Jumat, 15 Juni 2012

Pengertian Tahannuts

Secara etimologi, tahannuts berarti menyendiri, menyepi ke suatu tempat yang sunyi, bertapa, atau menjauhkan diri dari keramaian untuk berkontemplasi. Ahmad bin Faris dalam bukunya Maqayis al-Lughat mengertikan tahannuts dengan beribadah (ta’abbud). Dalam Kamus Arab-Indonesia ditemukan arti tahannuts: 1) beribadah dalam waktu beberapa malam, 2) menjauhkan diri dari berbuat dosa, dan 3) meninggalkan menyembah berhala. Pengertian tersebut mengacu dan didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra, “Nabi pergi ke Gua Hira’ setiap malam kemudian melakukan ibadah di dalam gua itu dalam jumlah yang tak terhitung,” (HR. Bukhari). Sementara itu, menurut Nicholas Drake, tahannuts berarti upaya pencarian Tuhan yang dilakukan oleh seorang hamba dengan cara menghindarkan diri dari dunia ramai dan gangguan-gangguan yang ada dalam jiwa. 

Definisi tahannuts di atas tampaknya sejalan dengan peristiwa histori yang dialamai oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai mana disebutkan dalam kitab-kitab sirah dan hadis, sebelum diutus sebagai Rasul, Nabi mempunyai kebiasaan mengasingkan diri (khalwat) untuk melakukan meditasi dan ibadah (tahannuts). Tempat yang biasa dijadikan meditasi itu adalah sebuah gua yang dikenal dengan nama Gua Hira. Gua ini terletak kira-kira tiga mil sebelah timur laut kota Makkah di atas sebuah gunung yang sekarang bernama Jabal al-Nur. Luas dan letah Gua Hira yang jauh dari keramaian hiruk pikuk kota Makkah sangat kondusif dan memungkinkan seseorang dapat melakukan ibadah dan meditasi dengan tenang.di dalamnya terdapat sebuah lubang pintu kecil yang menghadap ke arah kota Makkah. Di tempat inilah Nabi serring melakukan meditasi dan pencerahan batin.

Kebiasaan Nabi melakukan tahannuts ini bukan tanpa sebab. Di samping karena pada diri Nabi terdapat kecendrungan untuk melakukan meditasi religius, juga didorong oleh kondisi sosial-keagamaan masyarakat Makkah saat itu. Semula Nabi sangat terkesan dengan praktik-praktik ibadah yang dilakukan masyarakat Makkah di sekitar ka’bah. Akan tetapi, dalam praktik-praktik hina yang dilakukan secara turun temurun. Hampir tidak ditemukan rasa ketulusan dan keikhlasan pada praktik-praktik ibadah itu. Bahkan lebih jauh, Nabi mendapati mereka jauh melakukan praktik-praktik ibadah yang mengabaikan tanggung jawab terhadap Tuhan Tradisi agama Ibrahim yang hanif dan memahaesakan Tuhan (ajaran tawhid, monoteisme) telah diselewengkan dan dikotori oleh praktik-praktik kemusyrikan dengan cara menyembah berhala-berhala yang diletakan di sekitar Ka’bah dalam jumlah yang banyak. Menyadari betapa tradisi suci agama Ibrahim itu telah diselewengkan, Nabi ingin mengembalikan praktik-praktik keliru itu menuju pada praktik ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Karena itu, Nabi berusaha mencari petunjuk jalan yang benar dengan melakukan tahannuts dan berkhalwat di Gua Hira.

Biasanya Nabi melakukan meditasi itu dalam waktu yang cukup lama. Sebelum melakukan tahannuts, biasanya Nabi mempersiapkan diri dengan membawa perbekalan dari rumah dan kembali ke rumah begitu perbekalan itu habis. Pada bulan Rajab dan Ramadhan, hampir satu bulan penuh Nabi menghabiskan hari-harinya dengan meditasi dan beribadah di Gua Hira’. Di dalam gua itu juga, beliau sering melakukan seluruh malamnya tenggelam dalam ibadah dan merenungkan rahasia-rahasia kehidupan. Dalam kegelapan malam dan suasana sekitar gua yang cukup hening, Nabi menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Sepertinya Nabi telah terhubung langsung dengan Tuhan yang Maha Meliputi seluruh jagad raya ini. Dari proses tahannuts itulah pada akhirnya Nabi memperoleh konsepsi yang benar tentang Tuhan yang Maha Tinggi, satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Dari beberapa yang dialami di Gua Hira’, Nabi kemudian dipandang sebagai manusia suci dan saleh oleh anggota-anggota keluarganya maupun para kolegannya sendiri. Hampir selama tujuh tahun Nabi melakukan kebiasaan tahannuts di Gua Hira’ untuk mencari jalan kebenaran. Menjelang enam bulan terakhir dari priode itu, Nabi semakin sering berkunjung ke Gua Hira’ dan mengalmi mimpi-mimpi baik yang saling berantai dari hari ke hari dan terbukti benar dalam kehidupannya.

Memasuki usia 40 tahun-usia yang menandakan kematangan dan kesempurnaan Nabi mengalami peristiwa yang sangat menakjubkan dan membuatnya ketakutan. Beliau pulang ke rumah dan meminta isterinya, Khadijah, untuk menyelimutinya. Pengalaman di Gua Hira’ masih menghantui pikiran dan perasaannya. Beliau bercerita kepada isterinya bahwa dalam meditasinya itu ia melihat malaikat Jibril datang dan menyuruhku membaca kalam Ilahi yang ia tidak tahu bagaimana membacanya. Engan bimbingn Jibril, ia membaca ayat per ayat: “Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pumurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak dikehendakinya” (Al-‘Alaq/ 96: 1-5). Ayat-ayat itu begitu mengesankan dan membekas dalam jiwanya. Peristiwa itu terjadi pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan (610 M). Itulah wahyu pertama kalinay yang diterima Nabi dari Allah melalui Malaikat Jibril. Dan peristiwa inilah yang menandai kerasulan Muhammad SAW.

Praktek Tahanunts di kalangan Sufi. Kebiasaan Nabi melakukan tahannuts itu menjadi teladan yang sangat baik bagi kalangan sufi untuk melakukan pendekatn diri kepada Tuhan. Dalam tradisi sufi dikenal istilah khalwat, istilah teknis dalam tradisi tasawuf yang berarti mengasingkan diri (seclusion) atau, pengunduran diri (retirement). Secara khusus, khalwat berarti mengasingkan diri di sebuah zawiyah (tempat khusus untuk ibadah para sufi), jauh dari keramaian selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melalui shalat, dzikir dan amaliah tertentu.

Khalwat (sinonim dengan ‘uzlah, wahdah, infirad, ingita’), secara umum, merupakan perinsip dasar dalam tradisi asketisme (zuhud). Kegemaran para tokoh sufi muslim awal melakukan khalwat merupakan tema utama dalam literatur-literatur tasawuf. Tokoh sufi seperti Sufyan al-Tsauri (w.161/778), dikenal sebagai tokoh sufi yang gemar hidup menyendiri. Dzun Nun al-Mishri (w.245/860) belajar dari seorang petapa Syria tentang nikmatnya khalwat, dzikir, dan rahasia berbicara dengan Tuhan (al-khalwat bi al-munajatihi). Sufi lain Abu Bakr al-Syibli (w.334/945) pernah memberikan nasehat mengenai praktik khalwat: “Bergantunglh pada kesunyian, hapuskan namamu dari ingatan orang-orang di sekitarmu dan hadapkanlah wajahmu pada dinding untuk melakukan shalat sampai engkau meninggal dunia”. Al-Ghazali semasa pengembaraan intelektualnya pernah bertapa di atas menara masjid Jami’ Damaskus sekembalinya dari Bait al-Maqdis. Ia melakukannya selama 10 tahun. Selama masa itulah ia mengaku telah dikaruniai kekuatan yang lebih tinggi yang menyingkapkan padanya berbagai misteri dunia spiritual, yang oleh al-Ghazali disebut kasyf (pandangan langsung) dan dzawq (citarasa batiniah yang sangat halus). Al-Ghazali bahkan menganjurkan kepada para sufi untuk berkhalwat selama 40 hari dalam satu tahun, dan menjalainya dengan puasa dan shalat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar