Latar Belakang Masalah
Sabda Nabi Muhammad Saw.
انما بعثت لاتمم مكارم الاخلافق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”
Kemuliaan akhlak ini haruslah tecermin dalam
berbagai segi kehidupan untuk mewujudkan bahwa manusia adalah makhluk yang
beradab dan memiliki aturan yang berbeda dengan makhluk lain. Oleh sebab itu,
dalam Islam diatur pula hubungan antara sesama manusia khususnya atau dalam
lingkup paling besar hubungan antar Negara.
Sebagaimana diketahui
bahwa syarat terbentuknya suatu Negara diantaranya adalah ada suatu wilayah,
penduduk/masyarakat, dan ada pemerintahan yang berdaulat. Berbedanya wilayah
dan penduduk yang mendiami, membuat perbedaan pula karakter suatu Negara,
sehingga adanya tsuatu
pembagian-pembagian mengenai Negara.
Tidak hanya itu,
kemajemukan penduduk suatu Negara membuat adanya suatu pembedaan dengan dilihat
dari berbagai faktor. Dalam Islam perbedaan penduduk ini bisa dilihat dari
agama yang dianutnya maupun wilayah tempat ia berdomisili. Akibat dari suatu
pembedaan ini, berbeda pula hak maupun kewajiban yang akan diterima.
Pembahasan
Dalam fiqih siyasah dauliyah, yang menerangkan tentang hubungan antar
muslim dan non muslim, terdapat beberapa istilah:
- Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan
penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan
terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang
berbicara tentang keadilan antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى
أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
Artinya:Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu.
- Al-Musawah (Persamaan)
Manusia memiliki
hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak
mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah
subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama.
- Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan
manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya.
Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau
komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau
negara.
- Tasamuh (Toleransi)
Allah mewajibkan
menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik
ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan
menetralisir ketegangan.
- Kerja Sama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan
ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja
sama di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan.
Kerja sama ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu
maupun antara negara di dunia ini.
- Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Kemerdekaan yang
sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta
mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian,
kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung
jawab terhadap Allah, terhadap keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan
bisa diperinci seperti kebebasan berfikir, kebebasan baragama, kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu, kebebasan memiliki harta.
- Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
Prilaku yang baik
merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan antara
bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh
makhluk Allah di muka bumi termasuk flora dan fauna.
Hubungan antar muslim dan non muslim dalam suatu
negara menurut hukum islam.
Berdasarkan kenyataan bahwa semua orang tidaklah mau menerima, apalagi
mentaati hukum islam itu sebagai hukum internasional, maka para fuqaha/sarjana
ahli hukum islam secara ilmu pengetahuan membagi hubungan itu menjadi dua
bagian:
- Hubungan antar Bangsa dan Negara dalam Darul Salam
- Hubungan antar Bangsa dan Negara dalam Darul Kuffar
Hubungan antar Bangsa dan Nagara dalam Darul
Salam/Darul Al Islam
Darul salam adalah negara yang dalamnya berlaku hukum islam sebagai hukum
perundang-undangan atau negara yang penduduknya beragama islam dan dapat
menengakan hukum islam sebagai hukum positif. Termasuk Darul salam adalah
negara-negara yang semua atau mayoritas penduduknya terdiri dari umat islam,
atau juga negara walaupun pemerintahannya bukan pemerintahan islam, akan tetapi
orang-orang islam dalam negri itu dapat dengan leluasa menegakan hukum islam
sebagi hukum perundang-undangan.
Sehubungan dengan itu maka penduduk negri dalm darul salam dapat dibedakan
menjadi 4 golongan yakni:
Pembagian Penduduk
Dengan berlandaskan pada
agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang menjadi tempat
tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam,
para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan
non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan
harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl
al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri
dari muslim dan harbiyun.
1. Muslim
Berdasarkan tempat
menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Pertama mereka yang menetap di dar
al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar
al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap
sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap
komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam.
Kedua, muslim yang tinggal
menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar
al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan
muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap
terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun,
karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda
dan jiwa mereka tidak terjamin
2. Ahl al-Zimmi
Kata dzimmah berarti
perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai
jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim
untuk hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan
masyarakat Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan
kaum Muslim berdasarkan akad dzimmah.
Implikasinya adalah,
mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah
mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam
keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan
keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta
tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan
publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu
dalam Surat At Taubah ayat 29.
Unsur-unsur seseorang
dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki,
bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.
Yang dikatakan
non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.
- Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, ahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
- Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam.
- Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3. Musta’min
Menurut Ahli Fiqih, musta’min
adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari
pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang
dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min
dan mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non
muslim yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan
keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke
wilayah Dar al-Harb.
Para Ulama berbeda
pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan bagi musta’min.
Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut Mazhab
Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam
waktu empat bulan berakhir dengan sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh
waktu, maka perjanjian berakhir sesuai kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan
Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin
Hanbal menentukan paling lama, yaitu empat tahun.
4. Harbiyun
Kafir Harbi adalah setiap orang
kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang
itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid
dan kafir musta’min.
Ditinjau dari aspek
hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman,
artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir
harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni
orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.
Baik muslim, baik warga negara atau orang asing yang berda di negri Darul
Salam diperlakukan sam dengan ketentuan-ketentuan hukum islam. Adapun orang
Zimmi selaku warga negara Darul Salam, diharuskan melaksankan dan mematuhi
ketemtuan hukum islam mereka anut, terkecuali dakm urusan beribadah dan
beberapa perkara dibidang hukum keluarga, dibenarkan menurut keyakianan agama
dam kepercayaan masing-masing.
Sedangkan kepada orang Musta’miin atau mu’ahid yang berada dalm negara
Darul Salam, mereka diharuskan tunduk dan patuh kepada hukum perundang-undangan
negara berlaku, sesuai dengan isi perjanjian internasional yang telah diadakan
secara bilateral antar kedua belah pihak.
Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh
madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila
dipimpin oleh seorang muslim.
Menurut Javid Iqbal, dar
al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas
penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai
undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar
al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena
masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin
pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Dalam perkembangan
dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar al-Islam
bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak
sepenuhnya menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping
itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal
terpenting dalam menentukan suatu negara disebut dar al-Islam, meskipun
tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia, dan
Pakistan. Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi Konperensi Islam
(OKI) dalam menetapkan hukum Islam.
Hubungan antar Bangsa dan Negara dalam Darul Kuffar/Darul Harb
Menurut jumhur Fuqaha, Darul Kuffar adalah semua negara yang tidak berada
dibawah kekuasaan umat Islam, atau yang didalamnya tidak tanpa berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum islam baik terhadap penduduknya yang beragama
islam,ataupun non muslim.Dalam negara Darul Kuffar maka penduduk negri dapat
dibedakan atas dua kelompok:
1.
Muslim adalah yang beragam islam
2.
Non Muslim adalah yang beragam lain selain islam.
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai penduduk yang beragama islam yang
tinggal di Darul Kuffar. Menurut Imam Malik, As Syafi’I, dan Imam Ahmad, mereka
itu dipandang sam adengan orang-orang Islam yang berdomisili di negara Darul
salam, mereka tetap terpelihara kehormatan, darah dan hartanya dan apabila
merak akan memasuki negara-negara Darul Salam mereka harus tetap dilindungi dan
tidak boleh dihalangi sebagiamana orang-orang islam yang berstatus warga
negara. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang-orang Islam
yang berdomisili di negra-negara Darul Kuffar, tidak terpelihara kehormatan,
darah dan hartanya, sebab terpelihara atau telindunginya suatu hukum bukanlah
berdasar pada islam saja, melainkan diperlukan juga dibawah kekuasaan umat
Islam.Orang Islam yang tinggal di Darul Kuffar tidak dapat dijaga oleh penguasa
Darul Salam, maka ia tidak terjamin kehormatan, darah dan hartanya.
Penduduk non muslim yang tinggal dan menetap di Darul Kuffardan sebagai
warga negara dinamai orang kafir “harbiyin”. Dalam teori fiqih siyasah orang-
orang kafir tersebut tidak terpelihara kehormatan, darah dan hartanya dan tidak
dijamin keselamatannya di negri Darul Salam sebelum ada diantara mereka suatu
perjanjian dengan negara Darul Salam, karena menurut kaedah fiqih siyasah
menegaskan bahwa terpeliharanya kehormatan, darah dan hartan bagi seseorang ditentukan
oleh adanya “keimanan” dan “keamanan”. Dengan arti keimanan adalah beragama
islam dan maksud “keamanan’ dengan arti mendapat jaminan keamanan denagn adanya
perjanjian selaku penduduk Zimmi, atau adanya perjanjian damai dari kedua belah pihak.
2. Pembagian Dar
al-Islam
Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam/ dar
al-waqf (Syiah Zaidiyah)/ dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah )
dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij
sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd
atau dar al-aman disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah
negara-negara yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan peranjian
tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya,
hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun penduduknya tidak beragaa
Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi
hak-haknya.
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah:
Al-Alam
al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
- Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).
- Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam/Muslim Countries).
- Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.
Berdasarkan tingkat
kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka
dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan
selain keduanya.
a. Tanah suci
(Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
Menurut jumhur ulama
kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak
boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram,
non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah,
kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di
dalamnya.
b. Wilayah Hijaz
Wilayah ini boleh
dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam.
Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini
berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang
Yahudi tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam
al-Shulthaniyah dijelaskan bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah
satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka mereka dikenakan ta’zir jika
mereka tidak diberi izin sebelumnya.
Wilayah dan negara-negara Islam lainnya
Di wilayah ini,
pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka boleh
masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian
yang disetujui kedua belah pihak.
3. Pembagian Dar
al-Harb
Muhammad Iqbal dalam
bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori:
- Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
- Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun umat Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam.
- Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar al-Muhadanah
Jadi hukumnya apa bos....??? untuk di negara kita (Indonesia)
BalasHapus