Jumat, 15 Juni 2012

Pengertian Syiqaq dan Proses Peyelesainnya

SYIQAQ Berasal dari kata al-syaqaq yang berarti sukar, sulit, sempit, pecah, dan terbelah. Dalam kamus Lisan al-‘Arab, kata Syiqaq berasal dari kata Syaqq, yusyaqqu, musyaqah dan syiqaqan, yang berarti permusuhan. Menurut istilah, syiqaq adalah perselisihan atau persengketaan yang terjadi antara suami-isteri. Di dalam Al-Qur’an, kata syiqaq tersebut 4 kali dalam empat surat yaitu surat al-Nisa (4) ayat 35, al-Haj (22) ayat 53, Syad (38) ayat 2, dan Fusilat (41) ayat 52. Namun, syiqaq yang merupakan titik tekan pada pembahasan ini adalah syiqaq yang terdapat dalam surat al-Nisa (4) ayat yang terjemahan, “Dan jika kamu hawatir ada persengketaan antara keduanya (suami-isteri), maka kirimkanlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan, jika kedua hakim bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Mengenai latar belakang (asbah alnuzul) ayat ini terdapat beberapa riwayat. Di antaranya yang dinukilkan oleh Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi (w.468 H) ; ayat diatas turun berkenan dengan kasus Saad bin al-Rabi’ dan isterinya, Habibah binti Zaid bin Abu Hurairah yang dianggap nusyuz (tidak patuh) terhadap suaminya, sehingga suami memukul dirinya. Habibah agaknya tidak menerima perlakuan (pemukulan) suami terhadap dirinya, sehingga dia bersama orang tuanya mengadukan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Lalu beliau menyarankan agar isterinya memberi balasan yang setimpal (qishas). Isteri Saad pun bersama orang tuanya segera berpaling untuk melakukan pembalasan. Namun, belum lagi pembalasan dilakukan, Rasulullah saw. bersabda, “Kembalilah kamu berdua karena Jibril alaihissalam telah datang kepadaku untuk menyampaikan wahyu seraya beliau membaca ayat diatas. Isteri Saad tampak tidak puas atas larangan Rasulullah untuk membalas suaminya, hingga Rasul meyakinkan merreka tentang kebenaran wahyu dengan menerangkan demikian” Kita menginginkan sesuatu tetapi Allah juga menghendaki sesuatu. Orang yang dikehendaki Allah akan kebajikan maka dia menghilangkan qishas (tidak memberi pembalasan seperti yang dilakukan oleh suami).

PROSES PENYELESAIAN SYIQAQ. Untuk penyelesai sengketa yang terjadi antara suami-isteri, langkah yang utama patut ditempuh adalah mengutus seorang hakim (juri damai) dari pihak suami dan seorang lagi dari pihak isteri. Hal ini diatur dalam ayat 35 surat al-Nisa, “Dan manakala kamu benar-benar khawatir terjadi syiqaq diantara kamu, maka kirimkanlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan...”

Terdapat kata hakim dalam ayat ini, terdapat perdebatan dikalangan mufassir (ahli tafsir) maupun fuqaha’ (ahli fikih). Menurut Ibnu Jarir al-Tabari (w.310 H) sebagian ulama memahami kata hakim dengan orang yang berlaku adil ; dan sebagian lainya mengartikan kata tersebut orang yang dapat memutuskan perkara.

Ibnu al-Husain al-Naisaburi (w.728 H) menyatakan bahwa maksud kata hakim adalah seorang peria yang dipercaya untuk mendamaikan suami-isteri yang bersengketa. Kriteria seorang hakim itu adalah berakal, baliqh, merdeka dan beragama Islam. Hakim diutamakan orang yang lebih dekat hubungan kekeluargaannya baik dari pihak suami maupun pihak isteri karena mereka dianggap lebih mengetahui keadaan dan persoalan-persoalan yang bersifat rahasia sekalipun. Namun demikian, ada juga mufassir (ahli tafsir) yang memungkinkan hakim berasal dari tetangga dekat. 

Para fuqaha’ (ahli fikih) berbeda pendapat tentang orang yang berhak menjadi hakim. Apakah boleh berupa wakil ataukah mawali (pengganti orang tua) baik dari pihak suami maupun isteri. Menurut Imam Abu Hanifah (w.150 H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w.241 H) orang yang diutus sebagai hakim adalah orang yang dapat mewakili (wakil) yang bijaksana dan mengetahui hubungan hak antara harta suami dengan isteri. Mereka berargumentasi dengan firman Allah swt. “Dan jika kamu khawatir...maka kirimkanlah (hakim)”. Khitba (arah pembicaraan) ini ditunjukan untuk untuk kemaslahatan umat dan menolak kemudaratan yang akan terjadi pada suami-isteri. Sedangkan menurut Imam Malik (w.179 H) hakim dalam ayat ini adalah mawali sesuai dengan riwayat yang menjelaskan bahwa ketika Ali bin Abu Thalib mengutus dua orang hakim terhadap pasangan suami-isteri yang sedang bersengketa. Dalam pesannya, Ali bin Abi Thalib, “Jika kamu berpendapat bahwa suami-isteri itu masih layak didamaikan, maka damaikanlah mereka, tetapi jika tidak mungkin maka pisahkan antara keduanya”. Menurut Imam al-Syafi’i (w.240 H) orang yang menjadi hakim boleh bersetatus wakil atau mawali. Ibnu Hazm al-Zhahiri (w.456 H) juga berpendapat sama dengan Imam al-Syafi’i.

Disamping itu, para ulama berbeda berpendapat tentang persengketaan suami-isteri yang tidak dapat didamaikan. Apakah hakim berhak menceraikan mereka ? menurut Imam Malik dan al-Auza’i (w.157 H) jika suami-isteri tidak lagi dapat didamaikan, maka hak untuk bercerai pada dasarnya tetap berada ditangan suami-isteri atau hakim pengadilan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Qatadah ketika memahami firman Allah swt. “jika kamu khawatir persengketaan suami-isteri...” ungkapan ayat ini, menurut Qatadah menunjukan bahwa kewenangan hakim hanyakah untuk mendamaikan pasangan yang bersengketa tidak untuk memisahkannya. Demikian juga menurut mazhab Zahiri karena tidak ada ayat dan hadis dalam kitab-kitab sunah yang membolehkan hakim untuk memisahkannya.

SYIQAQ DI INDONESIA. Di dalam hukum Islam dan undang-undang perkawinan di Indonesia. Syiqaq merupakan salah satu alasan perceraian apabila keduanya (suami-isteri) tidak dapat didamaikan. Hal ini dapat dilihat pada pasal 19 point (f) peraturan pemerintah (pp) No: 9 tahun 1975 Komplikasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 point (f) yang berbunyi, “Percerain dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan...antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga...”.

Keabsahan perceraian suami-isteri yang tidak bisa didamaikan adalah lewat proses pengadilan melalui gugatan dari salah satu pihak. Khusus bagi umat Islam di Indonesia, perceraian harus dilakukan di Pengadilan Agama seperti yang diatur dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar