SYIQAQ
Berasal dari kata al-syaqaq yang berarti sukar, sulit, sempit, pecah,
dan terbelah. Dalam kamus Lisan al-‘Arab, kata Syiqaq berasal
dari kata Syaqq, yusyaqqu, musyaqah dan syiqaqan,
yang berarti permusuhan. Menurut istilah, syiqaq adalah perselisihan
atau persengketaan yang terjadi antara suami-isteri. Di dalam Al-Qur’an, kata syiqaq
tersebut 4 kali dalam empat surat yaitu surat al-Nisa (4) ayat 35, al-Haj (22)
ayat 53, Syad (38) ayat 2, dan Fusilat (41) ayat 52. Namun, syiqaq yang
merupakan titik tekan pada pembahasan ini adalah syiqaq yang terdapat
dalam surat al-Nisa (4) ayat yang terjemahan, “Dan jika kamu hawatir ada
persengketaan antara keduanya (suami-isteri), maka kirimkanlah seorang hakim
dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan, jika
kedua hakim bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Mengenai latar belakang (asbah alnuzul) ayat ini terdapat beberapa riwayat. Di antaranya yang dinukilkan oleh Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi (w.468 H) ; ayat diatas turun berkenan dengan kasus Saad bin al-Rabi’ dan isterinya, Habibah binti Zaid bin Abu Hurairah yang dianggap nusyuz (tidak patuh) terhadap suaminya, sehingga suami memukul dirinya. Habibah agaknya tidak menerima perlakuan (pemukulan) suami terhadap dirinya, sehingga dia bersama orang tuanya mengadukan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Lalu beliau menyarankan agar isterinya memberi balasan yang setimpal (qishas). Isteri Saad pun bersama orang tuanya segera berpaling untuk melakukan pembalasan. Namun, belum lagi pembalasan dilakukan, Rasulullah saw. bersabda, “Kembalilah kamu berdua karena Jibril alaihissalam telah datang kepadaku untuk menyampaikan wahyu seraya beliau membaca ayat diatas. Isteri Saad tampak tidak puas atas larangan Rasulullah untuk membalas suaminya, hingga Rasul meyakinkan merreka tentang kebenaran wahyu dengan menerangkan demikian” Kita menginginkan sesuatu tetapi Allah juga menghendaki sesuatu. Orang yang dikehendaki Allah akan kebajikan maka dia menghilangkan qishas (tidak memberi pembalasan seperti yang dilakukan oleh suami).
PROSES PENYELESAIAN SYIQAQ. Untuk penyelesai sengketa yang terjadi
antara suami-isteri, langkah yang utama patut ditempuh adalah mengutus seorang hakim
(juri damai) dari pihak suami dan seorang lagi dari pihak isteri. Hal ini
diatur dalam ayat 35 surat al-Nisa, “Dan manakala kamu benar-benar khawatir
terjadi syiqaq diantara kamu, maka kirimkanlah seorang hakim dari
keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan...”
Terdapat kata hakim dalam ayat ini, terdapat perdebatan
dikalangan mufassir (ahli tafsir) maupun fuqaha’ (ahli fikih).
Menurut Ibnu Jarir al-Tabari (w.310 H) sebagian ulama memahami kata hakim
dengan orang yang berlaku adil ; dan sebagian lainya mengartikan kata tersebut
orang yang dapat memutuskan perkara.
Ibnu al-Husain al-Naisaburi (w.728 H) menyatakan bahwa maksud kata hakim
adalah seorang peria yang dipercaya untuk mendamaikan suami-isteri yang
bersengketa. Kriteria seorang hakim itu adalah berakal, baliqh, merdeka
dan beragama Islam. Hakim diutamakan orang yang lebih dekat hubungan
kekeluargaannya baik dari pihak suami maupun pihak isteri karena mereka
dianggap lebih mengetahui keadaan dan persoalan-persoalan yang bersifat rahasia
sekalipun. Namun demikian, ada juga mufassir (ahli tafsir) yang
memungkinkan hakim berasal dari tetangga dekat.
Para fuqaha’ (ahli fikih) berbeda pendapat tentang orang yang
berhak menjadi hakim. Apakah boleh berupa wakil ataukah mawali
(pengganti orang tua) baik dari pihak suami maupun isteri. Menurut Imam Abu
Hanifah (w.150 H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w.241 H) orang yang diutus sebagai
hakim adalah orang yang dapat mewakili (wakil) yang bijaksana dan
mengetahui hubungan hak antara harta suami dengan isteri. Mereka berargumentasi
dengan firman Allah swt. “Dan jika kamu khawatir...maka kirimkanlah (hakim)”.
Khitba (arah pembicaraan) ini ditunjukan untuk untuk kemaslahatan umat dan
menolak kemudaratan yang akan terjadi pada suami-isteri. Sedangkan menurut Imam
Malik (w.179 H) hakim dalam ayat ini adalah mawali sesuai dengan riwayat
yang menjelaskan bahwa ketika Ali bin Abu Thalib mengutus dua orang hakim
terhadap pasangan suami-isteri yang sedang bersengketa. Dalam pesannya, Ali bin
Abi Thalib, “Jika kamu berpendapat bahwa suami-isteri itu masih layak
didamaikan, maka damaikanlah mereka, tetapi jika tidak mungkin maka pisahkan
antara keduanya”. Menurut Imam al-Syafi’i (w.240 H) orang yang menjadi hakim
boleh bersetatus wakil atau mawali. Ibnu Hazm al-Zhahiri (w.456 H) juga
berpendapat sama dengan Imam al-Syafi’i.
Disamping itu, para ulama berbeda berpendapat tentang persengketaan
suami-isteri yang tidak dapat didamaikan. Apakah hakim berhak menceraikan
mereka ? menurut Imam Malik dan al-Auza’i (w.157 H) jika suami-isteri tidak
lagi dapat didamaikan, maka hak untuk bercerai pada dasarnya tetap berada
ditangan suami-isteri atau hakim pengadilan. Hal ini berdasarkan riwayat dari
Qatadah ketika memahami firman Allah swt. “jika kamu khawatir persengketaan
suami-isteri...” ungkapan ayat ini, menurut Qatadah menunjukan bahwa kewenangan
hakim hanyakah untuk mendamaikan pasangan yang bersengketa tidak untuk
memisahkannya. Demikian juga menurut mazhab Zahiri karena tidak ada ayat dan
hadis dalam kitab-kitab sunah yang membolehkan hakim untuk memisahkannya.
SYIQAQ DI INDONESIA. Di dalam hukum Islam dan undang-undang
perkawinan di Indonesia. Syiqaq merupakan salah satu alasan perceraian
apabila keduanya (suami-isteri) tidak dapat didamaikan. Hal ini dapat dilihat
pada pasal 19 point (f) peraturan pemerintah (pp) No: 9 tahun 1975 Komplikasi
Hukum Islam (KHI) pasal 116 point (f) yang berbunyi, “Percerain dapat terjadi
karena alasan atau alasan-alasan...antara suami dan isteri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga...”.
Keabsahan perceraian suami-isteri yang tidak bisa didamaikan adalah
lewat proses pengadilan melalui gugatan dari salah satu pihak. Khusus bagi umat
Islam di Indonesia, perceraian harus dilakukan di Pengadilan Agama seperti yang
diatur dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar