Sejarah Sumatera Barat dapat
dikatakan identik dengan sejarah Minangkabau. Walau pun masyarakat
Mentawai diduga telah ada pada masa itu, tetapi bukti-bukti tentang
keberadaan mereka masihsangat sedikit.
Masa Prasejarah
Bukti-bukti arkeologis yang dite mukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah-daerah sekitar Kabu paten Lima Puluh Kota yang menempati sebagian besar merupakan daerah atau kawasan Minangkabau yang pertama dihuni oleh nenek moyang orang Sumatera Barat. Penafsiran ini rasanya beralasan, karena dari daerah Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar yang akhirnya bermuara dipantai timur pulau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari jaman dahulu hingga akhir abad yang lalu. Nenek moyang orang Minang kabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In dochina) mengarungi Laut Tiongkok Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki sungai Kampar, Siak, dan Inderagiri (Kuantan).
Berdirinya kerajaan Pagaruyung
Sejarah daerah Propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Raja Aditya Warman. Raja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai RajaMinangkabau. Aditya Warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang di percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya. Aditya Warman adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kontribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Budha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Terbukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo. Sejarah Sumatera Barat sepeninggal Aditya Warman hingga pertengahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Sumatera Barat dengan dunia luar, terutama Aceh semakin intensif. Sumatera Barat waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh yang juga memonopoli kegiatan perekonomian di dae rah ini. Seiring dengan semakin inten sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yangbegitu kokoh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam. Syekh Burhanuddin dianggap sebagai penyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan agama Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.
Masuknya bangsa Eropa
Pengaruh politik dan ekonomi Aceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidak puasan ini akhirnya diungkapkan dengan menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan Sumatera Barat memasuki era Kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya. Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelancong berkebangsaan Perancis yang bernama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun1529. Namun bangsa Barat yang pertama datang dengan tujuan ekonomi dan politi adalah bangsa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pantai barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belanda, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu juga terdiri dari bangsa Portugis dan Inggris.
Perang Padri
Perang Paderi meletus di Minangkabau sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda. Gerakan Paderi menantang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam. Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi, pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat, pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol. Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya 1837, Imam Bonjol ditangkap.Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.
Dari perang Padri sampai perang Belasting
Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau.
Kerajaan Pagaruyung runtuh dan di tempatnya berdiri pemerintahan Hindia
Belanda. Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang
(1833). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah adat
dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak
akan memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin
Minangkabau membayangkan dirinya sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.
Sebagai mana di daerah lain di Hindia Belanda pemerintah kolonial
memberlakukan Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Sumatera Barat. Sistem ini
menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda. Penjajahan
Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat
Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru, seperti
penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan
terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan dengan
keharusan memilih salah seorang penghulu menjadi Kepala Nagari. Serikat
nagari-nagari (laras, Bahasa Minang/lareh) yang sebenarnya merupakan
persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan sebagai
lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan. Belanda juga berusaha
mematikan jalur perdagangan tradisional Minangkabau kepantai timur
Sumatera yang menyusuri sungai-sungai besar yang bermuara di Selat
Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di pantai Barat seperti Pariaman
dan Padang. Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan
memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus.
Gerakan Islam Modernis di Minangkabau (1900-1920)
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20 memiliki warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya. Ulama-Ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama, umumnya mereka hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. H. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1915), dan beberapa Ulama kaum Muda lain seperti H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan H. Muhammad Thaib ikutmenulis di dalamnya. Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang. Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan Sumatera Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini berhubungan erat. Banyak tokoh pergerakan atau Ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan HAMKA merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini. Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang : komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itumenjadi guru besar Sumatera Thawalib. Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh Ulama tradisional. Tahun 1930 Ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.
Gerakan Islam Modernis di Minangkabau (1900-1920)
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20 memiliki warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya. Ulama-Ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama, umumnya mereka hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. H. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1915), dan beberapa Ulama kaum Muda lain seperti H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan H. Muhammad Thaib ikutmenulis di dalamnya. Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang. Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan Sumatera Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini berhubungan erat. Banyak tokoh pergerakan atau Ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan HAMKA merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini. Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang : komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itumenjadi guru besar Sumatera Thawalib. Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh Ulama tradisional. Tahun 1930 Ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.
Gerakan Partai Komunis Indonesia 1920-an
Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923. Dt. Batuah bertemu dengan Natar Zainuddin dan H.Misbach. Agaknya ia terkesan dengan pendapat H. Misbach yang menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda. Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi. Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang dan Padang. Biladi Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang pendukung komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang. Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarikat Islam di Silungkang pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO. Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI Cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada akhir 1925. Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.
Sumatera Barat 1930-an :
- Merebaknya partai-partai politik
HR Rasuna Said, aktivis
Permi Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an
kaum agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap
berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam)
dengan tujuan mengumpulkan Ulama-Ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa
H. Abdullah Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah Normal Islam di Padang.
Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada
Sumatera Thawalib yang merupakan sekolah rendah. Setelah melawat ke Jawa
tahun 1925 dan bertemu pemimpin-pemimpin Muhammadiyah disana Haji Rasul
turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di Sungai Batang dan
kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke
seluruh Sumatera Barat. Muhammadiyah berperan penting dalam menentang
pemberlakuan Ordonansi Guru di Sumatera Barat tahun 1928. Dengan
ordonansi ini guru agama diwajibkan melapor kepada pemerintah sebelum
mengajar. Peraturan ini dipandang mengancam kemerdekaan menyiarkan
agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa sudah memutuskan meminta
ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah rapat
umum yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan
organisasi komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah
menghindari kegiatan politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927
menyebabkan banyak anggota Sarekat Rakyat atau simpatisannya berpaling
ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Paraanggota yang lebih radikal ini
tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif dalam Persatuan
Sumatra Thawalib. Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi partai
politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan
asas Islam dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi
partai politik terkuat di Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh,
Tapanuli, Riau, Jambi danBengkulu. Partai ini menjadi wadah utama paham
Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara lain Rasuna
Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan DjalaluddinThaib. Partai lain yang
juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri tahun1928,
dan PNI Baru. PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap
anti-penjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang berakar dari
perguruan agama tokoh-tokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.
Cabang PNI Baru di Bukit Tinggi diresmikan Hatta tak lama setelah
kepulangannya dari Belanda tahun 1932. Sebelumnya cabang Padang Panjang
sudah didirikan oleh Khatib Sulaiman. PARI pimpinan Tan Malaka
(didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup besar, meskipun
anggotanya sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan
Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.
- Penumpasan
Pada pertengahan 1933
pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan berkumpul. Yang menjadi
sasaran utama di Sumatera Barat adalah Permi dan PSII. Sementara itu
Rasuna Said sudah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Jawa.
Tokoh-tokoh Permidan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua
partai dikenai larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada
akhirnya tokoh-tokoh Permi dan PSII ditangkap dan dibuang ke Digul.
Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937. Pada saat yang sama di
Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga ditangkap. Sukarno
diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru
cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan bebas karena mereka membatasi
kegiatan politik partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan
Belanda yang bekerja sama dengan dinas Intelijen Inggris. Tan Malaka,
pimpinannya, lolos.
Pendudukan Jepang
Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatera Barat agar mau bekerja sama dengan Jepang. Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu pertahanan. GyuGun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.
Rujukan
- Kahin, Audrey (2005).
- Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat danPolitik Indonesia 1926-1998.
- Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6.
- Buku Alam Takambang jadi Guru, AA.Navis, 1984(id) Historiografi Minangkabau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar