Hasyim bin Abdu Manaf adalah moyang Nabi Muhammad. Dia adalah cucu
dari Qushay bin Kilab, orang yang berjasa membuat suku Quraisy dominan di
Makkah dan merorganisasi pelaksanaan haji. Sebagian penguasa Makkah, Qushay
melakukan pembaharuan terhadap pelaksanaan haji dan mengembangkan beberapa unit
jabatan atau fungsi berkenan dengan penguasaan Ka’bah sebagai tempat suci dan
tempat pelaksanaan haji. Unit-unit yang dimaksud adalah hijabah, rifadah, nadwah,
liwa’, dan qiyadah. Hijabah secara implisit merupakan unit
jabatan yang tugasnya memelihara dan melindungi Ka’bah dan kunci-kuncinya. Siqayah
merupakan unit atau fungsi yang bertugas menyediakan kebutuhan air segar (air
minum) karena sangat langkanya di Makkah, untuk penduduk Makkah sendiri dan
persedian bagi para jama’ah haji. Sedangkan Rifadah adalah unit perbekalan
makanan bagi para jama’ah haji (memacam catering sekarang). Nadwah
merupakan unsur pimpinan yang bertugas memimpin seluruh pertemuan atau rapat
yang dilakukan oleh unit-unit. Qiyadah adalah kepemimpinan pasukan
perang, sedangkan Liwa’ adalah bendera yang menjadi simbol atau lambang
yang dipasang ditombak, mengiringi tentara kemana saja mereka berperang, juga
sebagai pemberi isyarat pada saat perang. Semua unit ini diakui sebagai milik
Makkah, termasuk Ka’bah. Dengan cara ini perselisihan antara berbagai suku yang
ingin menguasai superioritas Makkah dan Ka’bah dapat didamaikan.
Sepeninggal
Qushay, unit-unit tugas tersebut diserahkan sepenuhnya pada anak sulungnya,
yaitu ‘Abd al-Dar meski sebenarnya tidak siap menerima tugas sebesar itu dibandingkan
dengan ‘Abd Manaf, anaknya yang kedua. Beberapa waktu memegang jabatan, ‘Abd
al-Dar mengundurkan diri. Anak-anaknya juga tidak mampu melaksanakan tugas
seperti yang diamanatkan kakeknya. Dalam kondisi demikian itu hampir separuh
suku Quraisy mendesak anak sulung ‘Abd Manaf, Hasyim yang memeng lebih terkenal
dan dihormati di kalangan suku Quraisy untuk mengambil seluruh tugas dan
jabatan yang diwariskan kakeknya Qushay, itu dari keluarga ‘Abd al-Dar. Namun,
pengambil alihan sepihak itu justru menimbulkan pertentangan antara dua
keluarga. Dampak dari pertentangan itu adalah pecahnya suku-suku Quraisy ke
dalam dua faksi, masing0masing mendukung satu dari dua kontestan. Keturunan
‘Abd Manaf (Hasyim dan saudaranya ‘Abd Syam al-Muthalib, dan Nawfal) yang
didukung oleh suku Zuhrah, Tayn, dan seluruh keturunan Qushay kecuali dari
garis tua bergabung dalam Hilf al-Muthayyibin (Perjanjian Muthayyibin)
disebut demikian karena kelompok-kelompok yang bergabung dalam perjanjian itu
mencelupkan tangannya ke dalam sebuah botol berisi parfum (minyak wangi) yang
diletakan dekat Ka’bah sebagai sumpah setia terhadap perjanjian itu. Sementara
keturunan ‘Abd al-Dar, dipihak lain, yang mendapat dukungan dari keluarga
Makhzum dan keponakannya yang lain terdanggu dalam perjanjian yang disebut Hilf
al-Ahlaf (secara literal berarti persekutuan dari beberapa kelomppok). Dua
faksi ini saling bertentangan dan merupakan tahap yang memungkinkan meletusnya
perang sipil di antara suku-suku Quraisy. Perselesihan ini mereda setelah kedua
belah pihak bersepakan mengadakan perdamaian dengan hasil kompromi bahwa
tugas-tugas hijabah, liwa’ dan nadwah diserahkan kepada keturunan ‘Abd
al-Dar, sedangkan keluarga ‘Abd Manaf mendapat kehormatan memegang siqayah
dan rifadah. Pertemuan itu dilaksanakan di Mal’ (balai pertemuan
yang dalam sistem kemasyarakatan Quraisy merupakan salah satu organ pemerintah).
Setelah perjanjian itu dua faksi ini hidup rukun dan damai sampai menjelang
kebangkitan Islam.
Di antara anak-anak Abd Manaf, Hasyim tampak lebih menonjol. Dia
merupakan pemimpin berbakat dan sangat terkenal dikalangan masyarakat Quraisy.
Dalam perjalanan di Mala’ itu dia diserahi tugas memegang kekuasaan atas
siqayah dan rifadah (distributor air dan makanan untuk jama’ah
haji). Dalam melakukan tugasnya, langkah yang pertama diambil adalah
mengumpulkan sumbangan dalam bentuk uang ataupun barang dari para pembesar
Makkah. Pada tahun dimana makanan sangat langka di Makkah, dia membawa aneka
kueh kering dari Syria yang kemudian diremukan atau dihancurkan dan dicampur
dengan kuah (tsarid) untuk makanan para jama’ah haji. Sejak saat itulah
dia yang nama aslinya adalah ‘Amr dikenaldengan panggilan Hasyim (orang
yang meremukkan atau menghancurkan kue). Untuk memenuhi kebutuhan air (siqayah)
bagi jama’ah haji, dia menggali beberapa sumber mata air (sumur). Di bawah
kepemimpinanya, perediaan air dan makanan yang dibutuhkan penduduk Makkah
maupun jama’ah haji yang datang ke Makkah dapat diatasi.
Hasyim juga berjasa memperkenalkan sistem dua kali perjalanan
degang dalam setahun (lihat Q.S Quraisy/106: 2), yaitu musim dingin ke negara
Yaman dan musim panas ke timur laut Arabia, Palestina dan Syam (Syria). Wilayah-wilayah
tersebut saat itu dikuasai Kerajaan Bizantium dan Romawi. Dengan posisi penting
seperti itu, keluarga ‘Abd Manaf mengadakan perjanjian damai dengan
kerajaan-kerajaan tersebut guna memperluas jaringan dengan Makkah. Hasyim
secara peribadi pergi ke Bizantium dan mendatangani perjanjian dengan suku
Ghassan dalam penyediaan bahan pangan. Dia meminta pihak Bizantium izin kepada
suku Quraisy untuk mengembangkan usaha di wilayah Syam dan meminta jaminan
keamanan dari penguasa negara-negara yang dilalui khafilah dagang. “Abd
al-Syams, di sisi lain, mengadakan perjanjian dagang dengan Negus (penguasa)
Abysinia. Sementara Nawfal dan al-Muththalib membuat perjanjian persahabatan
dengan Persia dan perjanjian dagang dengan dan pergi ke Makkah dari berbagai
negara. Aneka barang dagang diekspor dalam jumlah besar dimusim dingin dan
musim panas. Di sekitar Makkah dibangun pasar-pasar untuk memasarkan barang dan
mengadakan transaksi bisnis. Keadaan itu menjadikan orang-orang Makkah sangat
kompeten dalam hal perdagangan, administrasi, perhitungan tanggal, dan
pengelolaan keuangan.
Hasyim tetap menjadi Makkah yang tak tertandingi selama hidupnya.
Tidak seorang pun yang dapat menyainginya. Kemenakan laki-lakinya, Umayyah bin
‘Abd Syams mencoba mengikuti langkahnya, tetapi gagal dan memilih hidup di
pengasingan di Syam selama 10 tahun.
Salah satu tempat peristirahatan kafilah yang terkenal di jalur
dagang musim panas adalah di Oasis (sumber mata air) Yatsrib. Oasis ini
sebelumnya didiami oleh orang-orang Yahidi, tetapi kemudian dikuasai oleh suku
Arab dari Arabia Selatan yang diidentifikasi sebagai Bani Qaylah. Suku inilah
yang kemudian melahirkan dua suku Yatsrib utama, Aus dan Khazraj.
Dalam suatu perjalanan, kafilah dagang yang dipimpin Hasyim
beristirahat di oasis ini. Di tempat ini ia bertemu dengan wanita bangsawan
yang bernama Salma putri ‘Amr (dari marga al-Najjar, suku Khazraj). Hasyim
jatuh cinta dan berniat meminangnya. Ketika dia mendengar bahwa wanita itu
seorang janda, tetapi sudah bebas, dia meminangnya secara langsung. Melihat
posisi dan prestise Hasyim, Salma menerima peminangannya dan beberapa hari kemudian melangsungkan
pernikahan. Dia hidup bersama isterinya di Makkah untuk beberapa lama sebelum
kembali ke Yatsrib. Dari hasil pernikahannya, Hasyim dikaruniai seorang anak
yang diberi nama Syaybah. Sesuai perjanjian antara Hasyim dan Salma, anak yang
akan dilahirkan harus dipelihara oleh ibunya, karena sesuai dengan adat Yatsrib
yang menekankan garis ibu (natriarchat). Karena iklim yang tidak sesuai dengan
keadaannya, Hasyim memutuskan pergi ke Syria dan akan mengajak isteri dan
anaknya untuk tinggal di sana. Akan tetapi, sebelum niatnya terkabul, Hasyim
sakit dan meninggal dunia di daerah Gaza, Palestina dalam perjalanan pulang
antara Syria-Yatsrib.
Hasyim mempunyai dua saudara kandung, ‘Abd Syams dan Al-Muththalib,
dan satu aorang saudara tiri, Nawfal. Akan tetapi, ‘Abd Syams sangat sibuk
mengurusi bisnisnya di Yaman dan Syria. Begitu juga Nawfal sibuk dengan
bisnisnya di Irak. Keduanya tidak berada di Makkah dalam waktu yang lama.
Mungkin dengan alasan inilah, posisinya sebagai pemimpin Quraiys dan tugasnya
dalam siqayah dan rifadah digantikan oleh saudaranya yang lebih
muda, Al-Muththalib. Namun, Al-Muththalib merasa sebaiknya posisi itu dserahkan
kepada pewaris sahnya.
Hasyim sendiri mempunyai tiga anak dari isterinya, selain Salma.
Tetapi ketiganya tidak ada yang dapat diandalkan dibandingkan dengan anaknya
dari Salma, yaitu Syaybah. Meskipun masih muda, Syaybah menunjukan sifat
kepemimpinan yang baik. Berkat kepandaian dan kepemimpinannya dia di bawa ke
Makkah oleh seseorang pengembara yang melewati oasis.
Pada suatu hari Al-Muththalib berkunjung ke Yatsrib untuk menengok
iparnay, Salma dan keponakannya, Syaybah. Dia meminta Salma agar Syaybah
tinggal di Makkah. Alasannya, dia merupakan pewaris syah Hasyim untuk
meneruskan tugas dan jabatannya sebagai “Penjaga Bait Allah (Ka’bah)”
dan pemimpin Quraisy. Tetapi untuk itu dia harus berintegrasi terlebih dahulu
dengan mereka. Salma menerima alasan al-Muththalib dan memberikan izin anaknya
untuk pergi ke Makkah. Orang-orang Quraisy yang melihat al-Muththalib datang
membawa anak muda mengira bahwa dia budah sahayanya. Maka anak muda itu
dipanggil ‘Abd al-Muththalib (yang artinya budak al-Muththalib).
Mendengar hal itu, al-Muththalib berkata “Wahai saudara-saudara, anak muda ini
bukan budakku. Dia keponakanku, anak Hasyim, yang saya bawa dari Yatsrib”.
Sejak saat itu ‘Abd al-Muththalib lebih populer dan nama asli anak muda itu,
Syaybah terlupakan. Dialah ayah ‘Abd Allah dan kakek Muhammad saw.
Dari garis inilah Bani Hasyim menetapkan diri sebagai “Penjaga
Ka’bah”. Dalam perjalananya Bani Hasyim selalu bertentangan dengan Bani Umayyah
yang dalam sejarah kemudian mendirikan Dinasti Umayyah. Bani Umayyah adalah
keturunan dari Abd al-Dar. Sedangkan Bani Hasyim dari garis ‘Abd Manaf.
Sehingga pertentangan yang terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah
sebenarnya adalah kelanjutan dari pertentangan yang sudah terjadi sebelumnya.
Fanatisme kesukuan yang khas dimiliki suku-suku Arabia turut menimbulkan
pertentangan dan permusuhan bahkan peperangan antara kedua belah pihak ini.
Hasyimiyah
sebagai sebuah politik telah melahirkan sebuah dinasti baru, yaitu dinasti
‘Abbasiyah. Sejak awal pemerintahannya Dinasti ‘Abbasiyah di Baghdat, difahami
sebagai keturunan Hasyim bin ‘Abd Manaf, moyang Nabi, ‘Ali dan kekhalifahan
didirikan atas dasr pertalian keluarga dengan Nabi Muhammad dari garis
laki-laki (male line). Bahkan Hasyimiyah sudah dipakai pada masa
pemerintahan bani Umayyah untuk menyebut faksi religio-politik yang percaya
bahwa “Imamah” akan diturunkan dari ‘Ali Muhammad bin Hanafiyah kepada
anaknya, Abu hasyim. Setelah Abu hasyim wafat (98/716), pengikutnya pecah dalam
berbagai sekte. Salah satu sekte ini, Kaisaniah, meyakini bahwa Imamah
telah pindah ke Muhammad Ali bin ‘Abd Allah bin al-‘Abbas dan melalui dia
inilah akhirnya sampai le ‘Abbas, pendiri Dinasti ‘Abbasiyah yang terkenal
engan julukan “Al-Saffah”
(Penumpah Darah). Gerakan ‘Abbasiyah (sebelum menjadi dinasti) mengkleim bahwa
mereka mewarisi organisasi Abu Hasyim. Dengan menggunakan Hasyimiyah
mereka berusaha menarik simpati kelompok lain untuk membantu perjuangganya
merebut kekuasaan dari tangan Dinasti Umayyah. Sentimen Bani Hasyim dari garis
‘Abbas, paman Nabi yang bermusuhan dengan Bani Umayyah menjadi alat efektif dan
istrumen utama bagi gerakan ‘Abbasiyah untuk melakukan propoganda di Khurasan
yang kemudian berhasil menumbangkan kekuasaan Dinasti Umayyah. Pada masa
‘Abbasiyah ini nama Hasyimiyah digunakan secara umum untuk keluarga Rasul,
tetapi dalam praktejnya hanya dikhususkan buat ‘Abbasiyah sendiri
MasyaAllah.. Bagus sekali artikelnya. Sangat bermanfaat. Semoga menjadi amal jariyah untuk anda
BalasHapusAmin
HapusIni cerita bagus banget
BalasHapus