Definisi tahannuts di atas tampaknya sejalan dengan
peristiwa histori yang dialamai oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai mana disebutkan
dalam kitab-kitab sirah dan hadis, sebelum diutus sebagai Rasul, Nabi mempunyai
kebiasaan mengasingkan diri (khalwat) untuk melakukan meditasi dan
ibadah (tahannuts). Tempat yang biasa dijadikan meditasi itu adalah
sebuah gua yang dikenal dengan nama Gua Hira. Gua ini terletak kira-kira tiga
mil sebelah timur laut kota Makkah di atas sebuah gunung yang sekarang bernama Jabal
al-Nur. Luas dan letah Gua Hira yang jauh dari keramaian hiruk pikuk kota
Makkah sangat kondusif dan memungkinkan seseorang dapat melakukan ibadah dan
meditasi dengan tenang.di dalamnya terdapat sebuah lubang pintu kecil yang
menghadap ke arah kota Makkah. Di tempat inilah Nabi serring melakukan meditasi
dan pencerahan batin.
Kebiasaan Nabi melakukan tahannuts ini bukan tanpa sebab. Di
samping karena pada diri Nabi terdapat kecendrungan untuk melakukan meditasi
religius, juga didorong oleh kondisi sosial-keagamaan masyarakat Makkah saat
itu. Semula Nabi sangat terkesan dengan praktik-praktik ibadah yang dilakukan
masyarakat Makkah di sekitar ka’bah. Akan tetapi, dalam praktik-praktik hina
yang dilakukan secara turun temurun. Hampir tidak ditemukan rasa ketulusan dan
keikhlasan pada praktik-praktik ibadah itu. Bahkan lebih jauh, Nabi mendapati
mereka jauh melakukan praktik-praktik ibadah yang mengabaikan tanggung jawab
terhadap Tuhan Tradisi agama Ibrahim yang hanif dan memahaesakan Tuhan
(ajaran tawhid, monoteisme) telah diselewengkan dan dikotori oleh
praktik-praktik kemusyrikan dengan cara menyembah berhala-berhala yang diletakan
di sekitar Ka’bah dalam jumlah yang banyak. Menyadari betapa tradisi suci agama
Ibrahim itu telah diselewengkan, Nabi ingin mengembalikan praktik-praktik
keliru itu menuju pada praktik ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Ibrahim. Karena itu, Nabi berusaha mencari petunjuk jalan yang benar dengan
melakukan tahannuts dan berkhalwat di Gua Hira.
Biasanya Nabi melakukan meditasi itu dalam waktu yang cukup lama.
Sebelum melakukan tahannuts, biasanya Nabi mempersiapkan diri dengan
membawa perbekalan dari rumah dan kembali ke rumah begitu perbekalan itu habis.
Pada bulan Rajab dan Ramadhan, hampir satu bulan penuh Nabi menghabiskan
hari-harinya dengan meditasi dan beribadah di Gua Hira’. Di dalam gua itu juga,
beliau sering melakukan seluruh malamnya tenggelam dalam ibadah dan merenungkan
rahasia-rahasia kehidupan. Dalam kegelapan malam dan suasana sekitar gua yang
cukup hening, Nabi menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan Yang Maha
Kuasa. Sepertinya Nabi telah terhubung langsung dengan Tuhan yang Maha Meliputi
seluruh jagad raya ini. Dari proses tahannuts itulah pada akhirnya Nabi
memperoleh konsepsi yang benar tentang Tuhan yang Maha Tinggi, satu-satunya
Tuhan yang wajib disembah. Dari beberapa yang dialami di Gua Hira’, Nabi
kemudian dipandang sebagai manusia suci dan saleh oleh anggota-anggota
keluarganya maupun para kolegannya sendiri. Hampir selama tujuh tahun Nabi
melakukan kebiasaan tahannuts di Gua Hira’ untuk mencari jalan
kebenaran. Menjelang enam bulan terakhir dari priode itu, Nabi semakin sering
berkunjung ke Gua Hira’ dan mengalmi mimpi-mimpi baik yang saling berantai dari
hari ke hari dan terbukti benar dalam kehidupannya.
Memasuki usia 40 tahun-usia yang menandakan kematangan dan
kesempurnaan Nabi mengalami peristiwa yang sangat menakjubkan dan membuatnya
ketakutan. Beliau pulang ke rumah dan meminta isterinya, Khadijah, untuk
menyelimutinya. Pengalaman di Gua Hira’ masih menghantui pikiran dan
perasaannya. Beliau bercerita kepada isterinya bahwa dalam meditasinya itu ia
melihat malaikat Jibril datang dan menyuruhku membaca kalam Ilahi yang ia tidak
tahu bagaimana membacanya. Engan bimbingn Jibril, ia membaca ayat per ayat: “Bacalah
atas nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pumurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak dikehendakinya”
(Al-‘Alaq/ 96: 1-5). Ayat-ayat itu begitu mengesankan dan membekas dalam
jiwanya. Peristiwa itu terjadi pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan (610 M).
Itulah wahyu pertama kalinay yang diterima Nabi dari Allah melalui Malaikat
Jibril. Dan peristiwa inilah yang menandai kerasulan Muhammad SAW.
Praktek Tahanunts di kalangan Sufi. Kebiasaan Nabi melakukan tahannuts itu menjadi teladan
yang sangat baik bagi kalangan sufi untuk melakukan pendekatn diri kepada
Tuhan. Dalam tradisi sufi dikenal istilah khalwat, istilah teknis dalam
tradisi tasawuf yang berarti mengasingkan diri (seclusion) atau,
pengunduran diri (retirement). Secara khusus, khalwat berarti
mengasingkan diri di sebuah zawiyah (tempat khusus untuk ibadah para
sufi), jauh dari keramaian selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah, melalui shalat, dzikir dan amaliah tertentu.
Khalwat (sinonim
dengan ‘uzlah, wahdah, infirad, ingita’), secara umum, merupakan perinsip dasar
dalam tradisi asketisme (zuhud). Kegemaran para tokoh sufi muslim awal
melakukan khalwat merupakan tema utama dalam literatur-literatur
tasawuf. Tokoh sufi seperti Sufyan al-Tsauri (w.161/778), dikenal sebagai tokoh
sufi yang gemar hidup menyendiri. Dzun Nun al-Mishri (w.245/860) belajar dari
seorang petapa Syria tentang nikmatnya khalwat, dzikir, dan
rahasia berbicara dengan Tuhan (al-khalwat bi al-munajatihi). Sufi lain
Abu Bakr al-Syibli (w.334/945) pernah memberikan nasehat mengenai praktik khalwat:
“Bergantunglh pada kesunyian, hapuskan namamu dari ingatan orang-orang di
sekitarmu dan hadapkanlah wajahmu pada dinding untuk melakukan shalat sampai
engkau meninggal dunia”. Al-Ghazali semasa pengembaraan intelektualnya pernah
bertapa di atas menara masjid Jami’ Damaskus sekembalinya dari Bait al-Maqdis.
Ia melakukannya selama 10 tahun. Selama masa itulah ia mengaku telah dikaruniai
kekuatan yang lebih tinggi yang menyingkapkan padanya berbagai misteri dunia
spiritual, yang oleh al-Ghazali disebut kasyf (pandangan langsung) dan dzawq
(citarasa batiniah yang sangat halus). Al-Ghazali bahkan menganjurkan kepada
para sufi untuk berkhalwat selama 40 hari dalam satu tahun, dan menjalainya
dengan puasa dan shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar