A. Melalui
Pernikahan Sah atau Fasid
Ulama
fiqh menyepakati bahwa pernikahan yang sah atau fasid merupakan salah satu
metode atau cara dasar kuat dan dianggap sah dalam menetukan atau menetapkan
nasab seorang kepada kedua orangtuanya, walaupun pernikahan dan kelahiran anak
itu tidak didaftarkan secara resmi kepada instansi terkait. Adapun
syarat-syarat dalam menetapkan nasab melalu perkawinan, yaitu:
1. Suami
tersebut adalah seorang yang dapat atau memungkinkan memberikan keturunan
(baligh).
2. Menurut
golongan Mazhab Hanafi, anak tersebut lahir 6 (enam) bulan setelah perkawinan.
3. Menurut
Jumhur Ulama, apabila kelahiran anak atas hubung suami istri kurang dari 6
(enam) bulan, maka anak yang lahir itu tidak bias dinasabkan kepada suami
wanita tersebut.[1]
Dikarnakan ini mengindikasikan kehamilan tersebut terjadi sebelum menikah.
4. Suami
istri bertemu minimal satu kali setelah menikah.
Ikatan
suami istri (al-firasy az-zaujiyyah)
dinilai sebagai cara dalam menetapkan nasab anak kepada kedua orangtuanya.
Sebagai mana pernyataan Wahbah Az-Zuhaili sebagi berikut:
“Hubungan
nasab dapat ditetapkan dengan salah satu dari ketiga cara, yaitu pernikahan yang sah atau pernikahan yang
fasid, dengan cara ikrar atau pengakuan nasab, dan dengan pembuktian. Cara pertama
adalah dengan pernikahan yang sah atau pernikahan fasid sebagai sebuah cara
untuk menetapkan nasab, cara menetapkannya secara konkrit adalah manakala telah
terjadi pernikahan, walaupun berupa nikah fasid atau nikah secara adat
masyarakat tertentu, yaitu pernikahan yang telah dianggap terlaksana dengan
akad-akad khusus, (seperti nikah di bawah tangan), tanpa didaftarkan kepada
lembaga pernikahan yang resmi (seperti KUA) hubungan nasab anak-anak yang
dilahirkan oleh seorang wanita sebagai istri
itu tetap bisa diakui dan
ditetapkan”.[2]
B. Melalui
Pengakuan atau Gugatan Terhadap Anak
Ulama
fiqh membedakan antara pengakuan terhadap anak dan pengakuan terhadap selain
anak, semisal pengakuan terhadap saudara, paman atau kakek, apabila seorang
lelaki mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya ataupun sebaliknya
(anak kecil yang telah baligh) mengakui seorang lelaki adalah ayahnya, maka
pengakuan itu dapat dibenarkan dan anak itu dapat dinasabkan kepada lelaki
tersebut.[3]
Adapu syart-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Anak
yang menyampaikan pengakuan tersebut tidak jelas nasabnya.
2. Pengakuan
itu logis.
3. Apabila
anak itu telah baligh dan berakal (menurut Jumhur) atau telah mumayiz (menurut
ulama mazhab Hanafi) maka anak tersebut membenarkan pengakuan lelaki tersebut.
4. Lelaki
yang mengakui nasab anak tersebut harus menegaskan bahwa ia bukan anak dari
hasil perbuatan zina, karena perbuatan zina tidak bisa menjadi dasar penetapan
nasab anak.
Apabila
syarat-syarat diatas telah terpenuhi, maka pengakuan nasab oleh seorang ayah
ataupun sebaliknya adalah sah. Ketika seorang ayah telah mengakui seorang anak
sebagai anaknya, maka seorang ayah tidak boleh mencabut kembali pengakuannya,
karena nasab tidak bisa dibatalkan. Oleh karena itu ketika seorang lelaki
hendak mengakui seorang anak sebagai keturunannya tidak boleh ragu-ragu,
dikarnakan mengenai masalah nasab ini bukan lah permainan, karena nasab
termasuk dalam salah satu dari 5 (lima) tujuan mendasar disyariatkanya hokum
Islam.
Dalam
menetapkan sah atau tidaknya pengakuan ini, para ulama berbeda pendapat, apakah
anak yang diakui tersebut haruslah masih hidup atau meninggal? Sehingga
pengakuan nasab bisa dianggap sah atau sebaliknya (anak tersebut telah
meninggal).
Mazhab
Hanafi mensyaratkan bahwa anak yang diakui sebagai anak yang mengakui itu
haruslah masih hidup. Apabila anak yang diakui itu telah meninggal dunia, maka
pengakuan itu dianggap tidak sah dan anak itu tidak bisa dinasabkan kepada
orang yang memberikan pengakuan tersebut. Namun ada pengecualian pada kondisi seorang
telah meninggal dan diakui bernasab dengan dirinya atau orang lain, apabila
orang tersebut (orang yang telah wafat) memiliki keturunan, maka pengakuan
nasab tersebut dianggap sah.
Mazhab
Maliki berpendapat bahwa baik anak itu masih hidup maupun telah meninggal tetap
dapat diakui sebagai nasab oleh pengaku, selama pengakuan tersebut memenuhi
syarat-syarat di atas. Maka anak tersebut dapat dinasabkan kepada orang yang
mengaku tersebut.
Mazhab
Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa di samping harus memenuhi syarat-syarat di
atas, diperlukan syarat lain, yaitu pengakuan itu datang dari seluruh ahli
waris orang yang mengaku tersebut.
C. Melalui
Pembuktian
Alat
bukti dalah hal menetapkan dan
menentukan nasab adalah berupa kesaksian, dimana setatus kesaksian ini lebih
kuat daripada sekedar pengakuan, dikarnakan kesaksian sebagai alat bukti selalu
melibatkan orang lain sebagai penguat.[4]
Sebab dalam pengakuan belum tentu diakui oleh orang lain, yang mengakibatkan
pengakuan tersebut tidak kuat dan masih memungkinkan dibatalkan oleh adanya
alat bukti berupa saksi yang benar.
Mengenai
jumlah saksi sebagai alat bukti dalam menentukan nasab para ulama berbeda
pendapat, menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan, saksi harus
berjumlah 4 (empat) orang dan terdiri dari 2 (dua) laki-laki dan 2 (dua)
perempuan.[5]
Menurut
mazhab Maliki kesaksian 2 (dua) orang laki-laki dianggap cukup, menurut ulama
dari golongan Syafi’i dan Hanbali serta Abu Yusuf bahwa semua ahli waris harus
mengungkapkan kesaksian (menjadi saksi).[6]
Mengenai
kondisi saksi, hendaklah saksi benar-benar mengetahui atau mendangar dengan
pasti dan positif akan kesaksiannya, dan hendaklah ia (saksi) mengetahui atau
mendengar dengan mata dan telinganya sendiri secara nyata sebagai mana yang
disebutkan dalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, yang artinya:
“Dari
Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi SAW. bersabda kepada seseorang (yang menjadi
saksi) apakah kamu melihat matahari? Laki-laki itu menjawab, benar aku melihat,
kemudian Rasulullah bersabda: maka silakan kemukakan kesaksianmu, tetapi
apabila tidak (demikian) jangan menjadi saksi”
Di
samping dituntut dalam menyampaikan kesaksian secara jelas dan pasti, saksi
juga harus menyampaikan dan mengatakan dengan kalimat tegas “saya bersaksi
bahwa bai itu anak dia, atau saya bersaksi bahwa bapak bayi itu adalah dia”.
Seorang saksi tidak dikatakan cukup bersaksi bilamana bersaksi mengucapkan kata
“kata orang-orang begitu” dan sejenisnya.
Inilah sebagian kecil dari
metode penetapan Nasab semoga bermanfaat bagi kita semua Amine.
[1]
Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj,
Beirut: Dar Al-Fikr, tanpa tahun, jilid 3, hlm. 391.
[2]
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuh, jilid 7, hlm. 690.
[3]
Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag, Nasab dan
Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta, Amzah, 2012, cet. 1, hlm. 125.
[4]
Muhammad Yusuf Musa, An-Nasab wa Atsaruh,
hlm. 32.
[5]
Syamsuddin Asy-Syarkhasi, Kitab
Al-Mabsut, Beirut, Dar Al-Fikr, 1993, cet.1, Jilid 8, hlm. 150.
[6] Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu, Jilid 7, hlm. 695
Tidak ada komentar:
Posting Komentar