Selasa, 01 Januari 2013

Implikasi Putusan MK Terhadap Netralitas PNS Dalam Pemilihan Kepala Daerah



Putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU–VI/2008 mengaburkan makna netralitas bagi Pegawai Negeri Sipil dalam pemilihan kepala daerah, bahkan akan memperkuat sistem patrimonial dalam hierarki kekuasaan di Indonesia, dimana sikap bawahan sangat tergantung kepada siapa yang memimpinnya. Untuk itu, yang paling penting adalah bagaimana mengefektifkan mekanisme pengawasan secara ketat dan menegakkan aturan yang ada.

Pendahuluan
Sejak bergulirnya masa reformasi 1998 yang diikuti dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah - yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 - telah banyak terjadi perubahan dalam tatanan pemerintahan di Indonesia. Sistem pemerintahan yang sebelumnya bersifat sentralistik dengan kewenangan pemerintah pusat yang begitu besar terhadap pemerintahan daerah, secara perlahan berubah menuju arah yang lebih desentralistik dan satu persatu kewenangan pemerintah pusat mulai ditanggalkan dan harus direlakan menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Salah satu perubahan signifikan yang terjadi dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 adalah mengenai pemilihan kepala daerah. Proses demokratisasi melalui pemilu-pemilu terdahulu dipandang belum mampu menyemai nilai-nilai demokrasi yang matang akibat sistem politik yang otoriter. Melalui UU No. 32 Tahun 2004 mulai dilakukan upaya penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses demokrasi. Tahapan demokrasi bangsa Indonesia diuji dengan momentum pemilihan kepala daerah langsung yang berlangsung sejak tahun 2005.
UU No. 32 Tahun 2004 telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan pertama melalui Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan perubahan kedua melalui UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengenai persyaratan kepala daerah dan wakil kepala daerah seperti terdapat dalam Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 menyatakan bahwa: ”Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: ... q: mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya”. Penjelasan Pasal 58 huruf q UU Nomor 12 Tahun 2008 a quo antara lain menyatakan: “Pengunduran diri gubernur dan wakil gubernur dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden. Syarat pengunduran diri bagi yang sedang menduduki jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) yang ingin mencalonkan diri kembali, semata-mata bertujuan untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan (abuse of power) dan mewujudkan iklim persaingan yang sehat dan setara (fairness) di antara calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lain[1].
Ketentuan Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 tersebut oleh Gubernur Lampung Drs. H. Sjachroedin Zp, S.H., diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, karena substansi batang tubuh Pasal 58 huruf q menimbulkan perlakuan yang tidak sama dengan pejabat negara lainnya, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945. Pasal 58 huruf q mengatur bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya (incumbent) mengundurkan diri sejak pendaftaran, sedangkan terhadap ”pejabat negara” lainnya berbeda pengaturannya. Pasal 59 ayat (5) huruf f mengatur bahwa: ”Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatannya apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 tersebut disambut gembira oleh para calon incumbent yang akan maju kembali dalam Pilkada, seperti Bupati Karanganyar Jawa Tengah Rina Iriani yang terlanjur mundur karena akan kembali maju dalam pilkada dan beberapa calon lainnya. Tetapi di sisi lain, syarat pengunduran diri bagi yang sedang menduduki jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) yang ingin mencalonkan diri kembali, sesunguhnya dimaksudkan untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan (abuse of power) dan mewujudkan iklim persaingan yang sehat dan setara (fairness) di antara calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lain.
Misalnya, menggunakan fasilitas-fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, mengerahkan/mengikutsertakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk ikut serta (berkampanye) bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat, dan lain sebagainya.
Guna menjaga netralitas PNS dalam Pemilu maupun Pilkada, Pemerintah menetapkan Undang-Undang No 43 tahun 1999 tentang Perubahan UU No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang salah satu isinya menegaskan bahwa PNS diharuskan bersifat netral dari pengaruh semua golongan dan parpol serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian diikuti dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan Presiden (Keppres), untuk menjamin terlaksananya UU No 34 tahun 1999 ini secara baik dan terarah.
Bagi PNS yang bukan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah diatur bahwa, dilarang terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala dan atau wakil Kepala Daerah; dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye; dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; PNS dapat menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS) dan Pengawas Pemilihan, dengan ijin dari pejabat pembina kepegawaian atau atasan langsung. Dalam SE/08/M.PAN/3/2005 juga diatur mengenai sanksi bagi PNS apabila terlibat dalam kampanye salah satu kandidat kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah apa implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Pasal 58q UU No. 12 Tahun 2008 terhadap netralitas pegawai negeri sipil dalam pemilihan kepala daerah. 

Urgensi Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan itu, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secaralangsung, bebas dan rahasia tanpa intervensi (otonom), seperti mereka memilih Presiden dan Wakil Presiden dan wakil-wakilnya di lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR, Dewan Perwakilan Daerah/DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) dalam Pemilu 2004.
Dasar hukum mengenai pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah. UU Pemerintahan Daerah menentukan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dipilih melalui pemilihan umum yang dilaksananakan secara demokratis.
Argumentasi yang dikemukakan sebagai latar belakang perubahan fundamental mengenai pemilihan kepala daerah yaitu, Pertama, Presiden dipilih secara langsung dalam pemilu yang dilakukan pertama kali melalui pemilu tahun 2004, sementara kepala desa juga dilaksanakan secara langsung, mengapa pemilihan kepala daerah tidak dilakukan secara langsung. Kedua, pemilu kepala daerah akan lebih mewujudkan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dengan adanya kedaulatan di tangan rakyat di pemerintahan daerah maka money politic tidak lagi banyak terjadi yang pada gilirannya nanti akan mempercepat kesejahteraan rakyat. Ketiga, secara yuridis, UU No 22 tahun 1999 menentukan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD sudah tidak sesuai lagi karena undang-undang ini merupakan produk hukum sebelum amandemen UUD 1945. Sementara itu, sudah ada UU tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 22 Tahun 2003) yang tidak menyebutkan adanya tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah. Hal ini ditafsirkan bahwa UU No 22 tahun 2003 menginginkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung[2].
Pilkada langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, di mana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang didukungnya, dan calon-calon yang bersaing dalam suatu medan permainan dengan aturan main yang sama. Sebab, sabagus apapun sebuah negara yang ditata secara demokratis, tidak akan dianggap benar-benar demokratis manakala pemimpin-pemimpinnya tidak dipilih secara bebas oleh rakyatnya sendiri. Pemilihan selalu dijadikan tolak ukur untuk menentukan sebuah negara demokratis atau tidak. Demokrasi memang tidak semata-mata ditentukan oleh ada tidaknya pemilihan oleh rakyat atas pemimpin-pemimpinnya. Pemilihan memerlukan perangkat lain untuk mendukung proses pemilihan[3].
Sejalan dengan sistem demokrasi perwakilan, maka secara kelembagaan perlu ada badan perwakilan rakyat daerah yang dibentuk secara demokratik. Demikian pula penyelenggaraan pemerintahannya harus dijalankan secara demokratik yang meliputi tata cara penunjukan pejabat, penentuan kebijakan, pertanggungjawaban, pengawasan, dan lain-lain. mekanisme pemerintahan harus dilakukan dengan tata cara yang demokratik pula[4].
Axel Hadenis[5] mengatakan bahwa suatu pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah langsung, disebut demokratis kalau memiliki “makna”. Istilah “bermakna” merujuk pada tiga kriteria, yaitu (1) keterbukaan, (2) ketepatan dan (3) keefektifan pemilu. Ketiga kriteria tersebut harus dipenuhi bukan hanya pada saat pemungutan suara saja, melainkan juga sewaktu dilakukan kampanye dan penghitungan suara. Akhirnya, kriteria itu juga berarti Kepala Daerah yang dipilih benar-benar akan menduduki jabatannya.
Keterbukaan mengandung tiga maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka bagi setiap warga negara (universal suffrage, atau hak pilih universal), ada pilihan dari antara alternatif-alternatif politik riil (para calon yang berkompetisi), dan bahwa hasilnya tidak ditentukan sebelumnya. Akses warga yang terbuka berarti hak pilih benar-benar bersifat universal. Seluruh warga negara dijamin memiliki hak pilih tanpa diskriminasi.
Bukan merupakan kontroversi atau kontradiksi apabila hak untuk memilih dibatasi dengan syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi warga, seperti usia, kesehatan jasmani dan rohani, domisili, dan lamanya bermukim. Keterbukaan juga berarti persamaan nilai suara dari seluruh warga negara tanpa terkecuali. Prinsip yang biasa digunakan adalah one person, one vote, one value.
Kriteria mengenai ketepatan bertujuan pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye dan prosedur pemilu dalam pengertian lebih ketat, yaitu semua calon harus mempunyai akses yang sama kepada media negara dan swasta berdasarkan standar-standar hukum yang sama, aparat negara harus netral secara politis pada saat meyelenggarakan pilkada. Kedaulatan rakyat mengandung di dalamnya pengertian bahwa pilkada langsung harus”efektif”. Itu berarti jabatan kepala eksekutif atau anggota legislatif harus diisi semata-mata dengan pemilu. Prinsip efektifitas pilkada langsung dilanggar apabila akses pada posisi pusat kekuasaan diatur sebagian saja atau sama sekali malah tidak diatur oleh pemilu, melainkan semata-mata pengangkatan/penunjukan. Kriteria itu lebih lanjut mensyaratkan bahwa sistem bahwa pilkada langsung harus mampu untuk menerjemahkan preferensi pemilih menjadi kursi. Hal itu mengukur tingkat disproporsionalitas sistem pilkada langsung.
Namun demikian, perlu di garisbawahi bahwa pemilihan Kepala Daerah secara langsung tidak dengan serta merta menjalin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi pada tingkat lokal membutuhkan berbagai persyaratan. Dalam perspektif itu, efektifitas sistem pilkada langsung ditentukan oleh faktor-faktor atau sebutlah prakondisi demokrasi yang ada di daerah itu sendiri. Prakondisi demokrasi tersebut mencakup kualitas pemilih, kualitas dewan, sistem rekrurmen dewan, fungsi partai, kebebasan dan konsistensi pers, dan pemberdayaan masyarakat madani, dan sebagainya.
Pilkada langsung tidak dengan sendirinya menjamin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri tetapi jelas membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses itu berarti berfungsinya mekanisme check and balances. Dimensi check and balances meliputi hubungan KDH/WKDH dengan rakyat; DPRD dengan rakyat; KDH/WKDH dengan DPRD; DPRD dengan KDH/WKDH tetapi juga KDH/WKDH dan DPRD dengan lembaga yudikatif dan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat[6].
Tujuan utama pilkada langsung adalah penguatan masyarakat dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi di tingkat lokal dan peningkatan harga diri masyarakat yang sudah sekian lama dimarginal. Selama ini, elit politik begitu menikmati kue kekuasaan. Tak mudah bagi mereka, khususnya anggota DPRD, merelakan begitu saja kekuasaan tersebut untuk dibagi-bagikan dengan rakyat walaupun rakyatlah penguasa kedaulatan dalam arti sesungguhnya[7].

Putusan MK Nomor 17/PUU-VI/2008
Ide untuk membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang salah satu tugasnya antara lain meninjau kembali keabsahan perudang-undangan sebagai sarana utuk membatasi penggunaan kekuasaan pemerintah, telah disuarakan oleh para hakim, pengacara dan kelompok kelas menengah pada tahun 1966-1967, hanya saja dominasi pemerintah sangat kuat sehingga ide tersebut tidak dapat terealisir[8].
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.
Wewenang MK sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), ialah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan putusan MK bersifat final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum untuk mengubahnya.
Selain daripada itu, berdasarkan Pasal 24C ayat (2), juncto Pasal 7B MK juga berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus mengenai pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7A). Jadi, berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum[9].
Dalam Putusan MK No. 17/PUU-VI/2008 tentang pengujian UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 58q yang diajukan oleh Gubernur Lampung Drs. H. Sjachroedin Zp, S.H., Pemohon menyatakan dengan adanya Pasal 58q UU No 12 Tahun 2008 telah menimbulkan kerugian hak konstitusionalnya. Sebab, berdasarkan Pasal 110 ayat (3) UU No 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memegang jabatan selama 5 (lima tahun) terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Menurut Pemohon, jabatannya sebagai Gubernur Lampung yang dilantik tanggal 2 Juni 2004 akan berakhir pada tanggal 2 Juni 2009, tetapi menurut Pasal 233 ayat (2) UU No 32 tahun 2004, kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada Januari 2009 sampai Juli 2009 diselenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini pada Desember 2008. Pasal ini berakibat, terbitnya keputusan KPU Provinsi Lampung No. 119/SK/KPU-LPG/ Tahun 2007 tentang Penetapan Tahapan, Program dan jadwal waktu Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah Provinsi Lampung tahun 2008, yang salah satu isinya menetapkan bahwa pemilihan Gubernur Provinsi Lampung Periode 2009-2014 diselenggarakan pada tanggal 3 September 2008.
Dengan demikian pemohon kehilangan jabatan Gubernur sebelum berakhir masa jabatan. Sebab, pemohon akan mencalonkan kembali sebagai kepala daerah (incumbent) periode 2009-2014 sehingga, adanya Pasal 58q UU No 12 Tahun 2008 dan Pasal 233 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 telah menimbulkan kerugian hak konstitusionalnya bagi pemohon dan bersifat diskriminatif. Hak konstitusional[10] yang dimaksud oleh pemohon adalah (a) perlakuan tidak sama yang dialami oleh pemohon selaku pejabat negara dengan pejabat negara lainnya ketika mencalonkan diri pada jabatan yang sama periode berikutnya; (b) pengurangan masa jabatan pemohon sebagai satu-satunya Gubernur dari 33 Gubernur di Indonesia, yang seharusnya lima tahun menjadi empat tahun; dan (c) hak untuk mendapatkan kepastian hukum secara adil.
Berdasarkan alasan tersebut Pemohon berpendapat bahwa keberadaan Pasal 58q UU No. 12 tahun 2008 dan Pasal 233 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945, atau setidak-tidaknya bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Pengujian UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan terhadap ketentuan Pasal 233 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut di atas tidak hanya mengatur tentang berakhirnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, tetapi juga mengatur tentang nama, batas dan ibukota provinsi, daerah khusus, dan daerah istimewa; tentang pembentukan provinsi atau kabupaten/kota sampai pengaturan tentang masa jabatan kepala desa dan perangkat desa. Dengan demikian, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 233 UU Nomor 32 Tahun 2004 telah sesuai dan sinkron dengan semangat UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan karenanya ketentuan tersebut diatas tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
Dari uraian tersebut di atas, Pemerintah tidak sependapat dengan dalil-dalil anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 233 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 58 huruf q UU Nomor 12 Tahun 2008 telah menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) dan memberikan perlakuan diskriminatif terhadap Pernohon, sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena menurut Pemerintah ketentuan tersebut di atas dimaksudkan untuk memudahkan tahapan (proses) dan memberikan perlakuan yang sama dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, juga guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan/ kewenangan, selain itu menurut Pemerintah ketentuan tersebut di atas tidak semata-mata hanya diperuntukkan terhadap Pemohon an sich.
Dengan demikian apabila terdapat seorang (kepala daerah dan wakil kepala daerah) yang terkena dampak/ekses atas keberlakuan ketentuan tersebut di atas, maka hal tersebut berkaitan dengan penerapan norma (implementasi) dari pilihan kebijakan (legal policy) pembentuk undang-undang (Presiden bersama Dewan Perwakian Rakyat).
Lebih lanjut Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah memberikan perlakuan yang diskriminatif terhadap Pemohon, kecuali jika ketentuan a quo memberikan pembatasan dan pembedaan yang didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak. Asasi Manusia, maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and Political Rights.
Pendapat Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 58q UU No 12 tahun 2008 mengatakan bahwa, pasal tersebut mengandung ketentuan yang tidak proporsional dan rancu, baik dari segi formulasi maupun substansi, karena menimbulkan perlakuan yang tidak sama antar sesama pejabat negara dan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga permohonan pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 58q UU No 12 Tahun 2008 beralasan menurut hukum untuk dikabulkan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut MK menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian, menyatakan Pasal 58q UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan Pasal 233 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan tidak dapat diterima. Sesuai Pasal 47 UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dengan demikian kepala daerah yang mendaftarkan diri atau didaftarkan sebagai calon kepala daerah sejak tanggal 4 Agustus 2008 tidak perlu mengundurkan diri.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan untuk menghindari konflik kepentingan, incumbent seharusnya cukup diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan ditetapkannya calon kepala daerh terpilih oleh KPUD.

Implikasi Putusan MK terhadap Netralitas Pegawai Negeri Sipil
Berbicara tentang perkembangan birokrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak lepas dari faktor kesejarahan, apa yang dicapai oleh birokrasi sekarang ini merupakan perjalanan sejarah yang cukup panjang. Sebab, birokrasi tidak lepas dari pengaruh-pengaruh politik pada rezim ketika itu. Berbagai kepentingan yang berperan dalam mengancam netralitas aparat pun, terutama yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil bukanlah hal yang baru. Pada masa orde lama dan orde baru intervensi kepentingan politik dalam kehidupan birokrasi begitu besar, saat itu netralitas Pegawai Negeri Sipil telah mengalami distorsi.
Menyadari keadaan seperti itu, seiring bergulirnya era reformasi yang diikuti dengan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian pun juga tidak lepas dari agenda reformasi. Hal ini dimulai dengan berlakunya UU No 34 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan perubahan dan penyempurnaan dari UU No 8 Tahun 1974. Kemudian diikuti dengan berbagai peraturan pelaksanaannya yang mewajibkan netralitas PNS, yakni Peraturan Kepala Kepegawaian Nasional No 10 Tahun 2005 tentang PNS yang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (SE Menpan) Nomor SE/08/M.PAN/3/2005 tentang Netralitas PNS dalam pemilihan kepala daerah. Dalam SE/08/M.PAN/3/2005 dinyatakan bahwa, “Bagi PNS yang menjadi calon Kepala atau Wakil Kepala Daerah, wajib membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri pada jabatan struktural atau fungsional yang disampaikan kepada atasan langsung untuk dapat diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dilarang menggunakan anggaran pemerintah dan atau pemerintah daerah; dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya; dilarang melibatkan PNS lainnya untuk memberikan dukungan dalam kampanye.
Beberapa peraturan tersebut diterbitkan dengan maksud untuk menjamin netralitas pemerintah dan birokrasi pada proses penyelenggaraan Pemilu. Hal ini menunjukkan adanya iktikad baik dari pemerintah untuk menjamin agar pemilu benar-benar LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan Jurdil (Jujur dan Adil). Masyarakat selama ini sangat meragukan kemampuan pemerintah untuk bersikap netral dan adil didalam penyelenggaraan pemilu, sehingga pemerintah (Presiden Habibie ketika itu) tidak punya pilihan lain kecuali harus menyesuaikan diri dengan semangat reformasi yang antara lain diupayakan untuk diwujudkan secara nyata di dalam Pemilu dengan menjamin netralitas PNS[11].
Netralitas politik birokrasi pemerintah akan dapat terjamin tidak hanya dengan cara melepaskan keanggotaan Pegawai Negeri Sipil dalam partai politik, namun yang lebih penting adalah menegakkan sikap dan perilaku PNS agar benar-benar berorientasi pada kepentingan publik, profesional dan bersikap imparsial terhadap parpol dan pemilu[12].
Dalam UU No 34 tahun 1999 Pasal 3 ayat (1) ditegaskan bahwa, Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Tugas birokrasi publik adalah: melaksanakan peraturan perundang-undangan, menegakkan hukum dan peraturan perundang-undangan terhadap setiap warga negara, memberikan pelayanan publik berdasarkan prinsip imparsialitas (ketidakberpihakan), mengumpulkan dan mengolah informasi sebagai bahan penyusunan masukan dan rekomendasi perumusan kebijakan kepada pemerintah[13]. Untuk melaksanakan tugas tersebut PNS harus netral agar mampu melayani masyarakat secara optimal.
Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat ayat (2). Untuk menjamin netralitas, Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik ayat (2). Dalam Peraturan Pemerintah No 37 tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Partai Politik, Pasal 2 ayat (2) menegaskan bahwa, Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Apabila Pegawai Negeri Sipil akan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (Pasal 3 ayat (1)). Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil ayat (2).
Pada dasarnya seringkali aparatur pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik. Pendekatan legalistik di sini antara lain ialah bahwa dalam menghadapi permasalahan, pemecahan yang dilakukan dengan mengeluarkan peraturan dan berbagai peraturan pelaksananya. Tidak ada yang salah apabila aparatur pemerintah bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi pendekatan yang demikian menjadi tidak tepat apabila terdapat persepsi bahwa peraturan perundang-udangan tersebut merupakan hal yang self implementing seolah-olah dengan dikeluarkannya peraturan perundang-udangan tersebut permasalahan yang dihadapi sudah terpecahkan dengan sendirinya. Padahal yang lebih diperlukan adalah menegakkan hukum dan peraturan dilihat dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan situasional[14].
Birokrasi pemerintah bisa berjalan dengan baik jika ada peraturan yang mengatur keberadaan dan prosedur pelayanannya. Prosedur yang jelas dan transparan penting tidak hanya bagi birokrasi tetapi juga bagi masyarakat sebagai pengguna pelayanan dari birokrasi. Tanpa adanya aturan permainan yang jelas, birokrasi tidak akan dapat bekerja secara efisien dan efektik. Pada sisi lain, aturan permainan yang jelas itu juga dapat melindungi masyarakat dari perilaku birokrasi yang sewenang-wenang[15].
Dalam setiap penyelenggaraan event pilkada, para PNS dituntut untuk selalu menjaga netralitasnya. Mereka tidak boleh terlibat menjadi tim sukses salah satu calon atau pun berkampanye untuk salah satu calon. Sebagai bagian dari birokrasi, sesuai dengan peraturan yang berlaku bagi pegawai negeri sipil, pelayanan terhadap masyarakat harus dilakukan secara baik tanpa keberpihakan kepada siapapun. Birokrasi seharusnya sebagai sistem pelaksana berpijak pada hukum yang netral. Artinya siapa pun saja yang menjadi pemimpin politiknya, sedikit pun sistem birokrasi tidak bergeser perbedaan pelayanannya. Kalau sistem seperti ini terjadi maka birokrasi bisa dikatakan netral dari kekuatan politik yang memimpinnya[16]. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah keberadaan incumbent dalam pencalonan pemilihan kepala daerah akan menjadikannya netral manakala tekanan politik terus dilakukan dalam birokrasi yang memungkinkan para calon kepala daerah memanfaatkan para PNS untuk dijadikan mesin politik.
Untuk menyikapi intervensi kepentingan politik dalam kehidupan birokrasi, dalam UU No 12 tahun 2008 ditegaskan apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah (incumbent) ingin maju lagi sebagai calon kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berikutnya harus mengundurkan diri dan mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.
Dalam hal ini Direktur Pejabat Negara Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Depdagri, Sapto Supono menjelaskan bahwa aturan undang-undang tersebut bertujuan menciptakan Pilkada yang lebih demokratis dan adil. Ketentuan itu sama sekali tidak melanggar hak dan masa jabatan kepala daerah. Aturan itu memberikan pilihan kepada kepala daerah, menghabiskan masa jabatan atau ikut Pilkada dengan harus mundur[17]. Sedangkan Juru bicara Depdagri, Saut Situmorang mengatakan ada empat alasan incumbent harus mundur[18]. Pertama, berpotensi menyalahgunakan fasilitas negara; kedua, menjamin netralitas PNS; ketiga, berpotensi menyalahgunakan kewenangan; dan keempat, lebih menjamin keadilan dalam pelaksanaan Pilkada. Benarkah apabila incumbent mundur akan dapat menjamin PNS menjadi netral?
Pada umumnya, kasus-kasus yang muncul dan menimbulkan konflik selama pilkada diakibatkan oleh terjadinya kecurangan-kecurangan selama tahapan pemilu. Hal yang sering menjadi sorotan ketika ada calon incumbent adalah tentang kenetralan PNS mulai dari Bupati, Camat, Lurah/Kepala Desa dan dinas-dinas lainnya. Seringkali calon incumbent memanfaatkan jaringan kedinasan untuk melakukan penggiringan suara yang tentu saja menggunakan fasilitas negara. Maka sangat tepat jika calon incumbent mundur dari jabatannya untuk menjaga kenetralan selama kampanye.
Mundurnya incumbent ketika akan maju dalam proses pilkada akan memberi kontribusi dalam peningkatan kualitas pilkada. Mundurnya incumbent dengan sendirinya akan membuka ruang kemandirian dan netralitas birokrasi. Sebab, birokrasi yang netral seperti dikemukakan oleh Max Weber akan mudah terwujud ketika incumbent mundur. Terjebaknya birokrasi dalam proses dukung mendukung yang terjadi dalam pilkada tidak lepas dari kuatnya sistem patrimonial dalam hierarki kekuasaan di Indonesia[19]. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU – VI/2008 seakan-akan memberikan ruang untuk mempertahankan dan memperkuat sistem patrimonial dalam birokrasi Indonesia.
Sebagai calon incumbent yang telah menjabat selama satu periode, tentunya telah mempunyai hubungan baik secara emosional maupun struktural dengan aparatur pemerintah yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada di jajaran pemerintahannya, tidak menutup kemungkinan calon incumbent tersebut akan memobilisasi birokrasi untuk menggalang dukungan. Sebab, posisi pegawai negeri sipil (PNS) yang strategis selalu menjadi incaran untuk memenangkan pemilu, terutama apabila salah satu kandidatnya adalah kepala daerah sebelumnya. Dalam situasi seperti ini PNS dihadapkan pada dilema antara netralitas dan loyalitas terhadap atasan.
Mundurnya incumbent juga dilakukan oleh Rini Iriani yang mundur dari jabatannya sebagai bupati Karanganyar. Tetapi tetap saja ada beberapa PNS yang terlibat kampanye salah satu pasangan[20]. Padahal sudah ada aturan yang tegas dalam SE Menpan no 8 tahun 2005 bahwa, PNS yang melibatkan diri dalam pilkada masuk kategori Pelanggaran berat dan ancaman sanksinya adalah pemberhentian dari jabatnnya secara tidak hormat. Bahkan Pasal 61 PP No. 6 tahun 2005 dengan jelas menyatakan, dalam kampanye, pasangan calon atau tim kampanye dilarang melibatkan hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN/BUMD, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa. Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa juga dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye. Selain itu Pasal 79 ayat (4) UU No. 32 tahun 2004 mengatur tentang larangan PNS, anggota TNI dan Polri sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam Pilkada. Dalam hal ini, mundurnya incumbent dalam Pilkada tidak menjamin netralitas Pegawai Negeri Sipil.
Syarat pengunduran diri bagi yang sedang menduduki jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ingin mencalonkan diri kembali, semata-mata bertujuan untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan dan mewujudkan iklim persaingan yang sehat dan setara diantara calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lain misalnya, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, menggerakkan/mengikutsertakan PNS untuk ikut serta (berkampanye) bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat, dan lain sebagainya.
Apakah setelah dicabutnya Pasal 58q UU No. 12 tahun 2008 netralitas PNS dapat dijamin? Pada dasarnya kekhawatiran calon incumbent akan memobilisasi PNS atau menyalahgunakan kekuasaannya tidak perlu terjadi. Sebab, sudah ada aturan yang jelas tentang netralitas PNS dalam pilkada dan sanksinya pun telah diatur secara tegas. Paling penting adalah bagaimana mengefektifkan mekanisme pengawasan secara ketat.

Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU – VI/2008 tersebut akan memperkuat sistem patrimonial dalam hierarki kekuasaan di Indonesia, dimana sikap bawahan sangat tergantung kepada siapa yang memimpinnya. Meskipun peraturan perundang-undangan tentang netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah diatur secara tegas, tetapi dalam realitas yang ada, masih saja ditemukan beberapa PNS yang terlibat dalam proses dukung mendukung terhadap salah satu calon pilkada. Untuk itu, yang paling penting adalah bagaimana mengefektifkan mekanisme pengawasan secara ketat dan menegakkan aturan yang ada.

Daftar Pustaka

  • Ari Pradhanawati (Penyunting), Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP), Cetakan Pertama, Surakarta, 2005.
  • Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. III, FH UII Yogyakarta, 2004.  
  • Didit Hariadi Estiko Suhartono (Editor), Mahkamah Konstitusi Lembaga Negara Baru Pengawal Konstitusi Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekjen DPRRI, 2003, Jakarta.
  • Harun AlRasid, ”Hak Menguji Dalam Teori dan Praktek”, dalam Jurnal Konstitusi Vol. 1 Nomor 1 Juli, 2004.  
  • Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar,Cetakan I, Yogyakarta, 2005.  
  • Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, kerja sama Pustaka Pelajar dengan LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang, Cetakan I, Yogyakarta, 2005.  
  • Miftah Thoha, Birokasi & Politik di Indonesia, Cetakan Kedua, Raya Grafindo Persada, Jakarta. 
  • Morison, Hukum Tata Negara Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta, 2005.  
  • Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Jakarta, Bumi Aksara, 2000.  
  • Lijan Poltak Sinambela. dkk, Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan, dan Implementasi, Cetakan Ketiga, Bumi Aksara, 2008.  
  • Wahyu Kumoro, Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa pada Masa Transisi, Kerjasama antara Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.  
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.  
  • Undang-Undang No 34 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.  
  • Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.  
  • Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik.  
  • SE Menpan no 8 tahun 2005 tentang larangan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi PPK, PPS maupun KPPS dalam Pilkada langsung.  
  • http://mediaindonesia.com. diakses tanggal 25 Oktober 2008.  
  • http://www.republika.co.id. diakses tanggal 26 November 2008.  
  • Harian Umum Solopos.

Putusan Peradilan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU – VI/2008 tentang pengujian Pasal 58 q UU No 12 tahun 2008 Tentang Petubahan Kedua Atas UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.



[1] Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hlm. 26. Lihat Putusan 17/PUU – VI/2008 Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian terhadap Pasal 58q UU No 12 Tahun 2008.
[2] Morison, Hukum Tata Negara Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta, 2005, hlm. 199-200.
[3] Jimly Asshiddiqie,”Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden,” Jurnal Unisia No 51/XXVII/I/2004, hlm. 10 dalam Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 204.
[4] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, FH UII Yogyakarta, Cet. III, 2004, hlm. 59.
[5] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, kerja sama Pustaka Pelajar dengan LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang, Cetakan I, Yogyakarta, 2005, hlm. 112-115.
[6] Joko Prohatmoko, Pilkada Langsung Solusi Kemacetan Demokrasi, dalam Ari Pradhanawati (Penyunting), Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Cetakan Pertama, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP), Surakarta, 2005, hlm. 176.
[7] Ibid., hlm. viii.
[8] Beny K Herman,” Judicial Review dan Perjuangan untuk Tegaknya Konstitusi”, dalam Konstitualisme Peran DPR dan Judicial Review (Jakarta YLBHI, 1991) hlm. 35-36, dalam Mahkamah Konstitusi Lembaga Negara Baru Pengawal Konstitusi, Didit Hariadi Estiko Suhartono (Editor), Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekjen DPRRI, 2003, Jakarta, hlm, 102.
[9] Harun AlRasid, ”Hak Menguji Dalam Teori dan Praktek”, dalam Jurnal Konstitusi Vol. 1 Nomor 1 Juli, 2004, hlm. 99.
[10] Lihat dalam Putusan MK No. 006/PUU-III/2005 menentukan 5 (lima) syarat kerugian konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK adalah: (a) harus ada hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (b) hak konstitusional tersebut dianggap dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang; (c) kerugian hak konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; (d) adanya sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusinal dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; (e) ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
[11] Wahyu Kumoro, Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa pada Masa Transisi, Kerjasama antara Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 69.
[12] Ibid,. hlm. 71.
[13] Ibid., hlm. 71-72.
[14] Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 147. Lihat Lijan Poltak Sinambela. dkk, Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan, dan Implementasi, Cetakan ketiga, Bumi Aksara, 2008 hlm. 65.
[15] Lihat Lijan Poltak Sinambela. dkk, Ibid., hlm. 65-66.
[16] Anomali dalam Birokrasi Pemerintah, Miftah Thoha, http://www.republika.co.id. Diakses tanggal 26 November 2008.
[17] http://mediaindonesia.com. Diakses tanggal 25 Oktober 2008.
[18] Ibid.
[19] Miftah Thoha, Birokrasi & Politik di Indonesia, Cetakan Kedua, Raya Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 7.
[20] Harian Umum Solopos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar