Jumat, 22 Juni 2012

Hubungan Antara Muslim dan Non Muslim Dalam Bernegara Menurut Syariat

Latar Belakang Masalah
Sabda Nabi Muhammad Saw.
انما بعثت لاتمم مكارم الاخلافق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”

     Kemuliaan akhlak ini haruslah tecermin dalam berbagai segi kehidupan untuk mewujudkan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan memiliki aturan yang berbeda dengan makhluk lain. Oleh sebab itu, dalam Islam diatur pula hubungan antara sesama manusia khususnya atau dalam lingkup paling besar hubungan antar Negara.
     Sebagaimana diketahui bahwa syarat terbentuknya suatu Negara diantaranya adalah ada suatu wilayah, penduduk/masyarakat, dan ada pemerintahan yang berdaulat. Berbedanya wilayah dan penduduk yang mendiami, membuat perbedaan pula karakter suatu Negara, sehingga adanya tsuatu pembagian-pembagian mengenai Negara.
     Tidak hanya itu, kemajemukan penduduk suatu Negara membuat adanya suatu pembedaan dengan dilihat dari berbagai faktor. Dalam Islam perbedaan penduduk ini bisa dilihat dari agama yang dianutnya maupun wilayah tempat ia berdomisili. Akibat dari suatu pembedaan ini, berbeda pula hak maupun kewajiban yang akan diterima.

Pembahasan
     Dalam fiqih siyasah dauliyah, yang menerangkan tentang hubungan antar muslim dan non muslim, terdapat beberapa istilah: 
  • Al-‘Adalah (Keadilan)
Ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, bahkan terhadap musuh sekalipun kita wajib bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. 
  • Al-Musawah (Persamaan)
Manusia memiliki hal-hal kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan keadilan adalah mutlak mempersamakan manusia dihadapan hukum. Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama. 
  • Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia)
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya. Kehormatan manusia berkembang menjadi kehormatan terhadap satu kaum atau komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau negara. 
  • Tasamuh (Toleransi)
Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan lebih baik ini akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir ketegangan. 
  • Kerja Sama Kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja sama di sini adalah kerja sama di setiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan. Kerja sama ini diperlukan karena ada saling ketergantungan baik antara individu maupun antara negara di dunia ini. 
  • Kebebasan, Kemerdekaan/Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikan dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab terhadap Allah, terhadap keselamatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan bisa diperinci seperti kebebasan berfikir, kebebasan baragama, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan menuntut ilmu, kebebasan memiliki harta. 
  • Perilaku Moral yang Baik (Al-Akhlakul Karimah)
Prilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini selain itu prinsip ini juga diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah di muka bumi termasuk flora dan fauna.

      Hubungan antar muslim dan non muslim dalam suatu negara menurut hukum islam.
     Berdasarkan kenyataan bahwa semua orang tidaklah mau menerima, apalagi mentaati hukum islam itu sebagai hukum internasional, maka para fuqaha/sarjana ahli hukum islam secara ilmu pengetahuan membagi hubungan itu menjadi dua bagian:
  • Hubungan antar Bangsa dan Negara dalam Darul Salam
  • Hubungan antar Bangsa dan Negara dalam Darul Kuffar
      Hubungan antar Bangsa dan Nagara dalam Darul Salam/Darul Al Islam
 Darul salam adalah negara yang dalamnya berlaku hukum islam sebagai hukum perundang-undangan atau negara yang penduduknya beragama islam dan dapat menengakan hukum islam sebagai hukum positif. Termasuk Darul salam adalah negara-negara yang semua atau mayoritas penduduknya terdiri dari umat islam, atau juga negara walaupun pemerintahannya bukan pemerintahan islam, akan tetapi orang-orang islam dalam negri itu dapat dengan leluasa menegakan hukum islam sebagi hukum perundang-undangan.
Sehubungan dengan itu maka penduduk negri dalm darul salam dapat dibedakan menjadi 4 golongan yakni:

Pembagian Penduduk
     Dengan berlandaskan pada agama yang diyakini seseorang, mempertimbangkan Negara yang menjadi tempat tinggalnya dan ada atau tidaknya ikatan perjanjian dengan pemerintahan Islam, para ulama fiqih membagi kewarganegaraan seseorang menjadi muslim dan non-muslim. Orang non-muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min, dan harbiyun. Penduduk Dar al-islam terdiri dari muslim, ahl al-zimmi dan musta’min, sedangkan penduduk dar al-harb terdiri dari muslim dan harbiyun.

1. Muslim
     Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al-Islam. Termasuk kedalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam.
Kedua, muslim yang tinggal menetap di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, SYafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin 

2. Ahl al-Zimmi
     Kata dzimmah berarti perjanjian, atau jaminan dan keamanan. Disebut demikian karena mereka mempunyai jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya, serta jamaah kaum Muslim untuk hidup dengan rasa aman di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka (orang-orang kafir ini) berada dalam jaminan keamanan kaum Muslim berdasarkan akad dzimmah.
     Implikasinya adalah, mereka termasuk ke dalam warga negara Darul Islam. Akad dzimmah mengandung ketentuan untuk membiarkan orang-orang non muslim tetap berada dalam keyakinan/agama mereka, disamping menikmati hak untuk memperoleh jaminan keamanan dan perhatian kaum Muslim. Syaratnya adalah mereka membayar jizyah serta tetap berpegang teguh terhadap hukum-hukum Islam di dalam persoalan-persoalan publik. Landasan adanya penarikan jizyah dari ahl al-zimmi yaitu dalam Surat At Taubah ayat 29.
     Unsur-unsur seseorang dikatakan ahl al-zimmi yaitu: Non-muslim, baligh, berakal, laki-laki, bukan budak, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah.
Yang dikatakan non-muslim adalah ahl al-Kitab, murtad, dan orang musyrik.  
  • Sebagaimana pendapat Abu Bakar ibnu Ali al-Jashshash yang dikutip oleh Dr. Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, ahl al-Kitab yang tergolong ahl al-zimmi yaitu Yahudi dan Nasrani, serta Majusi.
  • Mayoritas ulama sepakat mengenai ketidakbolehan orang-orang murtad melakukan akad zimmah dengan pemerintahan Islam, berdasarkan firman Allah QS. Al-Fath, 48:16, yang artinya: Kamu perangi mereka, atau mereka sendiri menyerah masuk Islam. 
  • Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menerima orang musyrik sebagai ahl al-zimmi. Mazhab Syafi’i, Hambali, Zahiri, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa pemerintahan Islam tidak boleh menerima orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab sebagai ahl al-zimmi dan memungut jizyah mereka. Mereka berlandaskan pada QS. Al-Taubah, 9:5: Perangilah orang-orang musyrik dimana pun kamu bertemu dengan mereka. Sedangkan Imam Malik, al-Auza’i dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa jizyah boleh diambil dari orang non-muslim mana pun, tanpa memandang mereka sebagai ahl al-Kitab atau bukan.
3. Musta’min
     Menurut Ahli Fiqih, musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut al-Dasuki yang dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqih Siyasah, antara musta’min dan mu’ahid mempunyai pengertian sama. Mu’ahid adalah orang non muslim yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar al-Harb.
     Para Ulama berbeda pendapat mengenai masa berlakunya perjanjian jaminan keamanan bagi musta’min. Menurut Mazhab Syafi’i tidak boleh melebihi empat bulan. Menurut Mazhab Maliki yaitu jika perjanjian tersebut tidak dibatasi oleh waktu, maka dalam waktu empat bulan berakhir dengan sendirinya. Sedangkan jika dibatasi oleh waktu, maka perjanjian berakhir sesuai kesepakatan. Menurut Mazhab Hanafi dan Syi’ah Zaidiyah, maksimal selama satu tahun. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal menentukan paling lama, yaitu empat tahun. 

4. Harbiyun
     Kafir Harbi adalah setiap orang kafir yang tidak tercakup di dalam perjanjian (dzimmah) kaum Muslim, baik orang itu kafir mu’ahid atau musta’min, atau pun bukan kafir mu’ahid dan kafir musta’min.
Ditinjau dari aspek hukum, kafir harbi dibagi menjadi dua, yaitu (1) kafir harbi hukman, artinya secara de jure (secara hukum) kafir harbi, dan (2) kafir harbi fi’lan atau kafir harbi haqiqatan (de facto) yakni orang-orang kafir yang tengah berperang/memerangi kaum Muslim.
Baik muslim, baik warga negara atau orang asing yang berda di negri Darul Salam diperlakukan sam dengan ketentuan-ketentuan hukum islam. Adapun orang Zimmi selaku warga negara Darul Salam, diharuskan melaksankan dan mematuhi ketemtuan hukum islam mereka anut, terkecuali dakm urusan beribadah dan beberapa perkara dibidang hukum keluarga, dibenarkan menurut keyakianan agama dam kepercayaan masing-masing.
Sedangkan kepada orang Musta’miin atau mu’ahid yang berada dalm negara Darul Salam, mereka diharuskan tunduk dan patuh kepada hukum perundang-undangan negara berlaku, sesuai dengan isi perjanjian internasional yang telah diadakan secara bilateral antar kedua belah pihak.
 Menurut al-Rafi’i (salah seorang tokoh madzhab Syafi’i), suatu negara dipandang sebagai dar al-Islam apabila dipimpin oleh seorang muslim.
     Menurut Javid Iqbal, dar al-Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang umat Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undangnya. Karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, maka dar al-Islam harus menjunjung tinggi supremasi hukum Islam; selanjutnya, karena masyarakat muslim harus diperintah menurut hukum Islam, maka pemimpin pemerintahannya juga harus muslim agar mereka dapat melaksanakan hukum Islam.
Dalam perkembangan dunia modern, kriteria ini telah bergeser. Suatu negara disebut dar al-Islam bila penduduknya mayoritas beragama Islam, meskipun negara tersebut tidak sepenuhnya menjalankan hukum Islam contohnya Indonesia dan Mesir. Di samping itu, kriteria penerapan hukum Islam dalam suatu negara tentu merupakan hal terpenting dalam menentukan suatu negara disebut dar al-Islam, meskipun tidak sepenuhnya penduduknya beragama Islam, contohnya Iran, Malaysia, dan Pakistan. Kedua kriteria inilah yang digunakan oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) dalam menetapkan hukum Islam.

Hubungan antar Bangsa dan Negara dalam Darul Kuffar/Darul Harb
Menurut jumhur Fuqaha, Darul Kuffar adalah semua negara yang tidak berada dibawah kekuasaan umat Islam, atau yang didalamnya tidak tanpa berlakunya ketentuan-ketentuan hukum islam baik terhadap penduduknya yang beragama islam,ataupun non muslim.Dalam negara Darul Kuffar maka penduduk negri dapat dibedakan atas dua kelompok:
1.      Muslim adalah yang beragam islam
2.      Non Muslim adalah yang beragam lain selain islam.
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai penduduk yang beragama islam yang tinggal di Darul Kuffar. Menurut Imam Malik, As Syafi’I, dan Imam Ahmad, mereka itu dipandang sam adengan orang-orang Islam yang berdomisili di negara Darul salam, mereka tetap terpelihara kehormatan, darah dan hartanya dan apabila merak akan memasuki negara-negara Darul Salam mereka harus tetap dilindungi dan tidak boleh dihalangi sebagiamana orang-orang islam yang berstatus warga negara. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang-orang Islam yang berdomisili di negra-negara Darul Kuffar, tidak terpelihara kehormatan, darah dan hartanya, sebab terpelihara atau telindunginya suatu hukum bukanlah berdasar pada islam saja, melainkan diperlukan juga dibawah kekuasaan umat Islam.Orang Islam yang tinggal di Darul Kuffar tidak dapat dijaga oleh penguasa Darul Salam, maka ia tidak terjamin kehormatan, darah dan hartanya.
     Penduduk non muslim yang tinggal dan menetap di Darul Kuffardan sebagai warga negara dinamai orang kafir “harbiyin”. Dalam teori fiqih siyasah orang- orang kafir tersebut tidak terpelihara kehormatan, darah dan hartanya dan tidak dijamin keselamatannya di negri Darul Salam sebelum ada diantara mereka suatu perjanjian dengan negara Darul Salam, karena menurut kaedah fiqih siyasah menegaskan bahwa terpeliharanya kehormatan, darah dan hartan bagi seseorang ditentukan oleh adanya “keimanan” dan “keamanan”. Dengan arti keimanan adalah beragama islam dan maksud “keamanan’ dengan arti mendapat jaminan keamanan denagn adanya perjanjian selaku penduduk Zimmi, atau adanya perjanjian damai  dari kedua belah pihak.

2. Pembagian Dar al-Islam
     Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam/ dar al-waqf (Syiah Zaidiyah)/ dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah ) dan dar al-harb/ dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah)/ dar al-syirk (Khawarij sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al-‘ahd atau dar al-aman disamping keduanya. Dar al-‘ahd adalah negara-negara yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan peranjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun penduduknya tidak beragaa Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.
Sedangkan menurut A. Djazuli, pembagian dunia pada masa sekarang adalah: 
Al-Alam al-Islami (dunia Islam) yang terdiri dari:
    1. Dawlah Islamiyah (negara Islam/Islamic States).
    2. Baldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam/Muslim Countries).
    3. Al-Alam al-‘Ahd: negara-negara yang berdamai dengan negara Islam.
     Berdasarkan tingkat kesucian wilayah dan hak non-muslim untuk menetap di wilayah Dar al-Islam, maka dar al-Islam terbagi dalam 3 bagian, yaitu: tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.

a.  Tanah suci (Kota Mekah dan wilayah sekitarnya).
     Menurut jumhur ulama kota Madinah termasuk dalam wilayah ini. Di kedua wilayah ini non-muslim tidak boleh menetap. Bahkan untuk kota Mekah, di sekitar al-Masjid al-Haram, non-muslim sama sekali tidak boleh memasukinya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, kafir dzimmi dan kafir mu’ahid boleh memasuki Makkah tidak untuk menetap di dalamnya. 

b. Wilayah Hijaz
     Wilayah ini boleh dimasuki non-muslim dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintahan Islam. Tetapi mereka tidak boleh menetap di wilayah ini melebihi 3 hari. Ketentuan ini berdasarkan keputusan Khalifah ‘Umar bin Khaththab yang mengijinkan orang-orang Yahudi tinggal di Hijaz selama 3 hari untuk urusan dagang. Dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah dijelaskan bahwa jika mereka bertempat tinggal di salah satu tempat di Hijaz lebih dari 3 hari, maka mereka dikenakan ta’zir jika mereka tidak diberi izin sebelumnya. 

Wilayah dan negara-negara Islam lainnya
     Di wilayah ini, pemerintah Islam boleh melakukan akad dzimmah dengan non-muslim. Mereka boleh masuk dan menetap di wilayah ini untuk sementara waktu berdasarkan perjanjian yang disetujui kedua belah pihak. 

3. Pembagian Dar al-Harb
Muhammad Iqbal dalam bukunya menjelaskan bahwa dar al-harb dibedakan menjadi 3 kategori:
  1. Negara yang di dalamnya tidak terpenuhi unsur pokok dar al-Islam, yaitu pemberlakuan hukum Islam dan kekuasaan politik yang berada di tangan non-muslim.
  2. Negara yang hanya memenuhi salah satu unsur pokok dar al-Islam, meskipun tidak utuh. Wilayahnya dikuasai non-muslim dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam, namun umat Islam yang menetap dinegara tersebut diberi kelonggaran untuk melaksanakan sebagian hukum Islam.
  3. Negara yang dikategorikan sebagai dar al-harb. Wilayah ini dikuasai oleh pemerintahan non-muslim dan tidak memberlakukan hukum Islam. Penduduk Muslim yang menetap di sini tidak mendapat kesempatan untuk menjalankan ajaran agamanya. Dar al-harb dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu  Dar al-harb yang menjadi tempat harbiyyun dan tidak terikat perjanjian atau hubungan diplomatik dengan negara Islam; dan Dar al-Muwada’ah atau dar al-Muhadanah

1 komentar:

  1. Jadi hukumnya apa bos....??? untuk di negara kita (Indonesia)

    BalasHapus