Minggu, 27 Oktober 2013

Pengertian Welfare State



Welfare state adalah negara kesejahteraan, konsep ini muncul menggantikan konsep legal state atau Negara penjaga malam.[1]
Rakyat di negara-negara tersebut menikmati pelayanan dari negara di bidang kesehatan dengan program asuransi kesehatan, sekolah gratis, sampai sekolah lanjutan atas bahkan di Jerman sampai universitas, penghidupan yang layak dari sisi pendapatan dan standar hidup, sistem transportasi yang murah dan efisien, dan orang menganggur menjadi tanggungan negara.
Semua layanan negara tersebut sebenarnya dibiayai sendiri oleh masyarakatnya yang telah menjadi semakin makmur, melalui sistem asuransi dan perpajakan, dengan orientasi utamanya mendukung human investment.

            Kesejahteraan adalah buah dari sistem ekonominya yang mandiri, produktif, dan efisien dengan pendapatan individu yang memungkinkan saving.
Sudah lebih dari 60 tahun sejak Republik Indonesia diproklamasikan sebagai negara kebangsaan dan negara kesejahteraan, namun wujud negara kesejahteraan itu belum tampak. Bahkan, kita menyaksikan dengan prihatin proses komersialisasi yang meluas dengan cepat di bidang pendidikan dan kesehatan, seiring dengan semakin terbatasnya APBN. Di tengah keterbatasan pemerintah menciptakan lapangan kerja dan menaikkan daya beli rakyat, kondisi itu amat menyakitkan kelompok rakyat yang tidak berpunya.
Kemampuan keuangan negara yang lemah menyebabkan berbagai fenomena yang hanya layak terjadi di era kolonial, seperti orang mati kelaparan dan merebaknya penyakit karena kemiskinan maupun sulitnya mengakses pendidikan, terulang lagi.
Penyelenggara negara kesulitan melaksanakan jiwa, semangat, dan ketentuan yang tertulis dalam UUD 1945 karena berbagai keterbatasan, utamanya sumber pendanaan. Jujur perlu kita akui bahwa sebagai negara bangsa kita tertinggal, baik dalam aspek pembangunan fisik maupun nonfisik dari banyak negara lain.
Ciri utama walfare state adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahtraan umum bagi warga warganya.[2] Dengan kata lain ajaran walfare state merupakan bentuk peralihan prinsip staatsonthouding (pembatansan peran Negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan social masyarakat) menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki Negara  dan pemerintah terlibak aktif dalam kehidupan ekonomi dan social, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, di samping menjalankan ketertiban dan keamanan rust en orde.
Menurut E. Utrecht, sejak Negara turut serta dalam pergaulan masyarakat, lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi Negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahtraan umum (bestuurszorg).
Pemberian kewenangan kepada administrasi Negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu lazim dikenal dengan istilah freies ermessen atau discrectionary power yaitu kewajiban dan kekuasaan yang luas
Model Penerapan Welfare State di Berbagai Negara
Menurut Edi Suharto(2006), sistem kesejahteraan negara tidaklah homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model kesejahteraan negara yang hingga kini masih beroperasi:
A.    Model Universal
Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, kesejahteraan negara di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Kesejahteraan negara di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia.
B.     Model Koorporasi
Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianut oleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck.
C.     Model Residual
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.
D.    Model Minimal
Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia, Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka, Indonesia). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut kesejahteraan negara model ini.

Secara legalitas formal, Indonesia bisa disebut sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Hal itu di antaranya tercantum dalam konstitusi UUD 1945, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU No. 11 tahun 2011 tentang Kesejahteraan Sosial, UU No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan lainnya.

“Adanya BPJS, BLSM, atau PKH itu sebenarnya sudah menuju arah yang bagus, tinggal itu harus dibuat sebagai kebijakan yang sustainable atau berlanjut. BLSM, BOS, PKH, atau bantuan untuk daerah tertinggal itu kebijakan setengah hati. Indonesia tidak mau membuat platform kebijakan yang mapan, “ ujar Edi yang juga menjadi konsultan di UN-ESCAP itu.

Welfare state,  adalah suatu sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan berkesinambungan. welfare state meyakini bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyediakan warga negara nya akan standar hidup yg layak. Karena setiap negara  memiliki standar yg berbeda-beda, yang berhubungan langsung dengan batas kemampuan negara. 

Nilai penting yang dibawa negara kesejahteraan adalah mereduksi jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin dengan cara mendistribusikan uang dari si kaya kepada si miskin. Distribusi keuntungan yang diatur oleh Negara ini salah satu caranya dilakukan dengan menempatkan pihak buruh dan pengusaha secara seimbang, memiliki hak yang sama dan setara.

Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan social, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan ketelantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), seperti pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran.

Konsep negara kesejahteraan sebenarnya sudah termaktub dalam sila kelima dari Pancasila.Namun  serta UUD 1945  serta pasal 34 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” . Namun dalam kenyataannya, konsep Negara seperti ini belum sepenuhnya diaplikasikan di Indonesia. 

Jika berkaca pada pancasila serta UUD RI tersebut, maka sudah selayaknya Indonesia mengimplementasikan negara kesejahteraan, apalagi dalam masa otonomi daeraah seperti masa ini. Setiap daerah memiliki wewenang untuk mengolah pemeritahan serta umber daya alam yang ada, yang tentunya merupakan sarana yang strategis untuk lebih mensejahterakan masyarakat yang ada di daerah tersebut. 

Namun hal tersebut kembali lagi membutuhkan komitmen bersama serta persamaan sudut pandang untuk mencapai kesejahteraan. Selain itu masih banyaknya hambatan yang ada juga merupakan sesuatu yang harus segera ditanggulangi terlebih dahulu.

Para pemikir merumuskan konsep negara kesejahteraan sebagai berikut, ”a welfare state is a state in which organized power is deliberately used through politics and administration in an effort to modify the play of market forces to achieve social prosperity and economic well-being of the people.” Rumusan ini bersumber dari karya-karya klasik antara lain Asa Griggs, The Welfare State in Historical Perspective (1961); Friedrich Hayek, The Meaning of the Welfare State (1959); dan Richard Titmuss, Essays on the Welfare State (1958). Buku Titmuss ini bisa dibilang karya magnum-opus yang secara mendalam mengupas ide negara kesejahteraan. Pemikiran mereka dapat disarikan menjadi tiga hal esensial:
  • Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok.
  • Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi social contigencies, seperti sakit, usia lanjut, menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial.
  • Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (bagi anak balita), sanitasi, dan air bersih.

Merujuk tiga gagasan itu, dapat dinilai betapa Indonesia masih jauh dari cita- cita negara kesejahteraan. Seringkali politisi-politisi kita membawa isu kesejahteraan sebagai jalan untuk memenangkan kekuasaan. Sementara dalam tataran realita, tidak ada langkah konkret yang betul-betul dilaksanakan seperti janji-janjinya waktu kampanye. Kondisi inilah yang sampai saat ini masih mewarnai bangsa kita. Sehingga kadang masyarakat menjadi apatis terhadap sistem kepemimpinan bangsa selama bertahun-tahun.

Seperti misalnya, isu-isu pembangunan ekonomi kerakyatan, pemberdayaan masyarakat marginal, kebijakan pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, yang kesemuanya itu terkesan lip service, begitu jadi pemimpin, semua program tidak berjalan. Sehingga wajar saja, jika tiap pergantian kepemimpinan, program-program penanggulangan kemiskinan senantiasa berganti-ganti nama meski konsepnya sama. Dan jumlah orang miskinpun tetap saja tidak berubah dari tahun ke tahun. Bahkan, banyak program yang berhenti di tengah jalan. Contoh misalnya, program P2KP dan PPK yang diganti dengan PNPM Mandiri, kemudian program P4K yang ‘terkatung-katung’ karena sumber daya PPL yang tidak terpenuhi (akibat kehabisan dana) sehingga pendampingan petani-nelayan tidak berjalan maksimal, program OPK yang berganti nama lagi pada tahun 2001 menjadi kebijakan Raskin.

Adapun hambatan yang masih sangat umum di dindonesia tetapi merupakan salah satu faktor penunjang daalam mewujudkan welflare state di Indoensia adalah; masih  kacaunya data yang ada, seperti data kependudukan, penghasilan, penduduk miskin, cacat, serta orang terlantar, sebagai basis untuk pemberian jaminan social. serta masih belum terealisasinya system pajak secara menyeluruh di Indonesia. Dikhawatirkan memunculkan suatu sudut pandangdalam masyarakat, bahwa tanpa bekerja apapun negara akan menyediakan banyak hal bagi warganya. Selain itu, yang sangat meresahkan bagi terwujudnya welfare state di Indonesia adalah, masih tingginya tingkat korupsi di berbagai instansi pemerintahan, mulai dari milyaran hingga triliyunan. Dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri.

Tidak bisa dipungkiri, merealisasikan welfare-state di Indonesia tidaklah semudah “membuat pisang goreng”, persamaan sudut pandang, komitmen bersama dari para stekholder, masyarakat,  serta unsur-unsur terkait sangat diperlukan. Selain itu, harus secara tegas memerangi korupsi yang merajalela di Indonesia.

Jika memang terali besi tidak membuat efek jera terhadap tindak pelaku korupsi, ancaman hukuman mati mungkin selayaknya menjadi solusi. Karena secara tidak langsung dan tanpa pelaku korupsi sadari, akibat perbuatan mereka juga dapat membunuh secara perlahan tapi pasti kaum marginal yang sangat membutuhkan aliran dana dari apa yang telah mereka korupsi. 

Namun dibalik itu semua, patutlah kiranya kita syukuri, bahwa sistem pemerintahan demokratis perlahan mulai terlembaga,  Institusionalisasi politik dan lembaga-lembaga pemerintahan yang menjadi ciri negara demokrasi modern sedang dan terus berproses menuju konsolidasi. Semoga di kemudian hari, para pemimpin kita lebih bisa mengintropeksi diri serta berbenah diri untuk dapat menjalankan kewajibannya secara sungguh-sungguh kepada rakyat Indonesia, serta sadar, bahwa tugas yang di emban mereka saat ini, adalah sebuah amanah yang mutlak akan dipertanggung jawabkan suatu hari kelak, dimana tidak ada tawar menawar didalamnya dan tidak ada kata 'mumpung' untuk bisa membela diri, dan sembunyi di balik jas berdasi...,,

DAFTAR PUSTAKA
Ø  __________, 2008, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Ø  DR. Goran Adamson : Negara Kesejahteraan (Welfare State) di Skandinavia http://map.ugm.ac.id/index.php/analisis.
Ø  Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006.
Ø  Suharto, Edi, 2009, Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia, Menggagas Model jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan, Bandung: Alfabeta.
Ø  Welfare State di Indonesia:http://www.muchtarpakpahan.com/2010/02/welfarestate-di-indonesia.html



[1] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006. hal. 14
[2] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006. hal. 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar