Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 17/PUU–VI/2008 mengaburkan makna netralitas bagi Pegawai Negeri
Sipil dalam pemilihan kepala daerah, bahkan akan memperkuat sistem patrimonial
dalam hierarki kekuasaan di Indonesia, dimana sikap bawahan sangat tergantung
kepada siapa yang memimpinnya. Untuk itu, yang paling penting adalah bagaimana mengefektifkan
mekanisme pengawasan secara ketat dan menegakkan aturan yang ada.
Pendahuluan
Sejak bergulirnya masa
reformasi 1998 yang diikuti dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah - yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 - telah
banyak terjadi perubahan dalam tatanan pemerintahan di Indonesia. Sistem
pemerintahan yang sebelumnya bersifat sentralistik dengan kewenangan pemerintah
pusat yang begitu besar terhadap pemerintahan daerah, secara perlahan berubah
menuju arah yang lebih desentralistik dan satu persatu kewenangan pemerintah
pusat mulai ditanggalkan dan harus direlakan menjadi kewenangan pemerintah
daerah.
Salah satu perubahan
signifikan yang terjadi dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 adalah mengenai
pemilihan kepala daerah. Proses demokratisasi melalui pemilu-pemilu terdahulu
dipandang belum mampu menyemai nilai-nilai demokrasi yang matang akibat sistem
politik yang otoriter. Melalui UU No. 32 Tahun 2004 mulai dilakukan upaya
penguatan, partisipasi dan kemandirian rakyat lewat proses-proses demokrasi.
Tahapan demokrasi bangsa Indonesia diuji dengan momentum pemilihan kepala
daerah langsung yang berlangsung sejak tahun 2005.
UU No. 32 Tahun 2004
telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan pertama melalui Perpu No. 3 Tahun
2005 tentang Perubahan Atas UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
perubahan kedua melalui UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengenai persyaratan kepala daerah
dan wakil kepala daerah seperti terdapat dalam Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun
2008 menyatakan bahwa: ”Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah
warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: ... q: mengundurkan diri
sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih
menduduki jabatannya”. Penjelasan Pasal 58 huruf q UU Nomor 12 Tahun 2008 a
quo antara lain menyatakan: “Pengunduran diri gubernur dan wakil gubernur
dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak
dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri
atas nama Presiden. Syarat pengunduran diri bagi yang sedang menduduki jabatan
kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) yang ingin
mencalonkan diri kembali, semata-mata bertujuan untuk menghindarkan
penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan (abuse of power) dan mewujudkan
iklim persaingan yang sehat dan setara (fairness) di antara calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang lain[1].
Ketentuan Pasal 58
huruf q UU No. 12 Tahun 2008 tersebut oleh Gubernur Lampung Drs. H. Sjachroedin
Zp, S.H., diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, karena
substansi batang tubuh Pasal 58 huruf q menimbulkan perlakuan yang tidak sama
dengan pejabat negara lainnya, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1),
dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945. Pasal 58 huruf q mengatur bahwa kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya (incumbent)
mengundurkan diri sejak pendaftaran, sedangkan terhadap ”pejabat negara”
lainnya berbeda pengaturannya. Pasal 59 ayat (5) huruf f mengatur bahwa: ”Surat
pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatannya apabila terpilih
menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Keluarnya putusan
Mahkamah Konstitusi yang mencabut Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008
tersebut disambut gembira oleh para calon incumbent yang akan maju
kembali dalam Pilkada, seperti Bupati Karanganyar Jawa Tengah Rina Iriani yang
terlanjur mundur karena akan kembali maju dalam pilkada dan beberapa calon
lainnya. Tetapi di sisi lain, syarat pengunduran diri bagi yang sedang
menduduki jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur,
Bupati/Walikota) yang ingin mencalonkan diri kembali, sesunguhnya dimaksudkan
untuk menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan (abuse of power)
dan mewujudkan iklim persaingan yang sehat dan setara (fairness) di
antara calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lain.
Misalnya, menggunakan
fasilitas-fasilitas negara untuk kepentingan pribadi,
mengerahkan/mengikutsertakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk ikut serta
(berkampanye) bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat,
dan lain sebagainya.
Guna menjaga netralitas
PNS dalam Pemilu maupun Pilkada, Pemerintah menetapkan Undang-Undang No 43
tahun 1999 tentang Perubahan UU No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, yang salah satu isinya menegaskan bahwa PNS diharuskan bersifat
netral dari pengaruh semua golongan dan parpol serta tidak diskriminatif dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian diikuti dengan berbagai
peraturan pelaksanaannya, baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun
Keputusan Presiden (Keppres), untuk menjamin terlaksananya UU No 34 tahun 1999
ini secara baik dan terarah.
Bagi PNS yang bukan
calon kepala daerah atau wakil kepala daerah diatur bahwa, dilarang terlibat
dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala dan atau wakil Kepala
Daerah; dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam
kegiatan kampanye; dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye;
PNS dapat menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan
Suara (PPS), kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS) dan Pengawas
Pemilihan, dengan ijin dari pejabat pembina kepegawaian atau atasan langsung.
Dalam SE/08/M.PAN/3/2005 juga diatur mengenai sanksi bagi PNS apabila terlibat
dalam kampanye salah satu kandidat kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Berdasarkan uraian di
atas, permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah apa implikasi putusan
Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Pasal 58q UU No. 12 Tahun 2008 terhadap
netralitas pegawai negeri sipil dalam pemilihan kepala daerah.
Urgensi Pemilihan
Kepala Daerah Langsung
Pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dan Wakil
Bupati/Walikota, secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian
“hak-hak dasar” rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan itu, rakyat
memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secaralangsung,
bebas dan rahasia tanpa intervensi (otonom), seperti mereka memilih Presiden
dan Wakil Presiden dan wakil-wakilnya di lembaga legislatif (Dewan Perwakilan
Rakyat/DPR, Dewan Perwakilan Daerah/DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/DPRD) dalam Pemilu 2004.
Dasar hukum mengenai
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan petunjuk
pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah.
UU Pemerintahan Daerah menentukan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang dipilih melalui pemilihan umum yang
dilaksananakan secara demokratis.
Argumentasi yang
dikemukakan sebagai latar belakang perubahan fundamental mengenai pemilihan
kepala daerah yaitu, Pertama, Presiden dipilih secara langsung dalam
pemilu yang dilakukan pertama kali melalui pemilu tahun 2004, sementara kepala
desa juga dilaksanakan secara langsung, mengapa pemilihan kepala daerah tidak
dilakukan secara langsung. Kedua, pemilu kepala daerah akan lebih
mewujudkan kedaulatan yang berada di tangan rakyat, sebagaimana ketentuan Pasal
1 ayat (2) UUD 1945. Dengan adanya kedaulatan di tangan rakyat di pemerintahan
daerah maka money politic tidak lagi banyak terjadi yang pada gilirannya
nanti akan mempercepat kesejahteraan rakyat. Ketiga, secara yuridis, UU
No 22 tahun 1999 menentukan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD sudah tidak
sesuai lagi karena undang-undang ini merupakan produk hukum sebelum amandemen
UUD 1945. Sementara itu, sudah ada UU tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU
No 22 Tahun 2003) yang tidak menyebutkan adanya tugas dan wewenang DPRD untuk
memilih kepala daerah. Hal ini ditafsirkan bahwa UU No 22 tahun 2003
menginginkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung[2].
Pilkada langsung
merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, di
mana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih
calon-calon yang didukungnya, dan calon-calon yang bersaing dalam suatu medan
permainan dengan aturan main yang sama. Sebab, sabagus apapun sebuah negara
yang ditata secara demokratis, tidak akan dianggap benar-benar demokratis
manakala pemimpin-pemimpinnya tidak dipilih secara bebas oleh rakyatnya
sendiri. Pemilihan selalu dijadikan tolak ukur untuk menentukan sebuah negara
demokratis atau tidak. Demokrasi memang tidak semata-mata ditentukan oleh ada
tidaknya pemilihan oleh rakyat atas pemimpin-pemimpinnya. Pemilihan memerlukan
perangkat lain untuk mendukung proses pemilihan[3].
Sejalan dengan sistem
demokrasi perwakilan, maka secara kelembagaan perlu ada badan perwakilan rakyat
daerah yang dibentuk secara demokratik. Demikian pula penyelenggaraan
pemerintahannya harus dijalankan secara demokratik yang meliputi tata cara
penunjukan pejabat, penentuan kebijakan, pertanggungjawaban, pengawasan, dan
lain-lain. mekanisme pemerintahan harus dilakukan dengan tata cara yang
demokratik pula[4].
Axel Hadenis[5]
mengatakan bahwa suatu pemilu, termasuk
pemilihan kepala daerah langsung, disebut demokratis kalau memiliki “makna”.
Istilah “bermakna” merujuk pada tiga kriteria, yaitu (1) keterbukaan, (2)
ketepatan dan (3) keefektifan pemilu. Ketiga kriteria tersebut harus dipenuhi
bukan hanya pada saat pemungutan suara saja, melainkan juga sewaktu dilakukan
kampanye dan penghitungan suara. Akhirnya, kriteria itu juga berarti Kepala
Daerah yang dipilih benar-benar akan menduduki jabatannya.
Keterbukaan mengandung
tiga maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka bagi setiap warga negara (universal
suffrage, atau hak pilih universal), ada pilihan dari antara
alternatif-alternatif politik riil (para calon yang berkompetisi), dan bahwa
hasilnya tidak ditentukan sebelumnya. Akses warga yang terbuka berarti hak
pilih benar-benar bersifat universal. Seluruh warga negara dijamin memiliki hak
pilih tanpa diskriminasi.
Bukan merupakan
kontroversi atau kontradiksi apabila hak untuk memilih dibatasi dengan
syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi warga, seperti usia, kesehatan
jasmani dan rohani, domisili, dan lamanya bermukim. Keterbukaan juga berarti
persamaan nilai suara dari seluruh warga negara tanpa terkecuali. Prinsip yang
biasa digunakan adalah one person, one vote, one value.
Kriteria mengenai
ketepatan bertujuan pada pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye dan
prosedur pemilu dalam pengertian lebih ketat, yaitu semua calon harus mempunyai
akses yang sama kepada media negara dan swasta berdasarkan standar-standar
hukum yang sama, aparat negara harus netral secara politis pada saat
meyelenggarakan pilkada. Kedaulatan rakyat mengandung di dalamnya pengertian
bahwa pilkada langsung harus”efektif”. Itu berarti jabatan kepala eksekutif
atau anggota legislatif harus diisi semata-mata dengan pemilu. Prinsip
efektifitas pilkada langsung dilanggar apabila akses pada posisi pusat
kekuasaan diatur sebagian saja atau sama sekali malah tidak diatur oleh pemilu,
melainkan semata-mata pengangkatan/penunjukan. Kriteria itu lebih lanjut
mensyaratkan bahwa sistem bahwa pilkada langsung harus mampu untuk
menerjemahkan preferensi pemilih menjadi kursi. Hal itu mengukur tingkat
disproporsionalitas sistem pilkada langsung.
Namun demikian, perlu
di garisbawahi bahwa pemilihan Kepala Daerah secara langsung tidak dengan serta
merta menjalin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi pada
tingkat lokal membutuhkan berbagai persyaratan. Dalam perspektif itu,
efektifitas sistem pilkada langsung ditentukan oleh faktor-faktor atau sebutlah
prakondisi demokrasi yang ada di daerah itu sendiri. Prakondisi demokrasi
tersebut mencakup kualitas pemilih, kualitas dewan, sistem rekrurmen dewan,
fungsi partai, kebebasan dan konsistensi pers, dan pemberdayaan masyarakat
madani, dan sebagainya.
Pilkada langsung tidak
dengan sendirinya menjamin peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri tetapi
jelas membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses itu
berarti berfungsinya mekanisme check and balances. Dimensi check and
balances meliputi hubungan KDH/WKDH dengan rakyat; DPRD dengan rakyat;
KDH/WKDH dengan DPRD; DPRD dengan KDH/WKDH tetapi juga KDH/WKDH dan DPRD dengan
lembaga yudikatif dan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat[6].
Tujuan utama pilkada
langsung adalah penguatan masyarakat dalam rangka peningkatan kapasitas
demokrasi di tingkat lokal dan peningkatan harga diri masyarakat yang sudah
sekian lama dimarginal. Selama ini, elit politik begitu menikmati kue
kekuasaan. Tak mudah bagi mereka, khususnya anggota DPRD, merelakan begitu saja
kekuasaan tersebut untuk dibagi-bagikan dengan rakyat walaupun rakyatlah
penguasa kedaulatan dalam arti sesungguhnya[7].
Putusan MK Nomor
17/PUU-VI/2008
Ide untuk membentuk
Mahkamah Konstitusi (MK) yang salah satu tugasnya antara lain meninjau kembali
keabsahan perudang-undangan sebagai sarana utuk membatasi penggunaan kekuasaan
pemerintah, telah disuarakan oleh para hakim, pengacara dan kelompok kelas
menengah pada tahun 1966-1967, hanya saja dominasi pemerintah sangat kuat
sehingga ide tersebut tidak dapat terealisir[8].
Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam
usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan
wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.
Wewenang MK sebagaimana
tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), ialah menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan
tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan putusan MK bersifat
final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya
hukum untuk mengubahnya.
Selain daripada itu,
berdasarkan Pasal 24C ayat (2), juncto Pasal 7B MK juga berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus mengenai pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perlu dicatat bahwa putusan
ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden
(Pasal 7A). Jadi, berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan proses
politik daripada proses hukum[9].
Dalam Putusan MK No.
17/PUU-VI/2008 tentang pengujian UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 58q yang diajukan oleh Gubernur Lampung Drs. H.
Sjachroedin Zp, S.H., Pemohon menyatakan dengan adanya Pasal 58q UU No 12 Tahun
2008 telah menimbulkan kerugian hak konstitusionalnya. Sebab, berdasarkan Pasal
110 ayat (3) UU No 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah memegang jabatan selama 5 (lima tahun) terhitung sejak
pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya
untuk satu kali masa jabatan.
Menurut Pemohon,
jabatannya sebagai Gubernur Lampung yang dilantik tanggal 2 Juni 2004 akan
berakhir pada tanggal 2 Juni 2009, tetapi menurut Pasal 233 ayat (2) UU No 32
tahun 2004, kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada Januari 2009
sampai Juli 2009 diselenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini pada Desember 2008. Pasal ini
berakibat, terbitnya keputusan KPU Provinsi Lampung No. 119/SK/KPU-LPG/ Tahun
2007 tentang Penetapan Tahapan, Program dan jadwal waktu Penyelenggaraan Pemilu
Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah Provinsi Lampung tahun 2008, yang
salah satu isinya menetapkan bahwa pemilihan Gubernur Provinsi Lampung Periode
2009-2014 diselenggarakan pada tanggal 3 September 2008.
Dengan demikian pemohon
kehilangan jabatan Gubernur sebelum berakhir masa jabatan. Sebab, pemohon akan
mencalonkan kembali sebagai kepala daerah (incumbent) periode 2009-2014
sehingga, adanya Pasal 58q UU No 12 Tahun 2008 dan Pasal 233 ayat (2) UU No. 32
Tahun 2004 telah menimbulkan kerugian hak konstitusionalnya bagi pemohon dan
bersifat diskriminatif. Hak konstitusional[10]
yang dimaksud oleh pemohon adalah (a)
perlakuan tidak sama yang dialami oleh pemohon selaku pejabat negara dengan
pejabat negara lainnya ketika mencalonkan diri pada jabatan yang sama periode
berikutnya; (b) pengurangan masa jabatan pemohon sebagai satu-satunya Gubernur
dari 33 Gubernur di Indonesia, yang seharusnya lima tahun menjadi empat tahun;
dan (c) hak untuk mendapatkan kepastian hukum secara adil.
Berdasarkan alasan
tersebut Pemohon berpendapat bahwa keberadaan Pasal 58q UU No. 12 tahun 2008
dan Pasal 233 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945, atau
setidak-tidaknya bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sehingga batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Penjelasan Pemerintah
Atas Permohonan Pengujian UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
terhadap ketentuan Pasal 233 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut di atas
tidak hanya mengatur tentang berakhirnya masa jabatan kepala daerah dan wakil
kepala daerah, tetapi juga mengatur tentang nama, batas dan ibukota provinsi, daerah
khusus, dan daerah istimewa; tentang pembentukan provinsi atau kabupaten/kota
sampai pengaturan tentang masa jabatan kepala desa dan perangkat desa. Dengan
demikian, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 233 UU Nomor 32 Tahun 2004 telah
sesuai dan sinkron dengan semangat UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dan karenanya ketentuan tersebut diatas tidak
terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji.
Dari uraian tersebut di
atas, Pemerintah tidak sependapat dengan dalil-dalil anggapan Pemohon yang
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 233 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal
58 huruf q UU Nomor 12 Tahun 2008 telah menimbulkan ketidakadilan dan
ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) dan memberikan perlakuan
diskriminatif terhadap Pernohon, sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena menurut Pemerintah ketentuan
tersebut di atas dimaksudkan untuk memudahkan tahapan (proses) dan memberikan
perlakuan yang sama dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, juga
guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan/ kewenangan, selain itu
menurut Pemerintah ketentuan tersebut di atas tidak semata-mata hanya
diperuntukkan terhadap Pemohon an sich.
Dengan demikian apabila
terdapat seorang (kepala daerah dan wakil kepala daerah) yang terkena
dampak/ekses atas keberlakuan ketentuan tersebut di atas, maka hal tersebut
berkaitan dengan penerapan norma (implementasi) dari pilihan kebijakan (legal
policy) pembentuk undang-undang (Presiden bersama Dewan Perwakian Rakyat).
Lebih lanjut Pemerintah
juga tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah memberikan perlakuan yang diskriminatif
terhadap Pemohon, kecuali jika ketentuan a quo memberikan pembatasan dan
pembedaan yang didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak. Asasi Manusia, maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and
Political Rights.
Pendapat Mahkamah
Konstitusi tentang Pasal 58q UU No 12 tahun 2008 mengatakan bahwa, pasal
tersebut mengandung ketentuan yang tidak proporsional dan rancu, baik dari segi
formulasi maupun substansi, karena menimbulkan perlakuan yang tidak sama antar
sesama pejabat negara dan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga permohonan
pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 58q UU No 12 Tahun 2008
beralasan menurut hukum untuk dikabulkan.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut MK menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk
sebagian, menyatakan Pasal 58q UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan Pasal 233 ayat (2) UU
No. 32 Tahun 2004 dinyatakan tidak dapat diterima. Sesuai Pasal 47 UU No 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan MK memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dengan demikian
kepala daerah yang mendaftarkan diri atau didaftarkan sebagai calon kepala
daerah sejak tanggal 4 Agustus 2008 tidak perlu mengundurkan diri.
Dalam amar putusannya,
MK menyatakan untuk menghindari konflik kepentingan, incumbent seharusnya
cukup diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan ditetapkannya
calon kepala daerh terpilih oleh KPUD.
Implikasi Putusan MK
terhadap Netralitas Pegawai Negeri Sipil
Berbicara tentang
perkembangan birokrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak lepas dari
faktor kesejarahan, apa yang dicapai oleh birokrasi sekarang ini merupakan
perjalanan sejarah yang cukup panjang. Sebab, birokrasi tidak lepas dari
pengaruh-pengaruh politik pada rezim ketika itu. Berbagai kepentingan yang
berperan dalam mengancam netralitas aparat pun, terutama yang berstatus sebagai
Pegawai Negeri Sipil bukanlah hal yang baru. Pada masa orde lama dan orde baru
intervensi kepentingan politik dalam kehidupan birokrasi begitu besar, saat itu
netralitas Pegawai Negeri Sipil telah mengalami distorsi.
Menyadari keadaan
seperti itu, seiring bergulirnya era reformasi yang diikuti dengan perubahan
berbagai peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan di bidang
kepegawaian pun juga tidak lepas dari agenda reformasi. Hal ini dimulai dengan
berlakunya UU No 34 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang merupakan
perubahan dan penyempurnaan dari UU No 8 Tahun 1974. Kemudian diikuti dengan
berbagai peraturan pelaksanaannya yang mewajibkan netralitas PNS, yakni
Peraturan Kepala Kepegawaian Nasional No 10 Tahun 2005 tentang PNS yang menjadi
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta Surat Edaran Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara (SE Menpan) Nomor SE/08/M.PAN/3/2005 tentang
Netralitas PNS dalam pemilihan kepala daerah. Dalam SE/08/M.PAN/3/2005
dinyatakan bahwa, “Bagi PNS yang menjadi calon Kepala atau Wakil Kepala Daerah,
wajib membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri pada
jabatan struktural atau fungsional yang disampaikan kepada atasan langsung
untuk dapat diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dilarang
menggunakan anggaran pemerintah dan atau pemerintah daerah; dilarang menggunakan
fasilitas yang terkait dengan jabatannya; dilarang melibatkan PNS lainnya untuk
memberikan dukungan dalam kampanye.
Beberapa peraturan
tersebut diterbitkan dengan maksud untuk menjamin netralitas pemerintah dan
birokrasi pada proses penyelenggaraan Pemilu. Hal ini menunjukkan adanya
iktikad baik dari pemerintah untuk menjamin agar pemilu benar-benar LUBER
(Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan Jurdil (Jujur dan Adil). Masyarakat selama
ini sangat meragukan kemampuan pemerintah untuk bersikap netral dan adil
didalam penyelenggaraan pemilu, sehingga pemerintah (Presiden Habibie ketika
itu) tidak punya pilihan lain kecuali harus menyesuaikan diri dengan semangat
reformasi yang antara lain diupayakan untuk diwujudkan secara nyata di dalam
Pemilu dengan menjamin netralitas PNS[11].
Netralitas politik
birokrasi pemerintah akan dapat terjamin tidak hanya dengan cara melepaskan
keanggotaan Pegawai Negeri Sipil dalam partai politik, namun yang lebih penting
adalah menegakkan sikap dan perilaku PNS agar benar-benar berorientasi pada
kepentingan publik, profesional dan bersikap imparsial terhadap parpol dan
pemilu[12].
Dalam UU No 34 tahun
1999 Pasal 3 ayat (1) ditegaskan bahwa, Pegawai Negeri berkedudukan sebagai
unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan
tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Tugas birokrasi publik adalah:
melaksanakan peraturan perundang-undangan, menegakkan hukum dan peraturan
perundang-undangan terhadap setiap warga negara, memberikan pelayanan publik
berdasarkan prinsip imparsialitas (ketidakberpihakan), mengumpulkan dan
mengolah informasi sebagai bahan penyusunan masukan dan rekomendasi perumusan
kebijakan kepada pemerintah[13].
Untuk melaksanakan tugas tersebut PNS harus netral agar mampu melayani
masyarakat secara optimal.
Dalam kedudukan dan
tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari
pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat ayat (2). Untuk menjamin netralitas,
Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik ayat
(2). Dalam Peraturan Pemerintah No 37 tahun 2004 tentang Larangan Pegawai
Negeri Sipil Menjadi Partai Politik, Pasal 2 ayat (2) menegaskan bahwa, Pegawai
Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Apabila Pegawai Negeri Sipil akan
menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri
sebagai Pegawai Negeri Sipil (Pasal 3 ayat (1)). Pegawai Negeri Sipil yang
mengundurkan diri diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil ayat
(2).
Pada dasarnya
seringkali aparatur pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik.
Pendekatan legalistik di sini antara lain ialah bahwa dalam menghadapi
permasalahan, pemecahan yang dilakukan dengan mengeluarkan peraturan dan
berbagai peraturan pelaksananya. Tidak ada yang salah apabila aparatur
pemerintah bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tetapi pendekatan yang demikian menjadi tidak tepat apabila terdapat persepsi
bahwa peraturan perundang-udangan tersebut merupakan hal yang self
implementing seolah-olah dengan dikeluarkannya peraturan perundang-udangan
tersebut permasalahan yang dihadapi sudah terpecahkan dengan sendirinya.
Padahal yang lebih diperlukan adalah menegakkan hukum dan peraturan dilihat
dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan situasional[14].
Birokrasi pemerintah
bisa berjalan dengan baik jika ada peraturan yang mengatur keberadaan dan
prosedur pelayanannya. Prosedur yang jelas dan transparan penting tidak hanya
bagi birokrasi tetapi juga bagi masyarakat sebagai pengguna pelayanan dari
birokrasi. Tanpa adanya aturan permainan yang jelas, birokrasi tidak akan dapat
bekerja secara efisien dan efektik. Pada sisi lain, aturan permainan yang jelas
itu juga dapat melindungi masyarakat dari perilaku birokrasi yang
sewenang-wenang[15].
Dalam setiap
penyelenggaraan event pilkada, para PNS dituntut untuk selalu menjaga
netralitasnya. Mereka tidak boleh terlibat menjadi tim sukses salah satu calon
atau pun berkampanye untuk salah satu calon. Sebagai bagian dari birokrasi,
sesuai dengan peraturan yang berlaku bagi pegawai negeri sipil, pelayanan
terhadap masyarakat harus dilakukan secara baik tanpa keberpihakan kepada
siapapun. Birokrasi seharusnya sebagai sistem pelaksana berpijak pada hukum
yang netral. Artinya siapa pun saja yang menjadi pemimpin politiknya, sedikit pun
sistem birokrasi tidak bergeser perbedaan pelayanannya. Kalau sistem seperti
ini terjadi maka birokrasi bisa dikatakan netral dari kekuatan politik yang
memimpinnya[16].
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah keberadaan incumbent dalam
pencalonan pemilihan kepala daerah akan menjadikannya netral manakala tekanan
politik terus dilakukan dalam birokrasi yang memungkinkan para calon kepala
daerah memanfaatkan para PNS untuk dijadikan mesin politik.
Untuk menyikapi
intervensi kepentingan politik dalam kehidupan birokrasi, dalam UU No 12 tahun
2008 ditegaskan apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah (incumbent)
ingin maju lagi sebagai calon kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
berikutnya harus mengundurkan diri dan mendapat persetujuan dari Menteri Dalam
Negeri.
Dalam hal ini Direktur
Pejabat Negara Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Depdagri, Sapto Supono
menjelaskan bahwa aturan undang-undang tersebut bertujuan menciptakan Pilkada
yang lebih demokratis dan adil. Ketentuan itu sama sekali tidak melanggar hak
dan masa jabatan kepala daerah. Aturan itu memberikan pilihan kepada kepala
daerah, menghabiskan masa jabatan atau ikut Pilkada dengan harus mundur[17].
Sedangkan Juru bicara Depdagri, Saut Situmorang mengatakan ada empat alasan incumbent
harus mundur[18].
Pertama,
berpotensi menyalahgunakan fasilitas negara; kedua, menjamin netralitas
PNS; ketiga, berpotensi menyalahgunakan kewenangan; dan keempat,
lebih menjamin keadilan dalam pelaksanaan Pilkada. Benarkah apabila incumbent
mundur akan dapat menjamin PNS menjadi netral?
Pada umumnya,
kasus-kasus yang muncul dan menimbulkan konflik selama pilkada diakibatkan oleh
terjadinya kecurangan-kecurangan selama tahapan pemilu. Hal yang sering menjadi
sorotan ketika ada calon incumbent adalah tentang kenetralan PNS mulai
dari Bupati, Camat, Lurah/Kepala Desa dan dinas-dinas lainnya. Seringkali calon
incumbent memanfaatkan jaringan kedinasan untuk melakukan penggiringan
suara yang tentu saja menggunakan fasilitas negara. Maka sangat tepat jika
calon incumbent mundur dari jabatannya untuk menjaga kenetralan selama
kampanye.
Mundurnya incumbent ketika
akan maju dalam proses pilkada akan memberi kontribusi dalam peningkatan
kualitas pilkada. Mundurnya incumbent dengan sendirinya akan membuka
ruang kemandirian dan netralitas birokrasi. Sebab, birokrasi yang netral
seperti dikemukakan oleh Max Weber akan mudah terwujud ketika incumbent mundur.
Terjebaknya birokrasi dalam proses dukung mendukung yang terjadi dalam pilkada
tidak lepas dari kuatnya sistem patrimonial dalam hierarki kekuasaan di
Indonesia[19].
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU –
VI/2008 seakan-akan memberikan ruang untuk mempertahankan dan memperkuat sistem
patrimonial dalam birokrasi Indonesia.
Sebagai calon incumbent
yang telah menjabat selama satu periode, tentunya telah mempunyai hubungan
baik secara emosional maupun struktural dengan aparatur pemerintah yaitu
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada di jajaran pemerintahannya, tidak
menutup kemungkinan calon incumbent tersebut akan memobilisasi birokrasi
untuk menggalang dukungan. Sebab, posisi pegawai negeri sipil (PNS) yang
strategis selalu menjadi incaran untuk memenangkan pemilu, terutama apabila
salah satu kandidatnya adalah kepala daerah sebelumnya. Dalam situasi seperti
ini PNS dihadapkan pada dilema antara netralitas dan loyalitas terhadap atasan.
Mundurnya incumbent juga
dilakukan oleh Rini Iriani yang mundur dari jabatannya sebagai bupati
Karanganyar. Tetapi tetap saja ada beberapa PNS yang terlibat kampanye salah
satu pasangan[20].
Padahal sudah ada aturan yang tegas
dalam SE Menpan no 8 tahun 2005 bahwa, PNS yang melibatkan diri dalam pilkada
masuk kategori Pelanggaran berat dan ancaman sanksinya adalah pemberhentian
dari jabatnnya secara tidak hormat. Bahkan Pasal 61 PP No. 6 tahun 2005 dengan
jelas menyatakan, dalam kampanye, pasangan calon atau tim kampanye dilarang
melibatkan hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN/BUMD, pejabat struktural
dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa. Pejabat negara, pejabat
struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa juga dilarang
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu pasangan calon selama masa kampanye. Selain itu Pasal 79 ayat (4) UU No.
32 tahun 2004 mengatur tentang larangan PNS, anggota TNI dan Polri sebagai
peserta kampanye dan juru kampanye dalam Pilkada. Dalam hal ini, mundurnya incumbent
dalam Pilkada tidak menjamin netralitas Pegawai Negeri Sipil.
Syarat pengunduran diri
bagi yang sedang menduduki jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
ingin mencalonkan diri kembali, semata-mata bertujuan untuk menghindarkan
penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan dan mewujudkan iklim persaingan yang sehat
dan setara diantara calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lain
misalnya, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi,
menggerakkan/mengikutsertakan PNS untuk ikut serta (berkampanye) bagi kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat, dan lain sebagainya.
Apakah setelah dicabutnya
Pasal 58q UU No. 12 tahun 2008 netralitas PNS dapat dijamin? Pada dasarnya
kekhawatiran calon incumbent akan memobilisasi PNS atau menyalahgunakan
kekuasaannya tidak perlu terjadi. Sebab, sudah ada aturan yang jelas tentang
netralitas PNS dalam pilkada dan sanksinya pun telah diatur secara tegas.
Paling penting adalah bagaimana mengefektifkan mekanisme pengawasan secara
ketat.
Simpulan
Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU – VI/2008
tersebut akan memperkuat sistem patrimonial dalam hierarki kekuasaan di
Indonesia, dimana sikap bawahan sangat tergantung kepada siapa yang
memimpinnya. Meskipun peraturan perundang-undangan tentang netralitas Pegawai
Negeri Sipil (PNS) telah diatur secara tegas, tetapi dalam realitas yang ada,
masih saja ditemukan beberapa PNS yang terlibat dalam proses dukung mendukung
terhadap salah satu calon pilkada. Untuk itu, yang paling penting adalah
bagaimana mengefektifkan mekanisme pengawasan secara ketat dan menegakkan aturan
yang ada.
Daftar Pustaka
- Ari Pradhanawati (Penyunting), Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP), Cetakan Pertama, Surakarta, 2005.
- Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. III, FH UII Yogyakarta, 2004.
- Didit Hariadi Estiko Suhartono (Editor), Mahkamah Konstitusi Lembaga Negara Baru Pengawal Konstitusi Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekjen DPRRI, 2003, Jakarta.
- Harun AlRasid, ”Hak Menguji Dalam Teori dan Praktek”, dalam Jurnal Konstitusi Vol. 1 Nomor 1 Juli, 2004.
- Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar,Cetakan I, Yogyakarta, 2005.
- Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, kerja sama Pustaka Pelajar dengan LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang, Cetakan I, Yogyakarta, 2005.
- Miftah Thoha, Birokasi & Politik di Indonesia, Cetakan Kedua, Raya Grafindo Persada, Jakarta.
- Morison, Hukum Tata Negara Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta, 2005.
- Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Jakarta, Bumi Aksara, 2000.
- Lijan Poltak Sinambela. dkk, Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan, dan Implementasi, Cetakan Ketiga, Bumi Aksara, 2008.
- Wahyu Kumoro, Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa pada Masa Transisi, Kerjasama antara Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
- Undang-Undang No 34 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
- Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
- Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik.
- SE Menpan no 8 tahun 2005 tentang larangan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi PPK, PPS maupun KPPS dalam Pilkada langsung.
- http://mediaindonesia.com. diakses tanggal 25 Oktober 2008.
- http://www.republika.co.id. diakses tanggal 26 November 2008.
- Harian Umum Solopos.
Putusan Peradilan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 17/PUU –
VI/2008 tentang pengujian Pasal 58 q UU No 12 tahun 2008 Tentang Petubahan
Kedua Atas UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
[1] Penjelasan Pemerintah
Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hlm.
26. Lihat Putusan 17/PUU – VI/2008 Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian
terhadap Pasal 58q UU No 12 Tahun 2008.
[2] Morison, Hukum
Tata Negara Era Reformasi, Ramdina Prakarsa, Jakarta, 2005, hlm. 199-200.
[3] Jimly
Asshiddiqie,”Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden,” Jurnal Unisia No
51/XXVII/I/2004, hlm. 10 dalam Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi,
Sejarah Perkembangan dan Problematika, Cetakan I, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, hlm. 204.
[4] Bagir Manan, Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah, FH UII Yogyakarta, Cet. III, 2004, hlm. 59.
[5] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan
Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia,
kerja sama Pustaka Pelajar dengan LP3M Universitas Wahid Hasyim Semarang,
Cetakan I, Yogyakarta, 2005, hlm. 112-115.
[6] Joko Prohatmoko, Pilkada
Langsung Solusi Kemacetan Demokrasi, dalam Ari Pradhanawati (Penyunting), Pilkada
Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Cetakan Pertama, Konsorsium
Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP), Surakarta, 2005, hlm.
176.
[8] Beny K Herman,” Judicial
Review dan Perjuangan untuk Tegaknya Konstitusi”, dalam Konstitualisme
Peran DPR dan Judicial Review (Jakarta YLBHI, 1991) hlm. 35-36, dalam Mahkamah
Konstitusi Lembaga Negara Baru Pengawal Konstitusi, Didit Hariadi Estiko
Suhartono (Editor), Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekjen DPRRI,
2003, Jakarta, hlm, 102.
[9] Harun AlRasid, ”Hak
Menguji Dalam Teori dan Praktek”, dalam Jurnal Konstitusi Vol. 1
Nomor 1 Juli, 2004, hlm. 99.
[10] Lihat dalam Putusan
MK No. 006/PUU-III/2005 menentukan 5 (lima) syarat kerugian konstitusional
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK adalah: (a) harus ada hak
konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (b) hak
konstitusional tersebut dianggap dirugikan dengan berlakunya suatu
undang-undang; (c) kerugian hak konstitusional tersebut bersifat spesifik dan
aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi; (d) adanya sebab akibat (causal verband)
antara kerugian hak konstitusinal dengan undang-undang yang dimohonkan
pengujian; (e) ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
[11] Wahyu Kumoro, Akuntabilitas
Birokrasi Publik Sketsa pada Masa Transisi, Kerjasama antara Magister
Administrasi Publik (MAP) UGM dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.
69.
[14] Sondang P. Siagian, Administrasi
Pembangunan, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 147. Lihat Lijan Poltak
Sinambela. dkk, Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan, dan
Implementasi, Cetakan ketiga, Bumi Aksara, 2008 hlm. 65.
[15] Lihat
Lijan Poltak Sinambela. dkk, Ibid., hlm. 65-66.
[16] Anomali dalam Birokrasi
Pemerintah, Miftah Thoha, http://www.republika.co.id. Diakses tanggal 26
November 2008.
[17] http://mediaindonesia.com.
Diakses tanggal 25 Oktober 2008.
[19] Miftah Thoha, Birokrasi
& Politik di Indonesia, Cetakan Kedua, Raya Grafindo Persada, Jakarta,
hlm. 7.
[20] Harian Umum Solopos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar