A. Pendahuluan
Pasca
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 bertanggal 23 Agustus 2006
yang “mengamputasi” kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal pengawasan hakim
(termasuk hakim agung).
Setidaknya
terdapat anggapan bahwa putusan tersebut telah meredupkan kiprah dari lembaga
negara “anak” reformasi itu. Kewenangan tersisa yang masih menguatkan kehadiran
KY, terkait dalam hal seleksi calon hakim agung. Keinginan untuk mengembalikan
“gigi” KY mengalami jalan panjang bahkan hampir pada titik yang
mengkhawatirkan.
Kehadiran
KY pada awal mulanya diharapkan mampu membangun checks and balances dalam
pilar kekuasaan kehakiman sebagai bagian tak terpisah dari dua pilar lainnya
(eksekutif dan legislatif). Pilar kekuasaan kehakiman bagaimanapun juga
merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat dan supremasi hukum. Pemahaman
tersebut erat kaitannya dengan konsep negara hukum. Konsep negara hukum
merupakan perpaduan yang menghendaki kekuasaan negara ataupun kedaulatan harus
dilaksanakan sesuai hukum begitu pula sebaliknya.
Menurut
A.V. Dicey, negara hukum menghendaki pemerintahan itu kekuasaannya berada di
bawah kendali aturan hukum (the rule of law), terdapat tiga unsur utama
di dalamnya, yaitu[1]:
a.
Supremacy of law, artinya bahwa yang
mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum/kedaulatan hukum.
b.
Equality before the law, artinya persamaan
dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam
kualifikasinya sebagai pejabat negara.
c.
Constitusion
Based on Individual Rights artinya konstitusi itu bukan merupakan
sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia itu diletakkan
dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus
dilindungi.
Prinsip utama yang
dikemukakan Diecy tersebut sesungguhnya lebih mengutamakan pada perlindungan
hak asasi manusia. Hal itu dikarenakan bahwa pelaksanaan kekuasaan negara baik
oleh legislatif, eksekutif dan yudikatif ditujukan untuk menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat, perwujudannya melalui perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Komisi Yudisial menjadi “asa” pemegang daulat rakyat (baca: pencari
keadilan) untuk memberikan kontrol bagi kekuasaan peradilan yang semena-mena,
korup dan tidak profesioanl.
Komisi Yudisial
mendapat daulat rakyat tersebut berdasarkan wewenang yang diberikan oleh
konstitusi, yaitu tertuang dalam Pasal 24B Ayat (1) yang menyatakan :...”mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan ...mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”
Dalam rangka mengatur
hubungan antara kekuasaan dan rakyat (dikenal dengan teori du contract
social) terdapat beberapa unsur-unsur yang harus ada agar kedaulatan rakyat
tidak mudah diabaikan. Dalam perspektif Immanuel Kant, unsur-unsur yang harus
dipenuhi oleh sebuah negara adalah sebagai berikut: (1) perlindungan
terhadap hak asasi manusia, dan (2) pemisahan kekuasaan[2].
Relasi
perlindungan hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan semakin kuat sebagaimana
dikatakan dalam unsur negara formil yang dikemukakan oleh F.J. Stahl yaitu[3]:
(1) perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia; (2) pemisahan kekuasaan; (3)
setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan; (4)
adanya peradilan administrasi negara yang berdiri sendiri.
Pemisahan kekuasaan (sparation
of power) ditujukan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada satu
institusi atau lembaga tertentu. Dalam praktik, masing-masing kekuasaan akan
saling memberikan pengaruh dengan demikian akan terbangun saling mengimbangi (cheks
and balances) antarkekuasaan tersebut[4].
Makna lain dari saling mengimbangi tersebut diartikan sebagai saling
mengendalikan sehingga masing-masing kekuasaan tidak menjadi dominan dibanding
kekuasaan lainnnya.
Pemisahan kekuasaan yang kita anut
sekarang merupakan wujud dari konsepsi negara hukum. Sebelum perubahan UUD
1945, di negara kita pada mulanya dikesankan menganut Rechtsstaat semata.
Pada masa sekarang konstitusi kita mengenal istilah negara hukum saja, tanpa
embel-embel rechtsstaat yang diletakkan di dalam kurung.
Dengan demikian politik hukum kita
tentang konsepsi negara hukum menganut unsur-unsur, baik dari Rechtsstaat dan
the Rule of Law, bahkan sistem hukum lain sekaligus. Sebelumnya konsep
negara hukum kita ditegaskan dalam Penjelasan UUD dengan kalimat “Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)…,” namun sekarang
Penjelasan UUD sudah tidak berlaku dan pernyataan prinsip negara hukum itu
penuangannya di dalam konstitusi dipindahkan ke dalam Pasal 1 ayat (3) dengan
kalimat yang netral, yaitu“Negara Indonesia adalah negara hukum”[5].
Dalam konsep Rule of Law memiliki beberapa fungsi, yaitu mencegah
penggunaan kekuasaan negara secara sewenang-wenang, korup dan penyalahgunaan
kekuasaan. Untuk mewujudkan konsep Rule Of Law dalam sebuah negara harus
memuat unsur-unsur: a. prosedural, b. substantif, c. kontrol internal/institusi
penjaga sebagai berikut[6]:
a.
Unsur Prosedural, Hukum harus tertulis, perbuatan/tindakan negara/aparat
negara harus tunduk pada hukum. Substansi hukum mesti jelas dan pasti, aturan
hukum berlaku umum, relatif konstan, tidak sering berubah-ubah, aturan hukum
disosialisasikan.
b.
Unsur Substantif, tunduknya semua aturan hukum dan interpetasi
aturan hukum pada prinsip-prinsip keadilan dan due process. Perlindungan
hak-hak individual, keberadaan negara bermanfaat bagi kesejahteraan individu:
ekonomi dan sosial. Perlindungan kepentingan hak-hak kelompok, generasi
mendatang.
c.
Unsur kontrol internal dan institusi penjaga, ada tidaknya prosedur
pemeriksaan/pengujian internal untuk pencegahan perbuatan aparat
pemerintah/pejabat publik yang melawan hukum. Ada tidaknya lembaga peradilan
yang mandiri, bebas dari pengaruh dalam menafsirkan/menerapkan hukum, setiap
orang memiliki akses ke pengadilan. Ada tidaknya lembaga-lembaga yang memiliki
kewenangan menjaga rule of law mis. Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi
Yudisial, Majelis Kode Etik, Majelis Pengawas Notaris.
Keinginan Indonesia untuk menjadi negara hukum ditegaskankan melalui
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dengan rumusan yang tertuang dalam Pasal 1
ayat (3) yang berbunyi : ”Negara Indonesia adalah negara hukum”.
International Commission of Jurist yang merupakan suatu organisasi
internasional dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, merumuskan
tentang pengertian dan syarat bagi suatu negara hukum/pemerintah yang
demokratis dibawah rule of law sebagai berikut : adanya proteksi
konstitusional, pengadilan yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang
bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan berserikat/berorganisasi
dan oposisi, pendidikan kewarganegaraan[7].
Pengadilan yang bebas merupakan salah satu pilar negara hukum
karena pengadilan merupakan tempat bagi penyelesaian sengketa baik yang terjadi
antara sesama warga negara maupun antara warga negara dan negara bahkan antar
lembaga negara.
Untuk mewujudkan hal tersebut di dalam Bab IX Undang-Undang Dasar 1945
dirumuskan tentang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24).
Selain memuat lembaga pelaku Kekuasaan Kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, bab tersebut juga mengatur tentang keberadaan KY sebagai
lembaga dengan kewenanangan yang telah disebutkan di atas.
B. Pembahasan
Kehadiran KY didasari oleh ide tentang
pentingnya pengawasan hakim dalam rangka melakukan reformasi yang mendasar
terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaannya (institutional
reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (intrumental
atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya
kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat kita sebagai keseluruhan
(ethical dan bahkan cultural reform)[8].
Pembentukan KY ditujukan juga sebagai jawaban atas masalah pertanggung-jawaban
Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga negara dan kontrol masyarakat
terhadap kekuasaan kehakiman[9].
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas
para hakim, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan, yaitu : pertama,
pengawasan internal dilakukan oleh Badan Pengawas (Mahkamah Agung) dan Majelis
Kehormatan (Mahkamah Konstitusi). Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas
pada MA ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas terhadap
pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah
hukum peradilan Republik Indonesia. Begitu pula dengan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan pengawasan internal.
Kedua, Pengawasan yang bersifat
eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang dinamakan Komisi
Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses
pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pengembangan
sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien[10].
Agar KomisiYudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka
administrasi komisi ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah
Agung, demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak
dimasukkan dalam satu pos anggaran
dengan Mahkamah Agung[11]. Dengan demikian ide
untuk meletakkan posisi Komisi Yudisial dibawah Mahkamah Agung menjadi tidak
relevan.
Keinginan untuk
menciptakan peradilan yang bersih dengan membentuk Komisi Yudisial dalam
praktek telah menimbulkan ”kegerahan” hakim Agung. Kondisi dilematis dan
kontradiktif atas pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Yudisial dibuktikan
dengan diajukannya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004
tentang Komisi Yuidisial oleh 31 orang hakim Agung ke Mahkamah Konstitusi yang
berakhir dengan Putusan Nomor 005/PUU/-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006 yang
pada intinya menyatakan bahwa hakim agung dan hakim konstitusi tidak menjadi
ranah pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Model kekuasaan
kehakiman yang selama ini dijalankan dengan pembagian peran antara Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) sudah cukup baik. Penempatan Komisi
Yudisial (KY) pada Bab tentang Kekuasaan Kehakiman telah membawa implikasi
lainnya termasuk pasca Putusan MK mengenai hal tersebut. Langkah yang sangat
mungkin dipilih adalah mengeluarkan KY dari Bab tentang Kekuasan Kehakiman,
namun diperkuat dengan menegaskan fungsinya sebagai pelaku pengawasan terhadap
seluruh hakim, termasuk hakim konstitusi. Tidak hanya itu, KY juga menjadi
lembaga yang mengawasi semua lembaga penegak hukum[12].
Untuk mewujudkannya
tidaklah mudah, diperlukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terlebih
dahulu. Langkah yang paling cocok untuk itu saat ini adalah melakukan penguatan
melalui perubahan terhadap Undang-undang yang terkait dengan Kekuasaan
Kehakiman secara terintegrasi, mulai dari Undang-undang tentang Kekuasaan
Kehakiman, Tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Pengaturan yang tidak
komprehensif dan sektoral dari keempat undang-undang tersebut dianggap sebagai
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi atas
pelaksanaan mengenai tugas dan wewenang antar lembaga tersebut. Hal ini mungkin
saja terjadi karena factor penyusunan undang-undang tersebut yang tidak
berbarengan. Perubahan secara komprehensif, utuh dalam satu paket perubahan
undang-undang menjadi prioritas saat ini.
Persoalan kode etik dan
perilaku hakim menjadi masalah lainnya yang memicu konfilk antara KY dan MA.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kesadaran Konstitusional KY dan MA
bahkan MK untuk secara bersama membuat satu kode etik dan pedoman perilaku
hakim. Sebab, selain menghindari rivalitas dan krisis kelembagaan, hal itu
mewujudkan sinergi dan saling menghormati kewenangan masing-masing. Jika
masing-masing membuat kode etik dengan subyek yang sama, akan memperlebar
jurang perbedaan dan pada akhirnya hanya akan merugikan penegakan hukum yang
bersandar pada rasa keadilan masyarakat[13].
Dalam rangka mewujdukan
pengawasan yang efektif baik secara internal maupun eksternal maka diperlukan
sinergi ketiga lembaga yaitu Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK) dan
Mahkamah Agung (MA). Setiap unsur yang melakukan pengawasan harus menjalin
kerjasama dan koordinasi sehingga dapat melakukan pengawasan secara berlapis.
Berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi ketika pengawasan dilakukan secara
sendiri-sendiri maka yang timbul adalah sikap arogansi, ego sektoral, esprit
de corps dan saling tidak percaya.
Untuk itu, G. Marshall
sebagaimana dikutip Deny Indrayana menyatakan pemisahan kekuasaan dilakukan
melalui:
a.
Differentiation yaitu membedakan fungsi
b.
Legal incompatibility of office holding yaitu orang tidak boleh
merangkap jabatan
c.
Isolation, immunity, independence yaitu tidak saling campur
untuk menjaga independensi
d.
Checks and balances yaitu saling kontrol saling
imbang
e.
Co-ordinate
status and lack of accountability yaitu koordinasi dan kesederajatan
Komisi Yudisial
melakukan wewenangnya untuk pengawasan dan bukan pelaksana kekuasaan kehakiman.
Pemisahan pengawas dan pelaksana merupakan wujud untuk menjaga independensi dan dalam rangka
menciptakan kontrol yang sehat dan efektif dengan tidak melupakan koordinasi
serta menjunjung tinggi prinsip kesederajatan.
Kerjasama dapat
dimulai dengan menetapkan secara bersama mengenai prosedur dan mekanisme
penanganan dugaan penyimpangan oleh hakim (hukum acara pemeriksaan hakim), pembentukan
kode etik hakim secara bersama dan disepakati bersama.
Pembentukan tim
pemeriksa berupa panel antara Komisi Yudisial dengan Hakim Pengawas atau
Majelis Kehormatan Hakim. Dengan demikian koordinasi yang dibangun akan
memudahkan setiap pemeriksaan karena telah dispakati antara ketiganya sehingga
tidak menimbulkan praduga bahwa satu lembaga menghakimi lembaga yang lainnya.
Untuk itu perubahan undang-undang yang akan didorong adalah bagaimana
menciptakan mekanisme yang mendukung terciptanya koordinasi dan kerjasama
tersebut.
Banyak desakan yang telah disampaikan
baik kepada DPR maupun Presiden untuk menjadikan revisi UU KY, MA dan MK segera
dibahas dengan menjadikan revisi UU KY sebagai prioritas. Yang terjadi justru
sebaliknya, legislator lebih mendahulukan pembahasan revisi UU Mahkamah Agung
yang cukup kontroversial namun telah disahkan dengan berlakunya UU Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
Di balik kontroversi yang muncul
ternyata jika dikaji lebih dalam UU Nomr 3 Tahun 2009 lebih baik materinya jika
dibandingkan dengan sebelumnya. Terdapat beberapa kemajuan yang muncul dalam UU
tersebut terutama yang terkait dengan hubungan kelembagaan antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Kemajuan Undang-Undang tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Di dalam Pasal 11A (1)
menyatakan : “Hakim agung hanya dapat diberhentikan tidak dengan hormat dalam
masa jabatannya apabila:
a.
dipidana karena bersalah
melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.
melakukan perbuatan tercela;
c.
melalaikan kewajiban dalam
menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;
d.
melanggar sumpah atau janji
jabatan;
e.
melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
f.
melanggar kode etik dan/atau
pedoman perilaku hakim.
Khusus huruf b di dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan ”melakukan perbuatan tercela” adalah apabila hakim agung yang
bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di
luar pengadilan merendahkan martabat hakim agung.
Artinya sudah ada makna perbuatan tercela, yaitu baik di dalam
pengadilan maupun di luar pengadilan. Penjelasan ini menjawab perdebatan selama
ini menyangkut makna dari perbuatan tercela tersebut. Pemahaman hakim-hakim
selama ini hanya menyangkut perilaku di luar pengadilan saja. Dengan demikian
penjelasan pasal ini menghapuskan dikotomi di dalam ataupun di luar pengadilan.
2.
Di dalam Pasal 11A Ayat (3)
dinyatakan: Terhadap usul pemberhentian pada ayat (1) huruf b diajukan oleh
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial dan Ayat (5) Usul pemberhentian dengan
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi
Yudisial. Artinya Komisi Yudisial dilibatkan dalam memberikan usul
pemberhentian hakim yang melakukan perbuatan tercela dan melanggar kode etik
dan/atau perilaku hakim. Timbul pertanyaan darimanakah munculnya usul Komisi
Yudisial tersebut. Jika dimaknai maka sebelum memberikan usul pemberhentian
hakim, Komisi Yudisial tentu harus memiliki “data” awal mengenai latar belakang
atau dasar pengusulan. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa dalam memberikan
usul tersebut Komisi Yudisial dapat mendasarkan pada data yang berasal baik
dari internal (mis : temuan/invsetigasi) maupun eksternal (misal: laporan
masyarakat). Pasal tersebut memberikan wewenang bagi Komisi Yudisial untuk
melakukan pengawasan terhadap hakim agung.
3.
Mengenai tata cara
penyampaian usul pemberhentian diatur dalam Ayat (6), sebelum Mahkamah Agung
dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul pemberhentian, hakim agung mempunyai
hak untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. Selanjutnya dalam
Ayat (7) dikatakan: Majelis Kehormatan Hakim dibentuk oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya usul pemberhentian dengan keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim
terdiri atas[14]:
3 (tiga) orang hakim agung; dan 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial. Dengan
demikian total anggota Majelis Kehormatan Hakim sebanyak 7 (tujuh) orang.
Kemajuan yang diatur dalam ketentuan ini, yaitu terdapatnya unsur Komisi
Yudisial dalam Majelis Kehormatan Hakim. Hal ini jelas merupakan point penting
yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh Komisi Yudisial dalam
melaksanakan wewenangnya. Ketentuan ini juga mewajibkan keterbukaan Mahkamah
Agung dalam proses pemeriksaan hakim agung yang dianggap melanggar. Mengenai
tata cara pembentukan, tata kerja, dan tata cara pengambilan keputusan Majelis
Kehormatan Hakim diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial[15].
4.
Di dalam Ketentuan P4. asal
32 (1) dinyatakan: Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Kemudian pada Ayat (2) menyatakan
selain pengawasan tersebut, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi
terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. Lalu di dalam Ayat (3)
berbunyi: Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang
berada di bawahnya dan terakhir dinyatakan Mahkamah Agung berwenang memberi
petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan
yang berada di bawahnya. Namun demikian pengawasan dan kewenangan Mahkamah
Agung tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara[16].
Seluruh
pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut merupakan pengawasan
yang bersifat internal. Kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal
ditegaskan dalam Pasal 32A yang berbunyi:
1)
Pengawasan
internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2)
Pengawasan
eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial.
3)
Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman kepada kode etik dan
pedoman perilaku hakim.
4)
Kode
etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Ketentuan ini
diharapkan menyelesaikan perdebatan mengenai kedudukan dan wewenang Komisi
Yudisial sebagai pengawas eksternal. Selain itu, dengan ketentuan ini telah
memberikan posisi sejajar dan seimbang antara peran pengawasan oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Supaya tidak menimbulkan pertentangan lagi di masa
datang, maka harus dipertegas batasan antara kewenangan pengawasan internal dan
eksternal.
Untuk mengatasi hal
tersebut harus dirumuskan secara bersama bahkan jika perlu kedua pengawasan
dilakukan secara beriringan. Diharapkan hasilnya nanti akan menjadi lebih baik
karena masing-masing lembaga akan saling memberi masukan atas hasil
pengawasannya. Pertimbangan kedua lembaga menjadi lebih sempurna apabila
rekomendasi yang diberikan adalah sama. Yang menjadi problem adalah bagaimana
seandainya rekomendasi kedua mekanisme pengawasan tersebut bertolak belakang
maka harus dirumuskan juga rekomendasi siapa yang akan dipakai.
Khusus menyangkut Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim harus sudah ditetapkan paling lama 3 (tiga)
bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan[17].
Artinya
Kode Etik dan Pedoman Perilaku yang telah ada saat ini baik yang dimiliki oleh
Komisi Yudisial maupun Mahkamah Agung harus segera dijadikan satu. Kode Etik
tersebut harus dirumuskan dan disepakati bersama oleh KY dan MA. Dengan demikian
rivalitas, ego sektoral dan ketidaksatuan pemahaman yang muncul selama ini
tidak lagi menimbulkan kesulitan membangun sinergi dan integrasi.
Untuk dijadikan pedoman atau pembanding,
perumusan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tunggal perlu kiranya
mengacu pada beberapa prinsip yang ada pada The Bangalore Principles,
yang antara lain menganut prinsip-prinsip: independence (independensi), impartiality
(ketidakberpihakan), integrity (integritas), propriety (kepantasan
dan sopan santun), equality (kesetaraan), dan competence and
diligence (kecakapan dan keseksamaan)[18].
Selain itu tidak boleh melupakan nilai-nilai filosofis Pancasila.
Selain revisi UU tentang Mahkamah Agung
yang telah menjadi undang-undang yaitu UU Nomor 3 Tahun 2009 masih terdapat
revisi lainnya yang belum terlaksana yaitu:
a. RUU tentang Perubahan atas UU Mahkamah Konstitusi
Ide dasar perubahan UU ini adalah mengembalikan kewenangan Komisi
Yudisial dalam melakukan pengawasan hakim konstitusi sebagaimana yang dimuat dalam
Pasal 1 UU Nomor 22 tahun 2004 (sebelum putusan MK) bahwa Hakim yang dimaksud
adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[19].
Selain itu, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap pola
pengawasan yang dilakukan bagi hakim agung. Sudah selayaknya peran Komisi
Yudisial sebagai pengawas hakim dimuat dalam revisi UU Mahkamah Konstitusi
nantinya[20].
Di dalam Pasal 23 (2) RUU tentang perubahan UU Mahkamah Konstitusi yang
diusulkan Komisi Yudisial dinyatakan: Hakim Konstitusi diberhentikan dengan
tidak hormat apabila:
a.
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
b.
melakukan perbuatan tercela;
c.
tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya
selama 5 (lima) kali berturut -turut tanpa alasan yang sah;
d.
melanggar sumpah atau janji jabatan;
e.
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
f.
tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
Dalam ayat (3) diatur bahwa : Permintaan pemberhentian dengan
tidak hormat tersebut pada huruf b, huruf c, huruf d, huruf e , huruf f &
huruf g dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela
diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Pada saat pemberhentian
diselipkan ketentuan bahwa pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan
Keputusan Presiden atas permintaan Komisi Yudisial[21].
Lalu dalam ayat (5) mengatur bahwa :
“Ketentuan lebih lanjut
mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi, yang unsurnya terdiri
atas 2 (dua) hakim konstitusi, 2 (dua) anggota Komisi Yudisial dan 3 (tiga)
orang dari unsur masyarakat, profesi dan akademisi.
Terkait dengan komposisi Majelis Kehormatan hakim jelas berbeda
dengan apa yang telah ada saat ini. Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 02/PMK/ 2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Tingkah
Laku Hakim Konstitusi Bab IV Pasal 4 ayat (1), dinyatakan bahwa :
a. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi bersifat ad hoc, terdiri
atas 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi.
b.
Dalam hal Hakim Konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran
diancam dengan sanksi pemberhentian, Majelis Kehormatan terdiri atas 2 (dua)
orang Hakim Konstitusi ditambah seorang mantan Hakim Agung Mahkamah Agung,
seorang praktisi hukum senior, dan seorang guru besar ilmu hukum.
c.
Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam butir a dan b tersebut
di atas dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi dalam Rapat Pleno Mahkamah Konstitusi.
d.
Anggota tambahan Majelis Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam
butir b dicalonkan oleh Hakim Konstitusi dan dipilih oleh Rapat Pleno Mahkamah
Konstitusi setelah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan usul
dan saran mengenai para calon Anggota Tambahan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi.
e.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dipilih oleh Anggota
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari unsur Hakim Konstitusi.
Jelas terbaca bahwa dalam ketentuan mengenai Majelis Kehormatan
Hakim yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi tidak mengakomodir kehadiran
Komisi Yudisial. Untuk itu dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
hendaknya mengakomodir kehadiran Komisi Yudisial sebagaimana terdapat dalam
Majelis Kehormatan Hakim pada Mahkamah Agung. Apalagi di dalam komposisi yang
ada saat ini memberi peluang kepada pihak eksternal (mantan hakim agung,
seorang praktisi hukum senior, dan seorang guru besar ilmu hukum). Sebaiknya
komposisi ini dilengkapi atau diganti dengan anggota Komisi Yudisial.
Ketentuan komposisi tersebut harus
dimuat secara tegas dalam pasal revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan
nantinya tidak hanya dimuat dalam Peraturan MK. Selain itu perlu diatur lebih
rinci mengenai kedudukan dan peranan Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim
khususnya mengenai mekanisme kerja dan tata cara pengawasan terkait dengan
keberadaan anggota KY dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Di luar
masalah pengawasan hakim Konstitusi perlu kiranya mempertimbangkan catatan yang
diberikan oleh Mahfud MD terhadap putusan yang dibuat oleh MK. Catatan yang
diberikan oleh Mahfud ini dapat dijadikan dasar dalam membangun dan memperkuat
integritas hakim konstitusi, antara lain:
Ø Dalam membuat putusan, MK tidak boleh memuat isi yang bersifat
mengatur. MK hanya berwenang menyatakan suatu undang-undang atau bagian isi
undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Ø Dalam membuat putusan, MK tidak boleh memutus batal atau tidak
batal suatu undang-undang yang bersifat terbuka yakni yang oleh Undang-Undang
Dasar diatribusikan kepada undang-undang
Ø Dalam membuat putusan, MK tidak boleh memutus hal-hal yang tidak
diminta (ultra petita) betapapun MK menganggap ada sesuatu yang penting
dalam permohonan[22].
b.
RUU tentang Perubahan atas
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial
Selain mengusulkan pengangkatan hakim agung, KY juga mempunyai
wewenang lain sebagai lembaga negara yang melakukan law enforcement terhadap
kode etik (codes of conduct) kepada para hakim. Paling tidak, ada
beberapa filosofi yang perlu dipahami kenapa KY dibutuhkan dalam lingkup
kekuasaan kehakiman, yaitu:
1.
Karena disadari begitu
lemahnya fungsi pengawasan eksternal terhadap korps hakim, padahal hakim-hakim
yang jujur, independen, dan berintegritas merupakan syarat mutlak bagi
keberhasilan law enforcement.
2.
Mengantisipasi isu “mafia
peradilan” karena dalam realitasnya semakin memperpuruk citra hakim di mata
rakyat yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan keadilan[23].
Dalam pengawasan dan
penegakan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim oleh KY, memang
tidak sampai pada soal “teknis yudisial” karena terkait dengan independensi
hakim (independence of judiciary) dalam memutus perkara. Tetapi, berkas
perkara dapat saja ditelaah (diperiksa) KY jika ada fakta perilaku hakim yang
tercela dalam berkas perkara yang berakibat dikeluarkannya putusan. Terutama
jika penilaian hakim terhadap fakta-fakta
persidangan yang dituangkan dalam putusan telah menyimpang dari perilaku hakim
yang semestinya. Prinsip utama yang harus menjadi pedoman bagi Komisi Yudisial
bahwa pelaksanaan kewenangannya tidak boleh dilakukan dalam rangka
mengintervensi kebebasan dan kemerdekaan hakim dalam memutus perkara.
Sehingga KY tidak boleh
masuk kedalam persoalan teknis yudisial yang sedang berlangsung. Prinsip utama
adalah KY hanya memeriksa putusan yang telah diputus dalam sidang yang terbuka
untuk umum.
Hasil pemeriksaan KY
tidak membatalkan putusan namun hanya berakibat pada penjatuhan sanksi bagi
hakim yang bersangkutan jika terbukti melakukan unsur kesengajaan dan kesalahan
dalam memutus perkara. Bagi pengadilan diatasnya hasil pemeriksaan KY dapat
dijadikan pertimbangan dalam memberikan putusan banding, kasasi maupun
peninjauan kembali.
Menurut Simon Shetreet
sebagaimana yang dikutip Fdjohansyah menyatakan Independence of Judiciary terbagi
atas 4 kategori yaitu[24]:
Substantive
independence (independensi
dalam memutus perkara), Personal independence (jaminan masa kerja dan
jabatan), Internal independence (independensi dari atasan dan jabatan), Coollective
independence (partisipasi dalam administrasi dan penentuan budget
pengadilan).
Untuk itu KY harus
mendasarkan tugasnya dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap hakim dengan
melakukan penelitian menguji dan melakukan verifikasi, apakah telah terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip etika dan moral dalam menjalankan profesinya.
Dikatakan telah terjadi pelanggaran prinsip-prinsip etika dan moral apabila
hakim telah meninggalkan prespektif independensinya. Yakni tidak mendasarkan
motivasi putusannnya pada prinsip deontologis. Per-sebaik yang bersifat
imperatif kategoris maupun yang bersifat imperatif hipotesis[25].
Untuk itu rumusan dalam
RUU KY harus lebih jelas dan lengkap memberi ruang bagi KY untuk melakukan
penelitian, pengujian dan verifikasi. Pemeriksaan hakim bukan ditujukan untuk
mengadili hakim bersangkutan namun dalam rangka meminta keterangan untuk
melengkapi hasil temuan yang diperoleh oleh KY. Agar supaya KY dalam
menjalankan kewenangan dalam tugas pengawasan terhadap hakim akan mencapai
hasil yang efektif dan efisien maka Komisi Yudisial dalam memutuskan apakah
hakim telah melanggar prinsip-prinsip dan etika moral dengan menggunakan
parameter sebagaiamana yang termaktub dalam Kode Etik[26].
Dalam mengatur wewenang Komisi Yudisial
menurut Wim Voerman (1999), dari segi luas kewenangannya, umumnya KY dibedakan
dalam dua model. Pertama, model Eropa Selatan (seperti Prancis, Italia, dan
Spanyol), KY-nya memiliki kewenangan terbatas, yaitu perekrutan hakim, mutasi,
dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim. Sedang model kedua,
adalah model Eropa Barat, kewenangan KY lebih luas, tidak sekadar merekrut
hakim, mutasi dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim, tetapi juga
melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, keuangan pengadilan,
manajemen perkara hingga pengawasan terhadap manajemen pengadilan, pendidikan
hakim, dan perumahan hakim[27].
Indonesia cenderung memakai model Eropa Selatan dengan tetap mempertahankan
pengawasan internal oleh Mahkamah Agung.
C. Penutup
Diperlukan sinergi dan koordinasi serta kesatuan pemahaman
terhadap fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga yaitu Komisi Yudisial,
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu perumusan mengenai kode
etik, pedoman perilaku hakim, tata cara penjatuhan sanksi, jenis sanksi harus
lebih komprehensif dan didasarkan kesepahaman dan kesepakatan bersama.
Perubahan yang hanya menonjolkan ego sektoral masing-masing lembaga tidak akan
memberi perubahan yang berarti bagi perbaikan dunia peradilan Indonesia.
Kesepahaman antara pilar kekuasaan
kehakiman dan lembaga pengawas harus dibangun sejak pembahasan revisi
undang-undang masing-masing lembaga. Jangan sampai hasil revisi yang telah
dituangkan nantinya dalam undang-undang justru menjadi objek pengujian lagi di Mahkamah
Konstitusi. Langkah maju telah ditunjukkan pada revisi undang-undang Mahkamah
Agung, diharapkan akan menjadi sempurna pada revisi undang-undang pelaksana
kekuasaan kehakiman lainnya.
D.
Daftar Bacaan
Arbijoto,
2006, Pengawasan Hakim dan Pengaturan Dalam Prespektif Independensi Hakim,
dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun KYRI, Jakarta, Komisi Yudisial
RI.
Arfawie.
K, Nukhthoh, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Asshiddiqie,
Jimly, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta, Sekjen Mahkamah Konstitusi RI.
______________,
2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta, Bhuana Ilmu Populer.
______________,
Asshiddiqie, Jimly, Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan. http://www.legalitas.org
diakses 16 November 2006.
Diecy,
A.V, 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi (terjemahan), Bandung,
Nusamedia.
Djohansyah,
2008, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta,
Kesaint Blanc.
Mahfud
MD, Moh, 2007, Arah Politik Hukum Pasca Perubahan UUD 1945”, Makalah
disampaikan pada acara Stadium Generale di Fakultas Hukum Universitas
Andalas,Padang, tanggal 30 Maret 2007.
________________,
2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta,
LP3ES.
Marwan
Mas, Memaknai Hakikat Kekuasaan Kehakiman, makalah disampaikan dalam
Pertemuan Ahli Tata Negara yang diselengarakan di Bukittinggi pada tanggal 11 –
13 Mei 2007 terselenggara atas kerjasama antara PUSaKO FHUA dan DPD RI.
Indonesia,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
Indonesia,
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
[1] A.V. Diecy, Pengantar
Studi Hukum Konstitusi, terjemahan Introduction to the Study of The Law
of the Constitution, penerjemah Nurhadi, M.A (Bandung : Nusamedia, 2007),
hlm. 251.
[2] Nukhthoh Arfawie. K, Telaah
Kritis Teori Negara Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 18.
[4] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekjen Mahkamah
Konstitusi R.I, 2006), hlm. 46.
[5] Moh. Mahfud MD, ”Arah
Politik Hukum Pasca Perubahan UUD 1945”, Makalah disampaikan pada acara
Stadium Generale di Fakultas Hukum Universitas Andalas,Padang, Jum’at, 30 Maret
2007.
[7] Nukhthoh Arfawie, Op.
Cit. hlm. 20.
[8] Jimly Asshiddiqie, ”Kekuasaan
Kehakiman di Masa Depan”. http://www.legalitas.org. diakses tanggal 16 November
2006.
[10] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan...Loc.
Cit hlm. 188.
[11] Jimly Assihiddiqie, Kekuasaan...
Op.Cit.
[12] Salah satu poin
kesepakatan Pertemuan Ahli Tata Negara yang diselenggarakan di Bukittinggi pada
11 – 13 Mei 2007 terselenggara atas kerjasama antara Pusako FHUA dan DPD RI.
[13] Marwan Mas, ”Memaknai
Hakikat Kekuasaan Kehakiman”, makalah disampaikan dalam Pertemuan Ahli
Tata Negara yang diselengarakan di Bukittinggi pada tanggal 11 – 13 Mei 2007
terselenggara atas kerjasama antara Pusako FHUA dan DPD RI.
[14] Pasal 11A Ayat (8) UU
No. 3 Tahun 2009.
[15] Pasal 11A Ayat (13)
UU No. 3 Tahun 2009.
[16] Pasal 32 ayat (5) UU
No. 3 Tahun 2009.
[17] Pasal 81B UU No. 3
Tahun 2009.
[18] Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara Pasca Reformasi,. (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007),
hlm. 534.
[19] Lihat juga draft
revisi Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial versi Komisi
Yudisial bandingkan dengan versi Baleg dan Depkumham yang tidak memasukkan
hakim konstitusi sebagai bagaian dari pengertian hakim.
[20] Dalam putusannya
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengawasan hakim yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial tidak termasuk hakim konstitusi.
[21] Pasal 23 draft RUU
Revisi UU MK versi Komisi Yudisial.
[22] Moh. Mahfud MD, Perdebatan
Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm.
98.
[23] Marwan Mas, Op.Cit.
[24] Djohansyah h, Reformasi
Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta : Kesaint
Blanc, 2008) , hlm. 137.
[25] Arbijoto, Pengawasan
Hakim dan Pengaturan Dalam Prespektif Independensi Hakim, Dalam Bunga
Rampai Refleksi Satu Tahun KYRI, (Jakarta : Komisi Yudisial RI, 2006), hlm. 58.
[26] Ibid.
[27] Marwan Mas, Op.
Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar