Hukum tanah di Indonesia
mengalami perombakan pada saat berlakunya UUPA pada tgl. 24 September 1960,
sehingga dapat dikatakan bahwa pada tgl. tsb. muncul pembaharuan Hukum Tanah
yang berlaku di Indonesia.
Dengan demikian akan
dibahas perkembangan hukum tanah sebelum UUPA No. 5 Th. 1960 dan sesudah
berlakunya UUPA tersebut, yaitu:
1
Hukum tanah lama sebelum UUPA
Sebelum berlakunya UUPA No. 5
Th. 1960, pengaturan mengenai Hukum tanah di Indonesia tidak hanya terdapat
dalam satu macam hukum saja, namun dapat dijumpai dari berbagai macam hukum
yakni :
a. Hukum Tanah Adat.
Hukum tanah adat merupakan hukum tidak tertulis dan sejak semula berlaku
dikalangan masyarakat asli Indonesia sebelum datangnya bangsa-bangsa Portugis,
Belanda, Inggris dan sebagainya
b. Hukum Tanah Barat
Hukum tanah barat mulai berlaku th. 1848 yang tercantum dalam Burgerlijk
Wetboek (BW) atau KUH Per., yakni termuat dalam Buku II dengan judul Hak-hak
atas tanah dan hak jaminan atas tanah , Buku III dengan judul Perihal Jual Beli
dan dalam Buku IV dengan judul perihal Pembuktian dan Daluarsa.
Hukum tanah barat diberlakukan pada saat itu, karena banyak orang Belanda
yang memerlukan tanah untuk :
1)
Perkebunan atau bangunan rumah peristirahatan (bungalow) di luar kota dengan hak erfpacht (psl. 720 BW) ;
2)
Rumah tinggal atau tempat usaha di dalam
kota, lalu menguasai tanah dengan hak eigendom dan hak opstaal
c. Hukum Tanah Antar Golongan
Hukum tanah antar golongan, kaedah-kaedahnya tidak dalam bentuk peraturan
perundang-undangn yang tertulis, tetapi berupa putusan-putusan pengadilan yang
menjadi Yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum atau sarjana hukum. Namun,
ada juga peraturan-pertaturan tertulis yang diciptakan untuk mengatur hal-hal
yang berhubungan dengan Hukum Tanah Antar Golongan.
Kaedah-kaedah dari Hukum Antar Golongan ini diciptakan dengan maksud
untuk menyelesaikan hubungan antar golongan yang menyangkut masalah tanah
sesuai dengan pembagian golongan penduduk Indonesia pada waktu itu yang tunduk
pada hukum yang berbeda atas dasar ketentuan pasal 131 IS, dimana bagi :
1
Golongan Eropah dan Timur Asing, berlaku Hukum Barat ;
2
Golongan Bumiputra (Indonesia Asli) berlaku Hukum Adat.
Hukum antar golongan timbul
karena :
1) Sifat dualisme dalam hukum
tanah yang berlaku semasa pemerintahan Hindia Belanda, dimana adanya
hubungan-hubungan serta peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi antara
orang-orang Indonesia Asli dengan bukan Indonesia asli.
2) Tanah-tanah Eropah tidak hanya dipunyai oleh orang-orang bukan Indonesia (yang
tunduk pada hukum barat) demikian pula pada tanah-tanah Indonesia tidak hanya
dimiliki oleh orang-orang Indonesia Asli (yang tunduk ada hukum adat). Perlu
jadi catatan, bahwa tanah-tanah hak barat tidaklah akan berubah statusnya
menjadi tanah hak golongan lain, sekalipun dipunyai oleh subyek-subyek yang
tunduk pada hukum yang berlainan.
d. Hukum Tanah Administrasi
Hukum tanah administrasi adalah keseluruhan peraturan yang memberi
landasan hukum bagi penguasa atau negara untuk melaksanakan politik
pertanahannya dan memberi wewenang-wewenang khusus kepada penguasa untuk
melakukan tindakan-tindakan di bidang pertanahan.
Hukum tanah administrasi berlaku sebelum UUPA yakni merupakan ciptaan
Pemerintah Kolonial Belanda yang terkenal dengan Agrarsiche Wet 1870. Sebelumnya berlaku Cultuur Stelsel (sistem tanam paksa) yang juga merupakan
politik pertanahan yang dilancarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dimana
rakyat Indonesia dipaksa untuk menanam tanaman yang dilaku dipasaran Eropah.
Perbedaannya, bahwa Argraische Wet terbuka bagi pengusaha asing swasta,
sedangkan cultuur stelsel merupakan
monooli Pemerintah Hindia Belanda.
e. Hukum Tanah Swapraja
Hukum tanah swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang
khusus berlaku pada daerah swapraja seperti Kesultanan Yogyakarta, Surakarta
dan Cirebon dan Deli. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah hukum tanah
adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh
Pemerintah Hindia Belanda Mis. Stbl. 1915 – 474 yang intinya memberi wewenang
pada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat. Dalam
konsiderans Stbl. 1915-474 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak
dalam wilayah hukum swaparaja dapat didirikan hak-hak kebendaan yang diatur
dalam BW, seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal dsb. Dimungkinkan pula
untuk memberi tanah-tanah swapraja tersebut dengan hak-hak barat, terbatas pada
orang-orang yang tunduk pada BW saja.
Dengan adanya 5 macam hukum tanah seperti tersebut di atas, maka dapat
dikatakan bahwa hukum tanah di Indonesia pada masa itu bersifat pluralistis
Namun yang pokok adalah Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah Adat, selainnya hanya
sebagai pelengkap
2.Macam Hak Atas Tanah di Indonesia dan Kaedah Pengaturannya
Dalam Sistem Hukum Tanah sebelum UUPA.
Tanah Hak Indonesia, yang diatur menurut Hk. Adat dalam arti luas, dimana
kaedah-kaedahnya sebagian besar tidak tertulis yang diciptakan oleh Pemerintah
Hindia Belanda dan Pemerintah Swapraja, yang semula berlaku bagi orang-orang
Indonesia Dengan demikian tanah hak
Indonesia berdasarkan :
1). Kaedah tidak tertulis yang berlaku lagi penduduk Asli sejak semula ;
2). Kaedah tertulis yang diciptakan oleh :
(a) Pemerintah Swapraja,
misalnya peraturan tertulis mengenai tanah di daerah Kasultanan Yogyakarta, Surakarta maupun
Sumatra Timur ;
(b) Pemerintah
Hindia Belanda, yakni :
(1) Hak Agrarisch Eigendom Stbl. 1872-117 Koninklijk Besluit) dan Stbl.
1873-39 (Ordonantie) ;
(2) Grond Vervreemdings Verbod (larangan
pengasingan tanah) Stbl. 1875-179
Mengenai peraturan tanah swapraja di Sumatra Timur, seperti halnya “Hak
Grand Sultan” yakni suatu hak yang diberikan kepada kawula swapraja yang mirip
dengan hak milik adat. Penggunaan istilah “grant” yang berasal dari bahasa
Inggris ini diperkirakan karena latar belakang historis dimana terdapat
hubungan kekeluargaan yang erat antara
Sultan Sumatra Timur dengan Sultan Malaya yang dulunya merupakan tanah jajahan
Inggris.
Peraturan-peraturan tertulis ciptaan
pemerintah Swapraja tersebut di atas kita namakan Hukum Tanah Swapraja, yang
merupakan Hukum Tanah Adat tertulis. Namun ada juga yang dibuat oleh Pemerintah
Hindia Belanda yang mengatur agar
Pemerintah Swapraja memberikan tanahnya dengan Hak Barat, berdasarkan peraturan
berbentuk Koninklijk Besluit yang diundangkan dalam Stbl. 1915-474. Peraturan ini dalam konsideranya menegaskan bahwa
tanah-tanah yang terletak di Swapraja dapat dibebani hak-hak kebendaan yang
diatur dalam KUH Perdata, mis. Hak eigendom, erfpacht dan opstal. Kemungkinan
diberikannya hak-hak barat di atas tanah swapraja itu hanya terbatas pada
orang-orang yang tunduk pada KUH Perdata. Sebagai contoh, di daerah Swapraja
Yogyakarta sampai sekarang dapat kita jumpai tanah-tanah swapraja (seperti
daerah Malioboro dan sekitarnya) yang diberikan dengan hak barat berdasarkan
Stbl. 1915-474 ciptaan Pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun pada prinsipnya tanah-tanah hak
Indonesia tunduk pada hukum adat, akan tetapi tidak semua tanah Indonesia
dibebani hak-hak asli yang berasal atau bersumber dari hukum adat Indonesia.
Buktinya selain apa yang kita kenal sebagai hak ulayat, hak pakai, hak milik
dalam masyarakat tradisional, ada pula hak grant sultan dan grant controleur
ciptaan pemerintah swapraja, atau hak agrarisch eigendom ciptaan pemerintah
Hindia Belanda, yaitu hak yang diperoleh atas ketentuan pasal 51 IS dan lebh lanjut diatur dalam Koninklijk Besluit yang diundangkan dalam Stbl.
1872117 serta Ordonantie yang diundangkan dalam Stbl. 1873-38.
3. Hukum tanah baru setelah UUPA
Hukum tanah baru adalah hukum tanah yang diatur dalam UUPA No. 5 Th. 1960
yang berlaku secara universal bagi seluruh masyarakat Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar