehatan[18].
Dalam
resolusi 49/214 pada 23 Desember 1994, Majelis Umum PBB menetapkan bahwa 9
Agustus merupakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Peristiwa ini
digunakan oleh PBB untuk memberikan perhatian terhadap masalah-masalah
masyarakat adat. Pada hari tersebut, pemerintah, ornop, dan kelompok-kelompok
lain yang peduli mempunyai kesempatan untuk mengadakan berbagai kegiatan yang
dapat meningkatkan kesadaran akan keberadaan dan kebudayaan masyarakat adat[19].
Pada
Maret 1996 diadakan Seminar Ahli tentang Pengalaman Praktis sehubungan dengan
Hak atas Tanah dan Tuntutan-tuntutan Masyarakat Adat diselenggarakan di
Whitehorse, Kanada[20].
Seminar ini merupakan bagian dari Program Aksi Dekade Internasional Masyarakat
Adat Dunia. Seminar ini menetapkan kesimpulan dan rekomendasi akhir mengenai
hak atas tanah dan tuntutan dari masyarakat adat. Seminar ini menekankan bahwa
pemajuan dan perlindungan hak atas tanah dan sumber daya alam masyarakat adat
merupakan hal yang penting bagi perkembangan masyarakat dan perjuangan budaya.
Lebih lanjut ditegaskan tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan. Seminar ini juga menyatakan bahwa pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan harus benar-benar memperhatikan nilai-nilai
masyarakat adat, pengetahuan, dan teknologi, dalam rangka menjamin sumber daya
alam bagi generasi-generasi selanjutnya.
Kemudian
pada tahun 2000 terbentuk United Nation Permanent Forum on Indigenous
Peoples. Badan ini menjadi jaringan internasional di bawah naungan PBB
untuk mendiskusikan dan mengembangkan upaya-upaya penguatan hak-hak masyarakat
adat. Buah dari kerja badan ini misalkan disahkannya United Nations
Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) atau Deklarasi PBB
tentang Hak-Hak Masyarakat Asli/Masyarakat Adat pada tanggal 12 September 2007
Majelis Umum PBB. Draft deklarasi ini sebenarnya sudah disiapkan sejak tahun
1984 oleh Working Group on Indigenous Peoples. Deklarasi ini merupakan
buah panjang dari perjuangan masyarakat adat pada level internasional. Pasal 25
UNDRIP yang menyebutkan hubungan masyarakat adat dengan wilayah kehidupannya
berbunyi sebagai berikut:
“Indigenous
peoples have the right to maintain and strengthen their distinctive spiritual
relationship with their traditionally owned or otherwise occupied and used
lands, territories, waters and coastal seas and other resources and to uphold
their responsibilities to future generations in this regard.”
“Masyarakat
adat memiliki hak untuk mempertahankan dan mengembangkan hubungan khas mereka
baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air dan
wilayah-wilayah lepas pantai, dan sumber-sumber lainnya dan meningkatkan
tanggung jawab mereka akan nasib generasi masa depan.” (Terjemahan bebas oleh
Penulis)
Deklarasi
ini bersifat progresif karena mengakui landasan-landasan penting dalam
perlindungan, pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Yang juga berisi
pengakuan baik terhadap hak individu maupun hak kolektif masyarakat adat, hak
atas identitas budaya, hak atas pendidikan, kesehatan, bahasa dan hak-hak dasar
lainnya. Deklarasi ini mengakui hak masyarakat adat untuk menentukan nasib
sendiri (self-determination), dan pengakuan terhadap hak masyarakat adat
atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam dan partisipasi dalam pembangunan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi tersebut.
Deklarasi
tersebut bersifat tidak mengikat (non legally binding). Oleh karena itu,
sekarang sedang dirancangan draft konvensi internasional tentang hak-hak
masyarakat adat supaya bisa menjadi norma mengikat bagi negara-negara pihak
yang meratifikasinya. Jadi deklarasi tersebut berisi harapan, janji dan konsep
tentang pengakuan hak masyarakat adat yang masih membutuhkan mobilisasi.
Disinilah tantangan bagi institusi politik (Pemerintah) untuk membuat tindakan
hukum yang berkaitan dengan tanggungjawabnya di bidang HAM. Saat ini sudah
banyak instrumen HAM internasional yang memasukkan hak-hak masyarakat adat di
dalamnya. Rafael Edy Bosco[21]
dalam tesisnya menyampaikan bahwa ada
sejumlah hak-hak prinsip dalam instrumen hukum HAM internasional yang berkaitan
dengan hak atas sumberdaya alam atau hak ulayat. Hak-hak itu antara lain:
a.
Hak menentukan nasib
sendiri (self determination)
b.
Hak untuk tidak
didiskriminasi
c.
Hak atas tanah
dan sumberdaya alam
d.
Hak atas
kebudayaan
e.
Hak untuk
berpartisipasi
f.
Hak atas lingkungan
yang sehat
g.
Hak untuk memberikan
Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (FPIC)
Sebagai HAM maka terhadap hak
ulayat berlaku doktrin umum tentang kewajiban negara untuk menghormati (to
respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil)
hak ulayat masyarakat adat. Melihat karakter hak ulayat lebih dekat dengan hak
Ekosob dari pada Hak Sipol, maka tanggungjawab pemerintah terhadap hak ulayat
adalah melakukan tindakan positif melalui serangkaian tindakan dalam
menghormati, melindungi, memenuhi hak ulayat dan melakukan penegakan hukum
terhadap pelanggaran hak yang terjadi.
5. Hak
Ulayat sebagai Hak Konstitusiona
Munculnya
negara modern memberikan tantangan baru bagi eksistensi masyarakat adat
berserta hak-hak yang dimilikinya. Negara modern muncul bersamaan dengan paham
demokrasi, hak asasi manusia dan konstitusionalisme. Dalam negara modern,
konstitusi merupakan dokumen yang berisi perjanjian semua komponen yang berada
dalam negara untuk mencapai tujuan bersama yang menggariskan cita-cita, hak-hak
yang harus dipenuhi dan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak-hak tersebut.
Konstitusi
sebagai dokumen perjanjian semua komponen dalam suatu negara merupakan ajaran
yang dikembangkan oleh beberapa pemikir klasik seperti Thomas Hobbes, John
Locke dan J.J. Rouseau. Ajaran ini dikenal dengan ‘kontrak sosial’[22].
Thomas Hobbes menyatakan bahwa
perjanjian itu diperlukan untuk mengikat semua orang yang ada di dalam negara
agar bisa meminimalisir sifat ‘beringas’ manusia yang cenderung merugikan orang
lain. Hal ini karena menurut Hobbes watak dasar manusia adalah menjadi musuh
bagi manusia lainnya, homo homini lupus. John Locke menyatakan bahwa
kontrak atau perjanjian itu sebagai ukuran untuk mengevaluasi jalannya
pemerintahan, bila pemerintah lari dari apa yang sudah dijanjikan, maka warga
negara memiliki hak untuk melakukan pembangkangan. Sedangkan Rouseau menyatakan
bahwa dokumen perjanjian tersebut merupakan kontrak yang berisi hak-hak setiap
warga negara yang sudah dibersihkan dari kehendak-kehendak egoistis individu,
sehingga yang tersisa adalah kehendak umum (volonte generale) yang tidak
dapat dicabut, tidak dapat dibagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat
salah.
HAM
menjadi hak konstitusional ketika dituliskan sebagai norma-norma di dalam
konstitusi. Sejalan dengan doktrin kontrak sosial, positivisasi[23]
HAM itu banyak dipengaruhi oleh
pandangan para pemikir klasik. John Locke yang paling banyak dikutip dalam
sejarah HAM menyatakan bahwa HAM merupakan hak alamiah (natural rights)
yang seiring dengan kelahiran negara membutuhkan konversi agar hak alamiah itu
menjadi bagian dari unsur negara. Cara yang ditempuh adalah dengan meneguhkan
hak alamiah (natural rights) menjadi hukum alamiah (natural law)
yang tertulis dalam hukum suatu negara. Dan hukum tertinggi dalam suatu negara
adalah konstitusi. Didasarkan pada pandangan Herbert Lionel Adolphus Hart
(1907-1992), positivisasi hak-hak masyarakat merupakan upaya untuk mendamaikan
antara hukum modern yang dipakai untuk menata kehidupan bernegara (secondary
rules) dengan hukum asli yang ada di dalam komunitas masyarakat (primary
rules). Meskipun demikian sifat HAM sebagai hak alamiah tidak luntur ketika
ia dipositivisasi ke dalam konstitusi maupun dalam bentuk hukum tertulis
lainnya. Tanpa dipositivisasi pun, HAM tetaplah HAM sebagai hak yang melekat
pada manusia.
Dalam
logika pengembangan HAM dari para pemikir tersebut, posisi hak ulayat menjadi
dilematis. Pada satu sisi karena membutuhkan positivisasi maka hak ulayat hanya
akan diakui apabila diatur di dalam hukum tertulis yang dibuat oleh institusi
negara. Secara negatif, dapat dikatakan bahwa, jika tidak diakui secara hukum
maka eksistensi masyarakat adat itu dianggap lenyap (excluded)[24].
Padahal hak ulayat sebagaimana HAM yang
lain adalah hak yang melekat pada diri masyarakat adat. Hak ulayat adalah hak
yang otohton atau hak asal yang menjadi penanda keberadaan suatu
komunitas masyarakat adat. Bukan hak berian. Tanpa dituliskan di dalam
konstitusi maupun dalam bentuk hukum tertulis lainnya yang dibuat oleh negara,
hak ulayat tetap menjadi lembaga yang hidup di dalam masyarakat adat.
Namun
perkembangan kontemporer menunjukkan bahwa hak ulayat juga dituliskan di dalam
konstitusi-konstitusi banyak negara, sebagaimana HAM lainnya. Hal ini terutama
terlihat di dalam konstitusi-konstitusi negara berkembang yang masyarakatnya
memanfaatkan tanah, air dan sumberdaya alam lainnya untuk melangsungkan
kehidupan. Karena hak ulayat menjadi salah satu tema penting dalam masyarakat
agraris, bukan masyarakat industri, maka tidak salah konstitusi-konstitusi
negara Industri di Eropa – seperti Perancis, Inggris dan juga Amerika Serikat,
dimana nilai-nilai HAM muncul di dalam konstitusinya tidak memasukkan hak ini
sebagai salah satu norma konstitusi. Bagi negara-negara industri, hak milik
individu lebih utama daripada hak ulayat yang berkarakter komunal.
Bahkan
hak milik individu merupakan fondasi terpenting dalam pengembangan produksi dan
industrialisasi karena individualisasi hak merupakan prakondisi bagi hak
kebebasan individu untuk melakukan hubungan kontraktual dan memudahkan
persaingan bebas di pasar. Ada perbedaaan mendasar antara bangunan negara-negara
di Eropa dengan dasar pembangunan negara-negara dunia ketiga. Menurut Roberto
Mangabeira Unger[25],
negara modern di Eropa dibangun di atas
ambruknya tatanan sosial lama sekaligus sebagai upaya untuk menampung aspirasi
liberal individual. Sedangkan negara-negara dunia ketiga merebut kemerdekaan
dari kolonial untuk membuat negara baru. Bagi negara-negara dunia ketiga,
tatanan sosial lama tidak benar-benar ambruk, melainkan tatanan itu menjadi
dasar bagi pembangunan negara baru, misalkan hukum adat. Sehingga tatanan yang
berkembang dari the old still existing natives menjadi bagian yang
dipakai dalam membangun negara modern.
Sebagai
buah dari perjuangan kemerdekaan, negara-negara dunia ketiga yang bercorak
agraris memasukkan pengaturan pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak ulayat
di dalam konstitusinya. Misalkan Filipina yang memasukkannya dalam Article II
section 22 dan Article XII section 5 yang berbunyi:
“Article II Section 22 : The State
recognizes and promotes the rights of indigenous cultural communities within
the framework of national unity and development
Article XII Section 5 : The State,
subject to the provisions of this Constitution and national development
policies and programs, shall protect the rights of indigenous cultural
communities to their ancestral lands to ensure their economic, social, and
cultural well-being.
The Congress may provide for the
applicability of customary laws governing property rights and relations in
determining the ownership and extent of ancestral domain.”
Papua
New Guinea mengaturnya dalam Point 54 tentang Special Provision In Relation To
Certain Lands, yang berbunyi sebagai berikut: “Nothing in Section 37 (protection
of the law) or 53 (protection from unjust deprivation of property)
invalidates a law that is reasonably justifiable in a democratic society that
has a proper regard for human rights and that provides–
(a) for the recognition of the
claimed title of Papua New Guinea to land where–
(i) there is a genuine dispute as
to whether the land was acquired validly or at all from the customary owners
before Independence Day; and
(ii) if the land were acquired
compulsorily the acquisition would comply with Section 53(1) (protection
from unjust deprivation of property); or
(b) for the settlement by
extra-judicial means of disputes as to the ownership of customary land that
appear not to be capable of being reasonably settled in practice by judicial
means; or
(c) for the prohibition or
regulation of the holding of certain interests in, or in relation to, some or
all land by non-citizens.”
Pengaturan hak ulayat di dalam
konstitusi menjadi penting karena konstitusi menggambarkan bagaimana masyarakat
dalam suatu negara akan diorganisir. Sejak permulaannya, konstitusi merupakan
ruang dimana HAM pada suatu negara tumbuh dan diadopsi. Muatan konstitusi suatu
negara merupakan dokumen antropologis tentang bagaimana suatu negara menghargai
HAM dan membatasi kekuasaan Negara. Bahkan sejarah HAM Internasional tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan konstitusi-konstitusi negara demokratis.
Penelusuran pada norma konstitusi penting dilakukan karena dalam negara
demokratis yang berdasarkan hukum seperti Indonesia, konstitusi merupakan hukum
tertinggi dimana semua tindakan hukum pemerintah dan tindakan sosial ditujukan
dan dievaluasikan, termasuk hak ulayat. Namun problem mendasar yang diidap
dalam konstitusi bagi pengakuan HAM akan membuat pelanggaran HAM terjadi lebih
struktural.
Dalam pendekatan struktural, negara
merupakan struktur besar yang di bawahnya ada individu, masyarakat dan
korporasi. Setiap komponen yang ada di dalam negara saling berkompetisi satu
sama lain untuk memperjuangkan kepentingannya. Pada zaman dimana semua komunitas
masyarakat adat tergabung dalam institusi negara, maka tidak dapat dielakkan
bahwa mereka harus menegosiasikan bahkan memperjuangkan hak atas wilayah hidup mereka
diantara berbagai kategori hak yang dibuat oleh negara.
Oleh karena itu, ketika hubungan mereka dengan wilayah hidup
mereka dikategorikan sebagai hak, maka hubungan tersebut digiring masuk dalam
logika yang bersifat formal dan relasional beserta dengan implikasi-implikasi
yang mengikutinya[26].
6.
Konstitusionalitas Hak
Ulayat dalam Konstitusi di Indonesia
Sebelum Proklamasi Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah
kolonial Belanda yang berkuasa lama di Indonesia menerapkan politik pluralisme
hukum dengan membagi sistem hukum ke dalam tiga stelsel hukum, yaitu hukum
perdata barat, hukum untuk bangsa timur asing, serta hukum adat untuk penduduk
pribumi. Pascakolonialisme, proses unifikasi hukum diupayakan Pemerintah
Indonesia mulai dari UUD 1945 sampai pada UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok
Agraria (UUPA). Pada permulaan republik, para pemikir hukum Indonesia berupaya
mengadopsi hukum adat yang menjadi dasar pengaturan hak ulayat untuk digunakan
sebagai fondasi pembangunan hukum nasional. Hal ini menghadapi tantangan besar
karena sistem sosial pada masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam
suku bangsa dan memiliki lokalitas hukumnya masing-masing.
Perdebatan-perdebatan itu salah satunya terekam dalam dokumen-dokumen hukum
yang dihasilkan. Berikut dijelaskan beberapa pengaturan terkait hak ulayat di
dalam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia.
a.
Pembahasan UUD 1945
Dalam pembahasan UUD
1945 pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, taktis hanya Soepomo dan M. Yamin yang
menyentuh tentang keberadaan hukum adat dalam konstitusi yang akan dibentuk.
Tidak terlihat secara tegas ada anggota sidang lainnya yang memberikan
pemikiran konseptual berkaitan dengan posisi hukum adat dalam negara republik
yang sedang dirancang. Pada permulaan republik, diskusi hukum adat lebih maju
dari pada soal masyarakat dan hak-haknya meskipun kedua-duanya saling memasuki
(included).
M. Yamin menyampaikan bahwa kesanggupan dan kecakapan bangsa
Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul
beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum
seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri
Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di
Minahasa, dan lain sebagainya. Susunan itu begitu kuat sehingga tidak bisa
diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme dan pengaruh Eropa[27].
Yamin tidak menjelaskan lebih jauh konsepsi hak atas tanah dari
persekutuan hukum yang disinggungnya, melainkan menyatakan bahwa adanya
berbagai macam susunan persekutuan hukum adat itu dapat ditarik beberapa
persamaannya tentang ide perwakilan dalam pemerintahan. Sehingga Yamin
menyimpulkan bahwa persekutuan hukum adat itu menjadi basis perwakilan dalam
pemerintahan republik.
Sedangkan Soepomo dengan paham negara integralistik menyampaikan
bahwa[28]:
“... Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai
dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita
harus berdasarkan atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang intergralistik,
negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh
golongan-golongannya dalam lapangan apapun”
Lebih lanjut dalam menjelaskan susunan pemerintahan, Soepomo
mengaitkannya dengan hak ulayat:
“hak asal usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang
bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan (kooti), baik di Jawa
maupun di luar Jawa, yang dalam bahasa Belanda dinamakan
zelfbesturendelanschapen. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan
asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan
rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari
di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli,
gampong di Aceh . . . dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunannya
asli.”
Berbeda
dengan Yamin, Soepomo yang merupakan sarjana hukum adat pada masa itu
menjelaskan bahwa hak asal usul atau yang juga disebutnya dengan istilah hak
pertuanan memiliki dua jenis pengemban hak. Pertama adalah kerajaan dan subjek
lainnya adalah susunan pemerintahan desa atau nama lainnya.
Pembicaraan
tentang hak ulayat dalam pembahasan UUD 1945 kemudian menghasilkan Pasal 18 UUD
1945 yang mengaitkan antara hak ulayat dengan sistem pemerintahan. Pasal 18 UUD
1945 yang berbunyi:
“Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan membentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul
dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa.”
Dalam
pengaturan demikian, maka persoalan hak asal-usul atau hak ulayat direduksi
menjadi persoalan tata pemerintahan. Keistimewaan kerajaan lama dan susunan
persekutuan masyarakat asli beserta hak asal usulnya dihormati dalam rangka
menopang pemerintahan pusat. Kerajaan lokal dan persekutuan masyarakat asli
diharapkan menjadi pemerintahan bawahan yang menyatu dengan pemerintahan
atasan.
Memang
fokus utama pembahasan pada pembentukan UUD 1945 adalah menjadikannya sebagai
konstitusi politik penanda keberadaan republik baru. Sebagai konstitusi
politik, orientasinya adalah untuk melakukan konsolidasi kekuatan dari setiap
unit sosial yang ada. Oleh karena itu, perdebatan yang muncul tentang HAM di
dalam konstitusi pada waktu itu antara pihak yang mendukung pemasukkan HAM di
dalam konstitusi dengan pihak yang menentang tidak diselesaikan secara tuntas.
Jalan tengah yang diambil pada waktu itu adalah dengan menyatakan bahwa UUD
1945 hanya sebagai UUD sementara, Presiden Soekarno menyebutnya sebagai UUD
kilat. Lebih lanjut para pendiri republik menyatakan akan menmbuat konstitusi
yang lebih baik dari UUD 1945 setelah situasi lebih kondusif. Karena itulah UUD
1945 sedikit sekali mengatur jaminan HAM baik hak individu maupun hak ulayat
masyarakat adat.
Disamping hak ulayat yang
diatur secara implisit, UUD 1945 juga mengatur (hak) penguasaan negara atas
sumberdaya alam yang dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (3), yang berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Mohammad Hatta menyatakan bahwa Pasal 33 ayat (3) itu memberikan
kewajiban kepada pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pengaturan agar
penguasaan negara atas sumberdaya alam dapat ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Implikasi dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945 terhadap hak ulayat
dijelaskan pada salah satu bagian dalam tulisan ini di bawah.
b.
Konstitusi Republik
Indonesia Serikat
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) disahkan pada tanggal
29 Oktober 1949. Konstitusi ini merupakan hasil dari suatu kesepakatan
(Konferensi Meja Bundar) antara pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah
Belanda. Sama dengan UUD 1945, nuansa yang menyelimuti KRIS adalah nuansa
politik dalam memperjuangkan kedaulatan suatu negara baru yang diwakili oleh
pemerintahnya. Atas pengutamaan itu, maka hal-hal yang berkaitan dengan hak
warga negara, terutama hubungan warganegara/masyarakat dengan sumberdaya alam,
belum menjadi tema yang penting dijabarkan lebih jauh dan konkret. Hak ulayat
tidak mendapat tempat di dalam KRIS.
Meski demikian, dalam KRIS diatur hubungan hukum antara warga
negara dengan benda (termasuk sumberdaya alam/agraria), dalam bentuk hubungan
hak kepemilikan. Hal ini diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) KRIS yang
berbunyi:
“(1) Setiap
orang berhak mempunyai milik, baik milik pribadi maupun bersama-sama dengan
orang lain. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.”
Pada intinya Pasal 25
ayat (1) KRIS menyebutkan bahwa hak milik dapat dimiliki oleh individu dan
kolektif. Ketentuan ini menjadi tautan bagi kepemilikan bersama masyarakat adat
atas wilayah hidupnya. Meskipun sebenarnya antara hak milik dengan hak ulayat
tidak mudah dipersamakan. Selain ketentuan di atas, KRIS secara implisit
mendelegasikan supaya dibuat aturan lebih lanjut tentang hak-hak atas
persekutuan rakyat. Hal ini disebutkan dalam Pasal 47 KRIS yang berbunyi:
“Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah
menjamin hak atas kehidupan rakyat sendiri kepada pelbagai persekutuan rakyat
di dalam lingkungan daerah mereka dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk
mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan tentang penyusunan
itu secara demokratis dalam daerah-daerah otonom.”
Namun delegasi pengaturan itu tidak pernah muncul dalam usia KRIS
yang sangat singkat, tidak sampai satu tahun. Pada tanggal 17 Agustus 1950
Pemerintah mengganti KRIS dengan mengundangkan UUD Sementara Republik Indonesia
(UUDS 1950).
c.
UUDS 1950
Pengaturan tentang hak ulayat tidak mengalami banyak perubahan
antara KRIS dengan UUDS 1950. Perubahan mendasar dari UUDS 1950 adalah
perubahan bentuk negara yang sebelumnya federal kembali kepada bentuk negara
kesatuan. Hubungan warga negara dengan benda (termasuk sumberdaya alam/agraria),
yaitu hubungan hak kepemilikan diatur dalam Pasal 26 yang bunyinya sama dengan
Pasal 25 KRIS, yaitu ayat (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik milik
pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain. Ayat (2) Tidak seorangpun boleh
dirampas miliknya dengan semena-mena. Dan ayat (3) hak milik itu adalah suatu
fungsi sosial.
Disamping pengakuan terhadap hak milik, UUDS 1950 menghidupkan
kembali hak penguasaan negara atas sumberdaya alam yang diatur dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945. Sebelumnya dalam KRIS ketentuan tentang penguasaan negara
atas sumberdaya alam tidak dimasukkan. Penguasaan negara atas sumberdaya alam
dalam UUDS 1950 ditemukan dalam Pasal 38 ayat (3) yang bunyinya persis sama
dengan Pasal 33 ayat (3). Dalam UUDS 1950 tidak ditemukan rumusan pengaturan
tentang hak ulayat.
d.
Persidangan
Konstituante
Pemilu demokratis
pertama di Indonesia pada tahun 1955 disamping memilih DPR, juga dilakukan
untuk memilih anggota Konstituante yang bersidang merumuskan Konstitusi
Indonesia yang dapat dipergunakan dalam
jangka waktu panjang. Sidang Konstituante diandaikan sebagai suatu konsensus
nasional membentuk hukum dasar tertinggi dalam pemerintahan demokratis.
Persidangan Konstituante terjadi pada suasana politik massa yang menghangat pasca
Pemilu 1955.
Adnan
Buyung Nasution (ABN)[29]
dalam disertasinya merekam perdebatan
konstituante yang dianggap sebagai cerminan sistem bernegara yang demokratis.
Naskah-naskah yang ada dari persidangan konstituante memasukkan banyak sekali
pengaturan tentang HAM. ABN mencatat setidaknya ada 24 jenis HAM beserta
turunannya yang diterima oleh Konstituente[30],
tetapi hak-hak tersebut pada umumnya
bercorak individual. Dalam Disertasi ABN tidak ditemukan konstruksi hak ulayat
yang diperbincangkan, serta juga tidak ditemukan hak-hak masyarakat adat secara
lebih luas. Karena sangat mengutamakan HAM individu, maka banyak kalangan yang
menilai bahwa perdebatan HAM yang berlangsung di dalam konstituante mengadopsi
banyak sekali konsep barat yang diduga tidak sepenuhnya cocok dengan konsteks
masyarakat Indonesia yang bersifat komunal, gotong royong dan kekeluargaan.
Perdebatan
dalam persidangan konstituante berlangsung alot antara tiga kelompok besar
nasionalis, islam dan komunis. Perdebatan yang sengit antara tiga kelompok itu
tentang dasar negara mengalami deadlock sehingga Presiden Soekarno atas
dasar tidak tercapainya kesepakatan tentang dasar negara itu mengeluarkan
Dekrit Presiden membubarkan konstituante dan mengembalikan UUD 1945. Dekrit
tersebut dapat dinilai sebagai suatu penolakan Soekarno terhadap model
demokrasi yang akan dikembangkan dari konstitusi baru yang sedang dibahas
Konstituante, sehingga ia menggantikannya dengan Demokrasi Terpimpin.
Pada
tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membubarkan Konstituante, memberlakukan
kembali UUD 1945 dan mendelegasikan pembentukan MPRS yang terdiri dari Anggota
DPR ditambah utusan daerah-daerah dan golongan-golongan. Dengan berlaku kembali
UUD 1945, pengaturan tentang hak ulayat di dalam konstitusi Indonesia juga kembali
kepada Pasal 18 UUD 1945. Perkembangan pengaturan hak ulayat setelah kembali ke
UUD 1945 lebih banyak pada level peraturan perundang-undangan.
UU
No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) adalah peraturan terpenting yang
menjadi dasar pengaturan hak ulayat setelah kembali ke UUD 1945. UUPA
menyatakan bahwa penguasaan negara atas sumberdaya alam berasal dari
pengangkatan hak ulayat bangsa Indonesia atas bumi, air dan kekayaan alam yang
ada di dalamnya. Ketentuan ini seakan-akan membuat masyarakat kehilangan
kontrol atas hak ulayat dan negara menjadi satu-satunya pemegang hak. Kemudian
dari konsepsi itu Negara melalui Pemerintah diberikan Hak Menguasai Negara. Hak
Menguasai Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat[31].
Dalam
masa pemerintahan Orde Baru, landasan pengaturan hubungan hukum terkait
sumberdaya alam dipecah-pecah (fragmented) ke dalam berbagai UU sektoral
seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Pengairan, UU Lingkungan Hidup, dll.
Sehingga pengaturan hak ulayat juga terpecah-pecah.
e. UUD
1945 setelah empat kali amandemen
Gerakan
reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tidak hanya menghadirkan suatu kebaruan
dalam bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, tetapi juga menghidupkan kembali
perdebatan lama ke dalam masa transisi. Hak ulayat dan pengusaan negara atas
sumberdaya alam adalah tema yang kembali diperdebatkan diantara berbagai tema
penting lainnya.
Paket
empat kali amandemen UUD 1945 (1999-2002) menjadi ruang dimana pertarungan ide
berlangsung. Pada bagian ini yang akan dibahas adalah tentang pengaturan hak
ulayat dan hubungannya dengan penguasaan negara atas sumberdaya alam.
Keterkaitan itu beranjak dari asumsi bahwa “hak” merupakan tema yang bersifat
formal, relasional dan diskretif.
1.
Pengakuan dan
Pembatasan Hak Ulayat
Kemajuan
terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan
sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945. Kemajuan tersebut terlihat dalam Pasal 18B ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menyebutkan:
Pasal 18B
UUD 1945
1)
Negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2)
Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Pasal 28I
ayat (3) UUD 1945
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Ketentuan
di atas memisahkan antara persoalan tata pemerintahan yang bersifat khusus dan
istimewa (Pasal 18B ayat (1) dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya
(Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Pemisahan antara Pasal 18B ayat (1)
dengan Pasal 18B ayat (2) memberi arti penting untuk membedakan antara bentuk
persekutuan masyarakat (hukum) adat dengan pemerintahan “kerajaan” lama yang
masih hidup dan dapat bersifat istimewa. Hal ini menjadi penting karena selama
ini soal hak ulayat sering dikaitkan dengan hak (istimewa) raja lokal atas
wilayah penguasaannya.
Pemisahan ini merujuk kepada pemikiran Soepomo yang disampaikan
pada sidang pembentukan UUD pada tahun 1945. Sehingga Pasal 18B ayat (1)
ditujukan kepada Daerah-daerah Swapraja, yaitu daerah-daerah yang diperintah
oleh raja-raja yang telah mengakui kedaulatan Pemerintah Belanda atas
daerah-daerah mereka, baik atas dasar kontrak panjang (Kasunanan Solo,
Kasultanan Yogyakarta dan Deli), maupun atas dasar pernyataan pendek (Kasultanan
Goa, Bone, dan lain sebagainya). Sedangkan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I
ayat (3) ditujukan kepada Desa, Marga, Huta, Kuria, Nagari, Kampong dan
sebagainya, yakni suatu kesatuan hukum adat yang mengurus rumah tangga sendiri
berdasarkan hukum adat.
Meski sudah mengakui
dan menghormati keberadaan masyarakat adat berserta hak ulayatnya secara
deklaratif, Pasal 18B ayat (2) mencantelkan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat
dikategorikan sebagai masyarakat (hukum) adat beserta hak ulayat yang dapat
dimanfaatkannya. Persyaratan-persyaratan itu secara kumulatif adalah:
a. Sepanjang
masih hidup
b. Sesuai
dengan perkembangan masyarakat
c. Sesuai
dengan prinsip NKRI
d.
Diatur dalam
Undang-undang.
Rikardo Simarmata[32]
menyebutkan bahwa persyaratan terhadap
masyarakat adat dan hak ulayatnya yang dilakukan oleh UUD 1945 setelah
amandemen memiliki sejarah yang dapat dirunut dari masa kolonial. Persyaratan
terhadap masyarakat adat sudah ada di dalam Aglemene Bepalingen (1848), Reglemen
Regering (1854) dan Indische Staatregeling (1920 dan 1929) yang
mengatakan bahwa orang pribumi dan timur asing yang tidak mau tunduk kepada
hukum Perdata Eropa, diberlakukan undang-undang agama, lembaga dan adat
kebiasaan masyarakat, “sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang
diakui umum tentang keadilan.” Persyaratan yang demikian berifat
diskriminatif karena terkait erat dengan eksistensi kebudayaan. Orientasi
persyaratan yang muncul adalah upaya untuk menundukkan hukum adat/lokal dan
mencoba mengarahkannya menjadi hukum formal/positif/nasional. Di sisi lain juga
memiliki pra-anggapan bahwa masyarakat adat adalah komunitas yang akan
“dihilangkan” untuk menjadi masyarakat yang modern, yang mengamalkan pola
produksi, distribusi dan konsumsi ekonomi modern.
Sedangkan F. Budi Hardiman[33]
menyebutkan pengakuan bersyarat itu
memiliki paradigma subjek-sentris, paternalistik, asimetris, dan monologal,
seperti: “Negara mengakui”, “Negara menghormati”, “sepanjang … sesuai dengan
prinsip NKRI” yang mengandaikan peranan besar negara untuk mendefinisikan,
mengakui, mengesahkan, melegitimasi eksistensi, sepanjang masyarakat adat mau
ditaklukkan dibawah regulasi negara atau dengan kata lain “dijinakkan”.
Paradigma seperti ini tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan dan otonomi yang
ada dalam demokrasi.
Satjipto Rahardjo[34]
menyebutkan empat persyaratan dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai bentuk kekuasaan negara yang hegemonial
yang menentukan ada atau tidaknya masyarakat adat. Negara ingin mencampuri,
mengatur semuanya, mendefinisikan, membagi, melakukan pengkotakan (indelingsbelust),
yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan negara.
Sedangkan Soetandyo Wignjosoebroto[35]
menyebutkan empat persyaratan itu baik ipso
facto maupun ipso jure akan gampang ditafsirkan sebagai ‘pengakuan
yang dimohonkan, dengan beban pembuktian akan masih eksisnya masyarakat adat
itu oleh masyarakat adat itu sendiri, dengan kebijakan untuk mengakui atau
tidak mengakui secara sepihak berada di tangan kekuasaan pemerintah pusat.
Pada level undang-undang, pengakuan
bersyarat terhadap masyarakat adat dalam sejarah Republik Indonesia dimulai
sejak UUPA, dilanjutkan oleh UU Kehutanan lama, UU Pengairan, UU Kehutanan baru
dan beberapa peraturan departemen dan lembaga pemerintahan. Setelah UUD 1945
mengadopsi empat persyaratan bagi masyarakat adat, kemudian berbagai
undang-undang yang lahir pasca amandemen juga mengikuti pola tersebut, antara
lain oleh UU Sumberdaya Air, UU Perikanan dan UU Perkebunan. Bahkan UU No.
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengikuti pola yang sama, sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi: adat beserta hak ulayat [Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945 juncto Pasal 51 ayat 1 huruf b UU MK] dengan beberapa tolak
ukur sebagai berikut:
1)
Suatu kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang bersangkutan secara de facto masih
ada dan/atau hidup (actual existence), apabila setidak-tidaknya
mengandung unsur-unsur:
a) ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group
feeling);
b) ada pranata pemerintahan adat;
c) ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
d) ada perangkat norma hukum adat; dan
e) khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat
teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu;
2)
Suatu kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dimaksud sesuai dengan perkembangan
masyarakat apabila:
a) keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku
sebagai pencerminan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa
ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti
bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain, maupun dalam peraturan
daerah;
b) substansi hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh warga
kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih
luas, serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia;
3)
Suatu kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dianggap sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia apabila tidak mengganggu eksistensi NKRI sebagai
satu kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu: (i) keberadaannya tidak
mengancam kedaulatan dan integritas NKRI; dan (ii) substansi norma hukum
adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Namun berbagai
pengakuan bersyarat yang ada belum memberikan penjelasan yang benar-benar jelas
dan utuh tentang siapa seharusnya mengakui masyarakat adat. Hal ini
“Dalam
rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat
hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan
Pemerintah.
Identitas
budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan zaman.”
Mahkamah
Konstitusi pun dalam putusannya mencoba menafsirkan tentang empat persyaratan
pengakuan hak masyarakat mengindikasikan bahwa pemerintah masih belum
bersungguh-sungguh membuat ketentuan yang jelas dan tegas untuk menghormati dan
mengakui hak ulayat masyarakat adat. Dikatakan tidak jelas karena belum ada
aturan yang konkret tentang apa saja hak-hak yang terkait dengan keberadaan
masyarakat dan hak yang dapat dinikmatinya. Dikatakan tidak tegas karena belum
diatur secara tegas bagaimana mekanisme pemenuhan dan penegakan yang dapat
ditempuh agar masyarakat adat berserta dengan hak-haknya dapat dinikmati
melalui administrasi pemerintahan dan dimuka pengadilan (justiciable).
Ketidakjelasan
dan ketidaktegasan itu terjadi dikarenakan dua hal, yaitu antara ketidakmampuan
dan ketidak-mauan pemerintah membuat ketentuan yang umum tentang pengakuan
(hak-hak) masyarakat adat. Tidak mampu karena persekutuan masyarakat adat di
Indonesia sangat beragam berdasarkan sebaran pulau, sistem sosial, antropologis
dan agama. Sehingga tidak mudah membuat satu ketentuan yang bersifat umum untuk
mengakui masyarakat adat yang satu sama lain memiliki karakter yang
berbeda-beda. Tidak mau karena pengaturan yang kabur tentang masyarakat
memberikan ruang diskresi dan hegemoni kepada pemerintah untuk dapat
memanipulasi hak-hak asli masyarakat demi kepentingan eksploitasi sumberdaya
alam yang berada di wilayah masyarakat adat. Ketidakmauan ini menguntungkan
penguasa dan merugikan masyarakat adat.
Persyaratan
dalam Pasal 18B ayat (2) berserta dengan serangkaian persyaratan yang dilanjutkan
oleh beberapa UU Sumberdaya Alam menunjukkan bahwa Negara cq Pemerintah baru
bisa mengakui (to respect) hak ulayat masyarakat adat secara deklaratif,
belum sampai pada tindakan hukum untuk melindungi (to protect) dan memenuhi (to
fullfill) agar hak ulayat masyarakat adat dapat terpenuhi. Belum ada
mekanime pemenuhan dan penegakan hukum nasional bila terjadi pelanggaran
terhadap hak ulayat yang merupakan hak asasi manusia. Selama ini walaupun ada
putusan pengadilan yang mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat
dalam penyelesaian sengketa, hal itu masih sangat tergantung kepada penafsiran
hakim terhadap aturan yang masih kabur.
2.
Tantangan dari Penguasaan Negara atas Sumberdaya Alam
Di samping
menyisipkan pengakuan dan penghormatan kepada kesatuan masyarakat hukum adat
berserta hak ulayatnya, paket amandemen UUD 1945 juga menegaskan dan
menambahkan nilai-nilai berkaitan dengan penguasaan negara atas sumberdaya
alam. Sebenarnya antara hak ulayat dan penguasaan negara atas sumberdaya alam
tidak perlu dipertentangkan sebab keduanya dapat bersifat komplementer, tetapi
dinamika yang terjadi pada salah satu hak tersebut akan mempengaruhi jenis hak
lainnya pada sisi lain. Bahkan dapat melemahkan hak lainnya.
Hasil Amandemen UUD 1945 mempertahankan pengaturan penguasaan
negara atas sumberdaya alam yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3):
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Konsep penguasaan negara atas sumberdaya alam dari rumusan
ketentuan di atas ditambahkan dengan nilai-nilai baru dalam fungsi penguasaan
negara di atas dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara
ekonomi. Nilai-nilai tambahan itu menjadi landasan perekonomian sumberdaya alam
yang terlihat dalam tambahan ayat (4) dari Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.”
Prinsip atau nilai-nilai konstitusional dalam penguasaan
sumberdaya alam dalam kegiatan ekonomi sumberdaya alam itu tidak menyatakan
pentingnya mengakomodasi hak-hak kolektif masyarakat seperti hak ulayat.
Meskipun sebenarnya kolektivisme dalam ekonomi sumberdaya alam dapat ditarik
dari Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan), tetapi ayat (4) dari Pasal 33 UUD 1945
bukanlah sebagai pelengkap Pasal 33 ayat (1) secara kumulatif, melainkan
sebagai serangkaian nilai-nilai tambahan yang bersifat alternatif[36].
Hal ini memberikan
konsekuensi bahwa konstitusionalitas penguasaan negara atas sumberdaya alam
tidak bersifat tunggal.
Asas
demokrasi ekonomi yang sering dimaknai sebagai kompetisi meminggirkan hak-hak
kolektif masyarakat (hak ulayat) yang posisinya dilemahkan. Asas ini tidak
menganggap penting afirmative action bagi hak-hak yang selama ini berada
pada posisi lemah. Nilai-nilai kesatuan ekonomi nasional memberikan mandat
kepada pemerintah untuk membuat tolak ukur kepentingan nasional, sebagaimana
pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat juga harus tunduk kepada
kepentingan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Prinsip harus
sesuai dengan NKRI yang sering dimaknai sebagai norma untuk menghindari ancaman
disintegrasi.
Dalam
hal ini, ancaman disintergrasi memiliki kemiripan dengan ancaman dari kepemilikan
komunal (hak ulayat) yang dapat mengancam efisiensi ekonomi sebab banyak pihak
yang mengeksploitasi sumberdaya alam berargumen bahwa hak ulayat menjadi salah
satu faktor penghambat investasi. Sampai saat ini pemerintah masih mengutamakan
iklim investasi yang kondusif sebagai salah satu indikator peningkatan ekonomi
daripada pemenuhan hak-hak warganegara.
7. Pembaruan
Hukum: Menuju Pengakuan Hak Ulayat?
Gerakan
sosial seringkali menjadi konsideran perubahan-perubahan instrumental.
Demikianlah sejarah konstitusi-konstitusi banyak negara, bahkan juga sejarah
lahirnya beberapa instrumen HAM internasional. Gerakan Reformasi 1998 yang
digerakkan oleh mahasiswa juga mendorong perubahan-perubahan instrumental.
Perubahan instrumental melalui pembaruan hukum yang pada awalnya diharapkan
menjadi jalan untuk memperbaiki kondisi sebelumnya malah rentan untuk jatuh
menjadi cara yang menguatkan ketidak-adilan dari masa lalu.
Reformasi
1998 menjadi masa transisi untuk melakukan refleksi terhadap perlakuan negara
terhadap masyarakat adat sepanjang republik berdiri. Selama 32 tahun Orde Baru
berkuasa, masyarakat adat menjadi korban atas ambisi-ambisi pembangunan yang
tersentralisasi[37]. Seiring
dengan menguatnya wacana dan kebijakan desentralisasi dan otonomi, gerakan
masyarakat adat di Indonesia juga ikut menguat. Gerakan ini muncul untuk
mengoreksi pola pembangunan yang selama ini mendiskriminasi masyarakat adat
secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Marjinalisasi
masyarakat adat tidak saja terjadi karena political will penguasa, tapi
terjadi secara struktural yang dilegitimasi dengan perangkat hukum. Karena
itulah upaya untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat juga masuk dalam
ranah hukum. Hukum lama yang mewakili corak hukum represif[38]
berupaya menciptakan masyarakat
Indonesia modern sesuai dengan tafsir penguasa. Reformasi yang menghadirkan
masa transisi memberikan arena untuk melakukan koreksi atas pengembangan hukum
untuk menciptakan hukum yang responsif[39]
terhadap berbagai dimanika dan tuntutan
masyarakat adat. Ada beberapa upaya pembaruan instrumen hukum yang dapat
dikaitkan dengan isu hak ulayat setelah 1998. Misalkan Tap MPR No. IX tahun
2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang dikeluarkan
pada tanggal 9 November 2001. TAP ini berisi perintah kepada Pemerintah untuk
melakukan peninjauan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait
sumberdaya alam, menyelesaikan konflik agraria dan sumberdaya alam serta
mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat dan keragaman budaya
bangsa atas sumberdaya agraria/sumberdaya alam.
Tap
MPR ini kemudian direspons dengan menyiapkan rancangan undang-undang (RUU)
tentang pengelolaan sumberdaya alam. Upaya ini dimotori oleh pihak-pihak yang
selama ini terlibat aktif dalam isu lingkungan, sumberdaya alam/agraria,
hak-hak masyarakat adat serta didukung oleh Kementerian Lingkungan Hidup. RUU
ini mencoba menjadi aturan “payung” dengan mengkonsolidasikan berbagai
prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini terpecah-pecah
dalam banyak undang-undang, misalkan UUPA, UU Pengairan, UU Kehutanan, UU
Pertambangan, UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan UU lainnya.
Upaya
melakukan konsolidasi berbagai ketentuan sumberdaya alam memiliki relevansi
dengan perjuangan hak ulayat oleh masyarakat adat karena undang-undang di
bidang sumberdaya alam yang selama ini terpecah-pecah (fragmented)
menyulitkan masyarakat adat dalam menegosiasikan pemenuhan hak ulayat.
Pengaturan melalui undang-undang yang terpecah-pecah yang diikuti dengan
institusi tersendiri bagi setiap undang-undang membuat masyarakat adat harus
menegosiasikan hak ulayat kepada banyak institusi negara di bidang sumberdaya
alam. Namun upaya untuk mendorong lahirnya Undang-undang tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam akhirnya terhenti di DPR.
Pada
level kebijakan teknis pernah lahir Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Tujuan dari Permen ini adalah untuk melakukan
identifikasi dan inventarisasi tanah ulayat yang ada di Indonesia. Namun,
Permen ini tidak menjadi penyelesai masalah. Salah satu penyebab Permen ini
tidak implementatif adalah karena Permen ini mengecualikan tanah ulayat pada
tanah-tanah yang sudah dikuasai dengan alas hak-hak yang diatur di dalam UUPA.
Padahal persoalan tanah ulayat selama ini muncul karena adanya klaim-klaim yang
didasarkan pada hak-hak di dalam UUPA di atas hak ulayat.
Pemerintahan BJ. Habibie juga mengeluarkan UU No. 22/1999 tentang
Otonomi Daerah. UU ini menjadi pemicu semakin kuatnya tuntutan desentralisasi
tata pemerintahan sekaligus tuntutan otonomi komunitas. Segera setelah UU No.
22/1999 ini disahkan, banyak Pemerintah Daerah meresponsnya dengan membuat
Peraturan Daerah (Perda) yang pada intinya adalah untuk menghidupkan kembali
institusi-institusi adat yang selama Orde Baru tidak mendapatkan tempat. Selain
menghidupkan kembali institusi lokal yang pernah ada, juga ada upaya untuk
mengangkat kembali nilai-nilai adat beserta dengan hak ulayat sebagai identitas
lokal dalam otonomi daerah.
Pemerintah Daerah Sumatera Barat mengeluarkan Perda No. 9/2000
tentang Pemerintahan Nagari yang mengembalikan struktur pemerintahan nagari
yang selama ini dikooptasi dengan model penyeragaman Pemerintahan Desa yang
diwariskan oleh Orde Baru. Selain itu ada banyak Perda yang dilahirkan tentang
lembaga adat seperti di Kabupaten Pasir, Banyumas, Bangkalan, Sambas, Bungo,
Tulang Bawang, Kutai Barat dan daerah lainnya. Sedangkan terkait dengan hak ulayat
terdapat sejumlah kebijakan daerah baik berbentuk Perda maupun SK Kepala Daerah
yang mengatur hal ini, misalkan sebagai berikut:
1. Perda Kabupaten Kampar 12/1999 tentang Hak Tanah Ulayat
2. Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy
3. Perda Kabupaten Nunukan No. 3/2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat
4. Perda Kabupaten Nunukan No. 4/2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan
5. Perda Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya
6. SK Bupati Bungo No. 1249/2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Batu
Kerbau SK Bupati
7. Merangin No. 287/2003 Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai
Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten
Merangin.
Puluhan
kebijakan daerah yang lahir terkait masyarakat adat beserta pengakuan terhadap
hak ulayat merupakan koreksi terhadap gagalnya aturan di tingkat nasional dalam
menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi masyarakat adat. Kegagalan
aturan tingkat nasional baik konstitusi maupun peraturan perundang-undangan
lainnya itu disebabkan pengaturan pengakuan bersyarakat dan lemahnya komitmen
pemerintah pusat terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak
masyarakat adat.
Namun dalam implementasinya Perda-perda adat ini juga mengalami
berbagai kendala, misalkan ketiadaan instansi pemerintah yang ditugaskan khusus
untuk menjalankan Perda, anggaran yang tidak memadai dan kebanyakan Perda adat
yang dibuat bersifat partikular dan tidak mampu menembus batas-batas pemisahan
sumberdaya alam yang dikonstruksi oleh pemerintah pusat. Kalau pun dibuat
dengan norma yang lintas sektor misalkan meliputi tanah, sumberdaya air, hutan
dan tambang, tetap implementasinya terhambat oleh kontrol pemerintah pusat yang
masih besar.
Selain itu, aktor-aktor pada tingkat lokal juga mempengaruhi
dinamika pengakuan hukum dalam kebijakan daerah. Peraturan Daerah Sumatera
Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, misalnya, pada satu
sisi memberikan kewenangan yang besar atas tanah ulayat kepada ninik mamak dan
pemerintah nagari dan di sisi lain menghilangkan kontrol bundo kanduang terhadap
tanah ulayat. Padahal corak pewarisan dan ‘pemilikan’ harta pusako dalam
masyarakat Minangkabau diturunkan berdasarkan garis ibu (matrilineal).
Kendala lain adalah
soal identifikasi, siapa yang dimaksud dengan masyarakat adat. Persoalan ini
misalnya dialami oleh masyarakat Kasepuhan Citorek dan Cibedug di Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten. Upaya mendorong lahirnya kebijakan daerah pengakuan hak
ulayat bagi masyarakat Kasepuhan Citorek dan Cibedug terganjal ketika tafsir
pemerintah daerah dalam menilai masyarakat adat adalah dengan ukuran-ukuran
masyarakat Baduy yang menggunakan pakaian khas, menganut kepercayaan lokal dan mengisolasi
kawasannya dari pihak luar[40].
Sedangkan masyarakat Kasepuhan Citorek
dan Cibedug membuka diri terhadap pihak luar, berpakaian sebagaimana orang
kebanyakan dan sebagian besar sudah beragama Islam.
Dimanika
pembaruan hukum setelah 1998 baik pada level nasional dan lokal belum mampu
memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas wilayah
kehidupan mereka. Sedangkan pada sisi lain, melalui instrumen hukum negara,
perampasan hak-hak masyarakat adat tetap berlangsung melalui pemberian hak-hak
untuk kepentingan ekonomi seperti untuk perkebunan, pertambangan, penebangan
hutan, dll.
Saat
ini ada inisiatif untuk membuat aturan khusus tentang masyarakat adat. Selain
upaya agar pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 169 Tahun 1989 mengenai
Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, ada juga
inisiatif dari Dewan Perwakilan Daerah untuk mendorong lahirnya Undang-undang
tentang Perlindungan Masyarakat Adat. Namun jalan masih panjang. Perdebatan
soal RUU ini masih bergulir dan yang paling diresahkan adalah apakah
undang-undang ini nantinya mampu mengkonsolidasikan pengaturan tentang
masyarakat adat yang sudah menyebar pada banyak undang-undang, terutama pada
undang-undang di bidang sumberdaya alam. Tanpa itu, bila kelak Undang-undang
tentang Perlindungan Masyarakat Adat disahkan, belum akan mampu menyelesaikan
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat, yaitu soal hak ulayat. Sekali
lagi ini karena hak ulayat merupakan salah satu faktor kunci yang menunjukkan
eksistensi masyarakat adat.
8.
Penutup
Hak
ulayat atau hak atas wilayah kehidupan masyarakat adat merupakan hak terpenting
bagi masyarakat adat, disamping hal itu menjadi penanda keberadaan masyarakat
adat (deskriptif), juga merupakan hak yang menentukan keberlanjutan suatu
persekutuan masyarakat adat (preskriptif). Hampir seluruh definisi yang ada
tentang masyarakat adat menjadikan hubungan masyarakat adat dengan tanah sebaga
salah satu faktor kunci utama yang menunjukkan keberadaan masyarakat adat. Oleh
karena itu, hak atas wilayah hidup atau hak ulayat adalah hak kodrat dari
masyarakat adat dengan pandangan kosmologisnya.
Diskursus
dan gerakan perjuangan hak-hak masyarakat adat dalam beberapa dekade terakhir
menguat, baik pada level internasional maupun nasional dan sudah bergeser dari
hak untuk menuntut kemerdekaan menjadi hak untuk pengakuan keberadaan dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia. Pada level internasional perjuangan masyarakat
adat menunjukkan perkembangan-perkembangan yang dilihat dari diadopsinya
berbagai hak-hak masyarakat adat, seperti hak ulayat, dalam instrumen HAM
internasional. Pada level nasional di Indonesia terlihat dalam beberapa
instrumen hukum pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat mulai dari
konstitusi sampai dengan undang-undang. Pengakuan terhadap hak ulayat dalam
konstitusi Indonesia mengalami pasang surut sejak republik berdiri. Sedangkan
pada level lokal muncul berbagai inisiatif untuk membuat kebijakan daerah
pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak ulayat terutama seiring dengan
menguatnya otonomi daerah.
Namun
ada problem mendasar di Indonesia terkait pengakuan terhadap masyarakat adat
dan hak ulayat. Masalah tersebut adalah model pengakuan bersyarat yang pada
saat ini sudah menjadi bagian dari norma konstitusi. Pengakuan bersyarat
terhadap hak-hak masyarakat adat beserta hak-hak tradisional dalam Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 mendistorsi tujuan pengakuan dan penghormatan itu sendiri.
Persyaratan tersebut memberikan diskresi yang besar dan monopoli tafsir kepada
pemerintah. Empat persyaratan dalam konstitusi itu kemudian diikuti dan
dikembangkan dalam beberapa peraturan yang mengatur tentang masyarakat adat dan
hak ulayat dalam sejumlah UU di bidang sember daya alam. Rikardo Simarmata
menyebutkan pola yang demikian ini dengan istilah: loyalitas mengerem
progresivitas.
Pengakuan
bersyarat ini semakin mempersulit implementasi pengakuan hukum terhadap
masyarakat adat. Permasalahan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dan hak
ulayat masih akan menjadi agenda besar yang memerlukan waktu panjang
mewujudkannya. Oleh karena itu, pembaruan hukum negara dalam pengakuan terhadap
masyarakat adat harus terus diupayakan, terutama mengganti pola pengakuan
bersyarat menjadi pengakuan masyarakat adat beserta hak-haknya yang berbasis
pada pendekatan hak asasi manusia[41].
Idealnya, upaya ini harus mencapai
perubahan pada level konstitusi. Selain itu perlu peraturan organik yang utuh,
menyeluruh, lintas sektor yang tidak memecah-mecah masyarakat adat sebagai satu
kesatuan antara masyarakat adat, kelembagaan adat, hukum adat dan wilayah
hidupnya.
Substansi
aturan harus memberikan otonomi kepada masyarakat adat untuk dapat menjadi pihak
yang menentukan dalam setiap program dan proyek pembangunan yang dilakukan di
wilayah hidupnya, misalnya dengan mengadopsi prinsip Free Prior and Informed
Consent atau persetujuan tanpa paksa yang didahului dengan informasi berimbang
sebelum proyek-proyek pembangunan dilakukan pada wilayah masyarakat adat.
Konsep FPIC ini juga berkembang dalam sejumlah dokumen internasional dan sudah
diterapkan sebagai mekanisme dalam hukum negara seperti di Filipina.
Daftar
Pustaka
Ø Arizona,
Yance, 2008. Karakter Peraturan Daerah Sumberdaya Alam: Kajian Kritis
terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah Sumberdaya Alam dan Hak Masyarakat
dalam Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan, Jakarta: Perkumpulan HuMa.
Ø Bahar,
Syafrudin dkk (penyunting), 1995 Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Edisi
III, Cet 2, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Ø Berkes,
Fikret, 1989. Common Property Resources: Ecology and Community-Based
Sustainable Development, London: Belhaven Press.
Ø Bosko,
Rafael Edy, 2006. Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan
Sumberdaya Alam, Jakarta: ELSAM dan AMAN.
Ø Gaffar,
Janedjri M., 2008. “Pengakuan Masyarakat Hukum Adat”, Seputar
Indonesia, 25 Maret 2008.
Ø Hardiman,
F. Budi, 2006. “Posisi Struktural Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa dalam
Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan di Indonesia (Ditinjau dari Perspektif
Filsafat)”, dalam Ignas Tri (penyunting), Hubungan Struktural
Masyarakat Adat, Suku Bangsa, Bangsa, Dan Negara (Ditinjau dari Perspektif Hak
Asasi Manusia), Jakarta: Komnas HAM.
Ø Kleden,
Marianus, 2009. Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal: Kajian atas
Konsep HAM dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya terhadap HAM dalam
UUD 1945, Cetakan II, Yogyakarta: Penerbit Lamalera dan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia.
Ø Lembar
fakta HAM, Edisi III, Komnas HAM, Jakarta.
Ø Moniaga,
Sandra, 1998. Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, dalam Sugeng Bahagio
dan Asmara Nababan (editor), Hak Asasi Manusia: Tanggungjawab Negara, Peran
Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: Komnas HAM,1999.
Ø Moniaga,
Sandra dan Stephanus Djuweng, 2000. “Kebudayaan dan Manusia yang Majemuk,
Apakah Masih Punya Tempat di Indonesia?” Kata Pengantar untuk buku Konvensi
ILO 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka,
Jakarta: ELSAM dan LBBT. Moniaga,
Sandra, 2007.
Ø “From
Bumiputera to Masyarakat Adat: A Long and Confusing Journey,” dalam
Jamie S. Davidson dan David Henley (edt), The Revival of Traditional in
Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to Indigenism, New
York: Roudledge.
Ø Nasution,
Adnan Buyung, 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Ø Nonet,
Philippe dan Philip Selznick, 2003. Hukum Responsif: Pilihan di Masa
Transisi, terjemahan dari: Law and Society in Transition: Toward
Responsif Law, alih bahasa Rafael Edy Bosco, Jakarta: Perkumpulan HuMa.
Ø Rahardjo,
Satjipto, 2000. Ilmu Hukum, Cetakan V, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ø Rahardjo,
Satjipto, 2005. “Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Perspektif Sosiologi Hukum)”, dalam Hilmi Rosyida dan Bisariyadi (edt),
Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Jakarta:
Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI, dan Departemen Dalam Negeri.
Ø Sangaji,
Arianto ,2007. “The Masyarakat Adat Movement in Indonesia: A Critical Insider’s
view”, dalam Jamie S. Davidson dan David Henley (edt), The Revival of
Traditional in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from Colonialism to
Indigenism, New York: Roudledge.
Ø Saphiro,
Ian, 2006. Evolusi Hak dalam Teori Liberal, terjemahan dari The
Evolution of Rights in Liberal Theory, alih bahasa oleh Masri Maris,
Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat bekerjasama dengan Freedome Institute
dan Yayasan Obor Indonesia.
Ø Sidarta,
2007. “Positivisme Hukum”, Makalah dipresentasikan dalam
Pelatihan Hukum Kritis untuk Pegawai Biro Hukum di Kalimantan Barat,
diselenggarakan oleh Perkumpulan HuMa bekerjasama dengan Lembaga Bela Banua
Talino (LBBT), dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, 8-11
Mei 2007.
Ø Simarmata,
Rikardo, 2006. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta:
UNDP. Steny, Bernadinus, 2007. “Quo Vadis Masyarakat Hukum Adat (Sebuah
Pemikiran Awal untuk Merancang Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat)”,
dalam Nanang Subekti, et.al, (edt), Membangun Masa Depan Minangkabau
dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi bekerjasama dengan Komnas HAM, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan
Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat.
Ø Steny,
Bernadinus, 2009. “Politik Pengakuan Masyarakat Adat: Dari Warisan Kolonial
Hingga Negara Merdeka”, Jurnal Jentera Edisi Lingkungan, Jakarta: Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan.
Ø Suhada,
2003. Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah, Banten: Dinas Pendidikan
Provinsi Banten.
Ø Terre,
Eddie Riyadi, 2006. “Masyarakat Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah
Diskursus Hak Asasi Manusia”, Prolog dalam buku: Rafael Edy Bosko, Hak-hak
Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta: ELSAM
dan AMAN.
Ø Unger,
Roberto Mangabeira, 2007. Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat
Modern terjemahan dari Law and Modern Society: Toward Criticsm of Social
Theory, alih bahasa oleh Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Bandung:
Nusamedia.
Ø Wattimena,
Reza A. A., 2007. Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Ø Wignjosoebroto,
Soetandyo, 2005. “Pokok-pokok Pikiran tentang Empat Syarat Pengakuan Eksistensi
Masyarakat Adat”, dalam Hilmi Rosyida dan Bisariyadi (edt), Inventarisasi
dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Jakarta: Komnas HAM, Mahkamah
Konstitusi RI, dan Departemen Dalam Negeri.
Ø
Wiratraman, Herlambang
Perdana, 2007, The Human Rights Situation Concerning Indigenous Peoples and
Ethnic Minorities in Indonesia, A Research Report to ASIA FORUM for Human
Rights and Development. Tidak dipublikasikan.
[1] Eddie Riyadi Terre, Masyarakat
Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia, dalam
Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan
Sumberdaya Alam, (Jakarta: ELSAM dan AMAN, 2006), hlm 8.
[2] Ulayat berasal dari
bahasa arab Wilayatun, artinya suatu areal yang berada di bawah kekuasaan
sekelompok orang. Van Vallenhoven yang disebut-sebut sebagai bapak hukum adat
menggunakan istilah beschikkingsrecht untuk menyebutkan hak ulayat. Demikian
juga dengan muridnya yang kemudian menjadi pengajar hukum di Indonesia, B. Ter
Haar. Oleh Soepomo, yang merupakan murid Ter Haar, hak masyarakat adat atas
wilayah hidupnya disebut dengan istilah “hak pertuanan”. Lihat Van Dijk, Pengantar
Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur, 1982), hlm. 13-14.
Sedangkan Hazairin menyebutnya hak bersama.
[3] Sandra Moniaga dan
Stephanus Djuweng, Konvensi ILO 169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat
Adat di Negara-Negara Merdeka, (Jakarta: ELSAM dan LBBT, 2000).
[4] Lihat Van Dijk, Op.
Cit. hlm. 15-16.
[5] Lihat Sandra Moniaga,
Hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia, 1998, dalam Sugeng Bahagio dan Asmara
Nababan (editor), Hak Asasi Manusia: Tanggungjawab Negara, Peran Institusi
Nasional dan Masyarakat, (Jakarta: Komnas HAM, 1999), hlm. 135-136. Lihat
juga Arianto Sangaji, The Masyarakat Adat Movement in Indonesia: A Critical
insider’s view, dalam Jamie S. Davidson dan David Henley (edt), The
Revival of Traditional in Indonesian Politics: The Deployment of Adat from
Colonialism to Indigenism, (New York: Roudledge, 2007), hlm. 321.
[6] S. James Anaya, Indigenous
Peoples in International Law, (New York: Oxford University Press, 1996)
dalam Eddie Riyadi Terre, Loc.cit.
[7] Van Dijk, Op. cit.
hlm. 19.
[8] Penuturan seorang Jaro
pamarentah atau Kepala Desa Kanekes dalam buku: Suhada, Masyarakat Baduy
dalam Rentang Sejarah, (Banten: Dinas Pendidikan Provinsi Banten, 2003),
hlm. 48-54.
[9] Marianus Kleden, Hak
Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal: Kajian atas Konsep HAM dalam Teks-teks
Adat Lamaholot dan Relevansinya terhadap HAM dalam UUD 1945, Cetakan II,
(Yogyakarta: Penerbit Lamalera dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009),
hlm. xvi – xix.
[10] Marius Kleden
menggunakan istilah masyarakat komunal untuk menyebut masyarakat adat.
[11] Eddie Sius Riyadi, Menganyam
Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia: Sebuah Pendekatan
Berperspektif Hukum Internasional Hak Asasi Manusia. Makalah dalam Training
Monitoring Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang diselenggarakan oleh LP3ES –
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 19 – 28 (22)
Agustus 2002 di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jakarta.
[12] Van Vallenhoven
menyebutkan bahwa hubungan yang utama antara masyarakat adat dengan wilayah dan
sumberdaya alamnya adalah untuk menarik hasil dari pengelolaan (genotrecht),
daripada disebut sebagai hubungan berbentuk hak kepemilikan, meskipun pada
beberapa komunitas seperti Aceh, Madura, Bewean dan Jawa Barat hak kepemilikan
itu hidup di dalam masyarakatnya. Lihat Cornelis
Van Vallenhoven, “De Indinesier Enzujn Grond”, hlm 5-11, dalam Van Dijk,
op.cit. hlm, 124.
[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu
Hukum, Cetakan V, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 213-214.
[14] Reza A. A. Wattimena,
Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007),
hlm. 18.
[15] Noer Fauzi, Memahami
Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, (Yogyakarta: InsistPress, 2005)
[16] Lembar Fakta HAM,
Edisi III, (Jakarta: KomnasHAM, tanpa tahun), hlm. 123.
[21] Rafael Edy Bosco, Op.
Cit., hlm. 117-138.
[22] Lebih lanjut tentang
perbedaan tiga pandangan tokoh ini (termasuk Jurgen Habermas) baca: Reza A. A.
Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2007).
[23] Positivisasi berasal
dari kata dasar “positif” yang diturunkan dari Bahasa Latin: ponere-posui-positus
berarti meletakkan. Selain itu, kata “positif” memiliki banyak arti
yang lain, misalkan, bisa berarti kenyataan (bukan khayalan), kepastian (bukan
keraguan), ketepatan (bukan kekaburran), kemanfaatan (bukan sekedar ingin
tahu), dan keteraturan (bukan keacakan). Lihat Sidarta, ”Positivisme Hukum”,
Makalah dipresentasikan dalam Pelatihan Hukum Kritis untuk Pegawai Biro Hukum
di Kalimantan Barat, diselenggarakan oleh Perkumpulan HuMa bekerjasama dengan
Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau,
Kalimantan Barat, 8-11 Mei 2007.
[24] Bernadinus Steny,
“Politik Pengakuan Masyarakat Adat: Dari Warisan Kolonial Hingga Negara Merdeka,”
(Jakarta: Jurnal Jentera Edisi Lingkungan, 2009).
[25] Roberto Mangabeira
Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusamedia, terjemahan
dari: Law and Modern Society: Toward Criticsm of Social Theory, alih
bahasa Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm.
74-108. Lihat juga Satjipto Rahardjo, “Hukum Adat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Perspektif Sosiologi Hukum)”, dalam Hilmi Rosyida
dan Bisariyadi (edt), Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat, (Jakarta: Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI, dan Departemen Dalam
Negeri,2005), hlm. 44.
[26] Ian Saphiro
menyebutkan bahwa setiap hak yang terdiri dari subjek, substansi, landasan dan
tujuan selalu bersifat formal dan relasional. Dengan kata lain, hak itu
tidak ada untuk hak itu sendiri. Lihat Ian Saphiro, Evolusi Hak dalam Teori
Liberal, terjemahan dari: The Evolution of Rights in Liberal Theory, alih
bahasa Masri Maris, (Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat bekerjasama dengan
Freedome Institute dan Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 15-16.
[27] Syafrudin Bahar dkk
(penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Edisi III, Cet 2,
(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hlm. 18
[29] Adnan Buyung
Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
StudiSosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1995)
[31] Lihat Pasal 2 ayat
(4) UUPA.
[32] Rikardo Simarmata, Pengakuan
Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, (Jakarta: UNDP, 2006), hlm.
309-310
[33] F. Budi Hardiman, Posisi
Struktural Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa dalam Kehidupan
Kebangsaan dan Kenegaraan di Indonesia (Ditinjau dari Perspektif Filsafat), salam
Ignas Tri (penyunting), Hubungan Struktural Masyarakat Adat, Suku Bangsa,
Bangsa, Dan Negara (Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia), (Jakarta:
Komnas HAM, 2006), hlm. 62.
[34] Satjipto Rahardjo, Loc.
Cit.
[35] Soetandyo
Wignjosoebroto, Pokok-pokok Pikiran tentang Empat Syarat Pengakuan
Eksistensi Masyarakat Adat, dalam Hilmi Rosyida dan Bisariyadi (edt), Inventarisasi
dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM, Mahkamah
Konstitusi RI, dan Departemen Dalam Negeri, 2005), hlm. 39.
[36] Dalam putusan
pengujian UU Penanaman Modal, Mahkamah Konstitusi menjabarkan prinsip-prinsip
dasar demokrasi ekonomi yang diturunkan dari Pasal 33 ayat (4)
UUD 1945 sebagai berikut: (1) Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang
mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha
yang adil, kondusif, dan berdaya saing; (2) Asas berkelanjutan adalah asas yang
secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman
modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan,
baik masa kini maupun masa yang akan datang; (3) Asas berwawasan lingkungan
adalah asas penanaman modal yang memperhatikan dan mengutamakan perlindungan
dan pemeliharaan lingkungan hidup; (4) Asas kemandirian adalah asas yang
mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya
modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi; (5) Asas keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang berupaya menjaga
keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan nasional.
[37] Janedjri M. Gaffar, Pengakuan
Masyarakat Hukum Adat, Seputar Indonesia, 25 Maret 2008.
[38] Karakter Hukum
Represif antara lain bertujuan mencapai ketertiban, mendapat legitimasi dari
ketahanan sosial dan tujuan negara, peraturan yang rinci namun berlaku lemah
terhadap pembuat hukum, didasarkan atas pertimbangan partikular sepanjang
memudahkan mencapai tujuan, diskresi yang sangat luas dan opurtunistik, paksaan
yang bersifat ekstensif, moralitas pembatasan, hukum yang menjadi subordinat
politik, bersifat memaksa dan tanpa syarat sehingga ketidaktaatan dianggap
sebagai pembangkangan, partisipasi bersifat pasif sehingga kritik dianggap
sebagai ketidak-setiaan. Lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum
Responsif: Pilihan di Masa Transisi, terjemahan dari: Law and Society in
Transition: Toward Responsif Law, alih bahasa oleh Rafael Edy Bosco,
(Jakarta: Perkumpulan HuMa, 2003), hlm. 13.
[39] Karakter Hukum
Responsif antara lain bertujuan untuk mencapai kompetensi, legitimasi dicapai
dari keadilan substantif, peraturan subordinat dari prinsip dan kebijaksanaan,
pertimbangan didasarkan kepada tujuan yang hendak dicapai, diskresi yang luas
tetapi tetap sesuai dengan tujuan, paksaan bersifat alternatif, moralitas
sipil, politik terintegrasi dengan aspirasi hukum, pembangkangan dilihat dari
aspek bahaya substantif atau gugatan terhadap legitimasi, dan partisipasi
diperbesar dengan integrasi advokasi hukum dan sosial. Lihat Ibid.
[40] Selain persoalan
identifikasi ini, kendala yang ditemui adalah soal status kawasan yang sebagian
wilayahnya termasuk dalam kawasan hutan. Sehingga pemerintah daerah harus juga
menegosiasikan kawasan dengan departemen kehutanan yang merupakan bagian dari
pemerintah pusat. Pemerintah daerah terkesan enggan mengakui masyarakat adat
dan hak ulayatnya yang berada di dalam kawasan hutan sebab untuk kawasan hutan
diurus oleh instansi lain, Departemen Kehutanan.
[41] Lihat Bernadinus
Steny, “Quo Vadis Masyarakat Hukum Adat (Sebuah Pemikiran Awal untuk Merancang
Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat)”, dalam Nanang Subekti,
et.al, (edt), Membangun Masa Depan Minangkabau dari Perspektif Hak Asasi
Manusia, (Jakarta Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi bekerjasama
dengan Komnas HAM, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Sekretariat Nasional
Masyarakat Hukum Adat, 2007), hlm. 325-326.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar