Welfare state
adalah negara kesejahteraan, konsep ini muncul menggantikan konsep legal state
atau Negara penjaga malam.[1]
Rakyat di negara-negara tersebut menikmati
pelayanan dari negara di bidang kesehatan dengan program asuransi kesehatan,
sekolah gratis, sampai sekolah lanjutan atas bahkan di Jerman sampai universitas,
penghidupan yang layak dari sisi pendapatan dan standar hidup, sistem
transportasi yang murah dan efisien, dan orang menganggur menjadi tanggungan
negara.
Semua layanan negara tersebut sebenarnya
dibiayai sendiri oleh masyarakatnya yang telah menjadi semakin makmur, melalui
sistem asuransi dan perpajakan, dengan orientasi utamanya mendukung human
investment.
Kesejahteraan adalah buah dari sistem ekonominya yang mandiri, produktif, dan efisien dengan pendapatan individu yang memungkinkan saving.
Sudah lebih dari 60 tahun sejak Republik
Indonesia diproklamasikan sebagai negara kebangsaan dan negara kesejahteraan,
namun wujud negara kesejahteraan itu belum tampak. Bahkan, kita menyaksikan
dengan prihatin proses komersialisasi yang meluas dengan cepat di bidang
pendidikan dan kesehatan, seiring dengan semakin terbatasnya APBN. Di tengah
keterbatasan pemerintah menciptakan lapangan kerja dan menaikkan daya beli
rakyat, kondisi itu amat menyakitkan kelompok rakyat yang tidak berpunya.
Kemampuan keuangan negara yang lemah
menyebabkan berbagai fenomena yang hanya layak terjadi di era kolonial, seperti
orang mati kelaparan dan merebaknya penyakit karena kemiskinan maupun sulitnya
mengakses pendidikan, terulang lagi.
Penyelenggara negara kesulitan melaksanakan jiwa,
semangat, dan ketentuan yang tertulis dalam UUD 1945 karena berbagai
keterbatasan, utamanya sumber pendanaan. Jujur perlu kita akui bahwa sebagai
negara bangsa kita tertinggal, baik dalam aspek pembangunan fisik maupun
nonfisik dari banyak negara lain.
Ciri utama
walfare state adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan
kesejahtraan umum bagi warga warganya.[2] Dengan kata
lain ajaran walfare state merupakan bentuk peralihan prinsip staatsonthouding
(pembatansan peran Negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan
social masyarakat) menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki Negara dan pemerintah terlibak aktif dalam kehidupan
ekonomi dan social, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, di
samping menjalankan ketertiban dan keamanan rust en orde.
Menurut E.
Utrecht, sejak Negara turut serta dalam pergaulan masyarakat, lapangan
pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi Negara diserahi
kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahtraan umum (bestuurszorg).
Pemberian
kewenangan kepada administrasi Negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri
itu lazim dikenal dengan istilah freies ermessen atau discrectionary power
yaitu kewajiban dan kekuasaan yang luas
Model
Penerapan Welfare State di Berbagai Negara
Menurut
Edi Suharto(2006), sistem kesejahteraan negara tidaklah homogen dan statis. Ia
beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban. Meski
beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model kesejahteraan
negara yang hingga kini masih beroperasi:
A.
Model
Universal
Pelayanan
sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik
kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian
Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia.
Sebagai contoh, kesejahteraan negara di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai
model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh
penduduknya. Kesejahteraan negara di Swedia sering dipandang sebagai model yang
paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia.
B.
Model
Koorporasi
Seperti
model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas,
namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga
pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang
diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau
mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut
oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck.
C.
Model
Residual
Model
ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia
dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan
terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged
groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang
lanjut usia yang tidak kaya. Model ini mirip model universal yang memberikan
pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas.
Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan
relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan
sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.
D.
Model
Minimal
Model
ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia,
Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka,
Indonesia). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan
sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan
secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai
negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat
dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional), dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih
kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut kesejahteraan negara
model ini.
Secara
legalitas formal, Indonesia bisa disebut sebagai negara kesejahteraan (welfare
state). Hal itu di antaranya tercantum dalam konstitusi UUD 1945, UU No. 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU No. 11 tahun 2011
tentang Kesejahteraan Sosial, UU No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin, UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),
dan lainnya.
“Adanya
BPJS, BLSM, atau PKH itu sebenarnya sudah menuju arah yang bagus, tinggal itu
harus dibuat sebagai kebijakan yang sustainable atau berlanjut. BLSM, BOS, PKH,
atau bantuan untuk daerah tertinggal itu kebijakan setengah hati. Indonesia
tidak mau membuat platform kebijakan yang mapan, “ ujar Edi yang juga menjadi
konsultan di UN-ESCAP itu.
Welfare state, adalah suatu
sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam
pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan
berkesinambungan. welfare state meyakini bahwa negara memiliki kewajiban untuk
menyediakan warga negara nya akan standar hidup yg layak. Karena setiap negara
memiliki standar yg berbeda-beda, yang berhubungan langsung dengan batas
kemampuan negara.
Nilai penting yang dibawa negara kesejahteraan
adalah mereduksi jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin dengan cara
mendistribusikan uang dari si kaya kepada si miskin. Distribusi keuntungan yang
diatur oleh Negara ini salah satu caranya dilakukan dengan menempatkan pihak
buruh dan pengusaha secara seimbang, memiliki hak yang sama dan setara.
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah
kesejahteraan social, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan
ketelantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang
berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan
sosial (social security), seperti pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta
berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran.
Konsep negara kesejahteraan sebenarnya sudah
termaktub dalam sila kelima dari Pancasila.Namun serta UUD 1945
serta pasal 34 yang berbunyi, “Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” . Namun dalam kenyataannya, konsep Negara seperti ini belum sepenuhnya
diaplikasikan di Indonesia.
Jika berkaca pada pancasila serta UUD RI
tersebut, maka sudah selayaknya Indonesia mengimplementasikan negara
kesejahteraan, apalagi dalam masa otonomi daeraah seperti masa ini. Setiap
daerah memiliki wewenang untuk mengolah pemeritahan serta umber daya alam yang
ada, yang tentunya merupakan sarana yang strategis untuk lebih mensejahterakan
masyarakat yang ada di daerah tersebut.
Namun hal tersebut kembali lagi membutuhkan
komitmen bersama serta persamaan sudut pandang untuk mencapai kesejahteraan.
Selain itu masih banyaknya hambatan yang ada juga merupakan sesuatu yang harus
segera ditanggulangi terlebih dahulu.
Para pemikir merumuskan konsep negara kesejahteraan
sebagai berikut, ”a welfare state is a state in which organized power is
deliberately used through politics and administration in an effort to modify
the play of market forces to achieve social prosperity and economic well-being
of the people.” Rumusan ini bersumber dari karya-karya klasik antara lain
Asa Griggs, The Welfare State in Historical Perspective (1961);
Friedrich Hayek, The Meaning of the Welfare State (1959); dan
Richard Titmuss, Essays on the Welfare State (1958). Buku
Titmuss ini bisa dibilang karya magnum-opus yang secara mendalam
mengupas ide negara kesejahteraan. Pemikiran mereka dapat disarikan menjadi
tiga hal esensial:
- Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok.
- Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti sakit, usia lanjut, menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial.
- Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (bagi anak balita), sanitasi, dan air bersih.
Merujuk tiga gagasan itu, dapat dinilai
betapa Indonesia masih jauh dari cita- cita negara kesejahteraan. Seringkali
politisi-politisi kita membawa isu kesejahteraan sebagai jalan untuk
memenangkan kekuasaan. Sementara dalam tataran realita, tidak ada langkah
konkret yang betul-betul dilaksanakan seperti janji-janjinya waktu kampanye.
Kondisi inilah yang sampai saat ini masih mewarnai bangsa kita. Sehingga kadang
masyarakat menjadi apatis terhadap sistem kepemimpinan bangsa selama
bertahun-tahun.
Seperti misalnya, isu-isu pembangunan ekonomi
kerakyatan, pemberdayaan masyarakat marginal, kebijakan pendidikan dan
pelayanan kesehatan gratis, yang kesemuanya itu terkesan lip service,
begitu jadi pemimpin, semua program tidak berjalan. Sehingga wajar saja, jika
tiap pergantian kepemimpinan, program-program penanggulangan kemiskinan
senantiasa berganti-ganti nama meski konsepnya sama. Dan jumlah orang miskinpun
tetap saja tidak berubah dari tahun ke tahun. Bahkan, banyak program yang berhenti
di tengah jalan. Contoh misalnya, program P2KP dan PPK yang diganti dengan PNPM
Mandiri, kemudian program P4K yang ‘terkatung-katung’ karena sumber daya PPL
yang tidak terpenuhi (akibat kehabisan dana) sehingga pendampingan
petani-nelayan tidak berjalan maksimal, program OPK yang berganti nama lagi
pada tahun 2001 menjadi kebijakan Raskin.
Adapun hambatan yang masih sangat umum di
dindonesia tetapi merupakan salah satu faktor penunjang daalam mewujudkan welflare
state di Indoensia adalah; masih kacaunya data yang ada, seperti data
kependudukan, penghasilan, penduduk miskin, cacat, serta orang terlantar,
sebagai basis untuk pemberian jaminan social. serta masih belum terealisasinya
system pajak secara menyeluruh di Indonesia. Dikhawatirkan memunculkan suatu
sudut pandangdalam masyarakat, bahwa tanpa bekerja apapun negara akan
menyediakan banyak hal bagi warganya. Selain itu, yang sangat meresahkan bagi
terwujudnya welfare state di Indonesia adalah, masih tingginya tingkat
korupsi di berbagai instansi pemerintahan, mulai dari milyaran hingga
triliyunan. Dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat,
disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri.
Tidak bisa dipungkiri, merealisasikan welfare-state
di Indonesia tidaklah semudah “membuat pisang goreng”, persamaan sudut pandang,
komitmen bersama dari para stekholder, masyarakat, serta unsur-unsur
terkait sangat diperlukan. Selain itu, harus secara tegas memerangi
korupsi yang merajalela di Indonesia.
Jika memang terali besi tidak membuat efek
jera terhadap tindak pelaku korupsi, ancaman hukuman mati mungkin selayaknya
menjadi solusi. Karena secara tidak langsung dan tanpa pelaku korupsi sadari,
akibat perbuatan mereka juga dapat membunuh secara perlahan tapi pasti kaum
marginal yang sangat membutuhkan aliran dana dari apa yang telah mereka
korupsi.
Namun dibalik itu semua, patutlah kiranya
kita syukuri, bahwa sistem pemerintahan demokratis perlahan mulai terlembaga,
Institusionalisasi politik dan lembaga-lembaga pemerintahan yang menjadi
ciri negara demokrasi modern sedang dan terus berproses menuju konsolidasi.
Semoga di kemudian hari, para pemimpin kita lebih bisa mengintropeksi diri
serta berbenah diri untuk dapat menjalankan kewajibannya secara sungguh-sungguh
kepada rakyat Indonesia, serta sadar, bahwa tugas yang di emban mereka saat
ini, adalah sebuah amanah yang mutlak akan dipertanggung jawabkan suatu hari
kelak, dimana tidak ada tawar menawar didalamnya dan tidak ada kata 'mumpung'
untuk bisa membela diri, dan sembunyi di balik jas berdasi...,,
DAFTAR PUSTAKA
Ø __________, 2008, Kebijakan
Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Ø DR. Goran Adamson : Negara
Kesejahteraan (Welfare State) di Skandinavia http://map.ugm.ac.id/index.php/analisis.
Ø Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2006.
Ø Suharto, Edi, 2009, Kemiskinan
& Perlindungan Sosial di Indonesia, Menggagas Model jaminan Sosial
Universal Bidang Kesehatan, Bandung: Alfabeta.
Ø Welfare State di
Indonesia:http://www.muchtarpakpahan.com/2010/02/welfarestate-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar