Rabu, 02 Januari 2013

Pengertian Hukum Acara Pidana



Dalam ruang lingkup hukum pidana, baik hukum pidana materil maupun hukum pidana formil disebut dengan hukum pidana. Hukum pidana materil mengatur syarat yang menimbulkan penuntutan atau menghapuskannya hak itu begitu pula hukumannya, dengan kata lain mengatur terhadap siapa, bilamana dan bagaimana hukuman harus dijatuhkan. Sedangkan  hukum pidana formil (hukum acara pidana) berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substansif (materil) sehingga disebut dengan hukum pidana formal atau hukum acara pidana.
Menurut Simons, hukum acara pidana (hukum pidana formal) mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.[1] Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvorderking, di Inggris criminal procedure law, sedangkan di Amerika Serikat memakai istilah criminal procedure rules, adapun di Perancis disebut code d’instruction criminile.[2] Adapun di Indonesia dikenal dengan criminal justice system yang berarti system peradilan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa.
Hukum pidana dalam arti yang luas terdiri dari hukum pidana (substantif atau materil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal). Kalau hukum dibagi atas hukum publik dan hukum privat, maka hukum acara pidana (modern) termasuk hukum publik. Dalam masyarakat primitif atau kuno, tidak terdapat batas antara hukum publik dan hukum privat, sehingga tidak ada pemisahan yang jelas antara acara perdata dan pidana. Hal ini terjadi baik di Indonesia maupun di dunia barat, terkenal adagium Wo kein Klager ist, ist kein Richter (kalau tidak ada aduan  maka tidak ada hakim).[3]
Hukum pidana formal mengatur cara menjalankan hak penuntutan, dengan kata lain menetapkan tata cara mengadili perkara pidana.[4] Sifat publik hukum acara pidana karena yang bertindak jika terjadi pelanggaran pidana ialah negara melalui alat-alatnya, lebih nyata lagi di Indonesia dan Belanda karena penuntutan pidana dimonopoli oleh negara (jaksa).[5]
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberian definisi tentang hukum acara pidana, tetapi memberikan definisi dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain dalam ketentuan Pasal 1.
Menurut Andi Hamzah sebagaimana mengutip definisi Van Bemmelen[6], hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut:
1.      Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.
2.      Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
3.  Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya.
4.     Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa ke depan hakim tersebut.
5.  Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.
6.     Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
7.      Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan menegakkan hukum pidana.[7]
Dari definisi beberapa ahli di atas, pada dasarnya adalah sama bahwa hukum acara pidana merupakan serangkaian peraturan yang dibuat oleh negara yang memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan penyidikan, penuntutan dan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Hukum Acara Pidana adalah ilmu yang mempelajari tentang tindak pidana dalam proses beracara guna menemukan kejelasan dan membuat terang suatu tindak pidana dari mulai penyelidikan, penyidikan, penahanan, penangkapan, penuntutan, proses peradilan, upaya hukum dan eksekusi.



[1] Simons, dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2005, hlm. 4.
[2] Andi Hamzah, Ibid, hlm. 2.
[3] Ibid, hlm. 10.
[4] R. Tresna, Azas-azas Hukum pidana, hlm. 21.
[5] Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 10.
[6] J.M. Van Bemmelen, dalam Andi Hamzah, Ibid, hlm. 6.
[7] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967, hlm. 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar