Sabtu, 16 Juni 2012

History of Hasyim

Hasyim bin Abdu Manaf adalah moyang Nabi Muhammad. Dia adalah cucu dari Qushay bin Kilab, orang yang berjasa membuat suku Quraisy dominan di Makkah dan merorganisasi pelaksanaan haji. Sebagian penguasa Makkah, Qushay melakukan pembaharuan terhadap pelaksanaan haji dan mengembangkan beberapa unit jabatan atau fungsi berkenan dengan penguasaan Ka’bah sebagai tempat suci dan tempat pelaksanaan haji. Unit-unit yang dimaksud adalah hijabah, rifadah, nadwah, liwa’, dan qiyadah. Hijabah secara implisit merupakan unit jabatan yang tugasnya memelihara dan melindungi Ka’bah dan kunci-kuncinya. Siqayah merupakan unit atau fungsi yang bertugas menyediakan kebutuhan air segar (air minum) karena sangat langkanya di Makkah, untuk penduduk Makkah sendiri dan persedian bagi para jama’ah haji. Sedangkan Rifadah adalah unit perbekalan makanan bagi para jama’ah haji (memacam catering sekarang). Nadwah merupakan unsur pimpinan yang bertugas memimpin seluruh pertemuan atau rapat yang dilakukan oleh unit-unit. Qiyadah adalah kepemimpinan pasukan perang, sedangkan Liwa’ adalah bendera yang menjadi simbol atau lambang yang dipasang ditombak, mengiringi tentara kemana saja mereka berperang, juga sebagai pemberi isyarat pada saat perang. Semua unit ini diakui sebagai milik Makkah, termasuk Ka’bah. Dengan cara ini perselisihan antara berbagai suku yang ingin menguasai superioritas Makkah dan Ka’bah dapat didamaikan.

            Sepeninggal Qushay, unit-unit tugas tersebut diserahkan sepenuhnya pada anak sulungnya, yaitu ‘Abd al-Dar meski sebenarnya tidak siap menerima tugas sebesar itu dibandingkan dengan ‘Abd Manaf, anaknya yang kedua. Beberapa waktu memegang jabatan, ‘Abd al-Dar mengundurkan diri. Anak-anaknya juga tidak mampu melaksanakan tugas seperti yang diamanatkan kakeknya. Dalam kondisi demikian itu hampir separuh suku Quraisy mendesak anak sulung ‘Abd Manaf, Hasyim yang memeng lebih terkenal dan dihormati di kalangan suku Quraisy untuk mengambil seluruh tugas dan jabatan yang diwariskan kakeknya Qushay, itu dari keluarga ‘Abd al-Dar. Namun, pengambil alihan sepihak itu justru menimbulkan pertentangan antara dua keluarga. Dampak dari pertentangan itu adalah pecahnya suku-suku Quraisy ke dalam dua faksi, masing0masing mendukung satu dari dua kontestan. Keturunan ‘Abd Manaf (Hasyim dan saudaranya ‘Abd Syam al-Muthalib, dan Nawfal) yang didukung oleh suku Zuhrah, Tayn, dan seluruh keturunan Qushay kecuali dari garis tua bergabung dalam Hilf al-Muthayyibin (Perjanjian Muthayyibin) disebut demikian karena kelompok-kelompok yang bergabung dalam perjanjian itu mencelupkan tangannya ke dalam sebuah botol berisi parfum (minyak wangi) yang diletakan dekat Ka’bah sebagai sumpah setia terhadap perjanjian itu. Sementara keturunan ‘Abd al-Dar, dipihak lain, yang mendapat dukungan dari keluarga Makhzum dan keponakannya yang lain terdanggu dalam perjanjian yang disebut Hilf al-Ahlaf (secara literal berarti persekutuan dari beberapa kelomppok). Dua faksi ini saling bertentangan dan merupakan tahap yang memungkinkan meletusnya perang sipil di antara suku-suku Quraisy. Perselesihan ini mereda setelah kedua belah pihak bersepakan mengadakan perdamaian dengan hasil kompromi bahwa tugas-tugas hijabah, liwa’ dan nadwah diserahkan kepada keturunan ‘Abd al-Dar, sedangkan keluarga ‘Abd Manaf mendapat kehormatan memegang siqayah dan rifadah. Pertemuan itu dilaksanakan di Mal’ (balai pertemuan yang dalam sistem kemasyarakatan Quraisy merupakan salah satu organ pemerintah). Setelah perjanjian itu dua faksi ini hidup rukun dan damai sampai menjelang kebangkitan Islam.

Di antara anak-anak Abd Manaf, Hasyim tampak lebih menonjol. Dia merupakan pemimpin berbakat dan sangat terkenal dikalangan masyarakat Quraisy. Dalam perjalanan di Mala’ itu dia diserahi tugas memegang kekuasaan atas siqayah dan rifadah (distributor air dan makanan untuk jama’ah haji). Dalam melakukan tugasnya, langkah yang pertama diambil adalah mengumpulkan sumbangan dalam bentuk uang ataupun barang dari para pembesar Makkah. Pada tahun dimana makanan sangat langka di Makkah, dia membawa aneka kueh kering dari Syria yang kemudian diremukan atau dihancurkan dan dicampur dengan kuah (tsarid) untuk makanan para jama’ah haji. Sejak saat itulah dia yang nama aslinya adalah ‘Amr dikenaldengan panggilan Hasyim (orang yang meremukkan atau menghancurkan kue). Untuk memenuhi kebutuhan air (siqayah) bagi jama’ah haji, dia menggali beberapa sumber mata air (sumur). Di bawah kepemimpinanya, perediaan air dan makanan yang dibutuhkan penduduk Makkah maupun jama’ah haji yang datang ke Makkah dapat diatasi.

Hasyim juga berjasa memperkenalkan sistem dua kali perjalanan degang dalam setahun (lihat Q.S Quraisy/106: 2), yaitu musim dingin ke negara Yaman dan musim panas ke timur laut Arabia, Palestina dan Syam (Syria). Wilayah-wilayah tersebut saat itu dikuasai Kerajaan Bizantium dan Romawi. Dengan posisi penting seperti itu, keluarga ‘Abd Manaf mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan-kerajaan tersebut guna memperluas jaringan dengan Makkah. Hasyim secara peribadi pergi ke Bizantium dan mendatangani perjanjian dengan suku Ghassan dalam penyediaan bahan pangan. Dia meminta pihak Bizantium izin kepada suku Quraisy untuk mengembangkan usaha di wilayah Syam dan meminta jaminan keamanan dari penguasa negara-negara yang dilalui khafilah dagang. “Abd al-Syams, di sisi lain, mengadakan perjanjian dagang dengan Negus (penguasa) Abysinia. Sementara Nawfal dan al-Muththalib membuat perjanjian persahabatan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan dan pergi ke Makkah dari berbagai negara. Aneka barang dagang diekspor dalam jumlah besar dimusim dingin dan musim panas. Di sekitar Makkah dibangun pasar-pasar untuk memasarkan barang dan mengadakan transaksi bisnis. Keadaan itu menjadikan orang-orang Makkah sangat kompeten dalam hal perdagangan, administrasi, perhitungan tanggal, dan pengelolaan keuangan.

Hasyim tetap menjadi Makkah yang tak tertandingi selama hidupnya. Tidak seorang pun yang dapat menyainginya. Kemenakan laki-lakinya, Umayyah bin ‘Abd Syams mencoba mengikuti langkahnya, tetapi gagal dan memilih hidup di pengasingan di Syam selama 10 tahun.

Salah satu tempat peristirahatan kafilah yang terkenal di jalur dagang musim panas adalah di Oasis (sumber mata air) Yatsrib. Oasis ini sebelumnya didiami oleh orang-orang Yahidi, tetapi kemudian dikuasai oleh suku Arab dari Arabia Selatan yang diidentifikasi sebagai Bani Qaylah. Suku inilah yang kemudian melahirkan dua suku Yatsrib utama, Aus dan Khazraj.

Dalam suatu perjalanan, kafilah dagang yang dipimpin Hasyim beristirahat di oasis ini. Di tempat ini ia bertemu dengan wanita bangsawan yang bernama Salma putri ‘Amr (dari marga al-Najjar, suku Khazraj). Hasyim jatuh cinta dan berniat meminangnya. Ketika dia mendengar bahwa wanita itu seorang janda, tetapi sudah bebas, dia meminangnya secara langsung. Melihat posisi dan prestise Hasyim, Salma menerima peminangannya  dan beberapa hari kemudian melangsungkan pernikahan. Dia hidup bersama isterinya di Makkah untuk beberapa lama sebelum kembali ke Yatsrib. Dari hasil pernikahannya, Hasyim dikaruniai seorang anak yang diberi nama Syaybah. Sesuai perjanjian antara Hasyim dan Salma, anak yang akan dilahirkan harus dipelihara oleh ibunya, karena sesuai dengan adat Yatsrib yang menekankan garis ibu (natriarchat). Karena iklim yang tidak sesuai dengan keadaannya, Hasyim memutuskan pergi ke Syria dan akan mengajak isteri dan anaknya untuk tinggal di sana. Akan tetapi, sebelum niatnya terkabul, Hasyim sakit dan meninggal dunia di daerah Gaza, Palestina dalam perjalanan pulang antara Syria-Yatsrib.

Hasyim mempunyai dua saudara kandung, ‘Abd Syams dan Al-Muththalib, dan satu aorang saudara tiri, Nawfal. Akan tetapi, ‘Abd Syams sangat sibuk mengurusi bisnisnya di Yaman dan Syria. Begitu juga Nawfal sibuk dengan bisnisnya di Irak. Keduanya tidak berada di Makkah dalam waktu yang lama. Mungkin dengan alasan inilah, posisinya sebagai pemimpin Quraiys dan tugasnya dalam siqayah dan rifadah digantikan oleh saudaranya yang lebih muda, Al-Muththalib. Namun, Al-Muththalib merasa sebaiknya posisi itu dserahkan kepada pewaris sahnya.

Hasyim sendiri mempunyai tiga anak dari isterinya, selain Salma. Tetapi ketiganya tidak ada yang dapat diandalkan dibandingkan dengan anaknya dari Salma, yaitu Syaybah. Meskipun masih muda, Syaybah menunjukan sifat kepemimpinan yang baik. Berkat kepandaian dan kepemimpinannya dia di bawa ke Makkah oleh seseorang pengembara yang melewati oasis.

Pada suatu hari Al-Muththalib berkunjung ke Yatsrib untuk menengok iparnay, Salma dan keponakannya, Syaybah. Dia meminta Salma agar Syaybah tinggal di Makkah. Alasannya, dia merupakan pewaris syah Hasyim untuk meneruskan tugas dan jabatannya sebagai “Penjaga Bait Allah (Ka’bah)” dan pemimpin Quraisy. Tetapi untuk itu dia harus berintegrasi terlebih dahulu dengan mereka. Salma menerima alasan al-Muththalib dan memberikan izin anaknya untuk pergi ke Makkah. Orang-orang Quraisy yang melihat al-Muththalib datang membawa anak muda mengira bahwa dia budah sahayanya. Maka anak muda itu dipanggil ‘Abd al-Muththalib (yang artinya budak al-Muththalib). Mendengar hal itu, al-Muththalib berkata “Wahai saudara-saudara, anak muda ini bukan budakku. Dia keponakanku, anak Hasyim, yang saya bawa dari Yatsrib”. Sejak saat itu ‘Abd al-Muththalib lebih populer dan nama asli anak muda itu, Syaybah terlupakan. Dialah ayah ‘Abd Allah dan kakek Muhammad saw.

Dari garis inilah Bani Hasyim menetapkan diri sebagai “Penjaga Ka’bah”. Dalam perjalananya Bani Hasyim selalu bertentangan dengan Bani Umayyah yang dalam sejarah kemudian mendirikan Dinasti Umayyah. Bani Umayyah adalah keturunan dari Abd al-Dar. Sedangkan Bani Hasyim dari garis ‘Abd Manaf. Sehingga pertentangan yang terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah sebenarnya adalah kelanjutan dari pertentangan yang sudah terjadi sebelumnya. Fanatisme kesukuan yang khas dimiliki suku-suku Arabia turut menimbulkan pertentangan dan permusuhan bahkan peperangan antara kedua belah pihak ini.

Hasyimiyah sebagai sebuah politik telah melahirkan sebuah dinasti baru, yaitu dinasti ‘Abbasiyah. Sejak awal pemerintahannya Dinasti ‘Abbasiyah di Baghdat, difahami sebagai keturunan Hasyim bin ‘Abd Manaf, moyang Nabi, ‘Ali dan kekhalifahan didirikan atas dasr pertalian keluarga dengan Nabi Muhammad dari garis laki-laki (male line). Bahkan Hasyimiyah sudah dipakai pada masa pemerintahan bani Umayyah untuk menyebut faksi religio-politik yang percaya bahwa “Imamah” akan diturunkan dari ‘Ali Muhammad bin Hanafiyah kepada anaknya, Abu hasyim. Setelah Abu hasyim wafat (98/716), pengikutnya pecah dalam berbagai sekte. Salah satu sekte ini, Kaisaniah, meyakini bahwa Imamah telah pindah ke Muhammad Ali bin ‘Abd Allah bin al-‘Abbas dan melalui dia inilah akhirnya sampai le ‘Abbas, pendiri Dinasti ‘Abbasiyah yang terkenal engan julukan  “Al-Saffah” (Penumpah Darah). Gerakan ‘Abbasiyah (sebelum menjadi dinasti) mengkleim bahwa mereka mewarisi organisasi Abu Hasyim. Dengan menggunakan Hasyimiyah mereka berusaha menarik simpati kelompok lain untuk membantu perjuangganya merebut kekuasaan dari tangan Dinasti Umayyah. Sentimen Bani Hasyim dari garis ‘Abbas, paman Nabi yang bermusuhan dengan Bani Umayyah menjadi alat efektif dan istrumen utama bagi gerakan ‘Abbasiyah untuk melakukan propoganda di Khurasan yang kemudian berhasil menumbangkan kekuasaan Dinasti Umayyah. Pada masa ‘Abbasiyah ini nama Hasyimiyah digunakan secara umum untuk keluarga Rasul, tetapi dalam praktejnya hanya dikhususkan buat ‘Abbasiyah sendiri

3 komentar: