1. Panitia
Agraria Yogya.
Pada
tahun 1948 telah dimulai usaha-uasaha yang konkrit untuk menyusun dasar-dasar
Hukum Agraria/ Hukum tanah baru yang akan menggantikan Hukum Agraria warisan
pemerintah jajahan. Usaha tsb, dimulai dengan pembentukan Panitia Agraria yang
berkedudukan di Yogyakarta sbg.
Ibukota RI pada waktu itu. “Panitia Agraria Yogya” dibentuk dengan Penetapan
Presiden RI tanggal 21 Mei 1948 No.16. yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dengan tugas : memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal yang mengenai
hukum tanah seumumnya, merancang dasar-dasar
hukum tanah yang memuat politik agraria
negara RI, merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan peraturan
lama, baik dari sudut legislatif mapun dari sudut praktik dan menyelidiki
soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah. Selanjutnya berdasarkan
surat Panitia Yogya tgl. 3-2-1950 No. 22/PA Panitia mengusulkan :
1). Dilepaskanya asas domein dan pengakuan hak
ulayat ;
2). Diadakannya peraturan yang memungkinkan
adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak
tanggungan. Pemerintah hendaknya jangan
memaksakan dengan peraturan perkembangan hak perseorangan dari yang paling
lemah sampai yang paling kuat, perkembangan itu hendaknya diserahkan kepada
usaha rakyat sendiri dan paguyuban hukum kecil. Sebaliknya Pemerintah memberi
stimulans yang sebesar-besarnya untuk mempercepat perkembangan itu ;
3). Supaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan
negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menentukan apakah
orang-orang asing dapat pula mempunyai hak atas tanah ;
4). Perlunya diadakan penetapan
luas minimum tanah untuk menghindarkan pauperisme diantara petani kecil dan memberi
tanah yang cukup untuk hidup yang patut, sekalipun sederhana. Untuk Jawa
diusulkan 2 ha ;
5). Perlunya ada penetapan maksimum. Diusulkan untuk Jawa 10 ha dengan
tidak memandang macamnya tanah. Untuk luar jawa dipandang perlu untuk
mengadakan penyelidikan lebih lanjut ;
6). Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan oleh
Sarimin R. Ada hak milik dan tanah kosong dari Negara dan daerah-daerah kecil
serta hak-hak atas tanah orang lain yang disebut hak-hak magersari
7). Perlunya diadakan registrasi
tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting
2.
Panitia Agraria Jakarta
Panitia
Agraria Jakarta dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 36/1951 tgl. 19 Maret
1951 dengan ketua Sarimin Reksodihardjo namun diganti oleh Singgih
Praptodihardjo karena ybs. diangkat menjadi gubernur di Nusatenggara. Panitia tersebut hasilnya belum maksimal
karena Ketua/ Wkl. sering diberi tugas oleh Pemerintah. Usulan yang tertuang
dalam majalah Agraria tgl. 9 Juni 1955 sbb :
1).Mengadakan batas minimum umum 2
ha. Mengenai hubungan pembatasan minimum tersebut dengan hukum adat terutama
hukum waris perlu diadakan tinjauan lebih lanjut.
2).Ditentukan pembatasan maksimum 25 ha untuk satu keluarga ;
3).Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga
Negara Indonesia. Tidak diadakan perbedaan antara warga Negara asli dan bukan
asli. Badan Hukum tidak diberi kesempatan untuk mengerjakan pertanian kecil ;
4).Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum, hak milik, hak
usaha, hak sewa dan hak pakai ;
5).Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang
sesuai dengan pokok-pokok dasar Negara.
3. Panitia Soewahjo
Dengan Keputusan Presiden tgl.
22 Maret 1955 No. 55 dibentuk Kementerian Agraria dengan tugas antara lain
mempersiapkan pembentukan perundang-undangan Agraria nasional. Mengingat
Panitia Jakarta tidak dapat diharapkan akan dapat menyusun rancangan UUPA dalam
waktu yang singkat, maka pada masa jabatan Menteri Agraria Gunawan Panitia
Agraria Jakarta dibubarkan berdasarkan Keppres tgl. 14 Januari 1956 No. 1 th.
1956. Panitia yang baru diketahui oleh Soewahjo Soemodilogo.
Th. 1957 Panitia Soewahjo telah berhasil menyelesaikan tugasnya berupa
RUUPA yang disampaikan kepada Pemerintah tgl. 6 Feb. 1958 setelah itu Panitia
dibubarkan. Adapun popok-pokok penting dari RUUPA dari Panitia tersebut :
1). Dihapuskannya asas domein
dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentingan umum (Negara)
;
2). Asas domein diganti dengan
hak kekuasaan Negara ;
3). Dualisme hukum Agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan
hukum yang memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat
dalam Hukum Adat maupun Hukum Barat.
4). Hak-hak atas tanah : Hak Milik sebagai hak yang terkuat yang
berfungsi sosial. Kemudian Hak Usaha, Hak Bangunan dan Hak Pakai ;
5). Hak Milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warga Negara
Indonesia. Badan Hukum pada asasnya tidak boleh mempunyai hak milik ;
6). Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang
boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum ;
7). Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan
sendiri oleh pemiliknya ;
8). Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
4. Rancangan
Soenarjo
Dengan beberapa perubahan
mengenai sistematika dan rumusan beberapa pasalnya Rancangan “Panitia Soewahjo”
tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tgl
14 Maret 1958 “ Rancangan Sunardjo” disetujui oleh Dewan Menteri dalam
sidangnya pada tgl. 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada DPR dengan amanat
Presiden tgl. 24 April 1958 No. 1307/HK. DPR membentuk Panitia Ad Hoc yang
diketuai oleh Mr.A.M. Tambunan, dari UGM seksi Agraria yang diketuai Prof.
Notonegoro dan Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro yang banyak memberikan
memberikan bahan kepada Panitia Ad Hoc. Sejak itu pembicaraan RUU UUPA dalam
sidang pleno tertunda, hingga akhirnya Rancangan Soenardjo tersebut ditarik
kembali oleh Kabinet.
5.
Rancangan Sadjarwo
Berhubung dengan berlakunya kembali UUD 1945
maka Rancangan Soenarjo yang masih memakai UUDS ditarik kembali dengan surat
Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960.
Setelah disesuaikan dengan UUD
1945 dan Manifesto Politik, dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap
diajukan RUUPA yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo yang selanjutnya disebut
“Rancangan Sadjarwo”. Rancangan Sadjarwo
tersebut disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya tgl. 22 Juli 1960
dan oleh Kabinet Pleno tgl. 1 Agustus 1960. Dengan amanat Presiden tgl. 1
Agustus 1960 No. 2584/HK/1960 Rancangan tersebut diajukan ke DPRGR. Pembahasan
di DPR GR yang diketuai oleh H. Zainul Arifin dalam sidang Pleno tgl. 12
September 1960 dan pada tagl. 14 September telah mendapat persetujuan suara
bulat dari DPRGR. Selanjutnya pada tgl 24 September 1960 disahkan oleh Presiden
Soekarno menjadi UUPA No. 5 Th. 1960
Selanjtunya UUPA tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Th. 1960
No.104 dan Penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043
A.
Fungsi
dan tujuan UUPA dan hubungannya dengan hukum Adat, serta
konsepsi-konsepsi hukum tanah
1.Fungsi dan Tujuan UUPA.
a. Menghapus dualisme hukum tanah yang lama, dan
menciptakan unifikasi serta kodifikasi Hukum Tanah Nasional yang didasarkan
pada Hukum Tanah Adat, yakni
mencabut :
1). Seluruh pasal 51 IS yang didalamnya termasuk
juga ayat-ayat yang merupakan Agrarische Wet (Stbl. 1870-55) ;
2). Semua Domeinverklaring dari Pemerintah Belanda,
baik yang umum maupun yang khusus ;
3). Pengaturan
mengenai Agrarische Eigendom yang dituangkan ke dalam Koninklijk Besluit
tanggal 16 April 1872 N. 29 (Stbl. 1872-117 jo. Stbl. 1873-38) ;
4). Buku Kedua KUH Per, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik ;
b. Mengadakan
unifikasi hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah melelaui ketentuan
konversi .
c. Meletakkan landasan hukum untuk pembangunan
Hukum Tanah Nasional misalnya mengenai Landreform.
Sedangkan
tujuan UUPA adalah :
a. Menciptakan unifkasi hukum Agraria dengan
cara :
1). Menyatakan tidak berlaku lagi
peraturan-peraturan hukum tanah lama ;
2). Menyatakan berlakunya Hukum Tanah Nasional
berdasarkan Hukum Tanah Adat yang tidak
tertulis sebagai bahan penyusunan hukum tanah Nasional ;
b. Menciptakan
unifikasi hak-hak penguasaan atas tanah melalui konversi :
1).
Tanah-tanah hak barat maupun tanah hak Indonesia mulai tgl 24-9-1960 dikonversi
menjadi hak-hak menurut UUPA
2). Hak-
hak jaminan atas tanah, yakni hipoteek & crediet verband diubah menjadi hak
tanggungan atas tanah berdasarakn UU No. 4 Th. 1996 dan UU No. 12 Th. 1999
tentang Jaminan Fidusia
2.Hubungan dengan hukum
Adat
a.
Secara formal, bahwa UUPA tersebut :
1). Dibuat di Indonesia ;
2). Dalam bahasa
Indonesia ;
3). Berlaku di seluruh
Indonesia .
b. Secara Material, bahwa UUPA tersebut :
1).
Isinya merupakan perwuju dan dari Pancasila
2).
Disusun dengan menggunakan hukum adat ;
Jadi
apabila dilihat dari segi materinya, maka hubungan fungsional tersebut dapat
kita jumpai pada :
a. Konsiderans,
bahwa perlu adanya hukum Agraria Nasional berdasarkan hukum adat tentang tanah
b. Bahwa hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat (Pasal 5
UUPA)
c. Penjelasan umum
menyatakan bahwa hukum agraria yang baru didasarkan pada ketentuan hukum adat
sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat.
Dalam penjelasan umum terdapat istilah Hukum
Adat sebagai hukum yang asli, hal mana ditekankan karena Hukum Adat sebagai
hukum yang tidak tertulispun masih dipengaruhi/ dimasuki oleh unsur-unsur dari
luar, misalnya pengaruh hukum kolonial, swapraja dan sebagainya.
Sampai
sekarang masih ada orang yang mempermasalahkan dan mempertanyakan hubungan
Hukum Adat dan UUPA itu, yakni bahwa Hukum Adat yang manakah yang dimaksudkan
oleh UUPA, sebab ada pengertian Hukum Adat dari para sarjana antara lain :
1. Van Vollen Hoven : membedakan adanya
”hukum adat golongan pribumi” dan hukum adat golongan timur asing”
2. Kusumadi Pudjosewojo : ”hukum adat” adalah keseluruhan peraturan
hukum yang tidak tertulis. Hukum Adat dalam pengertian ini bukan merupakan lapangan
hukum tersendiri disamping lapangan-lapangan hukum yang ada.
Dengan dua pengertian tersebut, termasuk hukum manakah Hukum
Adat yang dimaksudkan leh UUPA itu ?. Pengertian Hukum Adat menurut UUPA ,
bukanlah pengertian kedua sarjana tersebut.
Hukum Adat yang dimaksud UUPA adalah :
a. Secara Formal :
Bagian dari hukum positif Indonesia yang berlaku sebagai hukum yang
hidup dalam bentuk tidak tertulis du kalangan orang-orang Indonesia asli yang
mengandung ciri-ciri nasional.
b.
Secara Material :
Sifat kemasyarakatan yang berasakan keseimbangan dan
diliputi suasana keagamaan
Dengan pengertian yang demikian, maka apa yang disebut
Hukum Adat, tidak harus diartikan semata-mata sebagai rangkaian norma-norma
hukum saja, akan tetapi meliputi :
a. Konsepsi (ajaran, teori) ;
b.Asas-asas (yang
merupakan perwujudan dari konsepsi)
c. Lembaga-lembaga hukum ;
d. Sistem (tata susunan yang teratur)
Konsepsi dan asas-asas
hukum yang merupakan perwujudan kesadaran hukum para warga masyarakat dalam
penerapannya ditentukan oleh suasana dan keadaan masyarakat yang bersangkutan,
serta nilai-nilai yang dianut oleh para warganya. Walaupun konsepsi dan
asas-asasnya sama, akan tetapi norma-norma hukum yang merupakan hasil penerapannya bisa
berbeda disuatu masyarakat dengan masyarakat lainnya . Demikian pila dengan
perubahan-perubahan pada suasana, keadaan dan nilai-nilai dalam masyarakat yang
sama dalam pertumbuhannya, dapat mengakibatkan perubahan dalam norma-norma
hukum yang berlaku, sungguhpun konsepsi dan asas-asasnya tidak berubah.
Kemudian
norma-norma tersebut disusun dalam suatu sistem yang teratur termasuk
Lembaga-lembaga hukumnya.
Sebagai kesatuan pengertian yang meliputi konsepsi,
asas-asas, lembaga-lembaga hukum, sistem dari norma yang berlaku, maka Hukum
Adat merupakan perangkat hukum yang berbeda dengan perangkat-perangkat hukum
positif lainnya, dan menjadikan Hukum Adat sebagai hukum yang khas Indonesia..
Jadi
kalau kita berbicara tentang hubungan fungsional antara Hukum Tanah Nasional
dengan Hukum Tanah Adat, intinya terletak pada 3 (dua) fungsi pokok Hukum Tanah
Adat, yaitu :
a.
Sebagai sumber utama bagi pembangunan Hukum Tanah
Nasional (UUPA) ;
b.
Sebagai pelengkap Hukum Tanah Nasional yang
tertulis.
Mengenai hubungan fungsional antara hukum nasional dengan hukum
adat :
1. Konsiderans dan
penjelasan UUPA yang menunjuk pada fungsi hukum adat sebagai sumber utama bagi
pembangunan Hukum Tanah Nasiona, dan pasal 5 UUPA yang juga menunjukkan fungsi
hukum adat sebagi sumber utama serta sekaligus sebagai pelengkap bahan-bahan
yang diperlukan bagi Hukum Tanah Nasional.
2. Bentuk Hukum Tanah
Nasional :
a. Tertulis
b. Tidak
tertulis, untuk mengisi kekosongan hukum sebagai pelengkap yakni:
1). Hukum tanah adat yang sudah di saneer (Pasal
5 UUPA) ;
2) Hukum
kebiasaan lainnya yang timbul dari kebijaksaaan dalampelaksanaan Hukum Tanah
yang baru berupa Yurisprudensi dan Doktrin
Hukum
Adat yang tidak tertulis dalam melengkapi Hukum Tanah Nasional, sangat penting
peranannya yakni :
a. Yurisprudensi, misalnya Keputusan MA No. 123/K/Sip/1970
yang a.l. menegaskan :
1). Pengertian jual beli tanah sekarang ;
2). Prosedur serta pelaksanaan jual beli tanah dan
seterusnya.
b. Doktrin, yaitu
pendapat atau tafsiran para ahli, misalnya penerapan atas pemisahan horisontal
yang kita jumpai dalam hukum ada, dimana orang bisa memliki bangunan/ tanaman
yang ada di atasnya, begitu pula sebaliknya orang bisa memiliki bangunan/
tanaman tanpa memliki tanah dimana bangunan/ tanaman tersebut berada
3.
Konsepsi-konsepsi Hukum Tanah .
Sebelum
UUPA berlaku, dikenal adanya Hukum Tanah Adat yang menggunakan konsepsi Hukum
Adat dan pula Hukum Tanah Barat yang menggunakan konsepsi Hukum Tanah Barat.
sbb. :
a. Konsepsi Hukum
Tanah Barat
Konsepsi
Hukum Tanah Barat bertitik tolak dari konsepsi yang liberal invidualistis,
bahwa tanah (bumi) diciptakan Tuhan diperuntukan bagi kesejahteraan mumat
manusia. Pada mulanya tanah-tanah dimuka bumi belum ada yang memiliki (res
nullius). Oleh karena itu tanah dapat diduduki (occupatie) dan dimanfaatkan
oleh siapa saja yang memerlukannya. Dengan menduduki atau menguasai tanah
tersebut, jadilah ia selaku pemiliknya, dan menjelma sustu hubungan hukum yang
disebut Hak Eigendom.
Hak
Eigendom menurut konsepsi liberal invidualistis barat adalah hak yang
tertinggi. Dikatakan sebagai hak yang paling tertinggi, karena hak eigendom ini
muncul atas dasar suatu angapan bahwa setiap individu selaku pribadi bebeas
memiliki dan melakukan apa saja yang ia kehendaki. Puncak dari kebebasan
individu itu tercermin perwujudannya dalam Hak Eigendom, yang kemudian dikeal
sebutan ”hak asasi” seperti yang tertera di dalam Deklarasi Sedunia tentang
Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tahun 1948. Jadi sumber hak atas tanah menurut
konsepsi Hukum Tanah Barat pada hakekatnya ialah Hak Asasi. Hak Asasi manusia
inilah merupakan sumber dari segala hak-hak perorangan atas tanah.
Dalam
perkembangan selanjutnya, penerapan konsepsi yang mendewakan kebebasan individu
tersebut telah membawa akibat timbulnya konflik-konflik sosial yang terelakan,
misalnya antara kelompok pendatang berkuilit putih dengan penduduk asli benua
Amerika dan Australia. Untuk mengendalikan hal tersebut perlu diadakan
penertiban, yakni campur tangan dari penguasa berupa penguasaan tanah-tanah
yangmasih kosong dan dijadikan milik negara. Dengan demikian lahirlah apa yang
dinamakan tanah domein negara.
Jadi sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah Barat, semua
tanah dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu : tanah-tanah hak eigendom
dan tanah-tanah domein negara.
Untuk memperoleh hak eigendom menurut pasal 584 BW
dengan cara-cara : 1). Okupasi (pendudukan)
2). Daluarsa ;
3). Pewarisan
4). Pemindahan hak
b. Konsepsi Hukum
Tanah Feodal
Selain konsepsi Hukum Tanah Barat yang liberal
idividualistis dalam Hukum Tanah Barat
dikenal pula Hukum Tanah Feodal, misalnya yang berlaku di Inggris dan
negeri-negeri jajahan. Demikian juga pernah kita jumpai di Indonesia (sebelum
UUPA) pada tanah-tanah swapraja yang tunduk pada Hukum Tanah Swapraja.
Menurut konsepsi tanah feodal, semua tanah hak milik
adalah tanah raja, sedanghkan rakyat hanya dapat diberikan Hak Pakai atau Hak
Sewa. Hak Pakai ini bisa turun-temurun yang hampir sama dengan Hak Milik,
tetapi tidak dapat disebut Hak milik, karena sewaktu-waktu dapat dicabut
apabila raja menghendakinya. Hak-hak tersebut di Inggris atau di Singapura
biasanya dikenal dengan istilah : ”Estate in fee simple” (Hak Pakai) , dan
”lease hold estate”(Hak Sewa). Kalau di Indonesia kita kenal dengan hak anggaduh
dan sebagainya.
c. Konsepsi Hukum
Tanah Adat/ Nasional
Setelah
kita memahami konsepsi liberal invidualistis dan konsepsi feodal, jelas bahwa
kedua macam konsepsi tersebut tidak cocok dengan struktur masyarakat dan
nilai-nilai yang berlaku di alam Indonesia merdeka. Di alam demokrasi dimana
kedaulatan ada ditangan rakyat, tujuan bangsa kita membentuk pemerintahan
negara Republik Indonesia seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945alinea ke 4
yakni untuk :
i.
Memajukan kesejahteraan umum;
ii. Mencerdaskan kehidupan bangsa ;
iii. Ikut
melaksanakan ketertiban dunia.
Dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum tersebut, maka pasal 33 ayat (3) UUD 1945
menegaskan, bawa ” Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan apa yang telah dirumuskan dalam UUD 1945
sebagai pencerminkan kehendak segenap bangsa Indonesia, maka lebih lanjut oleh
UUPA dalam pasal 1 nya dinyatakan bahwa semua tanah yang ada diseluruh wilayah
Republik Indonesia adalah ”Hak Bangsa Indonesia” , kata adalah disini berarti
”kepunyaan”
Dikatakan
sebagai hak bangsa Indonesia, tiada lain adalah hak yang berakar dari ”Hak
Ulayat” berdasarkan Hukum Adat yang diangkat pada tingkat paling atas . Hak
Ulayat inilah yang dipakai oleh UUPA sebagai konsepsi bagi Hukum Tanah Nasional
Indonesia.
Dalam
sistem Hukum Adat, Hak Ulayat merupakan hak trtinggi dalam masyarakat hukum
adat atas seluruh ingkungan tanah yang berada di wilayah masyarakat hukumnya,
Penggunaan tanah oleh warga masyarakat hukum adat yang dilandasi berbagai hak
penguasaan atas tanah tersebut, selalu bersumber pada hak bersama tersebut yang
disebut Hak Ulayat. Pengangkatan Hak Ulayat pada tingkat paling atas sehingga
menjadi hak bangsa Indonesia empunyai pengertian, bahwa seluruh tanah di
wilayah Republik Indonesia adalah kepunyaan bangsa Indonesia. Namun perlu
diingat bahwa hubungan kepunyaan dengan tanah di seluruh Indonesia itu tidaklah
sama dengan hubungan pemilikan, karna masih tetap diakuinya Hak Milik
perorangan atas tanah yang bersumber pada hak bersama (Pasal 4 UUPA). Sebagai
berwujudan dari sifat kemasyarakatan, hak-hak serorangan atas tanah tersebut,
maka dirumuskanlah sifat itudi dalam pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Dari
manakah berasalnya tanah-tanah tersebut ? berasal dari Tuhan, jadi sumbernya
karunia Tuhan Yang Maha Esa. (Pasal 1 ayat 2 UUPA).
Hubungan
antara bangsa Indonesia dengan tanahnyan adalah hubungan yang bersfat abadi,
dan pada tingkatan tertinggi dikuasakan pelaksanaannya kepada Negara, sebagai
rorganisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 1 ayat 3 jo. Pasal 2 ayat 1 UUPA ).
Pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa sekalipun 350 tahun kita dijajah
Belanda, ternyata hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanahnya tidak
terputus dan tidak pernah diserahkan kepada siapapun. Juga tidak pernah
diserahkan kepada Negara, karena Negara hanyalah merupakan organisasi kekuasaan
seluruh bangsa atau wadah dari bangsa Indonesia untuk melaksanakan apa yang
menjadi kehendak bangsa Indonesia itu sendiri. Jadi, negara hanya merupakan hak
menguasasi dan bukan memiliki tanah. Hak menguasai dari negara itu adalah tugas
kewenangan yang dilimpahkan oelah bangsa Indonesia kepada negara untuk :
a. Mengatur penguasaan dan penggunaan tanah
melalui peraturan-perundangan ;
b. Merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah
c. Memelihara tanah .
Hak bangsa Indonesia atas tanah diseluruh wilayah Indonesia ini meliputi
:
1. Unsur kepunyaan
Sama halnya
dengan hak ulayat masyarakat hukum adat, unsur kepunyaan yang terkandung
didalam hak bangsa Indonesia ini berarti bahwa seluruh tanah di Indonesia
adalah kepunyaan bersama seluruh rakyat Indonesia. Hak Bangsa Indonesia
tersebut adalah hak yang
tertinggi.
Pada Bangsa itulah bersumber hak-hak penguasaan atas tanah yang disediakan bagi
perorangan yakni :
a.
Secara langsung berupa hak-hak atas tanah primer ;
b.
Secara tidak langsung berupa :
1) Hak-hak atas tanah sekunder
2) Hak jaminan atas tanah
Unsur kepunyaan yang terkandung di dalam hak bangsa
termasuk bidang Hukum Perdata
2. Unsur tugas kewenangan
Seperti
halnya tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, tanah bangsa Indonesia
itupun harus dikelola dengan baik :
a.
Diatur melalui peraturan perundang-undangan tentang
penguasaan dan penggunaannya ;
b.
Direncanakan peruntukan serta penggunaannya melalui
(1) Perencanaan umum oleh Pemerintah Pusat (Pasal 14 ayat 1
UUPA)
(2) Perencanaan
khusus peruntukan dan penggunaan tanah dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah
(Pasal 14 ayat 2 UUPA). Disini Pemda tidak berwenang membuat peraturan tentang
tanah, wewenangnya hanya terbatas pada pembuatan planologi kota (Rencana Tata
Guna Tanah) sesuai dengan keadaan daerahnya.
Ini
merupakan unsur tugas kewenangan yang kedua dari hak bangsa yang termasuk
bidang hukum publik , dan dalam pelaksanaanya tugas kewenangan tersebut oleh
bangsa Indonesia dilimpahkan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat Indonesia.
Jelas
kiranya dari pasal 2 UUPA, bahwa pelimpahan tugas kewenangan kepada Negara itu
terbatas pada unsur yang bersifat Hukum Publik, dan tidak meliputi unsur
kepunyaan yang bersifat perdata. Tanah di wilayah Republik Indonesia adalah
tanah kepunyaan Bangsa Indonesia , tanah kepunyaan bersama rakyat Indonesia,
para warga negara Indonesia dan bukan kepunyaan Negara. Bahwa Negara memberikan
tanah kepada rakyat yang memerlukan dengan berbagai hak atas tanah yang
disediakan dalam Hukum Tanah kita, bukan dalam kedudukannya sebagai yang
mempunyai tanah, melainkan sebagai petugas Bangsa Indonesia, sebagai Badan
Hak-hak atas tanah yang primer adalah hak-hak yang langsung bersumber pada hak
bangsa Indonesia, yang diberikan oleh Negara permohonan hak.
Selanjutnya
perlu dijelaskan bahwa Tanah Negara adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh
Negara, sedangkan yang dimaksud dengan Tanah Hak adalah semua tanah-tanah yang
sudah dikuasai oleh seseorang dengan suatu hak. Jadi di dalam sistem dan
konsepsi Hukum Tanah di Indonesia tidak dikenal ” res nullius” seperti dalam Hukum
Tanah Barat. Miss. dalam pasal 520 BW dikatakan bahwa bilamana tanah yang tidak
ada pemiliknya , harus diletakkan dibawah pengampuan Balai Harta Peninggalan
dan menjadi tanah Domein Negara. Di Negara Indonesia apabila hak atas tanah
hapus maka tanah itu kembali menjadi tanah hak bangsa atau Tanah Negara,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar