Undang-Undang Hukum Acara Pidana disusun berdasarkan pada falsafah dan
pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka materi Pasal dan ayat harus
mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia, tegaknya hukum dan
keadilan menciptakan ketertiban dan kepastian hukum. Asas-asas yang dianut di
dalam KUHAP merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, asas-asas tersebut meliputi :
1.
Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Peradilan cepat terutama untuk menghindari penahanan yang
lama sebelum adanya putusan hakim merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia.
Begitu pula peradilan bebas, jujur dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam
Undang-Undang tersebut.[1]
Asas ini bukan merupakan barang baru dengan lahirnya KUHAP,
sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
asas ini telah ada di dalam HIR. Asas ini harus ditegakan pada semua tingkat
pemeriksaan dan sangat menyangkut pada sikap mental aparat penegak hukum. Pada
Pasal-pasal dalam KUHAP di samping ada tindakan aparat yang dibatasi dengan
jangka waktu tertentu, akan tetapi lebih banyak Pasal yang hanya menyebutkan
dengan kata “segera”.
Penjelasan umum tentang asas ini di dalam KUHAP dijabarkan
dibanyak Pasal, antara lain:[2]
a. Pasal 24 ayat 4, Pasal
25 ayat 4, Pasal 27 ayat 7, dan Pasal 28 ayat 4. Umumnya dalam Pasal-pasal
tersebut dimuat ketentuan ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan
hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum.
Dengan sendirinya hal ini mendorong penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk
mempercepat penyelesaian perkara.
b. Pasal 50 mengatur
tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas
dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya
pada waktu dimulai pemeriksaan, menurut ketentuan ayat 1, “segera” perkaranya
diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, menurut ketentuan ayat 2, “segera
diadili oleh pengadilan” menurut ketentuan ayat 3.
c. Pasal 102 ayat 1
mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera
melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
d.
Pasal 106 mengatakan
hal yang sama tersebut bagi penyidik.
e. Pasal 107 ayat 3
mengatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut
pada Pasal 6 ayat 1 huruf b, segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat 1 huruf a.
f. Pasal 110 mengatur
tentang hubungan penuntut umum dan penyidik yang semuanya disertai dengan kata
segera. Begitu pula Pasal 138.
g.
Pasal 140 ayat 1
dikatakan bahwa. “dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan.
Adapun mengenai asas sederhana, artinya dalam penanganan
suatu perkara harus cepat dan tepat, jangan bertele-tele, asas sederhana ini
dapat dilihat pada acara pemeriksaan singkat dan cara pemeriksaan cepat. Asas
sederhana juga tercermin dalam hal tertangkap tangan, pemeriksaan praperadilan,
penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi. Sedangkan
mengenai asas biaya ringan dapat kita lihat pada surat edaran MA Nomor
KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981 yaitu minimal Rp. 500 dan maksimal Rp
10.000.
2.
Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption
of Innocence)
Asas ini disebut dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekusaan Kehakiman dan dalam Penjelasan umum butir 3c
KUHAP, yaitu: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
Asas ini harus dikaitkan dengan kepentingan pemeriksaan tersangka
sejak dari tingkat penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di pemgadilan.
Artinya ketika tersangka diperiksa harus diperlakukan seperti orang yang tidak
bersalah. Asas ini dikenal dengan “Asas Akusator” yaitu asas yang menempatkan
kedudukan tersangka, terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan.
Lain halnya pada “Asas Inkisator” yang dianut HIR dahulu,
yang menempatkan tersangka tertuduh sebagai obyek pemeriksaan. Pemeriksa
senantiasa mencari dan mengejar pengakuan tersangka, sehingga merupakan hal yang
wajar apabila pemeriksa melakukan pemaksaan atau penganiayaan terhadap
tersangka guna mendapatkan pengakuan. Hal ini tidak terlepas dari sistem
pembuktian yang dianut HIR yang mengakui “pengakuan tertuduh” sebagai alat
bukti yang sah.
Asas ini telah ditinggalkan KUHAP dan diganti dengan asas Akusator
seperti yang telah dijelaskan, karena asas yang dianut KUHAP adalah asas Praduga
Tak Bersalah atau Asas Akusator, maka pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan
wajib memperhatikan hak-hak tersangka atau terdakwa.
3.
Asas Oportunitas
Menurut ketentuan Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137
KUHAP, dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan
penuntutan pidana ke pegadilan yang disebut dengan penunutut umum (jaksa).
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada
badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dengan dominus litis ditangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin, yang
artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya,
jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.[3]
Di Indonesia, asas ini juga diatur dalam ketentuan Pasal 32 C
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan yang secara tegas menyatakan
asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal tersebut menyatakan bahwa
“Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum.”
Menurut Zainal Abidin Farid, yang dimaksud dengan asas oportunitas adalah asas
hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak
menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum.[4]
Jadi asas oportunitas merupakan asas dimana penuntut umum
(Jaksa Agung) tidak harus menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana jika
menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.
4.
Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum di dasarkan
pada ketentuan Pasal 153 ayat 3 dan 4 KUHAP yang menyatakan bahwa, “ Untuk
keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya
anak-anak, (ayat 3).” Menurut ketentuan ayat 4, “Tidak dipenuhinya ketentuan
dalam ayat 2 dan 3 mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun
keputusan hakim dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Hal ini telah
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 195 KUHAP yaitu,”Semua putusan pengadilan
hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka
untuk umum.”
5.
Semua Orang di Perlakukan Sama di Depan Hakim
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum
tercantum dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 dan
KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a yang menyatakan bahwa,” Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
6.
Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Bersifat
Tetap
Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya
terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Jabatan
hakim adalah tetap dan diangkat oleh Presiden sebagai Kepala Negara, lain
halnya dalam sistem juri yang dianut di Inggris yang menentukan salah tidaknya
terdakwa adalah sejumlah juri yang terdiri dari golongan masyarakat awam hukum.
Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di
negeri Belanda yang dahulu menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun 1813
dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris, karena
banyaknya kelemahan-kelemahan sistem itu maka Jerman juga tidak menganutnya.[5]
7.
Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum
Dalam ketentuan Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP diatur
tentang bantuan hukum di mana Tersangka atau Terdakwa mendapat
kebebasan-kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut
:
a.
Bantuan hukum dapat
diberikan sejak tersangka ditangkap atau ditahan.
b.
Bantuan hukum dapat
diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
c.
Penasihat hukum dapat
menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tinngkat pemeriksaan pada setiap
waktu.
d. Pembicaraan antara
penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum
kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara.
e. Turunan berita acara
diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan.
f.
Penasihat hukum berhak
mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa.
Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum
menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelongaran-kelonggaran
ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, sosial dan
ekonomis. Segi-segi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat
pelaksanaan bantuan hukum yang merata.[6]
8.
Asas Akusator dan Inqiesitor
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya apa yang dimaksud
dengan asas akusator dan inkisator, KUHAP sendiri telah memberikan kebebasan
dan mendapatkan nasihat hukum, hal ini menunjukkan bahwa di dalam KUHAP telah
dianut asas akusator.
Untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan pembuktian
ini, maka para penegak hukum makin dituntut agar menguasai segi-segi teknis
hukum dan ilmu-ilmu pembantu untuk acara pidana seperti kriminalistik,
kriminologi, kedokteran forensik, antroplologi, psikologi, dan lain-lain.
9.
Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan
acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim
juga dilakukan secara lisan, artinya buka tertulis antara hakim dan terdakwa.[7] Ketentuan
tersebut diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP dan seterusnya.
Yang dipandang pengecualian dari asas langsung ialah
kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Tetapi ini hannya merupakan pengecualian, yaitu dalam
acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan (Pasal 213 KUHAP). Dalam hukum acara pidana khusus seperti
halnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dikenal pemeriksaan pengadilan secara in absentia.
[1] Andi Hamzah, Op.cit.,
hlm. 11.
[2] Ibid, hlm. 11-12.
[3] Ibid, hlm. 13.
[4] A.Z. Abidin, Sejarah
dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia, Makalah yang diajukan pada
Simposium Asas Oportunitas di UNHAS, Ujung Pandang tanggal 4 dan 5 November
1981, hlm.12.
[5] D. Simons, dalam Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 20.
[6] Andi Hamzah, Ibid,
hlm. 21.
[7] Ibid, hlm. 22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar