Kamis, 20 Desember 2012

Membangun Sinergi Dalam Pengawasan Hakim



A.    Pendahuluan
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 bertanggal 23 Agustus 2006 yang “mengamputasi” kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal pengawasan hakim (termasuk hakim agung).
Setidaknya terdapat anggapan bahwa putusan tersebut telah meredupkan kiprah dari lembaga negara “anak” reformasi itu. Kewenangan tersisa yang masih menguatkan kehadiran KY, terkait dalam hal seleksi calon hakim agung. Keinginan untuk mengembalikan “gigi” KY mengalami jalan panjang bahkan hampir pada titik yang mengkhawatirkan.
Kehadiran KY pada awal mulanya diharapkan mampu membangun checks and balances dalam pilar kekuasaan kehakiman sebagai bagian tak terpisah dari dua pilar lainnya (eksekutif dan legislatif). Pilar kekuasaan kehakiman bagaimanapun juga merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat dan supremasi hukum. Pemahaman tersebut erat kaitannya dengan konsep negara hukum. Konsep negara hukum merupakan perpaduan yang menghendaki kekuasaan negara ataupun kedaulatan harus dilaksanakan sesuai hukum begitu pula sebaliknya.
Menurut A.V. Dicey, negara hukum menghendaki pemerintahan itu kekuasaannya berada di bawah kendali aturan hukum (the rule of law), terdapat tiga unsur utama di dalamnya, yaitu[1]:
a.       Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum/kedaulatan hukum.
b.      Equality before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara.
c.       Constitusion Based on Individual Rights artinya konstitusi itu bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi.

Prinsip utama yang dikemukakan Diecy tersebut sesungguhnya lebih mengutamakan pada perlindungan hak asasi manusia. Hal itu dikarenakan bahwa pelaksanaan kekuasaan negara baik oleh legislatif, eksekutif dan yudikatif ditujukan untuk menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, perwujudannya melalui perlindungan terhadap hak asasi manusia. Komisi Yudisial menjadi “asa” pemegang daulat rakyat (baca: pencari keadilan) untuk memberikan kontrol bagi kekuasaan peradilan yang semena-mena, korup dan tidak profesioanl.
Komisi Yudisial mendapat daulat rakyat tersebut berdasarkan wewenang yang diberikan oleh konstitusi, yaitu tertuang dalam Pasal 24B Ayat (1) yang menyatakan :...”mengusulkan pengangkatan hakim agung dan ...mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”
Dalam rangka mengatur hubungan antara kekuasaan dan rakyat (dikenal dengan teori du contract social) terdapat beberapa unsur-unsur yang harus ada agar kedaulatan rakyat tidak mudah diabaikan. Dalam perspektif Immanuel Kant, unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah negara adalah sebagai berikut: (1) perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan (2) pemisahan kekuasaan[2]. Relasi perlindungan hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan semakin kuat sebagaimana dikatakan dalam unsur negara formil yang dikemukakan oleh F.J. Stahl yaitu[3]: (1) perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) pemisahan kekuasaan; (3) setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan; (4) adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri.
Pemisahan kekuasaan (sparation of power) ditujukan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada satu institusi atau lembaga tertentu. Dalam praktik, masing-masing kekuasaan akan saling memberikan pengaruh dengan demikian akan terbangun saling mengimbangi (cheks and balances) antarkekuasaan tersebut[4]. Makna lain dari saling mengimbangi tersebut diartikan sebagai saling mengendalikan sehingga masing-masing kekuasaan tidak menjadi dominan dibanding kekuasaan lainnnya.
Pemisahan kekuasaan yang kita anut sekarang merupakan wujud dari konsepsi negara hukum. Sebelum perubahan UUD 1945, di negara kita pada mulanya dikesankan menganut Rechtsstaat semata. Pada masa sekarang konstitusi kita mengenal istilah negara hukum saja, tanpa embel-embel rechtsstaat yang diletakkan di dalam kurung.
Dengan demikian politik hukum kita tentang konsepsi negara hukum menganut unsur-unsur, baik dari Rechtsstaat dan the Rule of Law, bahkan sistem hukum lain sekaligus. Sebelumnya konsep negara hukum kita ditegaskan dalam Penjelasan UUD dengan kalimat “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)…,” namun sekarang Penjelasan UUD sudah tidak berlaku dan pernyataan prinsip negara hukum itu penuangannya di dalam konstitusi dipindahkan ke dalam Pasal 1 ayat (3) dengan kalimat yang netral, yaitu“Negara Indonesia adalah negara hukum”[5]. Dalam konsep Rule of Law memiliki beberapa fungsi, yaitu mencegah penggunaan kekuasaan negara secara sewenang-wenang, korup dan penyalahgunaan kekuasaan. Untuk mewujudkan konsep Rule Of Law dalam sebuah negara harus memuat unsur-unsur: a. prosedural, b. substantif, c. kontrol internal/institusi penjaga sebagai berikut[6]:
a.       Unsur Prosedural, Hukum harus tertulis, perbuatan/tindakan negara/aparat negara harus tunduk pada hukum. Substansi hukum mesti jelas dan pasti, aturan hukum berlaku umum, relatif konstan, tidak sering berubah-ubah, aturan hukum disosialisasikan.
b.      Unsur Substantif, tunduknya semua aturan hukum dan interpetasi aturan hukum pada prinsip-prinsip keadilan dan due process. Perlindungan hak-hak individual, keberadaan negara bermanfaat bagi kesejahteraan individu: ekonomi dan sosial. Perlindungan kepentingan hak-hak kelompok, generasi mendatang.
c.       Unsur kontrol internal dan institusi penjaga, ada tidaknya prosedur pemeriksaan/pengujian internal untuk pencegahan perbuatan aparat pemerintah/pejabat publik yang melawan hukum. Ada tidaknya lembaga peradilan yang mandiri, bebas dari pengaruh dalam menafsirkan/menerapkan hukum, setiap orang memiliki akses ke pengadilan. Ada tidaknya lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan menjaga rule of law mis. Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Majelis Kode Etik, Majelis Pengawas Notaris.
Keinginan Indonesia untuk menjadi negara hukum ditegaskankan melalui perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dengan rumusan yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi : ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. International Commission of Jurist yang merupakan suatu organisasi internasional dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, merumuskan tentang pengertian dan syarat bagi suatu negara hukum/pemerintah yang demokratis dibawah rule of law sebagai berikut : adanya proteksi konstitusional, pengadilan yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan berserikat/berorganisasi dan oposisi, pendidikan kewarganegaraan[7].
Pengadilan yang bebas merupakan salah satu pilar negara hukum karena pengadilan merupakan tempat bagi penyelesaian sengketa baik yang terjadi antara sesama warga negara maupun antara warga negara dan negara bahkan antar lembaga negara.
Untuk mewujudkan hal tersebut di dalam Bab IX Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan tentang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24). Selain memuat lembaga pelaku Kekuasaan Kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bab tersebut juga mengatur tentang keberadaan KY sebagai lembaga dengan kewenanangan yang telah disebutkan di atas.
B.     Pembahasan
Kehadiran KY didasari oleh ide tentang pentingnya pengawasan hakim dalam rangka melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaannya (institutional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (intrumental atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat kita sebagai keseluruhan (ethical dan bahkan cultural reform)[8]. Pembentukan KY ditujukan juga sebagai jawaban atas masalah pertanggung-jawaban Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga negara dan kontrol masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman[9].
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan, yaitu : pertama, pengawasan internal dilakukan oleh Badan Pengawas (Mahkamah Agung) dan Majelis Kehormatan (Mahkamah Konstitusi). Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada MA ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik Indonesia. Begitu pula dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan pengawasan internal.
Kedua, Pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien[10]. Agar KomisiYudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung, demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak dimasukkan dalam satu pos anggaran dengan Mahkamah Agung[11]. Dengan demikian ide untuk meletakkan posisi Komisi Yudisial dibawah Mahkamah Agung menjadi tidak relevan.
Keinginan untuk menciptakan peradilan yang bersih dengan membentuk Komisi Yudisial dalam praktek telah menimbulkan ”kegerahan” hakim Agung. Kondisi dilematis dan kontradiktif atas pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Yudisial dibuktikan dengan diajukannya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yuidisial oleh 31 orang hakim Agung ke Mahkamah Konstitusi yang berakhir dengan Putusan Nomor 005/PUU/-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa hakim agung dan hakim konstitusi tidak menjadi ranah pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Model kekuasaan kehakiman yang selama ini dijalankan dengan pembagian peran antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) sudah cukup baik. Penempatan Komisi Yudisial (KY) pada Bab tentang Kekuasaan Kehakiman telah membawa implikasi lainnya termasuk pasca Putusan MK mengenai hal tersebut. Langkah yang sangat mungkin dipilih adalah mengeluarkan KY dari Bab tentang Kekuasan Kehakiman, namun diperkuat dengan menegaskan fungsinya sebagai pelaku pengawasan terhadap seluruh hakim, termasuk hakim konstitusi. Tidak hanya itu, KY juga menjadi lembaga yang mengawasi semua lembaga penegak hukum[12].
Untuk mewujudkannya tidaklah mudah, diperlukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terlebih dahulu. Langkah yang paling cocok untuk itu saat ini adalah melakukan penguatan melalui perubahan terhadap Undang-undang yang terkait dengan Kekuasaan Kehakiman secara terintegrasi, mulai dari Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Pengaturan yang tidak komprehensif dan sektoral dari keempat undang-undang tersebut dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi atas pelaksanaan mengenai tugas dan wewenang antar lembaga tersebut. Hal ini mungkin saja terjadi karena factor penyusunan undang-undang tersebut yang tidak berbarengan. Perubahan secara komprehensif, utuh dalam satu paket perubahan undang-undang menjadi prioritas saat ini.
Persoalan kode etik dan perilaku hakim menjadi masalah lainnya yang memicu konfilk antara KY dan MA. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kesadaran Konstitusional KY dan MA bahkan MK untuk secara bersama membuat satu kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sebab, selain menghindari rivalitas dan krisis kelembagaan, hal itu mewujudkan sinergi dan saling menghormati kewenangan masing-masing. Jika masing-masing membuat kode etik dengan subyek yang sama, akan memperlebar jurang perbedaan dan pada akhirnya hanya akan merugikan penegakan hukum yang bersandar pada rasa keadilan masyarakat[13].
Dalam rangka mewujdukan pengawasan yang efektif baik secara internal maupun eksternal maka diperlukan sinergi ketiga lembaga yaitu Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Setiap unsur yang melakukan pengawasan harus menjalin kerjasama dan koordinasi sehingga dapat melakukan pengawasan secara berlapis. Berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi ketika pengawasan dilakukan secara sendiri-sendiri maka yang timbul adalah sikap arogansi, ego sektoral, esprit de corps dan saling tidak percaya.
Untuk itu, G. Marshall sebagaimana dikutip Deny Indrayana menyatakan pemisahan kekuasaan dilakukan melalui:
a.       Differentiation yaitu membedakan fungsi
b.      Legal incompatibility of office holding yaitu orang tidak boleh merangkap jabatan
c.       Isolation, immunity, independence yaitu tidak saling campur untuk menjaga independensi
d.      Checks and balances yaitu saling kontrol saling imbang
e.       Co-ordinate status and lack of accountability yaitu koordinasi dan kesederajatan
Komisi Yudisial melakukan wewenangnya untuk pengawasan dan bukan pelaksana kekuasaan kehakiman. Pemisahan pengawas dan pelaksana merupakan wujud untuk menjaga independensi dan dalam rangka menciptakan kontrol yang sehat dan efektif dengan tidak melupakan koordinasi serta menjunjung tinggi prinsip kesederajatan.
Kerjasama dapat dimulai dengan menetapkan secara bersama mengenai prosedur dan mekanisme penanganan dugaan penyimpangan oleh hakim (hukum acara pemeriksaan hakim), pembentukan kode etik hakim secara bersama dan disepakati bersama.
Pembentukan tim pemeriksa berupa panel antara Komisi Yudisial dengan Hakim Pengawas atau Majelis Kehormatan Hakim. Dengan demikian koordinasi yang dibangun akan memudahkan setiap pemeriksaan karena telah dispakati antara ketiganya sehingga tidak menimbulkan praduga bahwa satu lembaga menghakimi lembaga yang lainnya. Untuk itu perubahan undang-undang yang akan didorong adalah bagaimana menciptakan mekanisme yang mendukung terciptanya koordinasi dan kerjasama tersebut.
Banyak desakan yang telah disampaikan baik kepada DPR maupun Presiden untuk menjadikan revisi UU KY, MA dan MK segera dibahas dengan menjadikan revisi UU KY sebagai prioritas. Yang terjadi justru sebaliknya, legislator lebih mendahulukan pembahasan revisi UU Mahkamah Agung yang cukup kontroversial namun telah disahkan dengan berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Di balik kontroversi yang muncul ternyata jika dikaji lebih dalam UU Nomr 3 Tahun 2009 lebih baik materinya jika dibandingkan dengan sebelumnya. Terdapat beberapa kemajuan yang muncul dalam UU tersebut terutama yang terkait dengan hubungan kelembagaan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kemajuan Undang-Undang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Di dalam Pasal 11A (1) menyatakan : “Hakim agung hanya dapat diberhentikan tidak dengan hormat dalam masa jabatannya apabila:
a.       dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.      melakukan perbuatan tercela;
c.       melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;
d.      melanggar sumpah atau janji jabatan;
e.       melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
f.       melanggar kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
Khusus huruf b di dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”melakukan perbuatan tercela” adalah apabila hakim agung yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim agung.
Artinya sudah ada makna perbuatan tercela, yaitu baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Penjelasan ini menjawab perdebatan selama ini menyangkut makna dari perbuatan tercela tersebut. Pemahaman hakim-hakim selama ini hanya menyangkut perilaku di luar pengadilan saja. Dengan demikian penjelasan pasal ini menghapuskan dikotomi di dalam ataupun di luar pengadilan.
2.      Di dalam Pasal 11A Ayat (3) dinyatakan: Terhadap usul pemberhentian pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial dan Ayat (5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi Yudisial. Artinya Komisi Yudisial dilibatkan dalam memberikan usul pemberhentian hakim yang melakukan perbuatan tercela dan melanggar kode etik dan/atau perilaku hakim. Timbul pertanyaan darimanakah munculnya usul Komisi Yudisial tersebut. Jika dimaknai maka sebelum memberikan usul pemberhentian hakim, Komisi Yudisial tentu harus memiliki “data” awal mengenai latar belakang atau dasar pengusulan. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa dalam memberikan usul tersebut Komisi Yudisial dapat mendasarkan pada data yang berasal baik dari internal (mis : temuan/invsetigasi) maupun eksternal (misal: laporan masyarakat). Pasal tersebut memberikan wewenang bagi Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap hakim agung.
3.      Mengenai tata cara penyampaian usul pemberhentian diatur dalam Ayat (6), sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul pemberhentian, hakim agung mempunyai hak untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. Selanjutnya dalam Ayat (7) dikatakan: Majelis Kehormatan Hakim dibentuk oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul pemberhentian dengan keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim terdiri atas[14]: 3 (tiga) orang hakim agung; dan 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial. Dengan demikian total anggota Majelis Kehormatan Hakim sebanyak 7 (tujuh) orang. Kemajuan yang diatur dalam ketentuan ini, yaitu terdapatnya unsur Komisi Yudisial dalam Majelis Kehormatan Hakim. Hal ini jelas merupakan point penting yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh Komisi Yudisial dalam melaksanakan wewenangnya. Ketentuan ini juga mewajibkan keterbukaan Mahkamah Agung dalam proses pemeriksaan hakim agung yang dianggap melanggar. Mengenai tata cara pembentukan, tata kerja, dan tata cara pengambilan keputusan Majelis Kehormatan Hakim diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial[15].
4.      Di dalam Ketentuan P4. asal 32 (1) dinyatakan: Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Kemudian pada Ayat (2) menyatakan selain pengawasan tersebut, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. Lalu di dalam Ayat (3) berbunyi: Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya dan terakhir dinyatakan Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya. Namun demikian pengawasan dan kewenangan Mahkamah Agung tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara[16].
Seluruh pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut merupakan pengawasan yang bersifat internal. Kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal ditegaskan dalam Pasal 32A yang berbunyi:
1)      Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2)      Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial.
3)      Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim.
4)      Kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Ketentuan ini diharapkan menyelesaikan perdebatan mengenai kedudukan dan wewenang Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal. Selain itu, dengan ketentuan ini telah memberikan posisi sejajar dan seimbang antara peran pengawasan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Supaya tidak menimbulkan pertentangan lagi di masa datang, maka harus dipertegas batasan antara kewenangan pengawasan internal dan eksternal.
Untuk mengatasi hal tersebut harus dirumuskan secara bersama bahkan jika perlu kedua pengawasan dilakukan secara beriringan. Diharapkan hasilnya nanti akan menjadi lebih baik karena masing-masing lembaga akan saling memberi masukan atas hasil pengawasannya. Pertimbangan kedua lembaga menjadi lebih sempurna apabila rekomendasi yang diberikan adalah sama. Yang menjadi problem adalah bagaimana seandainya rekomendasi kedua mekanisme pengawasan tersebut bertolak belakang maka harus dirumuskan juga rekomendasi siapa yang akan dipakai.
Khusus menyangkut Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim harus sudah ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan[17]. Artinya Kode Etik dan Pedoman Perilaku yang telah ada saat ini baik yang dimiliki oleh Komisi Yudisial maupun Mahkamah Agung harus segera dijadikan satu. Kode Etik tersebut harus dirumuskan dan disepakati bersama oleh KY dan MA. Dengan demikian rivalitas, ego sektoral dan ketidaksatuan pemahaman yang muncul selama ini tidak lagi menimbulkan kesulitan membangun sinergi dan integrasi.
Untuk dijadikan pedoman atau pembanding, perumusan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tunggal perlu kiranya mengacu pada beberapa prinsip yang ada pada The Bangalore Principles, yang antara lain menganut prinsip-prinsip: independence (independensi), impartiality (ketidakberpihakan), integrity (integritas), propriety (kepantasan dan sopan santun), equality (kesetaraan), dan competence and diligence (kecakapan dan keseksamaan)[18]. Selain itu tidak boleh melupakan nilai-nilai filosofis Pancasila.
Selain revisi UU tentang Mahkamah Agung yang telah menjadi undang-undang yaitu UU Nomor 3 Tahun 2009 masih terdapat revisi lainnya yang belum terlaksana yaitu:
a.       RUU tentang Perubahan atas UU Mahkamah Konstitusi
Ide dasar perubahan UU ini adalah mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan hakim konstitusi sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 1 UU Nomor 22 tahun 2004 (sebelum putusan MK) bahwa Hakim yang dimaksud adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[19].
Selain itu, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap pola pengawasan yang dilakukan bagi hakim agung. Sudah selayaknya peran Komisi Yudisial sebagai pengawas hakim dimuat dalam revisi UU Mahkamah Konstitusi nantinya[20]. Di dalam Pasal 23 (2) RUU tentang perubahan UU Mahkamah Konstitusi yang diusulkan Komisi Yudisial dinyatakan: Hakim Konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila:
a.       dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
b.      melakukan perbuatan tercela;
c.       tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut -turut tanpa alasan yang sah;
d.      melanggar sumpah atau janji jabatan;
e.       melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
f.       tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
Dalam ayat (3) diatur bahwa : Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat tersebut pada huruf b, huruf c, huruf d, huruf e , huruf f & huruf g dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Pada saat pemberhentian diselipkan ketentuan bahwa pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Komisi Yudisial[21].
Lalu dalam ayat (5) mengatur bahwa :
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi, yang unsurnya terdiri atas 2 (dua) hakim konstitusi, 2 (dua) anggota Komisi Yudisial dan 3 (tiga) orang dari unsur masyarakat, profesi dan akademisi.
Terkait dengan komposisi Majelis Kehormatan hakim jelas berbeda dengan apa yang telah ada saat ini. Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/ 2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi Bab IV Pasal 4 ayat (1), dinyatakan bahwa :
a.       Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi bersifat ad hoc, terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi.
b.      Dalam hal Hakim Konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran diancam dengan sanksi pemberhentian, Majelis Kehormatan terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Konstitusi ditambah seorang mantan Hakim Agung Mahkamah Agung, seorang praktisi hukum senior, dan seorang guru besar ilmu hukum.
c.       Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam butir a dan b tersebut di atas dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi dalam Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi.
d.      Anggota tambahan Majelis Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam butir b dicalonkan oleh Hakim Konstitusi dan dipilih oleh Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi setelah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan usul dan saran mengenai para calon Anggota Tambahan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
e.       Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dipilih oleh Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari unsur Hakim Konstitusi.
Jelas terbaca bahwa dalam ketentuan mengenai Majelis Kehormatan Hakim yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi tidak mengakomodir kehadiran Komisi Yudisial. Untuk itu dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi hendaknya mengakomodir kehadiran Komisi Yudisial sebagaimana terdapat dalam Majelis Kehormatan Hakim pada Mahkamah Agung. Apalagi di dalam komposisi yang ada saat ini memberi peluang kepada pihak eksternal (mantan hakim agung, seorang praktisi hukum senior, dan seorang guru besar ilmu hukum). Sebaiknya komposisi ini dilengkapi atau diganti dengan anggota Komisi Yudisial.
Ketentuan komposisi tersebut harus dimuat secara tegas dalam pasal revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan nantinya tidak hanya dimuat dalam Peraturan MK. Selain itu perlu diatur lebih rinci mengenai kedudukan dan peranan Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim khususnya mengenai mekanisme kerja dan tata cara pengawasan terkait dengan keberadaan anggota KY dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Di luar masalah pengawasan hakim Konstitusi perlu kiranya mempertimbangkan catatan yang diberikan oleh Mahfud MD terhadap putusan yang dibuat oleh MK. Catatan yang diberikan oleh Mahfud ini dapat dijadikan dasar dalam membangun dan memperkuat integritas hakim konstitusi, antara lain:
Ø  Dalam membuat putusan, MK tidak boleh memuat isi yang bersifat mengatur. MK hanya berwenang menyatakan suatu undang-undang atau bagian isi undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Ø  Dalam membuat putusan, MK tidak boleh memutus batal atau tidak batal suatu undang-undang yang bersifat terbuka yakni yang oleh Undang-Undang Dasar diatribusikan kepada undang-undang
Ø  Dalam membuat putusan, MK tidak boleh memutus hal-hal yang tidak diminta (ultra petita) betapapun MK menganggap ada sesuatu yang penting dalam permohonan[22].
b.      RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Komisi Yudisial
Selain mengusulkan pengangkatan hakim agung, KY juga mempunyai wewenang lain sebagai lembaga negara yang melakukan law enforcement terhadap kode etik (codes of conduct) kepada para hakim. Paling tidak, ada beberapa filosofi yang perlu dipahami kenapa KY dibutuhkan dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu:
1.      Karena disadari begitu lemahnya fungsi pengawasan eksternal terhadap korps hakim, padahal hakim-hakim yang jujur, independen, dan berintegritas merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan law enforcement.
2.      Mengantisipasi isu “mafia peradilan” karena dalam realitasnya semakin memperpuruk citra hakim di mata rakyat yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan keadilan[23].
Dalam pengawasan dan penegakan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim oleh KY, memang tidak sampai pada soal “teknis yudisial” karena terkait dengan independensi hakim (independence of judiciary) dalam memutus perkara. Tetapi, berkas perkara dapat saja ditelaah (diperiksa) KY jika ada fakta perilaku hakim yang tercela dalam berkas perkara yang berakibat dikeluarkannya putusan. Terutama jika penilaian hakim terhadap fakta-fakta persidangan yang dituangkan dalam putusan telah menyimpang dari perilaku hakim yang semestinya. Prinsip utama yang harus menjadi pedoman bagi Komisi Yudisial bahwa pelaksanaan kewenangannya tidak boleh dilakukan dalam rangka mengintervensi kebebasan dan kemerdekaan hakim dalam memutus perkara.
Sehingga KY tidak boleh masuk kedalam persoalan teknis yudisial yang sedang berlangsung. Prinsip utama adalah KY hanya memeriksa putusan yang telah diputus dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Hasil pemeriksaan KY tidak membatalkan putusan namun hanya berakibat pada penjatuhan sanksi bagi hakim yang bersangkutan jika terbukti melakukan unsur kesengajaan dan kesalahan dalam memutus perkara. Bagi pengadilan diatasnya hasil pemeriksaan KY dapat dijadikan pertimbangan dalam memberikan putusan banding, kasasi maupun peninjauan kembali.
Menurut Simon Shetreet sebagaimana yang dikutip Fdjohansyah menyatakan Independence of Judiciary terbagi atas 4 kategori yaitu[24]: Substantive independence (independensi dalam memutus perkara), Personal independence (jaminan masa kerja dan jabatan), Internal independence (independensi dari atasan dan jabatan), Coollective independence (partisipasi dalam administrasi dan penentuan budget pengadilan).
Untuk itu KY harus mendasarkan tugasnya dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap hakim dengan melakukan penelitian menguji dan melakukan verifikasi, apakah telah terjadi pelanggaran prinsip-prinsip etika dan moral dalam menjalankan profesinya. Dikatakan telah terjadi pelanggaran prinsip-prinsip etika dan moral apabila hakim telah meninggalkan prespektif independensinya. Yakni tidak mendasarkan motivasi putusannnya pada prinsip deontologis. Per-sebaik yang bersifat imperatif kategoris maupun yang bersifat imperatif hipotesis[25].
Untuk itu rumusan dalam RUU KY harus lebih jelas dan lengkap memberi ruang bagi KY untuk melakukan penelitian, pengujian dan verifikasi. Pemeriksaan hakim bukan ditujukan untuk mengadili hakim bersangkutan namun dalam rangka meminta keterangan untuk melengkapi hasil temuan yang diperoleh oleh KY. Agar supaya KY dalam menjalankan kewenangan dalam tugas pengawasan terhadap hakim akan mencapai hasil yang efektif dan efisien maka Komisi Yudisial dalam memutuskan apakah hakim telah melanggar prinsip-prinsip dan etika moral dengan menggunakan parameter sebagaiamana yang termaktub dalam Kode Etik[26].
Dalam mengatur wewenang Komisi Yudisial menurut Wim Voerman (1999), dari segi luas kewenangannya, umumnya KY dibedakan dalam dua model. Pertama, model Eropa Selatan (seperti Prancis, Italia, dan Spanyol), KY-nya memiliki kewenangan terbatas, yaitu perekrutan hakim, mutasi, dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim. Sedang model kedua, adalah model Eropa Barat, kewenangan KY lebih luas, tidak sekadar merekrut hakim, mutasi dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim, tetapi juga melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, keuangan pengadilan, manajemen perkara hingga pengawasan terhadap manajemen pengadilan, pendidikan hakim, dan perumahan hakim[27]. Indonesia cenderung memakai model Eropa Selatan dengan tetap mempertahankan pengawasan internal oleh Mahkamah Agung.
C.    Penutup
Diperlukan sinergi dan koordinasi serta kesatuan pemahaman terhadap fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga yaitu Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu perumusan mengenai kode etik, pedoman perilaku hakim, tata cara penjatuhan sanksi, jenis sanksi harus lebih komprehensif dan didasarkan kesepahaman dan kesepakatan bersama. Perubahan yang hanya menonjolkan ego sektoral masing-masing lembaga tidak akan memberi perubahan yang berarti bagi perbaikan dunia peradilan Indonesia.
Kesepahaman antara pilar kekuasaan kehakiman dan lembaga pengawas harus dibangun sejak pembahasan revisi undang-undang masing-masing lembaga. Jangan sampai hasil revisi yang telah dituangkan nantinya dalam undang-undang justru menjadi objek pengujian lagi di Mahkamah Konstitusi. Langkah maju telah ditunjukkan pada revisi undang-undang Mahkamah Agung, diharapkan akan menjadi sempurna pada revisi undang-undang pelaksana kekuasaan kehakiman lainnya.
D.    Daftar Bacaan
Arbijoto, 2006, Pengawasan Hakim dan Pengaturan Dalam Prespektif Independensi Hakim, dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun KYRI, Jakarta, Komisi Yudisial RI.
Arfawie. K, Nukhthoh, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sekjen Mahkamah Konstitusi RI.
______________, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta, Bhuana Ilmu Populer.
______________, Asshiddiqie, Jimly, Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan. http://www.legalitas.org diakses 16 November 2006.
Diecy, A.V, 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi (terjemahan), Bandung, Nusamedia.
Djohansyah, 2008, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta, Kesaint Blanc.
Mahfud MD, Moh, 2007, Arah Politik Hukum Pasca Perubahan UUD 1945”, Makalah disampaikan pada acara Stadium Generale di Fakultas Hukum Universitas Andalas,Padang, tanggal 30 Maret 2007.
________________, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, LP3ES.
Marwan Mas, Memaknai Hakikat Kekuasaan Kehakiman, makalah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Tata Negara yang diselengarakan di Bukittinggi pada tanggal 11 – 13 Mei 2007 terselenggara atas kerjasama antara PUSaKO FHUA dan DPD RI.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Indonesia, Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.


[1] A.V. Diecy, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, terjemahan Introduction to the Study of The Law of the Constitution, penerjemah Nurhadi, M.A (Bandung : Nusamedia, 2007), hlm. 251.
[2] Nukhthoh Arfawie. K, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 18.
[3] Ibid.
[4] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen Mahkamah Konstitusi R.I, 2006), hlm. 46.
[5] Moh. Mahfud MD, Arah Politik Hukum Pasca Perubahan UUD 1945”, Makalah disampaikan pada acara Stadium Generale di Fakultas Hukum Universitas Andalas,Padang, Jum’at, 30 Maret 2007.
[6] Ibid.
[7] Nukhthoh Arfawie, Op. Cit. hlm. 20.
[8] Jimly Asshiddiqie, Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan”. http://www.legalitas.org. diakses tanggal 16 November 2006.
[9] Ibid.
[10] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan...Loc. Cit hlm. 188.
[11] Jimly Assihiddiqie, Kekuasaan... Op.Cit.
[12] Salah satu poin kesepakatan Pertemuan Ahli Tata Negara yang diselenggarakan di Bukittinggi pada 11 – 13 Mei 2007 terselenggara atas kerjasama antara Pusako FHUA dan DPD RI.
[13] Marwan Mas, ”Memaknai Hakikat Kekuasaan Kehakiman”, makalah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Tata Negara yang diselengarakan di Bukittinggi pada tanggal 11 – 13 Mei 2007 terselenggara atas kerjasama antara Pusako FHUA dan DPD RI.
[14] Pasal 11A Ayat (8) UU No. 3 Tahun 2009.
[15] Pasal 11A Ayat (13) UU No. 3 Tahun 2009.
[16] Pasal 32 ayat (5) UU No. 3 Tahun 2009.
[17] Pasal 81B UU No. 3 Tahun 2009.
[18] Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi,. (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 534.
[19] Lihat juga draft revisi Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial versi Komisi Yudisial bandingkan dengan versi Baleg dan Depkumham yang tidak memasukkan hakim konstitusi sebagai bagaian dari pengertian hakim.
[20] Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak termasuk hakim konstitusi.
[21] Pasal 23 draft RUU Revisi UU MK versi Komisi Yudisial.
[22] Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. 98.
[23] Marwan Mas, Op.Cit.
[24] Djohansyah h, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2008) , hlm. 137.
[25] Arbijoto, Pengawasan Hakim dan Pengaturan Dalam Prespektif Independensi Hakim, Dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun KYRI, (Jakarta : Komisi Yudisial RI, 2006), hlm. 58.
[26] Ibid.
[27] Marwan Mas, Op. Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar