Banyak sekali perintis sosiologi hukum karena
sosiologi hukum ini timbul dengan serta-merta dalam penyelidikan sejarah dan
etnografi yang berkenan dengan hukum, dan juga dalam penyelidikan di lapangan
hukum yang sekaligus mencari tujuan lain, seperti menciptakan suatu idaman
sosial (social ideal), atau suatu fiilsafat hukum yang bersifat mekanis,
realistis atau relativistis, atau diskusi bersifat teknis mengenai
sumber-sumber hukum.
Sudah barang tentu, sosiologi hukum yang
serta-merta ini, sebagai lawan sosiologi hukum yang metodis, biasanya tidak
menyinggung lebih dari satu masalah tersebut (karena sifat karyanya yang di
dalamnya sosiologi itu muncul). Kita mendapatkan para pengarang itu hanya
meneliti masalah-masalah asal hukum semata-mata atau mengenai hubungan antara
kenyataan sosial hukum dan fenomena sosial lainnya, atau mengenai tipologi
hukum dari kelompok yang sering terbatas pada bentuk kenegaraan saja, padahal
ini salah. Interdependensi (hal saling bergantung) antara bagian cabang ilmu
ini setidaknya belum pernah ditinjau dalam pembahasan atau diskusi itu.
Dari sudut sejarah, maka istilah “Sosiologi
Hukum” untuk pertama kali dipergunakan oleh Anzilotti pada tahun 1882.[1]
Sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari hasil-hasil
pemikiran para ahli, baik dibidang filsafat ilmu maupun sosiologi. Hasil
pemikiran tersebut tidak serta merta berasal dari individu-individu. Akan
tetapi mungkin pulsa berasal dari mazhab-mazhab atau aliran-aliran yang
mewakili sekelompok ahli-ahli pemikir yang pada garis besarnya memiliki
pendapat-pendapat yang tidak berbeda.
1.
Aristoteles, Hobbes, Spinoza , Montesquieu
Aristoteles di zaman purba (385-322 SM) dan Montesquieu di zaman
modern (1689-1755) adalah yang paling mendekati sosiologi hukum metodis.
Aristoteles mengemukakan keseluruhan masalah yang harus dipecahkan. Montesquieu, yang terpengaruh oleh fisika
social dari Hobbes (1588-1679) dan Spinoza (1632-1677) telah membersihkan
telaah (study) itu dari prasangka kesusilaan dan mendasarkannya pada
pengamatan empiris secara sistematis.
Sosiologi hukum Aristoteles diintegrasikan ke dalam filsafat
praktisnya yang menelaah tujuan terakhir dari kelakuan individual dan kolektif
serta cara untuk mencapainya. Dalam hubungan ini, perumusan masalah yang
dilakukan oleh Aristoteles tak ada sangkut pautnya dengan sosiologi sebagai
ilmu positif. Untuk memahami arti keadilan, Aristoteles terlebih dahulu
melukiskan berbagai macam hukum positif, dalam hubungannya dengan nomos
(tata tertib sosial yang benar-benar efisien), philia (sosiality
atau kesetiakawanan sosial) dan kelompok dan kelompok tertentu (koinoniai),
sedangkan Negara hanya merupakan mahkotanya. Dan untuk menemukan bentuk
sebaik-baiknya dari pemerintahan, Aristoteles memulai dengan menelaah semua
tipe pemerintahan yang ada dalam hubungannya dengan struktur berbagai tipe
masyarakat (bahkan ia mengdakan penyelidikan perbandingan konstitusi di Yunani,
yang diantaranya hanya fragmen mengenai konstitusi Athena yang sampai kepada
kita).
Meskipun Aristoteles mengintegrasikan sosiologi hukum dengan
metafisika dogmatisnya, ia telah berhasil memperoleh suatu pandangan mengenai
masalah asasi mikrososiologi hukum, sosiologi hukum diferensial, dan sosiologi
hukum genetic. Namun, hanya di lapangan sosiologi hukum genetic, khususnya
terhadap hukum Negara Yunani di masa itu, Aristoteles mencapai hasil yang
konkret.
Antara Aristoteles dan Montesquieu terjadi perkembangan ilmu-ilmu
eksperimental, mekanisme Descartes, dan usaha pembentukan fisika sosial
hukum, yang khususnya dihubungkan dengan nama Hobbes dan Spinoza.
Penafsiran yang berlainan tentang peranan akal menimbulkan
kesenjangan antara kesimpulan yang ditarik oleh Hobbes dan Spinoza dari
masing-masing fisika sosial hukum mereka. Hobbes mengetengahkan tuntutan akal
hanya bertujuan untuk mengakhiri bellum omnium contra omnes supaya
sampai kepada kekuasaan mekanis dari Negara, yang diberinya sifat mutlak
seluruhnya. Spinoza, yang menganggap akal sebagai suatu tenaga tersendiri dan
yang jauh lebih besar daripada tenaga atau kekuasaan mekanis, kesimpulannya
menguntungkan kemerdekaan individu dan demokrasi. Ia menyatakan bahwa kekuasaan
mekanis Negara tak dapat menembus bagian dalam hati nurani manusia, karena akan
dihentikan oleh tenaga yang tak terkalahkan dari akal individu, yang ada
hubungannya dengan akal Tuhan yang tak terhingga.
Dalam bukunya Esprit de Lois (1748) yang termasyhur,
Montesquieu mencoba memadukan warisan Aristoteles (ia hanya mengambil bagian
yang mengenai kelompok politik) dengan metode fisika sosial khususnya dalam
bentuk yang diberikan oleh Spinoza. Nama karyanya itu dua maknanya, yang
berarti bahwa ia bermaksud. (a) mencari ke bawah kulit peraturan formal hukum
untuk mendapatkan inspirasi serta hubungannya dengan bentuk pemerintahan, dan
dari situ dengan substruktur sosial yang dapat berubah dari kelompok politik
yang mendasarinya; (b) untuk menyelenggarakan hukum sebagai hal yang selalu ada
dengan wajarnya (hubungan yang perlu yang berasal dari sifat hal yang
sewajarnya yang akan menerangkan terjadinya berbagai jenis politik-juridis
karena sifat ketergantungannya pada fenomena sosial lainnya. Dari sudut
tinjauan yang tersebut terakhir ini, Montesquieu memperlebar dasar penyelidikan
Aristoteles; dan mengetengahkan masalah hubungan antara sosiologi hukum dan
cabang sosiologi lainnya (khususnya dengan ekologi sosial yang menyelidiki dan
menelaah volume suatu masyarakat, bentuk dan bangunan tanahnya, sifat khas
geografisnya, dan lain-lain, dalam hubungannya dengan kepadatan penduduk)
Sosiologi hukum Montesquieu, karena faktor yang terjalin di
dalamnya banyak jumlahnya dan bercorakragam bentuknya, dapat dimasukkan ke
dalam telaah semangat sejarah, yang cenderung kepada individualisasi
fakta. Sosiologi hukumnya mengarahkan syarat-syarat naturalistis untuk menelaah
kelakuan kolektif sebagai benda fisik, yakni pengamatan empiris yang nyata dan
konsekuen. Ia mengganti rasionalisme yang begitu menonjol, bahkan di antara
orang-orang sesudah Montesquieu seperti Condorcet dan Comte dengan empirisme
radikal.
Demikianlah untuk pertama kali sosiologi hukum Montesquieu
membebaskan sosiologi hukum dari segala kecenderungan metafisika yang dogmatis,
dan membawanya lebih dekat – barangkali terlalu dekat – kepada telaah
perbandingan hukum. Bagaimanapun juga, Montesquieu dengan menguraikan isi
konkret dari pengalaman hukum dalam peradaban yang berbagai jenisnya, lebih
daripada semua orang sebelumnya mampu berkata tentang hukum bahwa ia berbicara
tentang apa yang ada, bukannya tentang apa yang seharusnya, dan bahwa ia tidak
menilai kebiasaan melainkan menerangkannya. Sementara itu, ia menyatakan dalam
tesisnya bahwa setiap lembaga dan setiap kekuasaan cenderung untuk
diputarbalikkan oleh penyalahgunaannya, yang dapat dibatasi hanya dengan suatu
imbangan lembaga-lembaga dan kekuasaan-kekuasaan, lebih mendahului gagasan
tentang struktur antinois kehidupan sosial dan hukum yang tak terpecahkan yang
dihubungkan dengan pluralismenya.
Karena petunjuk tersebut tidak menyebabkan adanya pembedaan antara
makna hukum dan makna moral, maka Montesquieu, dalam usahanya membatasi objek
sosiologi hukum, terpaksa menyandarkan dirinya kepada ukuran lainnya: dalam
karyanya itu, hukum muncul sebagai “diselenggarakan oleh seorang pembuat
undang-undang”, yang lebih dahulu ditetapkan dari atas dalam rumusan yang kaku.
Pendeknya, disederhanakan menjadi perintah hukum, yakni menjadi apa yang
diperintahkan oleh Negara. Demikian pula, Montesquieu menarik suatu garis
perbedaan yang tegas antara hukum dan adat-istiadat: “Hukum diselenggarakan,
adat-istiadat diilhamkan.” Hukum adalah lembaga khusus yang ditetapkan oleh pembuat
undang-undang; adat-istiadat dan tata cara adalah lembaga bangsa pada umumnya.
Sosiologi hukum Montesquieu membatasi dirinya pada penelaahan syarat yang
menyesuaikan perintah hukum kepada jenis masyarakat khusus yang hendak
diperintahkannya. Sosiologi hukum Montesquieu ini member nasihat yang praktis
kepada pembuat undang-undang, menunjukkan rintangan yang timbul dari milleu sosial.
Konsepsi demikian itu sudah terang bersifat “anti-sosiologis”, karena
menempatkan si pembuat undang-undang, dan lebih umum lagi Negara di atas
masyarakat yang nyata, dan juga menempatkan peraturan hukum di luar kenyataan
sosial yang serta-merta dan hidup.
Tak dapat dibantah lagi bahwa Montesquieu, yang cenderung terikat
pada statisme, dikuatkan lagi oleh penafsirannya bahwa Negara bukanlah suatu
kelompok khusus atau suatu tata tertib objektif (koinonia), tetapi
sebagai subjek yang memerintah; juga dirintangi oleh perluya untuk menemukan
kriterium hukum, tak berhasil memperhitungkan masalah terpenting dari sosiologi
hukum: masalah hukum yang serta-merta dan mudah menyesuaikan diri, yang selalu
mendahului hukum yang diorganisasi dan diterapkan. Dalam hal ini ia jauh lebih
kurang daripada Aristoteles: ketidaktahuannya tentang masalah mikrososiologi,
pemusatan perhatiannya pada sosiologi hukum genetic yang semata-mata kepada
superstruktur Negara yang terorganisasi, jelek sekali akibatnya bagi hasil
penyelidikannya. Jika kita tambahkan pula kenyataan bahwa, meskipun sangat
intensif empirisme sosiologi Montesquieu, ia tidak menhindarkan dirinya dari
pengejaran suatu tujuan yang praktis, yakni pembenaran liberalime
individualistis.
2.
PELETAK DASAR SOSIOLOGI HUKUM
A.
Peletak Dasar Sosiologi Hukum Di Amerika
1.
O. W. Holmes
Tahap
persiapan pengembangan sosiologi hukum di Amerika erat terkait dengan nama Hakim
Holmes, seorang sahabat akrab filsuf besar Amerika, William James. Dalam
bukunya common law (1881), dan dalam
serangkaian bukunya yang penting the path
of the law (1897) dicetak ulang dalam
collected legal paper (1921) holmes sudah mengisyaratkan apa yang disebut
dengan tepat oleh profesor Aronson pemberontakkan
sosiologi dalam jurisprudensi di Amerika. Sambil menolak dengan tegasnya,
baik mazhab analitik maupun mazhab historis, Holmes menekankan perlunya bagi
sarjana hukum dalam profesinya memperhatikan penelaahan kenyataan sosial yang
aktual secara objektif dan empiris, sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu-ilmu
sosial, khususnya sosiologi.
Jika
objek anda adalah hukum, maka jalan telah diratakan untuk menuju antropologi
(ilmu tentang manusia), ekonomi, politik, teori tentang perundang-undangan dan etika.
Adalah betul-betul serasi untuk menganggap dan menelaah hukum semata-mata
sebagai suatu dokumen antropologis yang besar. Telaah yang dilakukan untuk
mencapai tujuan demikian menjadi ilmu dalam arti yang sebenarnya, yang dari
padanya ilmu hukum yang sehat akan mendapatkan postulat dan kesehatan
legislatifnya, yang tidak lain dari sosiologi, walaupun tidak hanya terbatas
pada telaah kelakuan lahitiah. Adalah layak sekali mempergunakannya untuk
mengetahui cita-cita apa dari masyarakat yang cukup kuat untuk mencapai bentuk
pernyataan terakhir (yakni hukum) dari apa yang telah menjadi perubahan dalam
idaman yang berkuasa dari abad ke abad. Demikian;lah telaah ilmiah morfologi
dan perubahan gagasan manusia menjadi hukum memasuki bidang studi sosiologis dari
yang terakhir telah disebut.
2.
Roscoe Pound
sosiologi
hukum di Amerika Serikat mendapatkan pernyataan teliti dan sangat terperinci,
luas dan halus terhadap hasil ilmiah Roscoe Pound, wakil utama mazhab sosiologi
jurisprudensi. Pikiran Pound dibentuk oleh konfrontasi terus menerus dari
masalah sosiologis (masalah pengawasan sosial dan pengawasan sosial), masalah
filsafat, masalah sejarah hukum, dan masalah sifat pekerjaan pengadilan amerika
(unsur kebijakan administratif dalam proses pengadilan). Banyaknya pusat
perhatian serta titik tolak membantu Pound untuk memperluas dan memperjelas
perspektif sosiologi hukum, dan lambat lau sebagai aspeknya.
Meskipun
pandangannya sangat luas, Pound lebih mengutamakan tujuan praktis dengan:
1.
Menelaah
akibat sosial yang aktual dari lembaga hukum dan doktrin hukum, karena itu ia
lebih memandang kerjanya hukum dari pada isi abstraknya;
2.
Menunjukan
telaah sosiologis berkenaan dengan telaah hukum untuk mempersiapkan
peundang-undangan, karna itu ia menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial
yang dapat diperbaiki oleh usaha yang cerdik guna menemukan cara terbaik untuk
melanjutkan dan membimbing usaha demikian itu;
3.
Mempelajari
cara membuat peraturan yang efektif dan menitikberatkan pada tujuan sosial yang
hendak dicapai oleh hukum dan bukannya kepada sanksi;
4.
Menelaah
sejarah hukum sosiologis, yakni tentang akibat sosial yang ditimbulkan oleh
doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya;
5.
Membela
apa yang dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan mendesak supaya ajaran
hukum harus dianggap sebagai petunjuk ke arah hasil yang adil bagi masyarakat
dan bukannya sebagai bentuk yang tak dapat berubah;
6.
Meningkatkan
efektifitas peencapaian tujuan yang tersebut diatas agar usaha untuk mencapai
maksud serta tujuan hukum lebih efektif.[2]
Beberapa karya Pound yang menyusul programnya yang pertama, A Theory Of Interest dalam Proceedings Of The American Sosiol,
kedua The Administration Of Justice dalam
Harvard Law Review dan yang ketiga Courts And Legislation dalam Amer, memperkuat tentang konsentrasi
perhatian Pound terhadap kesenian jusrisprudensi yang ditafsirkan secara
teologis karena ia mengira bahwa hubungan jurisprudensi sebagai rekayasa sosial
dengan sosiologi dapat diwujudkan sebaik-baiknya oleh tujuan sosial yang di
anut oleh para ahli hukum. Penandasan Pound terhadap kepentingan sosial yang
kadang-kadang dianggap sebagai kecenderungan kepada keserbafaedahan (Sosial Utilitarianism) pada hakikatnya
hanyalah meraupakan suatu metode untuk mengajak pengadilan supaya memperhatikan
kenyataan kelompok sosial yang khusus dan tata tertibnya masing-masing.
Orientasi asli sosiologi hukum Pound ke arah pencapaian tujuan yang
praktis juga telah diatasi dengan serangkaian karya utamanya yang penting. Di
dalam karya-karyanya ini secara tegas ditunjukan kenisbian sosiologis dari
rekayasa hukum, kategori hukum, dan konsep hukum.
3.
Benjamin Cardozo
Seperti
halnya dengan sosiologi hukum Holmes dan Pound, sosiologi hukum hakim Cardozo
bertolak dari renungan tentang perlunya memperbaharui teknik hukum yang aktual
dengan menutup kesenjangan antara teknik hukum itu dan kenyataan hukum yang
hidup dewasa ini. Karya pertamanya yang diberi Judul The Nature Of Judicasl Process (1921, edisi ke-8, 1932), bertujuan
untuk menunjukan ketidaktetapan keputusan pengadilan yang makin bertambah
adalah suatu manifestasi yang tak dapat dicegah dari kenyataan bahwa proses
pengadilan bukanlah penemuan, melainkan penciptaan, penciptaan yang diperhebat
oleh situasi kehidupan hukum yang sesungguhnya.
Pada
kesimpulannya, hukum dan ketaatan pada hukum adalah fakta yang setiap hari
berlaku sungguh-sungguh bagi kita dalam pengalaman hidup kita, kita harus
mencari konsepsi hukum yang dapat dibenarkan oleh kenyataan.
Dalam
karyanya yang kedua, The Growth Of The
Law (,1927), Cardozo menulis “penyelidikan tentang tata kelakua adalah
suatu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang menuntut penyelidikan fakta sosial”,
dan bukannya suatu cabang filsafat dan jurisprudensi itu sendiri, namun kedua
subjek itu bertemu pada satu titik, yang satu jarang dapat berhasil jika tak
dilengkapi dengan yang lainnya. Di dalam metode sosiologi sering terdapat
pendekatan dari sudut lainnya. Berbagai teknik hukum ditentukan oleh zaman
serta situasi dalam masyarakat. Sementara itu, keadilan sendiri dapat berlainan
artinya bagi berbagai pikiran dan dan dalam berbagai zaman. Kita dapat belajar
apakah suatu peraturan berjalan lancar atau tidak lancan dengan
membandingkannyadengan suatu pedoman keadilan, diketahui atau tidak dapat
diketahui oleh kita, semua berdasarkan pengalaman sehari-hari.
Cardozo
dalam bukunya yang terakhir, Paradoxes Of
Legal Sciences (1928), paling mengesankan diantara karyanya, maju selangkah
lagi kearah sosiologi hukum yang bebas dari teknik juridis dan yang bertugas
sebagai satu dasarnya. Sosiologi hukum haruslah dibimbing oleh kesadaran,
demikian yang ditulis Cardozo dalam bukunya ini, hukum menentukan suatu
hubungan tidak selalu antara titik-titik yang ditetapkan, melainkan sering
antara titik-titik yang berlainan kedudukannya. Di dalamnya harus berkuasa sasa
kerelatifan (The Principle Of Realitivity).
Realitivisme ini kemudian ditambah dengan kenyataan bahwa perdamaian dari apa
yang tak dapat didamaikan, pelebur antitese adalah masalah besar hukum. Tata
cara dan kebiasaan setidaknya merupakan sumber hukum, tekanan tata kelakuan
dapat menetapkan arah hukum. Pelukisan antara hukum sebenarnya dan tata
kelakuan, bahkan hubungan antara norma hukum dan norma susila haruslah
dibebaskan dari kesewenang-wenangan konsep. Sebab, konsep itu lebih merupakan
tirani dari pada abdi apabila dihadapi sebagai wujud yang nyata dan berkembang
tak semena-mena tanpa menghiraukan akibatnya terhadap batas logikanya.
B.
Peletakan Dasar Sosiologi Hukum di Eropa
1.
Durkheim
Division du Travail Social, 1893, merupakan titik tolak telaahnya: masalah
hubungan antara bentuk kemasyarakatan dan berbagai jenis hukum.
Menurut Durkheim
sosiologi hukum harus dibedak antara jenis hukum. Pertama, kesetiakawanan mekanis ialah
hukum pidana. Kedua, kesetiakawanan organis ialah keluarga, kontrak dan dagang,
hukum prosedur, hukum administratif dan konstitusional.[3]
Sutu analisis terperinci menyebabkan Durkheim mengadakan tipe lain dalam dua tipe utamanya dari
peraturan hukum dan bentuk kesetiakawanan ini, dimana Durkheim membedakan hukum
kontrak dari hukum yang berada di luar kontrak (hukum rumah tangga, hukum
serikat pekerja, hukum konstitusional dan lain-lain). Selanjutnya Durkheim
menyatakan bahwa tidak selamanya kontrak itu bersifat kontrak dan bahwa serikat
kerja sama kita yang besifat sukarela menciptakan kewajiban yang tak
kitainginkan, yakni ada timbul dibawah bentuk kontrak hukum yang
diundang-undangkan dari berbagai kelompok yang tidak dapat dikembalikan kepada
jumlah anggota, atau apa yang semenjak Durkheim dinamakan “actes-regles”
undang-undang yang mengatur atau
“contracts of adhesion”. Demikian pula, menurut Durkheim kesetiakawana organisasi seolah-olah
runtuh menjadi apa yang dinamakan kesetiakawanan
kontrak atau kesetiakawanan yang membatasi, dan kesetiakawanan yang lebih
erat dan lebih positif yang dianggap
kesetiakawana karena dianggap saling memasuki atau setengah peleburan.
Durkheim membedakan pertama, tipe masyarakat yang bersejahtera yang
berbidang-bidang, yang terbentuk dari klen (horde yang diintegrasikan dengan
satuan yang lebih besar) seperti yang terdapat diantara bangsa Australia dan
Iroquoi. Kedua, tipe masyarakat berbidang-bidang yang tersusun secara
sederhana, yang di dalamnya terlebur banyak suku, misalanya konfederasi Iroquoi
atau Kabyle. ketiga, tipe masyarakat yang berbidang-bidang yang tersusun
rangkap, seperti kota, uni dari konfederasi, suku (misalnya curiae Romawi).
Keempat, tipe masyarakat yang terorganisasi yang tersusun tidak dengan
penggabungan bidang yang sama dan homogen, melaikan tersusun melalui sistem
kekuasaan, dalam masyarakat ini, individu diintegrasikan ke dalam kelompok bukan oleh hubungan
berdasarkan keturunan, akantetapi oleh sifat khusus aktivitas sosisal mereka.
2. Duguit, Levy dan Hauriou
Tiga peletak dasar sosiologi hukum asal Prancis, Leon Duguit meninggal pada
tahun 1938, sedangkan Emmanuel Levy dan Maurice Hauriou meninggal pada tahun
1930. Levy dan Haurio merupakan murud Durkheim, sedangkan Maurice Hauriou
menganggap dirinya sebagai lawannya.
Leon Duduit tak begitu mementingkan telaah sosiologi hukum itu sendiri,
melainkan lebih mementingkan penggunannya dalam ilmu hukum, yakni kesenian
teknis dari sistematisasi hukum yang benar-benar berlaku, khususnya sistem
konstitusional.[4]
Bersamaan dengan itu ia membicarakan teori tentang sosiologi hukum (a
sociological theory of law). Ini hanya dapat mengkompromikan sosiologi hukum,
yang tujuannaya berlainan dengan filsafat hukum dan sama sekali tak dapat
menganggap dirinya sebagai penggati. Sam ahalnya deng Durkheim, Duguit
menghubungkan semua hukum dangan kesetiakawana de fakto, yakni ikatan
sosial.
Menurut Emmanuel Levy sosiologi hukum harus berdasrkan kepercayaan kolektif
(tetapi dibatasi oleh tindakan yang timbul dari budi) terjalin dengan
penguraian tentang pengalaman hukum langsung, yang didekati melalui filsafat
hukum.[5]
Seperti halnay Durkheim, Maurice Hauriou berusaha mencari suatu dasar yang
idealistis-realistis bagi sosiologi hukum. Tidak seperti Durkheim, ia dengan
tegas membenarkan ketidak mungkinan tingkat nilai-nilai dan gagasan
persahajakan dalah kehidupan sosial, mengenai budi kolektif yang memahami
nilai-nilai dan gagasan itu. Sebaliknya, menurut Maurice Hauriou gagasan dan
nilai ini memberi perlawanan, dan tindakan sebagai tujuan. Ia menulis yang
paling penting bai ilmu sosial adalah melepaskan diri dari subjektivisme
filsafat (philosophical subjectivism) dan berpegangan pada idealisme objektif,
meskipun yang demikian ini berarti kembali pada idealisme Plato.
3. Max Weber dan Eugene Ehrlich
Max Weber meninggal pada tahun 1922. “ketika
kita berurusan dengan hokum, tatanan hokum, peraturan hokum, kita harus secara
tegas mengamati perbedaan antara tinjauan hokum dengan tinjauan sosiologi. Ilmu
hokum menghendaki norma-norma hokum yang secara ideal valid. Yakni makna normative
apa yang harus dilekatkan pada kalimat yang mewakili norma hokum. Sosiologi
menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi dalam suatu masyarakat karena ada
suatu kesempatan tertentu di mana para anggotanya mempercayai validasi suatu
tatanan dan menyesuaikan perbuatannya dengan tatanan ini”[6]
Objek sosiologi
hokum adalah perbutan manusia yang telah diadaptasikan oleh pelakunya pada
sebuah tatanan karena dia memandang tatanan tersebut “Valid”, dan itu berarti
bahwa individu yang perbuatanya merupakan objek sosiologi hokum memendang
tatanan tersebut dengan cara yang sama seperti ilmu hokum normative memendang
hokum. Agar menjadi objek sosiologi hokum, perbuatan manusia haru ditentukan
ole hide dari tatanan yang valid.
Eugene Ehrlich, meninggal pada tahun 1932. Tiga karya utamanya adalah
Beitrage zur Theorie der Rechtsquellen (1902), Grundlegung der Soziologie des
Rechts (jilid pertama 1913, jilid kedua 1928) dan Die Juristische Logik (1919).[7] Eugene
Ehrlich menyelenggarakn dua tugas. Pertama, ia hendak menunjukan bahwa apa yang
dinamakan jurisprudensi yang diselenggarahan oleh para ahli hukum adalah
semata-mata suatu tekni yang bersifat relatif untuk mencapai tujuan praktis.
Sementara itu jurisprudensi itu, tidak mampu memahami apa-apa, kecuali kulit
yang paling luar dari kenyataan hukum yang paling efektif. Kedua, Eugene
Ehrlich bermaksud hendak melukiskan secara meodis dan objektif, dengan suatu
metode yang terlepas dari segala teknik, kenyataan hukum integral dan
sertamerta dalam segala tingkat kedalamnya. Ehrlich menghubungkan masalah
diferensisasi peraturan hukum semata-mata dengan lapisan hukum kedalamnya,
seolah-olah setiap jenis hukum tak memiliki lapisan sendir yang terletak di
atsanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Huku dan Negara, terjemahan dari
General Theory of Law and State (N.Y: Russel and Russel, 1971). Cetakan ke IV,
Bandung: Nusa Media, 2009
Ø Georges Gurvitch, Sosiologi Hukum, Jakarta: penerbit Bhratara, hal.
133
Ø The Scope and Purpose of Sosiologocal Jurisprudence”
dalam harvard law review, 1912, vol.25
Ø Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok
Sosiologi Hukum. Cetakan ke XXI. Jakarta: Rajawali Pers, 2012
[1]
Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi
Hukum. Cetakan ke XXI. Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hal 32
[2]
Baca “the scope and purpose of sosiologocal jurisprudence” dalam harvard law
review, 1912, vol.25, hlm. 513-516
[3]
Georges Gurvitch, Sosiologi Hukum, Jakarta: penerbit Bhratara, hal. 94
[4]Georges
Gurvitch, Sosiologi Hukum, Jakarta: penerbit Bhratara, hal. 109
[5]
Georges Gurvitch, Sosiologi Hukum, Jakarta: penerbit Bhratara, hal. 120
[6]
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Huku dan Negara, terjemahan dari General Theory
of Law and State (N.Y: Russel and Russel, 1971). Cetakan ke IV, Bandung: Nusa
Media, 2009, hal. 252
[7]
Georges Gurvitch, Sosiologi Hukum, Jakarta: penerbit Bhratara, hal. 133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar