Persoalan zihar erat kaitannya dengan peristiwa penurunan
Surat al-Mujadalah ayat 1-3. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa seorang
wanita bersama Khaulah binti Tsa’labah yang dizihar suaminya (Aus bin Shamit),
yang mengatakan; “Bagiku, kamu seperti punggung ibuku”. Dengan maksud dia tidak
akan lagi menggauli isteriny, sebagai mana ia tidak boleh menggauli ibunya.
Peristiwa ini diajukan Khaulah binti Tsa’labah kepada Nabi saw. agar diberi
kepastian hukum. Tidak lama kemudian, turunlah ayat 1-3 Surat al-Mujadalah.
Hukum dan Syarat Zihar. Zihar hukumya haram menurut
ijma’ulama berdasarkan firman Allah swt. Dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah
ayat 2 yang artinya, “...Dan sesungguhnya mereka telah mengucapkan kata munkar
dan dusta...”. Akan tetapi, para Ulama berbeda pendapat tentang lafaz yang
diucapkan selain kata punggung, seperti badan, perut, faraj, dada, tangan,
kaki, dan rambut. Menurut mazhab Maliki dan Hanabilah, lafaz ini termasuk zihar,
mengingat ia sama dengan anggota tubuh yang lainnya. Namun, menurut mazhab
Syafi’i, lafaz ini tidak termasuk zihar apabila tujuannya hanya untuk
penghargaan dan kehormatan.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa penyamaan isteri dengan nenek
atau orang yang ada hubungan darah (nasab) termasuk zihar, kecuali
mazhab Syafi’i yang mengecualikan mertua perempuan dan isteri dari anak
laki-laki (manantu perempuan), karena kedua golongan ini sewaktu-waktu halal
untuk dinikahi. Disamping itu, mereka berbeda pendapat tentang penyamaan isteri
dengan anak perempuan kandung dan saudara kandung. Menurut mazhab Hanafi dan
mazhab Syafi’i, penyamaan ini termasuk zihar karena haram menurut sabab,
seperti sepersususan atau hubungan semenda. Sedangkan menurut ulama lainya bila
haram nikah baik itu menurut nasab maupun sebab tetap termasuk zihar.
Adapun kriteria zihar menurut mazhab Syafi’i dan Hanabilah
sesuai dengan persyaratan pada talak, yaitu baliqh dan berakal. Dengan kata
lain, setiap sesuatu yang menyebabkan sahnya talak, begitu juga dengan
keabsahan zihar. Kedua mazhab ini tidak membedakan orang yang menzihar (muzahir)
apakah ia beragama Islam atau Kafir. Oleh karena itu, zihar orang zimi juga
syah. Pendapat ini berdalilkan kepada keumuman firman Allah swt. “dan
orang-orang yang menzihar isterinya...” (Q.S. al-Mujadalah ayat 3). Sedangkan
menurut mazhab Hanafi dan Maliki, keabsahan zihar adalah bila suami orang
muslim, baligh, dan berakal. Oleh sebab itu, zihar seorang zimi tidak syah dan
tidak dikenakan kafarat. Pendapat ini berdalilkan kepada firman Allah
dalam surat al-Mujadalah ayat 2. Kata “diantara kamu” menunjukan bahwa zihar
itu ditunjukan kepada orang-orang yang beriman.
Perbedaan pendapat juga terjadi terhadap isteri yang menzihar
suaminya. Mayoritas menyatakan bahwa zihar dari pihak isteri tidak syah.
Mereka mengkiaskan persoalan ini kepada talak, karena lafaz talak merupakan hak
suami. Tapi menurut Ahmab bin Hanbal (w.241 H), zihar dari isteri kepada suami
dinyatakan syah dan wajib membayar kafarat, karena termasuk ucapan yang munkar
dan dusta.
KAFARAT ZIHAR. Bentuk kafarat orang yang menzihar isterinya adalah
memerdekakan seorang budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau
memberimakan orang miskin. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah, “Orang-orangyang
menzihar isterinya, kemudian mereka ingin menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, mak (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum suami-isteri
itu bercumbu...”. Begitu juga firman Allah, “...barang siapa yang tidak
mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebelum keduanya bercumbu. Maka, siapa yang tidak sanggup (wajib atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin...” (Q.S. al-Mujadalah ayat 3 dan 4).
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata ya’udu
(ingin menarik kembali). Imam Abu Hanifah (w.175 H) menyatakan bahwa keinginan
suami untuk bercampur atau berhubungan seksual. Imam Malik (w.179 H)
berpendapat maksud kata tersebut adalah pertama, keinginan untuk bercampur, dan
kedua, keinginan untuk rujuk. Sedangkan menurut Ibnu al-‘Arabi (w.543 H) kata
ini maksudnya adalah keinginan untuk bercampur dan rujuk. Menurut Ahmad bin
Hanbal (w.241 H) kata tersebut maksudnya adalah keinginan untuk membayar
kafarat. Imam Syafi’i (w.204 H) menyatakan bahwa maksud kata itu adalah pabila
suami ingin merujuk isterinya.
Para ulama juga berbeda pendapat terhadap masalah pemerdekaan budak
apakah budak wanita, laki-laki, beriman atau budak secara umum. Hal ini
disebabkan oleh lafaz raqabah dalm ayat 3 ini bersifat mutlak. Mazhab
Hanafi dan mazhab Zahiri menyatakan, “Kalau Allah swt. mensyaratkan iman
sebagaimana kafarat orang yang membunuh (tidak sengaja), maka wajib
memperlakukanlafaz yang mutlak. Sedangkan menurut Imam Malik (w.179 H), Imam
Syafi’i (w.204 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w.241 H) mensyaratkan iman.
Dengan kata lain, budak yang akan dimerdekakan adalah budak yang beriman baik
laki-laki maupun perempuan. Mereka mengkiaskan kafarat dengan membuhuh yang
tidak sengaja.
Apabila tidak sanggup memerdekakan budak kafaratnya adalah berpuasa
selama dua bulan berturut-turut. Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang qadar
pelaksanaan puasa dan waktu baik dalam keadaan lapang maupunsempit. Menurut
mazhab Maliki dan Syafi’i, pelaksanaan dilakukan dalam waktu tertentu karena
kafarat itu merupakan ibadah untuk mengganti hukum yang sejenis seperti wudlu’
yang diganti dengan tayammum dan salat dalam keadaan duduk bagi yang tidak mau
berdiri. Sedangkan menurut mazhab Hanabila, kafarat harus dilaksanakan pada
waktu yang telah diwajibkan.
Perhitungan pelaksanaan puasa kafarat ini berdasarkan kepada hilal.
Bagi yang berpuasa pada awal bulan, maka hendaklah disempurnakan sebanayk dua
bulan yang berdasarkan kepada hilal, meskipun bilangan puasanya itu
tidak mencapai 60 hari. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang
pelaksanaan puasa pada pertengahan bulan. Menurut mazhab Syafi’i, puasa itu
harus diperhitungkan dengan bulan berikutnya berdasarkan pada hilal dan
ditambah tiga puluh hari pada bulan ketiga karena perhitungan hilal. Sedangkan
menurut mazhab Hanafi, puasanya dilaksanakan sebanyak enam puluh hari.
Disamping itu, menurut ijma’ ulamabahwa puasa selama dua bulan itu harus
dilakukan berturut-turut. Mayoritas ulama menyatakan jika seseorang berpuasa
kafarat ini berbukadalam satu hari saja apabila lebih tanpa uzur; atau
menggauli isterinya disiang hari dengan sengaja maka dia harus mengulang
puasanya dari awal. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, bagi yang menggauli
isterinya pada malam hari tidak perlu mengulang puasa karena malam hari bukan
waktu untuk berpuasa.
Kafarat zihar bagi yang tidak dapat memerdekakan budak dan tidak
dapat berpuasa dua bulan berturut-turut adalah memberikan makan enam pulum
orang mmiskin. Menurut mazhab Hanafi qadar makanan untuk satu orang miskin
adalah dua mud sama dengan setengah sa’; sedangkan ukuran satu sa’
kira-kira 3,125 gram, gandum dan satu sa’ korma. Menurut mazhab Maliki,
mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanabila, ukuran untuk satu orang miskin adalah satu
mud (5/6 liter) gandum.
thanks bro infonya,Jazakumullah!
BalasHapusYou are welcome Sob
BalasHapusberarti klo istri yang ucapkan utuk suami tanpa sengaja dgn bercanda bukan dianggap zihar ya, zihar khusus ucapan dari suami ya
BalasHapusiya zihar khusus ucapan suami..
BalasHapusKalau yg di samakan mukanya yakni bukan perkara yg haram diliahat apa juga di anggap zihar?
BalasHapusEsensi Zihar menyamakan anggota Badan Istri dengan Ibu kandung suami, apapun bentuk perkataan (Muka) yang menyerupai dari bentuk fisik si Istri dengan Ibu kandung suami itu dinamakn Zihar..
BalasHapusKalau menyamakan sipat antara istri dan ibu kandung saya apakah bs dikatakan zihar
BalasHapusSifat bukan termasuk unsur Zihar..
BalasHapusesensi Zihar Menyamakan bentuk tubuh yang tampak, sedangkan sifat bukan sesuatu yang dapat dilihat dan bukan termasuk bentuk tubuh (bentuk fisik)
Kalau samakan pinggang isteri sama dengan pinggang kerengga kerna memuji kecantikan, adakah dikira jatuh zihar
BalasHapusApakah memanggil dengan panggilan ibu.mama .umi atau yg lainya jg termasuk zihar
BalasHapusCapability seorang suami mengatakan kpd istrinya dgn sebutan "kamu istri anjing" apakah itu bukan zihar,,?
BalasHapusSaya terbantu dengan tulisan ini. Jazakumulloh khoir
BalasHapus