Beberapa orang tokoh pendiri bangsa (founding peoples) dikenal memiliki andil yang signifikan dalam sejarah pembentukan konstitusi Indonesia. Di antaranya adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohamad Hatta, Mr. Soepomo, dan Mr. Muhammad Yamin. Dengan latar belakang, dan analisis pemikiran yang berbeda, masing-masing tokoh tersebut memberikan konstribusi luar biasa dalam membidani lahirnya UUD 1945. Perbedaan kiblat konstitusionalisme yang mereka anut, bertemu pada satu titik yang melahirkan sebuah magnum opus, sebagai pondasi bangunan kenegaraan Indonesia.
Dari
sekian tokoh, Muhammad Yamin adalah salah satu tokoh yang dianggap paling kontroversial,
selama berlangsungnya proses penyusunan UUD 1945. Muh. Yamin dilahirkan di
Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 23 Agustus 1903. Ijazah Meester in de
Rechten diperolehnya pada 1932, setelah menyelesaikan pendidikan Rechthogeschool
di Jakarta. Yamin turut serta dalam menumbuhkan semangat kebangsaan dan
nasionalisme Indonesia. Pada Kongres Pemuda II tahun 1928, Yamin mendesak
supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan.
Setelah
menyelesaikan diploma hukumnya, Yamin berprofesi sebagai advokat dan procureur.
Pernah juga menjadi anggota Dewan Rakyat Hindia Belanda. Semenjak 28 Mei 1945,
Yamin terlibat sebagai anggota, dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam periode kemerdekaan Indonesia,
Yamin pernah menduduki jabatan sebagai Menteri Kehakiman pada masa 1951–1952.
Tahun 1953-1954 menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Selain
sebagai seorang ahli hukum dan aktivis politik, Yamin juga dikenal sebagai
seorang sastrawan nasional. Beberapa karya sastranya antara lain Tanah Air,
1922; Indonesia Tumpah Darahku, 1928; Ken Arok dan Ken Dedes,
1934; Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945; dan Gadjah Mada,
1948. Ia juga banyak menerjemahkan karya-karya William Shakespeare dan
Rabindranath Tagore. Kedalaman Yamin dalam bergulat di dunia susastra banyak
berpengaruh terhadap lontaran-lontaran pemikiran yang dikemukakannya selama
proses persidangan BPUPKI berlangsung.
Dia
banyak mengkaji kitab-kitab kuno karangan empu-empu Majapahit, yang kemudian
dijadikannya sebagai referensi dalam membangun kerangka kenegaraan Indonesia
modern. Kendati lontaran pemikiran tersebut selanjutnya ditolak oleh Soepomo.
Diluar karya-karya kesusasteraan, Yamin juga produktif menghasilkan tulisan
yang mengisahkan pembangunan konstitusi UUD 1945.
Tulisan-tulisan
Yamin seputar konstitusionalisme Indonesia, menjadi satu rujukan utama dalam
kajian teoritik konstitusionalisme di Indonesia.
Artinya
selain berkontribusi dalam membentuk bangunan kenegaraan Indonesia, Yamin
berperan pula dalam mendukung perkembangan pemikiran keilmuan terkait dengan
konstitusi dan kenegaraan. Bahkan catatan stenografis Yamin, yang diterbitkan
Yayasan Prapantja pada 1959, dengan judul “Naskah Persiapan UUD 1945”, menjadi
sumber utama dalam penyusunan risalah pembentukan UUD 1945 pra-amandemen.
Walaupun banyak kritik dilontarkan atas kesahihan naskah Yamin, karena adanya
perbedaan dengan beberapa naskah yang lain, namun melihat kelengkapan tulisan
Yamin, patut kiranya naskah tersebut masih ditempatkan sebagai sumber rujukan
utama. Muhammad Yamin dikenal pula sebagai salah seorang yang mencetuskan
ideologi kebangsaan Pancasila.
Lima
elemen dasar yang membentuk Pancasila dalam uraian Yamin terdiri dari: (1) Peri
Kebangsaan; (2) Peri Kemanusiaan; (3) Peri ke-Tuhanan; (4) Peri Kerakyatan, dan
(5) Kesejahteraan Rakyat. Konsepsi ini dikemukakan Yamin pada sidang pertama
BPUPKI, 29 Mei 1945. Dalam paparannya, Yamin banyak merujuk Kitab Negara
Kertagama, karangan Empu Prapanca, yang menerangkan tentang konsepsi negara
Majapahit. Dikarenakan literatur Yamin dianggap terlalu jauh melongok ke
belakang, padahal yang sedang dibangun ialah sebuah negara Indonesia modern,
lontaran-lontaran pemikiran Yamin jamak mendapat tentangan dari peserta sidang
yang lain. Pancasila selanjutnya menjadi pijakan Yamin dalam mengembangkan
paham konstitusionalisme Indonesia, sebagai sebuah instrumen penting guna
mencapai cita-cita proklamasi.
Tulisan
Yamin yang mengungkap paham konstitusionalisme Indonesia dalam pemikiran Yamin
adalah bukunya Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Diterbitkan
pada 1951 oleh Penerbit Djambatan. Meskipun bila dilihat dari strukturnya,
sesungguhnya Yamin ingin menguraikan secara spesifik Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950, tetapi melalui buku inilah dapat ditemukan gagasan
konstitusionalisme Yamin.
Pilihan
Konstitusionalisme
Paham
konstitusionalisme constitutionalism pada dasarnya sudah hadir semenjak
tumbuhnya demokrasi klasik Athena. Politeia yang menjadi bagian dari
kebudayaan Yunani, merupakan embrio awal lahirnya gagasan konstitusionalisme.
Ahli-ahli
hukum pada periode Yunani Kuno, seperti Plato, Socrates, dan Aristoteles pun
mengakui telah hadirnya semangat konstitusionalisme dalam praktek
ketatanegaraan polis Athena. Aristoteles, dalam bukunya Politics,
menyatakan: “A constitution (or polity) may be defined as the organization
of a polis, in respect of its offices generally, but especially in respect of that
particular office which is souverign in all issues” (Ashiddiqie, 2005: 7).
Namun
demikian, belum tegasnya pemisahan antara negara dan masyarakat dalam model
pemerintahan negara kota Athena, yang berarti warganegara sekaligus pula
menjadi pelaku-pelaku kekuasaan politik yang memegang peran dalam fungsi
legislatif dan pengadilan, telah mengakibatkan abu-abunya paham
konstitusionalisme Yunani Kuno. Keharusan untuk berpartisipasi langsung dalam
proses bernegara, mengakibatkan perihal yang sifatnya publik dan yang privat
berjalan berkelindan.
Kekaburan
antara negara dan masyarakat dalam demokrasi murni, yang menghendaki
partisipasi secara langsung inilah, yang memicu tidak simpatinya Plato dan
Aristoteles terhadap demokrasi. Menurut Aristoteles, suatu negara yang
menerapkan demokrasi murni, dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan suara
terbanyak, dan kekuasaan menggantikan hukum, telah berpotensi melahirkan para
pemimpin penghasut rakyat, yang menyebabkan demokrasi tergelincir menjadi
despotisme (Diamond, 1999: 2).
Gagasan
konstitusionalisme selanjutnya dirangkai sebagai suatu upaya membatasi kekuasan
agar tidak berperilaku sewenang-wenang dan korup. Lord Acton mengungkapkan, “Manusia
yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi
manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya
secara tak terbatas pula–powers tends to corrupt, but absolute power corrupts
absolutely” (Budiardjo, 2008: 107). Karena itu kekuasaan harus dibatasi
oleh konstitusi–the limited state.
Konstitusi
menjamin hak-hak warganegara, dan mengatur penyelenggaraan negara dengan
pembagian sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh
kekuasaan legislatif dan lembaga-lembaga yudikatif.
Carl
J. Friedrich memberi tafsiran kepada konstitusionalisme sebagai suatau gagasan
pemerintahan yang di dalamnya merefleksikan: “a set of activities organized
by and operated on behalf of the people, but subject to a series of restraints
which attempt to ensure that the power which is needed for such governance is
not abused bay those who ara called upon to do the governing” (Budiardjo,
2008: 171).
Meski
telah tua usianya, akan tetapi konstitusionalisme masih menjadi satu paham yang
paling efektif untuk mengelola kekuasaan pada masa modern saat ini. Seperti
dikatakan pemikir politik kontemporer Gabriel A. Almond, yang menyatakan bentuk
pemerintahan terbaik yang bisa diwujudkan adalah pemerintahan campuran atau
pemerintahan konstitusional, yang membatasi kebebasan dengan aturan hukum dan juga
membatasi kedaulatan rakyat dengan institusi-institusi negara yang menghasilkan
ketertiban dan stabilitas (Almond, 1996: 53-61)
Dua
pilar utama yang menegakkan pondasi konstitusionalisme adalah the rule of
law dan pemisahan kekuasaan, seperti diungkapkan oleh Jhon Alder, bahwa
hukum harus membatasi kekuasaan pemerintahan. Alder mengatakan, “the
concepts of the rule of law and the separation of powers are aspects of the
wider notion of ‘constitutionalism’, that is, the idea that governmental power
should be limited by law” (Alder, 1989: 39). Pendapat senada juga
diutarakan oleh Richard S. Kay, dikatakannya bahwa constitusionalism
implements the rule of law; It brings about predictability and security in the
relations of individuals and the government by defining in advance the powers
and limits of that government (Alexander, 1999: 4).
Sedangkan
Daniel S. Lev dalam studinya mengenai konstitusionalisme Indonesia, memaknai
konstitusionalisme sebagai suatu proses politik–baik dengan atau tanpa
konstitusi tertulis–yang sedikit banyak berorientasi pada aturan dan institusi
publik, yang dimaksudkan untuk menentukan batas penggunaan kekuasaan politik.
Lebih lanjut dikatakan konstitusionalisme, yang memiliki kedudukan di atas rule
of law dan rechtstaat, adalah suatu paham negara terbatas, dimana
kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang akan mengubah kekuasan
menjadi wewenang yang ditentukan secara hukum, sehingga pada intinya
konstitusionalisme adalah suatu proses hukum yang mengatur masalah pembagian
kekuasaan dan wewenang (Lev, 1990: 513-515).
Melengkapi
Lev, Soedjatmoko menegaskan bahwa konstitusionalisme memiliki peranan untuk
menentukan batas-batas kekuasaan politik terhadap kebebasan anggota masyarakat.
Selain itu juga berfungsi menentukan prosedur dan instrument untuk menyalurkan
dan menyesuaikan pertentangan politik serta pertentangan kepentingan yang
terdapat di dalam tubuh masyarakat (Nasution: 1995: 129).
Konstitusionalisme
dalam Pandangan Muh. Yamin
Buku
Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia tulisan Yamin terdiri dari
tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang penyusunan tiga konstitusi selama
revolusi Indonesia, bagian kedua menguraikan penjelasan UUDS 1950, dan bagian
ketiga membahas isi UUDS 1950. Seperti telah dikemukakan di awal, meski maksud
dari buku ini ingin menguraikan secara khusus perihal UUDS 1950, akan tetapi
melihat materi substansinya sesungguhnya melalui buku inilah Yamin mengurai
secara lengkap gagasan-gagasannya tentang konstitusionalisme Indonesia.
Melihat
dinamisnya perkembangan ketatanegaraan Indonesia kala itu, dalam pembuka
bukunya Yamin pun mengakui bahwa Proklamasi dan Konstitusi bukanlah
sebuah tulisan yang memberikan uraian secara panjang lebar, atau dalam bahasa
Yamin dikatakan sebagai ‘tindjauan djero-djauh.’ Akan tetapi Yamin juga
sadar, bahwa ketika tiba waktunya kajian mengenai pembentukan UUD 1945 dan
segala hal yang melatarbelakangi konstruksi negara Indonesia modern, akan
menjadi satu diskursus yang bakal dikaji dan diselidiki secara mendalam.
Menurut Yamin, situasi pergolakan perjuangan yang selalu bergerak dinamis
membutuhkan satu penjelasan ringkas tentang bengunan negara Indonesia. Hal ini
dimaksudkan Yamin agar semua pihak yang turut serta melakukan pembelaan bagi
berdiri dan eksisnya Indonesia, menyadari apa yang sesuangguhnya mereka
perjuangkan (Yamin, 1951: vii).
Melalui
buku ini, Yamin ingin memaparkan sejarah politik nasional Indonesia. Akar
penyelidikan Yamin dalam menguraikan sejarah politik nasional Indonesia,
disandarkan pada dua elemen, yaitu “Piagam Djakarta”, yang ditandatangani pada
22 Juni 1945, yang selanjutnya dituangkan sebagai Mukadimah UUD 1945, dan
Proklamasi 17 Agustus 1945, serta tiga konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia. Dalam ungkapan Yamin, Proklamasi dan Pembukaan Konstitusi Republik
Indonesia adalah dua lembar dokumen yang luas dan dalamnya sepadan dengan
samudera politik yang tiada berpantai (Yamin: 1951: viii).
Dijelaskan
Yamin, “Piagam Djakarta” adalah wujud semangat pemberontakan bangsa Indonesia
terhadap imperialisme, kapitalisme, dan fasisme, yang kemudian memancarkan
Proklamasi kemerdekaan dan Konstitusi Republik Indonesia. Selain itu piagam ini
juga berisikan tentang dasar-dasar pembentukan negara Republik Indonesia.
Berangkat dari semangat dan apa yang sudah ditegaskan dalam Mukadimah UUD 1945,
Yamin mengungkapkan bahwa corak perjuangan bangsa Indonesia adalah berprinsip
pada Unitarisme, Demokrasi dan Sosialisme (Yamin, 1951: 16-23).
Memerhatikan
tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, Yamin mengungkapkan bahwa
setidaknya terdapat lima pilar konstitusionalisme Indonesia. Lima pilar
tersebut adalah: (1) Kedaulatan Rakyat; (2) Negara hukum; (3) Berbentuk
Republik; (4) Kesatuan (Unitarisme); dan (5) Hak Kemerdekaan dan Hak asasi
Kemanusiaan (Yamin, 1951: 53).
Pandangan
Yamin mengenai paham kedaulatan rakyat banyak dipengaruhi oleh Rousseau. Dalam
bukunya Du Contrat Social, dijelaskan Rousseau, bahwa kekuasaan atau
kedaulatan tertinggi adalah berada pada kehendak umum dari masyarakat, atau
disebutnya sebagai Volonte Generale, yang kemudian menjelma melalui
perundang-undangan—konstitusi. Oleh karena itu menurutnya kedaulatan memiliki
sifat-sifat sebagai berikut: (1) kesatuan (unite), bersifat monistis;
(2) bulat dan tak terbagi (indivisibilite); (3) tidak dapat dialihkan (inalienabilite);
dan (4) tidak dapat berubah (imprescriptibilite) (Yamin, 1951: 62-63). Terhadap
paham kedaulatan yang dianut oleh UUD 1945, Yamin memberikan penilaian:
Konstitusi
kita berdiri atas tinjauan hidup, bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan rakyat)
itu asal-muasalnya terletak pada rakyat atau bangsa. Isi dan kelahiran
kedaulatan rakyat itu ialah kemerdekaan.
Dalam
Republik Indonesia 1945 maka sebagian dari pada kekuasaan itu dipindahkan buat
sementara atau diamanatkan oleh rakyat yang memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17-VIII-1945 kepada republik. Bagian dari pada kekuasaan tertinggi yang
diamanatkan itulah yang menjadi kedaulatan negara (Yamin, 1951: 59-60).
Yamin
juga memberikan kritikan terhadap paham kedaulatan yang dianut oleh Konstitusi
RIS 1949. Menurutnya Konstitusi RIS 1949 dinilai tidak jelas apakah menganut
kkedaulatan rakyat atau kedaulatan negara. Yamin memberikan komentar:
“…
tentang tinjauan atau ajaran kedaulatan apakah yang menjadi sumber Konstitusi
1949 itu diserahkan saja kepada ilmu pengetahuan. Sebenarnya yang memegang
kedaultan dalam RIS itu ialah negara, karena negara inilah yang memegang
kedaulatan, seperti dapat dibaca pada kalimat akhir Mukaddimah 1949:
negara-negara Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna, seraya pada Pasal 1
ayat (1) tersebut pula: RIS yang merdeka dan berdaulat. Kedaulatan ini
sesungguhnya berarti kekuasaan yang dilahirkan oleh kedaulatan rakyat dan
keuasaan itulah yang diserahkan oleh Kerajaan Nederland pada tanggal 27 Desember
1949 di Amsterdam dan Jakarta kepeda pemerintah Indonesia.”
Pemaparan
Yamin tersebut seperti memberikan arahan, bahwa konstitusi RIS menganut paham
kedaulatan negara—staats souvereniteit, di dasarkan pada penyerahan
kedaulatan yang diberikan oleh pemerintah Kerajaan Nederland kepada Pemerintah
Indonesia. Namun, lebih lanjut Yamin mengemukakan sesungguhnya kedaulatan
tersebut adalah berasal dari kedaulatan rakyat. Seperti telah diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945. Mengenai konsep negara hukum Indonesia, Muhammad Yamin
memberikan penjelasan, sebagai berikut:
Kekuasaan
yang dilakukan oleh pemerintah Republik Iitu hanya berdasarkan dan berasal dari
pada undang-undang dan sekali-kali tidak berdasarkan kekuasaan senjata.,
kekuasaan sewenang-wenang atau kepercayaan, bahwa kekuatan badanlah yang boleh
memutuskan segala pertiakain dalam negara. Republik Indonesia ialah suatau
negara hukum (rechtsstaat government of laws) tempat keadilan yang
tertulis berlaku; bukanlah negara polisi atau negara militer, … bukanlah pula
negara kekuasaan (machtsstaat)… . Republik Indonesia ialah negara yang
melaksanakan keadilan yang dituliskan dalam undang-undang… . …warganegara
diperintah dan diperlakukan oleh undang-undang keadilan yang dibuat oleh rakyat
sendiri,…” (Yamin, 1951: 74).
Dari
penjelasan yang diberikan Yamin, J.C.T. Simorangkir memberi komentar bahwa
Yamin sangat menekankan pengertian istilah negara hukum dalam ruang lingkup
yang formal. Hal itu dapat dilihat dari persyaratan-persyaratan formal yang
diajukan oleh Yamin untuk terbentuknya suatu negara hukum.
Selain
memberikan komentar terhadap Yamin, Simorangkir juga memberikan catatan, bahwa
pengertian negara hukum Indonesia yang berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila,
berbeda dengan pengertian negara hukum dalam kerangka rechtsstaat,
seperti yang ada di Belanda (Simorangkir, 1983, 156-170). Pemahaman ini juga
diperkuat oleh Mahfud MD, penggunaan istilah rechtsstaat dalam UUD 1945
sangat berorientasi pada konsepsi negara hukum Eropa Kontinental, namun
demikian bilamana melihat materi muatan UUD 1945, justru yang terlihat kental
adalah meteri-materi yang bernuansakan anglo saxon, khususnya ketentuan yang
mengatur tentang jaminan perlindungan hak asasi manusia (Mahfud, 1999: 134).
Mengenai
bentuk negara yang menganut republikanisme, Yamin mengungkapkan bahwa republik
adalah bentuk terbaik dalam mewujudkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.
Lebih lanjut Yamin menjelaskan bahwa cita-cita republik dibangun oleh
Aristoteles, sesungguhnya republik telah dikenal luas dalam hukum adat
Indonesia. Republik selaras dengan bentuk-bentuk pemerintahan yang terdapat
pada persekutuan hukum nagari di Minangkabau dan Negeri Sembilan[1], atau
pada susunan desa di pulai Jawa dan Bali. Konsepsi republik Yamin banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Tan Malaka (1924)[2].
Meski
tidak pula menafikan pemikiran Soekarno dan Hatta (Yamin, 1951: 78). Tentang
bentuk negara kesatuan (unitarisme), menurut Yamin bentuk inilah yang
sesuai dengan cita-cita perjuangan 1928. Unitarisme membuang dasar federalisme
dan kebusukan rasa kedaerahan (insularisme dan provincialism),
dan menanam kesatuan Indonesia (Yamin, 1951: 81).
Kaitannya
dengan hak asasi manusia (human rights), menurut Yamin sesungguhnya
semenjak ratusan tahun lampau, peradaban manusia Indonesia telah mengenal hak
dan kewajiban terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara.
Pengakuan terhadap hak dan kewajiban tersebut ada yang diatur melalui hukum
adat, maupun melalui hukum yang tertulis. Oleh karenanya sudah menjadi
kewajaran bilamana konstitusi Indonesia juga memberikan pengakuan dan jaminan
terhadap hak asasi manusia.
Apalagi
dengan tegas Mukadimah UUD 1945 telah memberikan jaminan kebebasan dan
demokrasi. Lalu mengapa UUD 1945 tidak memberikan jaminan hak asasi manusia
secara detail? Menurut Yamin, suasana politik saat itu menempatkan hak asasi
manusia sebagai kemenangan liberalisme, yang dibenci oleh para pendiri bangsa.
Sedari awal para pendiri bangsa tidak menghendaki dianutnya paham kemerdekaan
diri, liberalisme, dan demokrasi revolusioner (Yamin, 1951: 86-90).
Gagasan
Konstitusionalisme Pancasila
Pada
bagian ketiga buku ini, Yamin kembali memberikan penegasan mengenai arti
penting Mukadimah UUD 1945, maupun mukadimah dua konstitusi yang lain
(Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950).
Meskipun
berungkali terjadi perubahan konstitusi, selama berlangsungnya revolusi
nasional Indonesia, satu hal yang masih terus dipertahankan adalah Pancasila.
Ajaran Pancasila telah dikenal lama di bumi Indonesia, sebagai sebuah landasan
filosofis bagi dasar pembentukan negara Indonesia. Peri Ketuhanan, Peri
Kemanusiaan, peri Kebangsaan, Peri Kerakyatan (Demokrasi), dan Peri
Keadilan Sosial, adalah lima elemen pokok yang dianggap mampu menjaga
eksistensi bangunan konstitusionalisme Indonesia (Yamin, 1951: 108-109).
Pancasila
menjadi sebuah konsensus nasional yang menjaga tegaknya konstitusionalisme
Indonesia. Pancasila dipertahankan sebagai satu nilai yang menjawai dan
memberikan pancaran kepada keseluruhan materi muatan konstitusi. Ketuhanan
bukan berarti dasar, melainkan pengakuan pada Ke-Tuhanan yang menjadi dasar
dibentuknya negara. Kemanusiaan, bahwa manusia di seluruh dunia adalah makhluk
Tuhan yang setara. Kerakyatan, Indonesia tidak menghendaki fasisme, tetapi
sebuah negara yang demokratis. Kebangsaan, sedari awal bangsa Indonesia
menghendaki nasionalisme persatuan, serta mengakui kemerdekaan penuh seluruh
daerah dan rakyat Indonesia. Keadilan sosial merupakan komitmen negara untuk
mewujudkan kesejahteraan umum bagi setiap manusia Indonesia, termasuk di dalamnya
keadilan politik dan ekonomi (Yamin, 1951: 110-116).
Prinsip-prinsip
Konstitusionalisme Pancasila yang dikemukakan Yamin di atas tentu masih sangat
relevan untuk terus ditegakkan, dalam menjaga bangunan nasionalisme dan
kebangsaan Indonesia, yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi konstitusional.
Tarik
ulur mengenai ideologi yang sebaiknya dianut dalam membangun Indonesia ke
depan, sudah seharusnya dapat diredam bilamana kita semua memiliki keinginan
untuk membuka kembali ajaran-ajaran klasik para pendiri bangsa. Khususnya yang
berkait dengan prinsip-prinsip bangunan keindonesian.
Tentu
saja tawaran ini tidak menutup pilihan untuk terus memperbaharui system dan
struktur kenegaraan kontemporer, yang disesuaikan dengan dinamika perkembangan
dan kebutuhan negara kekinian. Ajaran klasik para pendiri bangsa penting
dipertahankan untuk tetap mempertahankan pluralitas keindonesiaan, adanya
jaminan kemerdekaan politik dalam berdemokrasi, persatuan Indonesia, dan
mengingatkan kembali tanggung jawab negara, untuk menyejahterakan setiap
manusia Indonesia, yang selama ini seringkali terabaikan.
Daftar
Pustaka
Ø Adnan
Buyung Nasution. 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Ø Daniel
S. Lev. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan.
Jakarta: LP3ES.
Ø Gabriel
A. Almond. 1996. Political Science: The History of the Discipline.
Oxford: Oxford University Press.
Ø J.C.T.
Simorangkir. 1983. Hukum dan Konstitusi Indonesia. Jakarta: Gunung
Agung.
Ø Jhon
Alder. 1989. Constitutional and Administrative Law. London: Macmillan
Education LTD.
Ø Jimly
Ashiddiqie. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press.
Ø Larry
Alexander (ed). 1999. Constitutionalism: Philosopical Foundations.
Cambridge: Cambridge University Press.
Ø Larry
Diamond. 1999. Developing Democracy Toward Consolidation. Maryland: The
Johns Hopkins University Press.
Ø Miriam
Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta:
Gramedia.
Ø Moh.
Mahfud MD. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama
Media.
Ø Muh.
Yamin. 1951. Proklamasi dan Konstitusi. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Ø Safroedin
Bahar, dkk (ed). 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI. Jakarta:
Sekretariat Negara RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar