Kamis, 03 Januari 2013

Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia


A. HUKUM ACARA PIDANA SEBELUM ZAMAN KOLONIAL
Pada saat Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara, telah ada lembaga tata negara dan lembaga tata hukum atau dengan kata lain telah tercipta hukum di bumi Nusantara yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut dengan hukum adat sebelum Belanda menjajah bumi Nusantara. Hazairin menulis bahwa dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak ada pidana penjara.Menurut Supomo pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari bagaimana bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya berupa pembayaran sejumlah uang yang sama dengan pelunasan utang atau ganti kerugian.[1]
Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia sering digantungkan pada kekuasaan Tuhan. Di daerah Wajo dahulu dikenal cara pembuktian dengam membuat asap pada guci abu raja yang dianggap paling adil dan bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu mengarah pihak itulah yang dianggap paling benar. Sistem pemidanaannya pun sangat sederhana. Mulai dari pembayaran ganti kerugian sampai ri ule bawi (kedua kaki dan tangannya diikat lalu diselipkan sebilah bambu) lalu dipikul keliling kampung untuk dipertunjukkan.[2]
Bentuk-bentuk sanksi hukum adat dihimpun dalam Pandecten Van het Adatrecht bagian x yang disebut juga dalam buku Supomo yaitu sebagai berikut :[3]
  1. Penggantian kerugian “immateriil” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan. 
  2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani. 
  3. Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib. 
  4. Penutup malu, permintaan maaf. 
  5. Pelbagai rupa hukum badan, hingga hukuman mati. 
  6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.
B. Perubahan Perundang-undangan di Negeri Belanda yang Dengan Asas Konkordansi Diberlakukan Pula di Indonesia.
KUHAP yang dipandang sebagai sebuah karya agung  merupakan penerusan dari asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih modern itu.
Mr. H.L. Wichers ini diangkat oleh Raja sebagai  Presiden Hooggerechtshof di Hindia Belanda merangkap komisaris khusus untuk mengatur mulai berlakunya perundang-undangan baru. Tiga pekerjaan utama yang diselesaiakan selama satu setengah tahun, yaitu yang pertama peraturan mengenai peradilan, kedua mengenai perbaikan kitab undang-undang yang telah ditetapkan itu, dan ketiga pertimbangan tentang berlakunya hukum Eropa untuk orang timur.[4]
Isi firman Raja tanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 yang diumumkannya di Indonesia dengan sbld 1847 Nomor 23 yang terppenting ialah yang tersebut Pasal 1 dan Pasal 4. Peraturan-peraturan yang dibuat untuk “Hindia Belanda” yaitu sebagai berikut :[5]
1.      Ketentuan umum tentang Perundang-undangan (AB)
2.      Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan.
3.      Pengadilan (RO)
4.      Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
5.      Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK)
6.   Ketentuan-ketentuan tentang kejahatan yang dilakukan pada kesempatan jatuh pailit dan terbukti tida mampu, begitu pula dikala diadakan penangguhan pembayaran utang (Pasal 1)
7.      Peraturan acara perdata (Hooggerechtshof dan Raad van justitie).
8.      Perturan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan tata usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara kriminal mengenai golongan Bumiputera dan orang-orang yang dipersamakan (Pasal 4).

C. Inlands Reglement Kemudian Herziene Inlands Reglements
Setelah beberapa kali melalui perdebatan dan perubahan akhirnya Gubernur Jenderal menerima rancangan dan diumumkan melalui Stb. No. 16 tanggal 5 April 1848, dan kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 No. 93, diumumkan dalam Stb. 1849 No. 63 yang dikenal dengan Inlandsch Reglement (IR).
IR ini juga beberapa kali mengalami perubahan antara lain pada tahun 1926 dan 1941 melalui Stb. 1941 No. 44 ditetapkan antara lain, Reglement Bumiputera setelah diadakan perubahan dalam ordonasi ini akan berlaku di dalam daerah hukum Laundraad yang kemudian disebut Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Perlu dicatat bahwa pada mulanya HIR hanya berlaku bagi bangsa Eropa dan warga negara Indonesia keturunan asing, serta bangsa Indonesia asli yang tunduk pada hukum sipil barat yaitu golongan yang merupakan justiciabelen dari Raad van Justitie.
Setelah Indonesia merdeka dikeluarkan Undang-Undang Darurat tahun 1951 No. 1 Lembaran Negara 1951 No. 9 yang melakukan perubahan total mengenai susunan kehakiman Pengadilan Negeri dibentuk menggantikan Landraad dan sekaligus Raad van Justitie, dan HIR merupakan pedoman beracara di pengadilan negeri baik dalam perkara perdata maupun pidana sipil, namun untuk Pengadilan Negeri di luar Jawa dan Madura berlaku ketentuan Rechtsreglement Buitengewesten (Reglement untuk daerah seberang).

D. Acara Pidana Pada Zaman Pendudukan Jepang, Hingga Indonesia Merdeka Sampai Sekarang
Pada zaman pendudukan Jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan asasi kecuali hapusnya Raad van justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan undang-undang (Osamu Serei) Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942, dikeluarkan aturan peralihan di Jawa dan Madura yang berbunyi “Semua badan –badan pemerintahan dan kekuasaannya, hokum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.
Di luar Jawa dan Madura pun pemerintah milliter Jepang mengeluarkan peraturan yang senada. Dengan demikian, acara pidana pada umumnya tidak berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechts Reglement berlaku untuk Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan Tinggi (Kootoo Hooin) dan Pengadilan Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan diatur dengan Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 Tanggal 20 September 1942.
Pada tiap macam pengadilan itu ada kejaksaan, yaitu Saikoo Kensatsu Kyoko pada Pengadilan Agung, Kootoo Kensatsu Kyaku pada Pengadilan Tinggi, dan Tihoo Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Negeri.
Pada saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945.yang berbunyi sebagai berikut,
“Segala badan Negara dan poeraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Untuk memperkuat aturan peralihan ini, maka Presiden mengeluarkan suatu poeraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut Peraturan Nomor 2 yang berbunyi sebagai berikut.
“Untuk ketertiban masyarakat bersandar atas aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal II berhubungan dengan Pasal IV kami Presiden menetapkan peraturan sebagai berikut;
Pasal I
“Segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.
Pasal 2
Peraturan ini berlaku pada tanggal 17 Agustustus 1945.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa hokum acara pidana dan susunan pengadilan pada masa penduduk jepangh masih tetap berkelanjutan pada masa Republik, kecuali tentu karena keadaan memaksa maka dibentuk Mahkamah Agung di Yogyakarta serta pemindahan Pengadilan Tinggi Sumatra dan Jawa, masing-masing ke Bukit Tinggi dan Yogyakarta. Di daerah yang diduduki Belanda pada mulanya semua pengadilan dan penuntut umum padanya pada tingkat pertama (hakim distrik, hakim kabupaten, landgerecht, residentie gerecht, politie rechter) dihapus, dan diganti dengan suatu landrechter (gaya baru) yang berwenang mengadili semua golongan penduduk untuk perkara sipil dan pidana. Acara pidana tetap HIR, Reglement op de Buitengewesten dan Landgerchttsreglement. Untuk sementara tidak ada kemungkinan banding bagio perkara pidana. Untuk perkara perdata dapat dibandingkan kepada appelraad. Kemudian baru dibentuk di Makassar Mahkamah Yustisi. Pengadilan tertinggi tetap Hooggerechtshof di Jakarta.
Setelah dibentuk Negara-negara bagian, maka Negara-negara bagian ini membentuk pengadilan sendiri-sendiri. Di Negara Indonesia Timur, di Negara Pasundan, dan Negara Sumatra Timur dibentuk Pengadilan Negara sebagai hakim sehari-hari untuk segala golongan penduduk. Kemudian suatu Pengadilan Tinggi di Pasundan , Mahkamah Yustisi di Makassar dan Mahkamah Negara di Sumatra Timur yang rupanya tidak pernah lahir itu.
Setelah dibentuk RIS, maka segera dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 30 dibentuk Mahkamah Agung di Jakarta menggantikan Hooggerechtshof di Jakarta dan Mahkamah Agung di Yogyakarta. Dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun  1950 LN 1950 Nomor 27, Landrechter (gaya baru) di Jakarta diganti menjadi Pengadilan Negeri, dan appelraad di Jakarta diubah menjadi Pengadilan Tinggi.
E. HUKUM ACARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 (DRT) TAHUN 1951
Dengan undang-undang tersebut dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hokum acara pidana dan susunan pengadilan yangt beraneka ragam sebelumnya. Menurut Pasal 1 Undang-undang tersebut dihapus, yaitu sebagai berikut:
  1. Mahkamah Yustisi di Makassar dan alat penuntut umum padanya. 
  2. Appelraad di Makassar.
  3. Appelraad di Medan.
  4. Segala pengadilan Negara dan segala landgerecht (cara baru) dan alat penuntut umum padanya. 
  5. Segala pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum padanya. 
  6. Segala pengadilan magistraad (pengadilan rendah).
  7. Segala pengadilan kabupaten.
  8. Segala pengadilan raad distrik.
  9. Segala pengadilan negorij.
  10. Pengadilan swapraja.
  11. Pegadilan adat
Namun demikian, hakim perdamaian desa yang berdasar atas Pasal 3a RO itu masih diakui. Hakim perdamaian desa ini juga tiodak dihapuskan oleh undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan –Ketentuan Pokok Kehakiman. Karena KUHAP mengahapus HIR dan Undang-undang No. 1 (drt) 1951 tersebut di mana dicantumkan hak hidup hakim perdamaian desa tersebut, maka yang menjadi masalah apakah dengan berlakunya KUHAP hakim perdsamaian desa itu masih diperkenankan.
Bahkan dalam Pasal 27 ayat (1) dikatakan; “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hokum yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini hakim perdamaian desa itu justru menjadi salah satu sumber hukum adat yang dapat digali. Dalam Pasal 3a RO pada butir 3 dikatakan bahwa hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat (1) mengadili perkara menurut hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhkan pidana.
Kemudian dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 (drt) tahun 1951 ditetapkan bahwa acara pidana sipil untuk segala Pengadilan Negeri dan alat Penuntut Umum padanya, segala Pengadilan Tinggi seberapa mungkin HIR diambil sebagai pedoman. Sedangkan acara pidana ringan (rol) berlaku Landsgerechts reglement Sbld 1914 Nomor 317 jo. Sbld 1917 Nomor 323. Acara untuk banding diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 20 Unang-Undang (darurat) tersebut.


F. LAHIRNYA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
Setelah lahirnya orde baru, terbukalah kesempatan yang lapang untuk membangun di segala segi kehidupan. Tidak ketinggalan pula pembangunan di bidang hokum. Puluhan undang-undang telah diciptakan terutama merupakan pengganti peraturan warisan kolonial.
Suatu undang-undang hokum acara pidana nasional yang modernsudah lama didambakan semua orang. Dikehendaki suatu hokum acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hokum masyarakat dewasa ini yang sesuai dan selaras dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan Inlands Reglement kemudian menjadi HIR itu tidak lepas pula daripada usaha Belanda membenahi peraturan hukumnya setelah terlepas dari kekuasaan Perancis. Inlands Reglement yang lahir pada tanggal 1 Mei 1848 itu merupakan penerusan dari paket perundang-undangan Belanda tahun 1838. Pada masa itu golongan legis, yaitu golongan yang memandang segala bentukhukum seharusnya dalam bentuk undang-undang sangat kuat di negeri Belanda. Berdasarkan asas konkordansi, maka paket perundang-undangan baru itu hendak diberlakukan pula di Indonesia.
Pada saat Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, telah dirintis jalan menu kepada terciptanya perundang-undangan baru terutama tentang hokum acara pidana. Pada waktu itu dibentuk suatu panitia di Departemen Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang-undang hokum acara pidana. Panitia tersebut telah berhasil menyusun Rencana Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang bercermin kepada hasil Seminar Hukum Nasional mengenai hokum acara Pidana dan Hak-Hak Asasi Manusia yang diadakan di Semarang pada Tahun 1968.
Pada waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri Kehakiman pada tahun 1974, penyempurnaan rencana tersebut diteruskan. Pada tahun 1974 rencana tersebut dilimpahkan kepada Sekretaris Negara dan kemudian dibahas oleh empat instansi, yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Hankam termasuk di dalamnya Polri dan Departemen Kehakiman.
Akhirnya, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan kepda Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12 September 1979 Nomor R.08/P.U/IX/1979. Rupanya rancangan tersebut agak lain daripada rencana yang disusun pada masa Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji tahun 1973 tersebut di atas.
Menteri Kehakiman Moedjono atas nama pemerintah memberikan keterangan di depan Sidang Paripurna DPR tentang Rancangan Hukum Acara Pidana tersebut pada tanggal 9 Oktober 1979. Kemudian fraksi-fraksi dalam DPR memberikan pemandangan umum yang disusul dengan jawaban pemerintah. Badan musyawarah DPR memutuskan bahwa pembicaraan selanjutnya rancangan itu dilakukan oleh Gabungan Komisi III dan I DPR.
Hasil final tersebut dengan rancangan semula, maka tampak banyak perubahan-perubahan. Yang paling asasi dari perubahan tersebut ialah hilangnya wewenang penyidikan kejaksaan yang semula ada dalam HIR, kemudian dipersempit oleh rancangan menjadi “penyidikan lanjutan”. Penyidikan lamjutan ini pun hilang dari tangan kejaksaan, dan demikian mugkin satu-satunya negeri di dunia ini yang menganut asas-asas hokum acara pidana Eropa Kontinental di mana jaksa atau penuntut umum yang tidak berwenang menyidik walapun dalam bentuk insidensial.
Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaraan Tim Sinkronisasi dengan wakil Pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal sengan Pasal 284. Perumusan yang terdapat dalam Pasal 284 tersebut rupanya merupakan hasil kompromi yang dengan demikian, sulit untuk dipahami jika dibaca teksnya secara harfiah. Pasal 284 ayat (2) menjadikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap Hukum Acara Pidana Khusus seperti misalnya yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi, kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP tidak ada tanda-tanda adanya usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 tahun 1983 tentang ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik-delik dalam perundang-undanganpidana khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini:
a.                   Penyidik
b.                  Jaksa
Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983).
Oleh karena HIR dianggap tidak memberikan jaminan hukum bagi bangasa Indonesia, akhirnya lahirlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (LNRI No. 76 TLN No. 3209) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menggantikan HIR.
KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkatan peradilan meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Ruang lingkup berlakunya KUHAP mengikuti asas-asas yang dianut dalam hukum pidana meliputi :
1.                  Asas Legalitas
2.                  Asas teritorial
3.                  Asaas Kewarganegaraan aktif/personalitas
4.                  Asas kewarganegaraan pasif/perlindungan
5.                  Asas universal

Ruang lingkup KUHAP mencakup pengkhususan dari peradilan umum seperti halnya pengadilan lalu lintas, anak dan ekonomi. KUHAP berlaku juga pada semua ketentuan pidana khusus yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya dianccam dengan pidana kecuali apabila undang-undang pidana khusus tersebut menentukan lain atau dengan kata lain menentukan acara pidana tersendiri.
Pada dasarnya KUHAP dirancang sebagai kodifikasi dan unifikasi hukum acara di Indonesia, namun ternyata gagal. Pada saat ini kedudukan KUHAP hanya sebagai lex generalis.



[1] R. Supomo, dalam Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 45.
[2] A.Z. Abidin Farid, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 75.
[3] Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 46.
[4] Ibid, hlm. 48.
[5] Ibid, hlm. 48-49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar