Ali-Imran : 28
Janganlah
orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan
orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu) (Q.S Ali-‘Imran:28)
Asbabun
nuzul
Dalam suatu
riwayat dikemukakkan bahwa al-Hajjaj bin ‘Amr yang mewakili Ka’b bin al-Asyraf
dan Ibnu Abil Haqiq serta Qais bin Zaid (tokoh-tokoh yahudi) telah memikat
segolongan kaum Anshar untuk memalingkan mereka dari Agamannya. Rifa’ah bin
al-Mundzir, Abdullah bin Jubair serta Sa’d bin Hatsamah memperingatkan
orang-orang Anshar tersebut dengan berkata: “Hati-hatilah kalian dari pikatan
mereka, dan janganlah terpalingkan dari Agama kalian. Mereka menolak peringatan
itu. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas sebagai peringatan untuk tidak
menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung mu’min. Di riwayatkan oleh
Ibnu Jarir dari Sa’id atau ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Tafsiran Al- Misbah
Kalau
demikian keadaannya, sebagaimana diuraikan pada ayat-ayat yang lalu atau kalau
demikian sekelumit dari kekuasaan Allah dan pengaturan-Nya terhadap alam raya
dan manusia serta pengaturan-Nya menyangkut rezeki makhluk, maka apakah wajar
mengangkat musuh-musuh-Nya sebagai wali yang diserahi wewenang mengurus urusan
kaum muslim? Tidak wajar! Tidak wajar mendekat kepada orang-orang yang menolak
menjadikan kitab suci sebagai rujukan hukum seperti orang-orang Yahudi yang
dikecam oleh ayat 23 dan setrusnnya.Karena itu, “janganlah orang-orang
mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orag
mukmin”.
Wali
mempunyai banyak arti antara lain yang berwewenang menangani urusan, penolong,
sahabat kental, dan lain-lain yang mengandung makna kedekatan.
Ayat ini melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai
penolong mereka, karena jika seorang mukmin menjadikan mereka penolong, maka
itu berarti seorang mukmin dalam keadaan lemah, padahal Allah enggan melihat
orang-orang beriman dalam keadaan lemah. Itu konsekuensi paling sedikit.
Janga jadikan mereka penolong, kecuali kalau ada kemaslahatan kaum muslim dari
pertolongan itu, atau paling sedikit tidak ada kerugian yang dapat menimpa kaum
muslim dari pertolongan itu.
Kata “kafir” biasa difahami dalam arti siapa yang tidak memeluk agama Islam.
Maka ini tidak keliru, tetapi perlu diingat bahwa al-Qur’an menggunakan kata
“kafir” dalam berbagai bentuknya untuk banyak arti yang puncaknya adalah
pengingkaran terhadap wujud atau keesaan Allah, disusul dengan keengganan
melaksanakan perintah atau menjauhi larangan-Nya walau tidak mengingkari wujud
dan keesaan-Nya, sampai kepada tidak mensyukuri nikmat-Nya, yakni kikir.
Bukankah Allah memperhadapkan syukur dengan kufur untuk mengisyaratkan bahwa
lawan syukur, yakni kikir, adalah kufur.“ Dan (ingatlah juga), tak kala
Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti aku akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu kufur, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
(Qs. Ibrahim(14):17).
Atas dasar
itu dapat dikatakan bahwa kufur adalah segala aktivitas yang bertentangan
dengan tujan agama; dan demikian, walaupun ayat ini turun dengan konteks
melarang orang-orang beriman menjadikan orang Yahudi atau Nasrani sebagai
pemimpin yang diberi wewenang mengenai urusan orang-orang beriman, tetapi
larangan itu mencakup juga orang yang dinamai muslim yang melakukan aktivitas
bertentangan dengan tujuan ajaran islam. Larangan ini adalah karena kegiatan
mereka secara lahiriah bersahabat, menolong, dan membela umatislam, tetapi pada
hakikatnya dengan halus mereka menggunting dalam lipatan. Adapun kerjasama
dalam bidang yang mnguntunkan kedua belah pihak, khususnya masalah keduniaan,
maka hal tersebut dapat dibenarkan. Tetapi kerjasama dalam bidang keduniaan
yang menguntungkan itu pun hendaknya memprioritaskan orang-orang beriman,
sebagaimana difahami dari lanjutan ayat yang mengaitkan larangan tersebut
dengan penjelasan tambahan, yakni dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Jika
demikian, barang siapa berbuat seperti itu, yakni menjadikan orang kafir sebaga
wali, niascaya dia tidak dengan Allah sedikit pun. Kata itu yang merupakan kata
yang menunjuk sesuatu yang jauh, memberi isyarat jauhnya perbuatan tercela ini
dari sikap keimanan, serta kesadaran akan kekuatan, kesabaran, dan pertolongan
Allah yang seharusnya melekat pada diri seorang yang beriman. Nah jika itu
dilakukan maka yang bersagkutan tidak berada dalam posisi yang menjadiakan ia
wajar dinamai berada dalam kewalian, perlindunghan, dan pertolongan Allah, maka
barang siapa yang berteman dengan musuh Alllah atau dengan sengaja melakukuan
tindakan yang merugikan penganut agana Allah, maka dia adalah musuh Allah dan
dengan demikian dia tidak akan memperoleh pertolongan-Nya sedikit pun.
Ayat ini tidak menyatakan dengan tegas “tidak berada dalam kewalian Allah
sedikit pun”. Kata kewalian tidak disebut untuk mengisyaratkan bahwa yang
bersangkutan bukan hanya tidak memperoleh kewalian, tetapi tidak memperoleh
sedikit apa pun dari Allah, karena dia bagaikan telah meninggalkan zat
Allah dengan seluruh sifat-sifat-Nya, bukan hanya dalam kedudukan-Nya sebagai
wali terhadap orang-orang beriman.
Memang manusia bermacam-macam dan kondisi yang mereka hadapi pun beraneka
ragam. Karena itu Allah Saw. memberikan pengecualian. Yakni bahwa larangan
tersebut berlaku dalam seluruh situasi dan kondisi siasat memelihara diri
guna menghindari dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.
Pengecualian ini diistilahkan oleh ulama-ulama dengan nama “taqiyah”.
Ayat ini membenarkan adanya taqiyah, demikian tulis Muhammad Sayyid Tanthawi,
Pemimpin Tertinggi Lembaga-Lembaga al-Azhar Mesir.“Taqiyah” menurutnya, adalah
upaya yang bertujuan memelihara jiwa atau kehormatan. Selanjutnya, mantan mufti
Mesir itu menjelaskan, bahwa musuh yang dihadapi seorang muslim dua macam: Pertama,
permusuahan yang didasari oleh perbedaan agama; dan yang kedua,
permusuhan yang motivasinya adalah kepentingan duniawi, seperti harta dan
kekuasaan. Atas dasar itu, taqiyah pun terbagi dalam dua katagori. Seorang
muslim bila tidak bebas melaksanakan ajaran agamanya pada suatu wilayah, maka
hendaknya ia meninggalkan wilayah itu ke tempat yang memungkinkan ia
melaksanakannya dengan aman. Dia wajib berhijrah.Ini berdasr firman Allah, “Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendri,
(kepada mereka)malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’Mereka
menjawab, ‘Kami (dahulu ketika hidup) adalah orang-orang yang tertindas di
negeri (Mekah)’. Para malaikat berakata, ‘Bukankah bumi itu Luas, sehingga kamu
dapat berhijrah di bumi itu?.’ Orang-orang itu tempatnya adalah neraka jahanam,
dan jahanam itu sburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki, wanita atau pun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak
mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa(4):97-98)
Orang yang
tidak dapat meninggalkan wilayah yang tidak memberikannya kebebasan
melaksanakan ajaran agamanya dikecualikan oleh ayat ini. Ia diizinkan melakukan
taqiyah kalau jiwa dan sesuatu yang amat berharga baginya terancam. Ia
dibenarkan untuk tetap berada dalam wilayah itu dan berpura-pura mengikuti
kehendak yang mengancamnya selama darurat, sambil mencari jalan untuk
menghindari dari pemaksaan. Ini pun oleh sementara ulama dinilai hanya berupa
rukhshah, yakni izin. Akan lebih baik jika ia tegar dan menolak ancaman itu.
Adapun jika musuh yang dihadapi dan mengancam adalah yang memotivasinya
duniyawi, dalam hal ini ulama berbeda pendapat menyangkut kewajiban berhijrah.
Ada yang mewajibkan dan ada juga yang tidak mewajibkan. Di sisi lain, sementara
ulama memasukkan dalam izin melakukan taqiyah untuk menghadapi orang-orang
zalim atau fasiq dengan ber basa-basi terhadap mereka baik dalam ucapan maupun
senyum dalam rangka menampik kejahatan mereka atau memelihara kehormatan sang
muslim. Untuk kasus semacam ini, basa basi itu dibenarkan dengan syarat tidak
mengakibatkan pelanggaran terhadar perinsip ajaran Islam.
Mengapa taqiyah dibenarkan Allah? Asy-Sya’rawi dalam tafsirnya mengulas hal ini
antara lain dengan mengemukakan bahwa anggaplah setiap muslim diwajibkan
mengorbankan jiwanya demi menolak ancaman terhadap agama. Jika ini terjadi,
maka kepada siapa lagi panji agama diserahkan? Siapa lagi yang akan
memperjuangkan ajaran agama jika semua telah gugur akibat keengganan bersiasat?
Kerena itu Allah membenarkan penolakan ancaman itu, bahkan membenarkan
pengorbanan jiwa. Tetapi pada saat yang sama Allah juga membenarkan taqiyah
demi masa depan aqidah. Dia membenarkan taqiyah demi ajaran agama agar dapat
disampaikan dan diterima oleh generasi berikut atau masyarakat yang lain ketika
yang melakukan taqiyah itu memperoleh peluang untuk melakukannya.
Akhirnya, kepada setiap orang, baik yang beriman tetapi menjadikan orang-orang
kafir sebagai wali, maupun orang-orang kafir yang mengancam orang-orang yang
beriman, demikian juga yang bertaqiyah bukan pada tempatnya, kepada mereka
semua penutup ayat ini ditunjukkan, Allah memperingatkan kamu dari diri-Nya,
yakni dari siksa-Nya. Memang kata siksanya tidak disebut disini, sebagaimana
sebelum ini kata kewalian tidak juga disebutkan dalam rangkaian kalimat “niscaya
ia tidak dengan Allah sedikit pun”.Ini untuk menekankan bahwa siksa
tersebut sungguh berat dan pedih. Seakan-akan ayat ini menyatakan bahwa yang
menangani hal ini adalah Allah sendri secara langsung, tidak mendelegasikannya
kepada yang lain. Ini tidak sulit karena hanya kepada Allah tempat kembali
segala sesuatu.
Tafsir
Qur’an Karim
Kamu orang-orang
mukmin tidak boleh mengambil orang-orang kafir, menjadi pemmpin, kecuali kamu
takut kepada mereka sebenar-benarnya takut. Maka ketika itu tidaklah kamu
berdosa.
Dalam Surat
Al-Mumtahanah, Allah berfirman sebagai menambah keterangan ayat ini.
Allah tidak
melarang kamu berbuat kebaikan dan berlaku ‘adil kepada orang-orang kafir yang
tidak memerangi kamu tentang agamamu dan mengusir kamu dari tanah airmu, karena
Allah mengasihi orang yang ‘adil (QS. Al-Mumtahanah (60) :8)
Hanya Allah
melarang kamu mengambil pemimpin dari orang-orang kafir yang memerangi kamu
tentang agamamu dan mengusir kamu dari tanah airmu dan menolong mengusir kamu.
Barang siapa yang berbuat demikian, maka ia adalah orang aniaya (QS.
Al-Mumtahanah (60) :9)
Dengan
keterangan ini, nyatalah salahnya tuduhan orang yang menyatakan agama islam
disiarkan dengan pedang dan menyuruh, supaya memusuhi segala orang yang bukan
beragama islam. Tidak sekali-kali tidak.
Tafsir
Nurul Qur’an
Dalam ayat
suci ini, bentuk kebijakan (dengan pihak) asing, berurusan dengan orang-orang
kafir dan menganggap mereka lebih berkuasa (menjadikan mereka tuan) akan
terjadi bersamaan dengan hilangnya penghambaan kita kepada Allah. Tindakan
menyembunyikan keimanan (taqiyyah) dan larangan atas penyalahgunaannya telah
disebutkan dalam ayat ini.
Penjelasan
- Orang- orang yang beriman diharamkan untuk menjadikan orang-oranng kafir sebagai tuan. Jika dunia Islam bertindak sesuai dengan perinsip ini saja, maka status dunia Islam tidak akan seperti sekarang ini.
Hendaklah
orang-orang beriman tidak mengambil orang-orang kafir sebagai teman mereka
melebihi dari pada orang-orang yang beriman..
- Bukan hanya tunduk kepada kekuasaan orang-orang kafir saja yang diharamkan bagi orang-orang yang beriman, tetapi juga merasa tenang dengan kekafiran dan menerimanya.
…dan
barang siapa melakukannya, maka tiada apa pun dari Allah yang menjadi miliknya
- Hubungan dengan orang-orang kafir untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, dalam kondsi tertentu, diizinkan.
- Hubungan politik hendaknya tidak menghasilkan penerimaan dominasi, atau hubungan yang membabi buta dengan orang-orang kafir.
…kecuali
jika kalian melindungi diri sendiri ketika berhadapan dengan mereka, menjaga
diri dengan hati-hati…
- Menyembunyikan keimanan hanyalah demi kepentingan perlindungan agama. Waspadalah untk tidak tertari degan orang-orang kafir dengan dalih menyembunyikan keimanan, dan jangan menyalahgunakan konsep ini!
…dan
Allah memperingatkanmu untuk berhati-hati dari (tidak taat kepada)-Nya…
- Dalam kondisi-kondisi yang pada dasarnya menyebabkan agama dalam bahaya, segala sesuatu harus dipersembahkan, dan setiap orang harus takut hanya kepada Allah.
…dan hanya
kepada Allah tempat menuju…
- Hubungan atau pemutusan hubungan harus dilakukan berdasarkan perenungan dan keimanan, bukan berdasarkan ikatan rasial, golongan, atau keluarga, atau kepentingan-kepentingan ekonomi, dan sebagainya.
- Di daerah orang-orang kafir, umat Islam harus menjalin pertemanan (persaudaraan) dan saling berkomunikasi antara mereka sendiri.
Al-Maidah : 51
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termaksud golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS. Al-Maidah (5)
:51)
Asbabun
Nuzul
Dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa Abdillah bin Ubaybin Salul (tokoh munafiq)
Madinah) dan Ubadah bin Shamit terikat oleh suatu perjanjian untuk saling
membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Ketika Bani Qainuqa’ memerang Rasulullah
saw. Abdullah bin Ubai tidak melibatkan diri, dan Ubadah bib Shamit berangkat
menghadap Rasulullah saw. Untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya
dari ikatannya dari Bani Qainuqa’ itu serta menggabungkan diri pada Rasulullah
dan menyatakan hanya takut kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat ini
yang mengingatkan orang yang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan
Rasul-Nya dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq’, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatimdan Baihaqi yang
bersumber dari Ubadah bin Shamit.
Tafsir
As-Sa’di
Allah
membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman manakala Dia menjelaskan keadaan
orang-orang Yahudi dan Nasrani dan sifat-sifat buruk mereka agar kaum
muslimin tidak mengangkat mereka sebagai pemimpin-pemimpin. Karena sebagian
dari mereka adalah“wali bagi sebahagian yang lain.” Mereka saling
tolong-menolong dan bahu-membahu menghadapi selain mereka. Maka janganlah kamu
mengangkat mereka sebagai penolong-penolong karena mereka adalah musuh yang
sebenar-benarnya, mereka tidak mempedulikan penderitaanmu bahkan mereka tidak
menghemat energi sedikit pun demi menyesatkanmu. Maka tidak ada yang mengangkat
mereka menjadi pemimpin-pemimpin kecuali orang yang sama dengan mereka.
Oleh karena
itu, Dia berfirman “Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”Karena
pengangkatan mereka menjadi pemimpin secara total menuntut perpindahan kepada
agama mereka, loyalitas yang sedikit akan mendorong kepada yang banyak, lalu
fase demi fase sehingga seorang hamba menjadi satu dengan mereka. (إنّ اللّه لا يهدي
االقوم الظالمين)“Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim,” yakni dengan
kezaliman sebagai sifat, mereka kembali kepadanya dan berpijak kepadanya. Jika
kamu hadir kepada mereka membawa semua bukti niacaya mereka tidak mengikuti dan
menaatimu.
Tafsir
Qur’an Karim
Dalam ayat ini Allah melarang orang-orang yang beriman mengangkat Yahudi dan
Nasrani menjadi wali, yaitu bertolong-tolongan dan berkasih-sayang dengan
mereka, bila mereka memusuhi dan hendak memerangi Nabi dan kaum Muslimin.
Pendeknya ayat ini umum dan di takhsiskan (dikhususkan) dengan ayat 9 surat
Al-Mumtahanah, yang artinya: Hanya Allah melarang kamu mengangkat wali dan
orang-orang yang memerangimu, karena agama dan mengusir kamu dari kampungmu dan
menolong mengusirmu. Barang siapa mengangkat mereka, maka ia orang aniaya.
Yusuf
:
Dan Raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang
yang rapat kepadaku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia,
dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang
berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”. Berkata Yusuf: “Jadikanlah
aku bendaharawan Negara (Mesir); sesengguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga , lagi berpengetahua. Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada
Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh)pergi menuju kemana saja ia
kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat kami kepada siapa yang
kami kehendaki dan kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat
baik (QS. Yusuf (12): 54-56).
Setelah terbukti secara gambling bagi Raja kebenaran Yusuf as. dan kezaliman
yang menimpanya sehingga terpaksa menekam di penjara sekian tahun lamanya, dan
diketahuinya pula betapa baik dan luhur sikap dan kelakuannya di dalam penjara,
di tambah lagi dengan kepuasan Raja mendengar penjelasan Yusuf as. tentang
makna mimpinya, dan kini tanpa ragu sang Raja bertitah kepada petugas yang ia
tunjuk, “Bawalah dia kepadaku, agar aku memilihnya untukku saja sebagai
orang dekat kepadaku dan untuk kujadikan penasehat dan pembantu dalam mengatur
roda kepemmpinan.” Petugas pun mengundangnya ke istana, setelah terlebih dahulu
menyampaikan pengakuan tulus wanita-wanita yang melukai tangan mereka serta
wanita yang merayunya. Yusuf pun segera berangkat karena memenuhi undangan
Raja, setelah berpamitan dengan para tahanan dan mendo’akan mereka. Maka
tatkala dia, yakni Yusuf telah bercakap-cakap dengannya, Raja sangat
kagum mendengar uraian Yusuf serta kedalaman pengetahuannya, sebagaimana dia
terpesona pula melihat kejernihan air muka dan penampilannya. Dia bertitah
menyampaikan kepada Yusuf, “Sesungguhnya engkau mulai hari ini dan
saat ini di sisi kami adalah seorang yang berkedudukan tinggi lagi
terpercaya untuk mengelola semua yang berkaitkan dengan urusan Negara. ”Dia
menyambut tawaran Raja demi mensukseskan tugasnya menyebarluaskan ajaran
agama dan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh masyarakat, dan menjawab,
“Jadikanlah aku bendaharawan negara di wilayah kekuasaan baginda,” yakni di
Mesir, “Sesungguhnya aku adalah orang yang amat pemelihara yang sangat
pandai menjaga amanah lagi amat berpengetahuan menyangkut tugas yang aku
sebutkan itu.”
Sementara beberapa ulama, berdasarkan sebuah riwayat, mengilustrasikan bahwa
ketika terlaksana pertemuan antara Raja dan Yusuf as., Raja meminta Yusuf as.
untuk menguraikan kembali makna mimpinya. Sambil menjelaskan, Yusuf as. mengusulkan
agar Raja memerintahkan mengumpulkan makanan dan meningkatkan upaya pertanian.
Ketika itulah Raja bertanya, “Siapa yang dapat melaksanakan semua itu? ”Maka
Yusuf as.berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan Negara.”
Ayat di atas
mendahulukan kata ( حفيظ) hafizh/pemelihara dari pada
kata عليم‘alim/amat berpengetahuan. Ini
karena pemeliharaan amanah lebih penting dari pada pengetahuan. Seorang yang
memelihara amanah dan tidak berpengetahuan akan mendorong untuk meraih pengetahuan
yang belum dimilikinya. Sebaliknya, seorang yang berpengetahuan tetapi tidak
memiliki amanah, bisa jadi ia menggunakan pengetahuannya untuk menghianati
amanah. Ini serupa dengan ayat Al-Baqarah (2): 282 yang mendahulukan keadilan
dari pada pengetahuan tulis menulis utang piutang. Di sana penulis
mengemukakan bahwa hal itu agaknya disebabkan karena keadilan, di samping
adanya menuntut adanya pengetahuan bagi akan yang berlaku adil, karena juga
seseorang yang adil tidak dapat mengetahui, keadilannya akan mendorang ia untuk
belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu,
pengetahuannya itu akan digunakan untuk menutupi ketidak adilannya. Ia akan
mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari sanksi.
Permintaan jabatan yang diajukan oleh Yusuf as. kepada Raja di atas tidaklah
bertentangan dengan moral agama yang melarang seseorang meminta jabatan,
permintaan tersebut lahir atas dasar pengetahuannya bahwa tidak ada yang lebih
tepat dari dirinya sendiri dalam tugas tersebut. Dan tentu saja motivasinya
adalah menyebarkan dakwah Illahiah. Demikian jawaban mayoritas ulama. Dapat
juga dikatakan bahwa sebenarnya Yusuf as. terlebih dahulu ditawari atau
ditugasi oleh Raja untuk membantunya dalam berbagai bidang. Tawaran ini
diterimannya, tetapi Yusuf as. memilih tugas tertentu-bukan dalam segala
bidang. Karena itu, dia bermohon kiranya penugasan tersebut terbatas dalam
bidang keahliannya saja, yakni perbendaharaan Negara.
Apa pun jawaban yang anda pilih, yang jalas ayat ini dapat menjadi dasar untuk
membolehkan seseorang menyalonkan diri guna menempati suatu jabatan tertentu
atau berkampanye untuk dirinya, selama motivasinya adalah untuk kepentingan
masyarakat, dan selama dia merasa dirinya memiliki kemampuan untuk jabatan itu.
Permintaan jabatan dalam kondisi dan sifat yang seperti dialami Yusuf as. itu
menunjukan kepercayaan diri yang bersangkutan (Yusuf as.) serta kebranian moril
yang disandangnya. Dengan pengusulan ini, yang bersangkutan juga berusaha
bersaing dengan pihak lain yang boleh jadi tidak memiliki kemampuan yang sama
sehingga jika dia berhasil menduduki jabatan tersebut pastilah akan merugikan
masyarakat.
Ayat ini tidak menjelaskan apa jawaban Raja terhadap usul Yusuf itu: apakah
diterima atau tidak. Al-Qur’an sejalan dengan gayanya mempersingkat uraian,
tidak menjelaskan semua indikator telah menunjukan kekaguman Raja terhadap
Yusuf as.
Permintaan Yusuf as. itu diterima baik oleh Raja. Tetapi ayat ini mengingatkan
bahwa jangan duga hal tersebut terlepas dari pengaturan Allah.
Karena itu, ayat ini menegaskan bahwa dan sebagai mana kami menjadikan
hati dan pikiran Raja tertarik kepada Yusuf sehingga dia memberikan kedudukan
yang terbaik di sisinya, demikian jugalah kami memberikan kedudukan kepada
Yusuf di bumi khususnya di wilayah mesir; dia bebas menempati di
sana serta bebas pula berkunjung ke daerah mana saja yang dia kehendaki,
dan dalam hal ini yang kami kehendaki adalah Yusuf, dan juga hal
tersebut demikian karena Yusuf adalah seorang hamba Kami yang muhsin/baik,
sedang kami tidak menyia-nyiakan sedikit pun ganjaran
al-muhsinin/orang-orang yang berbuat baik. Apa yang diperolehnya itu adalah
anugrah yang sangat besar, tetapi itu tidak ada artinya jika dibandingkan
dengan anugrah dan ganjaran ukhrawi kelak. Dan sesungguhnya pasti ganjaran
di akhirat lebih baik bagi orang-orang yang telah berimandan terus-menerus
bertakwa.
Ayat-ayat di
atas tidak menjelaskan bagaimana Yusuf as.melaksanakan kebijaksanaannya dalam
bidang pertanian, logistic dan perbendaharaan Negara. Agaknya Al-Qur’an menilai
bahwa uraian tentang hal tersebut tidak terlalu dibutuhkan, karena ia berkaitan
dengan daerah khusus Mesir pada masa itu yang belum tentu dapat di terapkan di
daerah-daerah yang lain atau masa yang lain. Namun, ada hal yang pasti dan
merupakan syarat bagi setiap pejabat serta berlaku umum kapan dan dimana saja,
yaitu yang memegang satu jabatan haruslah yang benar-benar amat tekun
memelihara amanah dan amat berpengetahuan.
Mutawalli asy-Sya’rawi mendapat kesan dari pernyataan ayat ini tentang nabi
Yusuf bahwa dia menempati daerah mana saja di Mesir yang ia kehendaki sebagai
isyarat bahwa ketika itu pelayanan merata bagi seluruh masyarakat. “Jangan
menganggap bahwa ketika itu dia memiliki rumah di banyak tempat. Megapa kita
tidak melihatnya dengan mata sementara orang yang berkecimpung dalam bidang
administrasi pembangunan di beberapa Negara dewasa ini. Jika mereka mengetahuai
pejabat tinggi akan berkunjung ke wilayahnya, maka mereka melakukan perbaikan,
paling tidak di sekitar rumah pejabat. Kini kita melihat jalan-jalan di aspal,
sarana masyarakat di perbaiki dan di lengkapi, bahkan wilayah di perindah
dengan penghijauan. Ini lebih-lebih lagi jika penguasa setempat mengetahui
bahwa di wilayah mereka ada rumah pejabat tinggi dari pusat. Tentu segala
rincian diperhatikan dan diperbaiki.”
Prespektif mengenai Partisipasi Politik Umat Islam di Negri non-Muslim
berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an
Dalam ayat
28 surat Ali-Imran di samping menolak presiden di Negara mayoritas Muslim, al
Zuhaili juga memajukan ayat ini dan ayat-ayat lain yang isinya senada melarang
bermuwalah dengan non-Muslim, juga dapat sebagai dalil mengenai tidak bolehnya
seorang Muslim berpartisipasi dalam pemerintahan Negara-negara non-Muslim.
Semisal bekerja sebagai anggota dinas intelijen Negara non-Muslim, dan
lain-lain.
Pendapat yang senada antara lain didukung oleh al-Maududi. Partisipasi dalam Negara
sekuler, tegas al-Maududi, tidak jauh berbeda dengan penentangan terhadap Allah
dan Rasull-Nya. Sewaktu meninggalkan Pakistan, sebagaimana dikutip Asghar Ali
Enginer, dia menyapa kaum Muslim yang tinggal di India dengan mengatakan :
Khusus bagi
saudara saudaraku kaum Muslim, perlu saya sampaikan bahwa kekufuran
(sekularisme) masa kini dan konsep demokrasi nasional sama sekali bertentangan
dengan agama kita. Jika kalian tunduk kepadanya,kalian sama halnya menentang
ajaran Al-Qur’an. Jika kalian turut serta mendirikan dan mendukungnya, kalian
sama halnya memproklamirkan pengingkaran terhadap tuhan.
Dengan demikian, menurutnya, semua Muslim yang ada di India dan di tempat lain
yang berpartisipasi dalam pemerintahan sekuler adalah orang-orang yang
mendustakan Tuhan dan Rasul-Nya. Mereka menjalani hidup dengan bergelimang dosa
dan halah dibunuh, karena dalam Islam hukuman yang setimpal bagi orang-orang
yang ingkar terhadap agamanya adalah hukuman mati. Maududi berpendapat, bahwa
kaum Muslim di Negara non-Islam harus menjauhkan diri dari proses pemerintahan.
Alasnya, sebagai Muslim yang baik mereka tidak boleh turut serta dalam segala
kegiatan yang berbau kufur, dan pemerintahan non-Islam pasti mempunyai karakter
seperti itu. Berarti, kaum Muslim lebih baik menjadi warga Negara kelas dua,
tanpa menikmati hak-hak politik, dari pada harus menjadi bagian dari
pemerintahan sekuler yang beresiko terkena murka Tuhan. Karena alasan inilah
orang-orang Islam di India tidak berperan serta dalam pemilihan umum dan tidak
pula menduduki jabatan politis. Maududi tentunya juga tidak menghendaki mereka
menjadi bagian dari mesin pemerintahan yang dikontrol oleh para politisi
sekuler. Kalau seruan Maududi diterima, maka kaum Muslim di India tidak akan menempati
posisi kemiliteran, kepolisian, atau jabatan kepegawaian yang lain. Mereka
hanya dapat menjalani propesi mandiri atau berwirausaha. Tak pelak lagi, ajakan
Maududi itu justru sangat menyusahkan kaum Muslim di India.
Karena itu, pendapat al-Zuhaili dan al-Maududi yang dikutip di atas sebaiknya
ditolak saja, karena bila diterima, tentu akan menyulitkan dan merugikan umat
Islam. Argumentasinya jelas karena, jangankan tidak berpartisipasi, ikut serta
ambil bagian dalam pemerintahan non-Muslim pun umat Islam belum tentu bisa
menyalurkan dengan mudah aspirasinya. Apalagi bila tidak berpartisipasi, tentu
akan lebih sulit lagi bagi umat islam menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi
politiknya di Negara-negara non-Muslim. Bila harus memilih, umat Islam yang
menjadi warga Negara non-Muslim, sebaliknya turut berpartisipasi dan berusaha
seoptimal mungkin untuk merebut posisi-posisi strategis, utamanya posisi
sebagai kepala Negara. Sebagaimana kaum non-Muslim selalu berusaha menguasai
posisi-posisi strategis semacam itu di Negara-negara Muslim.
Pendapat di atas agaknya tidak menyimpang dari tuntuna Al-Qur’an. Sebab di masa
lalu Nabi Yusuf, sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Suci (Q.S. 12 : Yusuf :
55-56), pernah berpartisipasi menjadi bendaharawan (mentri keuangan) Negara
Mesir yang dulu kala di pimpin raja non-Muslim, yakni Raja Heksus.
Karir politik sebagai bendaharawan Negara Mesir yang pernah dicapai Nabi Yusuf
di masa lalu, dan di masa kini, berhasilnya seorang Muslim di India, Abul pakir
Jainul Adeen Abdul Kalam, menjadi presiden India yang mayoritas penduduknya
beragama Hindu, (dilantik pada 25 Juli 2002 sebagai presiden Muslim ke tiga
dari 12 presiden India yang pernah ada),agaknya perlu dicontoh politisi
Muslim lain yang hidup sebagai minoritas di Negara-negara non-Muslim, termaksud
di Amerika Serikat. Adalah suatu prestasi yang patut dibanggakan dan
diteladani, bila minoritas muslim di Amerika khususnya dan di Negara-negara
non-Muslim yang lain pada umumnya, dapat meniti karir politik hingga berhasil
menjadi kepala Negara sebagaimana dicapai minoritas Muslim di India.
Daftar Pustaka
- Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud, Al Qur’an dan terjemahnya, Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma’Al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf Asy-Syarif Medinah Munawwarah 1990
- K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Prof. Dr. H.M.D. Dahlan, CV. Diponegoro, Bandung, 1985
- M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Penerbit Lentera Hati, Ciputat, 2000
- Prof.Dr.H. Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, P.T. Hidakarya Agung Jakarta, 2004
- Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir nurul Qur’an, Al-Huda, 2003
- Prof.Dr.H. Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, P.T. Hidakarya Agung Jakarta, 2004
- Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, terj. Samson Rahman dari al-Tarikh al-Islami, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar