Islam adalah agama universal yang ajarannya
ditujukan bagi umat manusia secara keseluruhan. Inti ajarannya selain
memerintahkan penegakan keadilan dan eliminasi kezaliman, juga meletakan
pilar-pilar perdamaian yang diiringi dengan himbauan kepada umat manusia agar
hidup dalam suasana persaudaraan dan toleransi tanpa memandang perbedaan ras,
suku, bangsa dan agama, karena manusia pada awalnya berasal dari asal yang
sama. Firman Allah: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang sama” (Surat an-Nisak, ayat 1)
Melalui ajaran dan pilar tadi, Islam
mendorong para pengikutnya agar bersikap tolerasi dengan pengikut agama dan
bersikap positif terhadap budaya, karena Allah Swt telah menjadikan manusia
sebagai khalifah yang mempunyai tanggung jawab kolektif untuk membangun bumi
ini, baik secara moril maupun materil. Firman Allah:“Dia (Allah) telah
menciptakan kamu dari bumi dan memberi kamu potensi untuk memakmurkan,
mengembangkan dan memanfaatkan kekayaannya…. " (Hud, ayat 61).
Hubungan yang Terjadi antara Muslim dan
Non Muslim
Sebaliknya, Samuel P. Huntington dalam teori
“Clash Civilization” menghimbau konflik antar suku bangsa dan negara. Ia
selain mengkonfrontasikan kebudayaan
barat dengan kebudayaan lain, juga merubah konflik ekonomi dan ideologi sebagai
konflik budaya, dimana konflik mendatang sangat terkait dengan konflik budaya
ini, termasuk konflik keagamaan di negara Balkan, India, Pakistan, Arab dan Israel. Ini
mengingatkan kita kepada imigran Eropa ke Amerika di masa lalu yang berupaya
mengeleminir penduduk setempat (suku Indian) dengan pembantaian masal. Hal yang
sama juga dilakukan di Australia.
Pembantaian juga dilakukan bagi bangsa lain yang berbeda ras dengan imigran.
Baru-baru ini di Perancis, sejumlah staf yang beragama Islam di bandara de
Gaule diberhentikan tanpa alasan. Hampir 1.5 juta penduduk muslim di negeri ini
yang dinyatakan penganggur dan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja hanya
menerima pelamar yang berperawakan eropah.
Sementara itu, terjadi ledakan bom di
stasiun Subway, Inggeris. Sebelumnya, di Amerika terjadi serangan 11 September
2001 ke Menara Kembar (WTC), dan Markas Besar Tentara Amerika (Pentagon) dan di
Indonesia ledakan bom Bali, Hotel Marriot dan ledakan bom di Poso, yang
menewaskan sejumlah orang tidak berdosa. Pelaku bom ini yang dilakukan oleh
segelintir kalangan Islam yang tidak bertanggung jawab.
Teori Huntington, serangan 11 September,
ledakan bom di Indonesia, Inggeris dan tindakan diskriminatif di Perancis dan
lainnya, telah memperburuk hubungan muslim dan non-muslim dan tidak sesuai
dengan ajaran Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.
Hubungan tidak harmonis antara muslim dengan
kelompok non muslim telah melahirkan sejumlah salah pengertian, opini yang
keliru dan pernyataan yang berisi provokatif dan penyebar sikap kebencian dan
permusuhan terhadap Islam. Islam dituduh sebagai agama teroris, mengandung
ajaran membunuh orang secara membabi buta dan merupakan ancaman bagi
keberlangsungan kebudayaan moderen. Ini disebabkan pencambur-adukkan antara
Islam sebagai agama yang berdasar Al Qur’an dan Hadis dengan aksi segelintir
orang Islam yang tidak bertanggung jawab. Dari sini, terlihat ugensi topik
prinsip hubungan muslim dan non muslim dalam Islam untuk menjelaskan petunjuk
Allah Swt dan UtusanNya nabi Muhammad Saw tentang hal tersebut. Bagaimana para
sabahat nabi dan umat Islam dari masa ke masa menerapkan prinsip dan nilai
Ilahi dalam menciptakan kehidupan yang damai di tengah-tengah masyarakat yang
berbeda agama, budaya, ras suku dan bangsa.
Perinsip Dalam berhubungan
Prinsip hubungan muslim dengan orang lain
dijelaskan Allah Swt dalam Al Qur’an dan melalui UtusanNya nabi Muhammad Saw, dimana
harus terjalin atas dasar nilai persamaan, toleransi, keadilan, kemerdekaan,
dan persaudaraan kemanusiaan (al-ikhwah al-insaniyah). Nilai-nilai Qur’ani
inilah yang direkomendasikan Islam sebagai landasan utama bagi hubungan
kemanusiaan yang berlatar belakang perbedaan ras, suku bangsa, agama, bahasa
dan budaya.
Karena nilai-nilai Qur’ani diatas terkait
dengan hubungan muslim dengan non muslim, tentu timbul pertanyaan apa yang
dimaksud dengan ‘non muslim’ dalam pandangan Islam.
Pengertian Non-muslim sangat sederhana, yaitu
orang yang tidak menganut agama Islam. Tentu
saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, tapi akan
mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya.
Al Qur’an menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum spt terdapat dalam
surat . dan surat al-Jasiyah, ayat 24, sbb:
Dan
mereka berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain
masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.
Dalam
ayat Al Qur’an tadi terdapat lima
kelompok yang dikategorikan sebagai non muslim, yaitu ash-Shabi’ah atau
ash-Shabiin, al-Majus, al-Musyrikun, al-Dahriyah atau al-Dahriyun dan Ahli
Kitab. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama Ash-Shabi’ah, yaitu kelompok yang
mempercayai pengaruh planet terhadap alam semesta.
Kedua Al-Majus, adalah para penyembah api
yang mempercayai bahwa jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan
Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-masingnya bergerak kepada yang baik dan yang
jahat, yang bahagia dan yang celaka dan seterusnya.
Ketiga Al-Musyrikun, kelompok yang mengakui
ketuhanan Allah Swt, tapi dalam ritual
mempersekutukannya dengan yang lain spt penyembahan berhala, matahari dan
malaikat.
Keempat yang disebut Al-Dahriyah, kelompok
ini selain tidak mengakui bahwa dalam Alam semesta ini ada yang mengaturnya,
juga menolak adanya Tuhan Pencipta. Menurut mereka alam ini eksis dengan
sendirinya. Kelompok ini agaknya identik dengan kaum atheis masa kini.
Kelima Ahli Kitab. Dalam hal ini terdapat
dua pendapat ulama. Pertama, mazhabi Hanafi berpendapat bahwa yang termasuk
Ahli Kitab adalah orang yang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai
kitab suci spt Taurat, Injil , Suhuf, Zabur dan lainnya. Tapi menurut Imam
Syafii dan Hanbali, pengertian Ahli Kitab terbatas pada kaum Yahudi dan
Nasrani. Kelompok non muslim ini disebut juga dengan Ahli Zimmah, yaitu
komunitas Yahudi atau Nasrani yang berdomisili di wilayah umat Islam dan
mendapat perlindungan pemerintah muslim.
Surat An-Nisak, ayat 1 (Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang sama) merupakan penetapan nilai al-Ikhwah
al-Insaniyah (Persaudaraan kemanusiaan) yang dimaksud sebagai pedoman hubungan
antar kelompok manusia yang disebut Al Qur’an diatas. Nilai ini harus menjadi
landasan masalah multikulturisme, multiagama, multibahasa, multibangsa dan
pluralisme secara umum, karena Al-Qur’an menganggap perbedaan ras, suku, budaya
dan agama sebagai masalah alami (ketentuan Tuhan). Justeru itu, perbedaan tadi
tidak boleh dijadikan ukuran kemuliaan dan harga diri, tapi ukuran manusia
terbaik adalah ketaqwaan dan kesalehan sosial yang dilakukannya.
Persamaan adalah prinsip mutlak dalam Islam
dalam membina hubungan sesama manusia tanpa beda spt ditegaskan Rasulullah Saw
dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik:
" الناس مستوون كاسنان المشط ليس لاحد على أحد فضل الا بتقوى الله
“(Asal
usul) Manusia adalah sama, tidak obahnya spt gigi. Kelebihan seseorang hanya
terletak pada ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Dalam lafaz
yang lain berbunyi yang dirawatkan oleh al-Hasan
"وإنما
يتفاضلون بالعافية والمرء كثير بأخيه ولا خير لك في البغوي من لا يرى لك من الحق
مثل الذي ترى له".
“Kelebihan hanya terdapat dalam kebaikan.
Seseorang merasa lebih dengan keberadaan saudaranya. Kebaikan seseorang
terlihat bila yang dianggap benar itu sama dengan kebenaran yang dianggapnya
sendiri”
Hadis diatas secara tegas menyatakan bahwa
di depan kebenaran dan hukum, semua harus dianggap sama dan terjamin
kehormatan, harga diri dan kebebasannya. Kelebihan seseorang hanya dilihat dari
sejauh mana konsistensinya terhadap kebenaran dan undang serta sebesar apa
antusiasnya untuk berbuat kebajikan dan menjauhi diri dari tindakan melanggar
hukum, kejahatan dan kezaliman.
Biografi Nabi Muhammad Saw mencatat
implementasi prinsip persamaan di atas spt terlihat dari kasus Usamah bin
Yazid. Usama yang dikenal sebagai sahabat terdekat Rasulullah itu, mencoba
memberikan dispensasi hukuman bagi Fatimah binti al-Aswad al-Makhzumiyah yang
tertangkap basah melakukan tindakan kriminal mencuri. Rasulullah tersinggung dan
marah, lalu berkata kepada Usamah: “Umat terdahulu binasa lantaran bila kaum
elit mereka mencuri, dibebaskan, tapi bila kaum lemah yang mencuri, langsung
diadili dan dijatuhi sanksi. Demi Allah, kalau Fatimah putri Muhammad yang
mencuri, pasti saya potong tangannya (sebagai sanksi tindakan kriminilnya)”.
Dari sini, jelas bahwa pada zaman Rasulullah Saw persamaan adalah pilar utama
keadilan sosial.
Persamaan dan keadilan itu ibarat dua sisi
uang logam yang bila salah satu sisinya hilang, sisi yang lain tidak ada
artinya. Stabilitas sosial dan masyarakat tidak akan tercapai, bila keduanya
menjadi sirna. Untuk itu, merupakan suatu keharusan memberlakukan keadilan
kepada semua pihak tanpa melihat perbedaan status sosial. Prinsip inilah yang
dilaksanakan Khalifah Umar bin Khattab. Tanpa segan-segan, Umar memperjuangkan
agar al-Fizari (rakyat jelata) memperoleh keadilan atas tindakan melanggar
hukum yang dilakukan seorang raja terkenal (Jablah bin al-Aiham). Jablah
bersama rombongan besar berjumlah 500 orang yang penuh kemegahan, datang ke
Mekkah. Pada waktu tawaf, ujung jubbahnya terinjak oleh al-Fizari, lalu ia
memukulnya sampai hidungnya cidera berat.
Al-Fizari mengadukan kejadian tsb kepada Khalifah Umar untuk menuntut keadilan.
Jablah dipanggil khalifah untuk diminta keterangan tentang latar belakang
pemukulan. Jablah memberi keterangan: “Ia (al-Fizari) dengan sengaja menginjak
jubahku. Kalau tidak untuk menghormati Ka’bah ini, pedangku sudah membelah
antara dua matanya”. Umar berkata: “Kalau begitu, kamu mempunyai dua
alternatif; laksanakan tuntutan al-Fizari dengan suka rela atau dengan paksa”.
Jablah bertanya: “Apa yang harus dilakukan?”. Umar menjawab: “Biarkan al-Fizari
menciderai hidungmu spt kamu menciderai hidungnya”. Jablah berkata: “Bagaimana
mungkin, hai Khalifah, ia adalah orang biasa, sedangkan saya raja”. Umar
menegaskan: “Menurut ajaran Islam, kamu dan dia adalah sama. Kelebihan hanya
pada tingkat ketaqwaan dan kebaikan yang dilakukan”. Jablah: “Saya kira dalam
Islam saya dianggap lebih mulia ketimbang zaman Jahiliyah”. Umar: “Anggapan spt
tidak perlu. Sekarang tinggal kamu pilih; tegakkan keadilan dengan suka rela atau dengan paksa”. Jablah: “Kalau
begitu, saya pindah agama saja”. Umar: “Saya akan jatuhkan sanksi yang lebih
berat (hukuman pancung)”. Jablah minta tenggang waktu sampai besok, namun
tengah malam ia menyelinap dan melarikan diri ke Konstantinopel. Disana ia
hidup di bawah proteksi kaisar. Beberapa lama kemudian, terdengar Jablah
menyesal dan rindu kepada Islam yang ajarannya menegaskan prinsip persamaan
derajat dan keadilan mutlak.
Kasus Jablah ini menjadi bukti sejarah bahwa
sahabat Rasulullah Saw mengimplementasikan prinsip persamaan dan keadilan.
Menurut ajaran Islam, siapa saja harus memperoleh keadilan, baik raja maupun
rakyat jelata, atasan atau bawahan, dan muslim atau non muslim, karena manusia
adalah sama.
Sampai dimana Islam menghormati prinsip
persamaan antara muslim dengan non muslim terlihat dari kesetaraan di ruang
pengadilan yang diberlakukan antara sahabat nabi dengan seorang Yahudi. Pada
masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, Ali bin Talib diadukan oleh
seorang Yahudi kepada khalifah karena terkait suatu kasus hukum. Ketika
sama-sama menghadap khalifah, Umar memanggil Ali bin Thalib dengan sebutan ‘Ya,
Aba Hasan’ (gelar yang dipakai sebagai kehormatan) dan Yahudi dengan namanya.
Ali merasa tersinggung sampai merah mukanya. Lalu Umar bertanya: “Apakah kamu
tersinggung, karena disejajarkan dengan orang Yahudi di pengadilan??”. Ali:
“Bukan itu yang membuat saya tersinggung, tapi anda tidak memberikan perlakuan
yang sama kepadaku dan Yahudi. Anda memanggilku dengan sebutan gelar, sedangkan
orang Yahudi ini dipanggil dengan namanya”.
Persamaan dan keadilan yang diajarkan Islam
tersebut selain melindungi hak setiap
orang di depan siapapun, juga menolak sikap deskriminatif. Dengan
menghormati prinsip yang mulia ini, diyakini bahwa perbedaan ras, suku dan
agama atau kemajemukan tidak menjadi penyebab atau alasan terjadinya konflik
dan tindakan kekerasan, tetapi seharusnya menjadi motif ‘ta’aruf’ atau saling
mengenal.
Menurut Al-Syinawi, nilai-nilai Qur’ani spt
Persamaan dan Keadilan agaknya dapat dikategorikan sebagai prinsip dasar atau
konsitusi yang harus menjadi pedoman bagi setiap aktifitas yang berkaitan
dengan hubungan antar kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Islam. Pada
tingkat realitas sosial, implementasi konstitusi tadi lebih rinci dalam bentuk
perjanjian dan dokumen jaminan yang diberikan Rasulullah dan para Khalifahnya
kepada kelompok non muslim spt antara
lain Shahifah al-Madinah al-Munawwarah, Surat Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar
kepada masyarakat Najran dan surat khalifah Umar bin Khattab kepada penduduk
Bait al-Maqdis.
Umar bin Khattab sebagai khalifah juga
memberi jaminan dan proteksi terhadap pendudukan non muslim di Bait al-Maqdis
yang intinya “Semua Gereja yang ada tidak diduduki atau gusur dan semua
penduduk memperoleh perlindungan keamanan dan keselamatan dari pemerintah. Umar
masuk ke rumah ibadat non muslim untuk melakukan sendiri efektifitas keamanannya,
termasuk gereja al-Qiyamah yang terkenal di wilayah”
Dari sini, jelas bahwa hak asasi kelompok
non muslim terjamin dalam Islam atas dasar persamaan hak dan kewajiban dengan
umat Islam sesuai dengan kaidah:
“أن لهم مثل ما للمسلمين وعليهم مثل ما علي المسلمين إلا ما
استثنى بنص أو إجماع".
Ini pada gilirannya menciptakan sikap
kebersamaan dalam masyarakat. Hak pertama yang harus diperoleh oleh non muslim
adalah perlindungan terhadap ancaman eksternal dan internal. Untuk perlindungan
dari ancaman dari luar, umat Islam, termasuk pemerintahannya berkewajiban
menggunakan segala potensinya, meski jumlah kelompok non muslim hanya hitungan
jari. Ibnu Hazm, Ahli Fiqh terkenal,
berpendapat: “Bila ada tentara yang masuk ke negara kita untuk menyerang ahli
zimmah (kelompok non muslim), kita harus membela mereka dengan senjata sampai
nafas terakhir, demi membela orang dilindungi Allah dan RasulNya. Siapa yang
tidak melakukannya, berarti telah melecehkan perjanjian perlindungan dengan
Allah dan Rasul.
Al-Qurafi dari mazhab al-Maliki menambahkan
bahwa ‘perjanjian’ yang membawa korban nyawa dan harta umat Islam untuk
melindungi Ahli Kitab adalah perjanjian yang maha agung.
Sikap Ibnu Taimiyah terhadap kelompok non
muslim, juga mencerminkan betapa konsistennya terhadap perjanjian perlindungan
dalam Islam (zimmah). Ketika tentara Tartar hanya membebaskan tawaran orang
Islam, Ibnu Taimiyah berkata kepada komandan Tartar waktu itu: “Kami tidak
rela, kecuali kalau semua tawanan Yahudi dan Nashrani dibebaskan, karena mereka
dalam perjanjian perlindungan dengan kami (zimmah). Kami tidak rela membiarkan
orang Zimmah dan kelompok agama lain tetap menjadi tawanan.
Perlindungan jiwa
dan kekayaaan kelompok non muslim, menurut Ma’badi, mencakup perlindungan
kekayaan yang dilarang dalam Islam spt minuman keras dan babi dan melaksanakan
ritual yang bertentangan dengan ajaran agama. Termasuk juga, kesaksian selama
tidak terkait dengan masalah agama Islam spt perkawinan dan perceraian.
Hak non muslim lainnya adalah kehidupan yang
layak di hari tua dan merupakan fardu kifayah bagi umat Islam; pembebasan bila
ditawan musuh; dan menduduki jabatan publik selama tidak terkait langsung
dengan ajaran Islam spt Imam, Jihad dan sebagainya.
Kalau dilihat realita prinsip persamaan dan
keadilan yang terjadi di negara barat yang dianggap sebagai ikon ‘pembela HAM,
persamaan hak, dan keadilan’ masa kini, agaknya masih jauh dari panggang dari
api atau sesuai dengan ikonnya. Karena nilai-nilai lokal dan domistik yang
telah terbentuk oleh lingkungan, pandangan hidup dan budaya setempat terkadang masih menyelimuti
nilai-nilai tersebut. Akhir implementasi nilai-nilai universitas itu berbeda
dari suatu negara ke negara lain. Sebagai contoh masalah persamaan hak berwarga-negara
di masing-masing negara di barat tidak sama. Di Jerman dan Jepang, misalnya, tidak
diakui persamaan hak dalam masalah
kewarga-negaraan dan terbatas bagi penduduk asli. Meski migran Turki sudah tiga
keturunan di sana,
tapi tetap tidak berhak menyandang kebangsaan Jerman. Berbeda dengan Perancis.
Negara ini menganut prinsip perbedaan mutlak antara kehidupan umum dan
kehidupan pribadi. Secara individual, semua warga negara mempunyai hak yang
sama, tapi komunal tidak. Artinya negara ini tidak mengakui hak berkelompok,
termasuk kelompok budaya dan agama. Meskipun di Perancis, jumlah umat Islam
mencapai 10% dari jumlah seluruh penduduk, namun tidak seorang anggota parlemen
negari ini yang berasal dari kelompok muslim.
Dalam konteks hubungan dengan non-Muslim,
Islam selain menetapkan persamaan dan keadilan sebagai dasar utamanya, juga
menegaskan prinsip tolerasi yang tidak kalah pentingnya dengan prinsip
persamaan dan keadilan. Kalau dilihat kata toleransi yang dalam bahasa Arab
disebut ‘at-Tasamuh’ dari aspek etimologis, artinya al-jud (kualitas), al-bazl
(upaya), al-I;tha (memberi), al-suhulah (spontan), al-yusr (kemudahan) dan
al-bu’d ‘an al-dhaiq wa al-syiddah (jauh dari kesempitan dan kekerasan).
Ringkasnya at-tasamuh adalah interaksi dengan orang lain dengan penuh
kemudahan, kelonggaran dan kerelaan, baik dalam aksi suka atau tidak suka.
Atas ayat ini, para ulama dari dahulu sampai
sekarang sepakat berpendapat bahwa
toleransi (at-Tasamuh) merupakan elemen penting ajaran Islam. Al-Qur’an
menghimbau umat manusia yang berbeda latar belakangan ras, warna, bahasan dan
agama agar hidup berdampingan dalam suasana penuh kedamaian dan toleransi. Bila
terjadi pertikaian, perselisihan dan permusuhan karena sebab-sebab tertentu,
petunjuk Allah Swt kepada umat Islam agar bersikap toleransi, memaafkan, yang
buruk dibalas dengan yang baik dan musuh bebuyut menjadi teman yang baik.
Prinsip inilah yang seharusnya yang dipakai umat Islam dalam bergaul dengan
berbagai suku bangsa sesuai dengan firman Allah Swt.
(Fuhsilat
34-35).
Bahkan Al Qur’an tidak sekedar menghimbau
umat Islam agar bersikap toleransi yang dianggap sebagai syarat mutlak bagi
kehidupan yang damai, tetapi meminta komitmen mereka agar bersikap adil. Bukan
dalam arti dapat menerima orang lain saja,
tetapi harus menghormati budaya, kepercayaan dan distinksi peradabannya.
Hal yang dimaksud firman Allah Swt surat
Al-Mumtahanah ayat 8 sbb:
Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil (menghormati hubungan)
terhadap orang-orang kafir yang tiada memerangimu dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil
(dan menghormati hubungan).
Ada tiga petunjuk Tuhan dalam ayat diatas,
yaitu (1) Allah Swt tidak melarang bersikap toleransi dengan orang lain,
(2) Toleransi dengan orang tidak
menyerang umat Islam dan dalam kehidupan yang damai, santun dan fair adalah
core keadilan itu sendiri, (3) penegasan bahwa siapa yang mengambil jalan
toleransi ini memperoleh kasih sayang Allah Swt. Dengan cara yang meyakinkan
ini, pesan Allah Swt dengan gampang dan mudah dapat diterima jiwa manusia,
sekaligus sosialisasi prinsip toleransi di kalangan masyarakat dapat dicapai
dengan baik.
Selain itu, firman Tuhan diatas juga
menjelaskan cara membina hubungan antara muslim dengan non-muslim. Hubungan
tidak saja berkembang atas dasar prinsip keadilan dalam artian ‘siapa saja
harus memperoleh haknya’, juga meningkat ke level al-ihsan (memberi santunan).
Al-Ihsan ini lebih tinggi nilainya dari perolehan hak. Kata ‘al-bir yang
pengertiannya ‘berbuat kebajikan’ sangat identik dengan prinsip keadilan. Tidak
disangkal lagi, ungkapan Qur’ani ini merupakan tata cara bergaul dengan non
muslim dalam kondisi damai yang harus berlandaskan al-birr (berbuat kebajikan
dan al-ihsan (menyantuni) yang posisinya berada diatas pemberian hak.
Ajaran toleransi ini sangat mendasar dalam
Islam terutama bila terjadi perbedaan pendapat atau perselisihan atau konflik.
Tapi kapan dan apa penyebab terjadinya perselihan atau konflik yang tidak
jarang memunculkan sikap kebencian dan permusuhan terhadap lain dan
bertentangan dengan prinsip toleransi?
Menurut Bistami terdapat empat bentuk anggapan yang tidak sesuai dengan
prinsip diatas.
Pertama, menganggap kelompoknya yang benar
dan kelompok lain adalah salah. Anggapan spt inilah yang melahirkan sikap
kebencian dan permusuhan. Pelakunya akan memberikan dua alternatif bagi
kelompok yang berbeda dengannya, yaitu lepaskan keyakinan atau siap diperangi.
Slogan mereka yang terkenal adalah “Islam dan Kekafiran tidak mungkin
berdampingan’. Akibatnya mereka bersikap eksklusif dan mengurung diri, hanya
membaca buku kalangan sendri, mengutip pendapat pemimpin mereka dan menolak
pendapat orang lain meski kemungkinan mengandung kebenaran. Untuk menjaga
kesatuan kelompok, mereka tidak segan mencap kelompok lain sebagai ahli bida’,
dhalal, kaum sesat dan sebagainya. Disinilah lahirnya sikap radikalisme dan
ekstrimisme yang bertolak belakang dengan prinsip toleransi dalam Islam.
Kedua, kelompok yang beranggap sama dengan
yang pertama. Bedanya, kelompok kedua membuka diri dan mau berdialog dengan
pihak lain yang tidak sepaham. Keterbukaan berdiskusi dan bertukar pikiran
memberi kesempatan bagi kelompok kedua ini untuk mendekati kelompok lain dan
menganggap al-afdhal adalah lebih baik.
Ketiga, menganggap kelompoknya adalah benar,
begitu juga kelompok yang lain. Tapi metode yang dipakainya lebih relevan
dibanding metode kelompok lain. Semua kelompok dianggap benar, namun ada yang
tidak mengetahui jalan yang lebih relevan untuk mencari kebenaran. Kelompok spt
ini cenderung dapat menerima sikap toleransi terhadap pihak lain.
Dalam konteks menghadapi anggapan dan sikap
kelompok non muslim, Islam telah menggaris metode yang dipakai dalam menghadapi
mereka spt dijelaskan Allah Swt dalam surat
al-‘Ankabut, ayat 48.
“Jangan berdiskusi dengan
kelompok Yahudi atau Nashrani yang berbeda pendapat dengan mu, kecuali memakai
cara yang lebih baik dan lebih berpetunjuk serta lebih mudah diterima. Namun
bila mereka melewati batas moderat dalam berdiskusi, dapat dihadapi dengan
pernyataan keras bahwa “Kami meyakini wahyu Tuhan dalam Al-Qur’an, Taurat dan
Injil, yaitu kita sama-sama mempercayai Tuhan Yang Satu. Hanya kepadaNya kita
menyatakan patuh dan taat”..
Secara historis,
terdapat sejumlah bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw dan para
sahabat menerapkan prinsip toleransi yang disebut Al Qur’an tadi dalam hubungan
dengan kelompok non muslim. Antara lain adalah perjanjian-perjanjian yang
dilakukan nabi Muhammad Saw dengan
kabilah Tughlub yang isinya membiarkan mereka menganut agama sendiri di luar
Islam; perjanjian dengan masyarakat Nasrani di Najran dan Yahudi di beberapa
kawasan sekitarnya yang intinya memberikan kebebasan beragama, melaksanakan
ritual peribadatan dan mendirikan gereja dan sebagainya. Termasuk juga
perjanjian dengan kaum musyrik Makkah waktu itu yang pada dasarnya menunjukkan
sikap tolerasi yang luar biasa.
Sikap toleransi luar biasa yang ditunjukkan
Rasulullah terlihat ketika perjanjian Hudaibiyah yang antara lainnya berisi
peryaratan kaum Quraiys yang sangat tidak fair, yaitu umat Islam yang datang
kembali ke pangkuan Quraisy (kembali kepada musyrik), tidak dipermasalahkan dan
tidak disuruh kembali. Bila seorang muslim datang kepada Nabi tanpa seizin walinya
(yang berwenang), harus dikembalikan. Perjanjian yang hanya menguntungkan pihak
musyrik, diterima nabi Muhammad Saw, bahkan ada sahabat Nabi tidak sependapat
waktu itu. Baru saja selesai penanda-tanganan perjanjian dimaksud, langsung
datang ujian berat dalam pelaksanaannya. Jundul bin Sahal, seorang muslim yang
melarikan diri dari kabilahnya, datang kepada Rasulullah Saw, dengan perkiraan
akan diterima, dengan alasan bila kembali pasti disiksa oleh kabilahnya. Namun
Rasulullah menepati perjanjian dan mengembalikan Ibnu Sahal dan berkata kepada:
“Bersabar dan Ikhlas, Allah Swt pasti memberikan solusi dan jalan keluar bagimu
dan orang yang tidak berdaya sptmu. Sudah disepakati perjanjian dengan kabilah
tentang itu, kita tidak boleh melanggar perjanjian itu.
Sikap toleransi Rasulullah terhadap mantan
musuh yang dahulunya memperlakukan Nabi secara tidak manusiawi, juga menjadi
bukti sejarah atas komitmen untuk tetap dalam koridor prinsip toleransi yang
ditetapkan Al-Qur’an. Ketika kota
Mekkah ditaklukan dan Rasulullah memasuki kota
tersebut sebagai pemimpin yang menang dalam peperangan, bertanya kepada kaum
Quraisy: “Kira-kira tindakan apa yang akan aku lakukan kepada kalian?. Mereka
menjawab: “Kebaikan, saudara kami atau anak saudara kami”. Rasulullah bersabda:
“Silahkan pergi, kalian bebas. Kesalahan kalian dimaafkan. Mudah-mudahan Allah
Swt memberi ampunan bagi kalian, karena Dia Maha Pengampun”.
Bahkan untuk menghormati hubungan yang berdasarkan
persaudaraan kemanusiaan dan prinsip tolerasitadi, Allah Swt melarang umat
Islam melukai perasaan non-muslim, dengan mencela ajaran agama, meskipun
animisme spt dimaksud dalam Al Qur’an dalam al-An’am, ayat 108.
Janganlah kamu memaki
patung-patung yang disembah kaum musyrik selain Allah. Perbuatan spt ini dapat
memancing kemaraham mereka dengan memaki Allah dengan semena-mena dan melampaui
batas. Sembahan patung-patung sebagai contoh bahwa setiap umat berbuat sesuai
dengan tingkat kesiapan mereka.
Sejalan
dengan itu, Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa istilah ‘kafir’ dan ‘musyrik’
sudah waktunya diganti dengan sebutan ‘non-muslim’, sehingga dengan
persaudaraan kemanusian tercipta perdamaian abadi di kalangan umat beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar