A.
Pengertian
Hukum Perdata Islam di Indonesia
Hukum Perdata
Islam adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal
atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya
sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif
berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Contohnya
adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat dan perwakafan serta
ekonomi syari’ah.
(Pasal 49 UU
No.7/`89 jo UU no 3/`06)
B.
Sejarah
Belakunya Hukum Perdata Islam di Indonesia
1.
Hukum
Islam Pada Masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara
Pada masa ini
hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa
dikatakan sempurna, mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah
(perkawinan, perceraian dan warisan). Hukum Islam juga menjadi sistem hukum
mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam Nusantar. Tidaklah berlebihan
jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan Belanda, hukum islam menjadi
hukum yang positif di Nusantara.
2.
Hukum
Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Perkembangan
hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat diklasifikasi
kedalam dua bentuk :
Pertama, adanya
toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak luas bagi
perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum
Islam dengan menghadapkan pada hukum adat.
Pada fase kedua
ini Belanda ingin menerapkan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia, yaitu
Belanda ingin menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, dengan
tahap-tahap kebijakkan strategiknya yaitu:
a.
Receptie
in Complexu (Salomon Keyzer & Christian van Den Berg [1845-1927]), teori
ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam
maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku
tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.
b.
Teori
Receptie (Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C. Van Vollenhoven
dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima
memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat, implikasi
dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam menjadi
lambat dibandingkan institusi lainnya di Nusantara.
3.
Hukum
Islam Pada Masa Penjajahan Jepang
Menurut Daniel
S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau mempertahankan beberapa
peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri
oleh Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak
diinginkan.
Jepang hanya
berusaha menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia, dan
pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di Indonesia
tidak begiti signifikan.
4.
Hukum
Islam Pada Masa Kemerdekaan
Salah satu
makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh
hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan, walaupun aturan
peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang
berdasar teori receptie (Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak
berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.
Teori receptie
harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rosul. Disamping
Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori Receptie a Contrario, yang
menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
5.
Hukum
Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru
a.
Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Politik hukum
memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde baru,
dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu” dan pada pasal
63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah
Pengadilan Agama (PA) bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi
pemeluk agama lainnya.
b.
Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Dengan
disahkanya UU PA tersebut, maka terjadi perubahan penting dan mendasar dalam
lingkungan PA. Diantaranya:
1)
PA
telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan
sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara.
2)
Nama,
susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam
diseluruh Indonesia. Dengan univikasi hukum acara PA ini maka memudahkan
terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.
c.
Kompilasi
Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991 (KHI)
Pada
Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat
Keputusan Bersama (SKB) Ketua Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu
membentuk proyek kompilasi hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum,
masing-masing tentang Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku
II), dan tentang Hukum Perwakafan (BUKU III)
Bulan Februari
1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas sebagai inovasi
dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto
menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum
berlakunya KHI tersebut.
6.
Hukum
Islam Pada Masa Reformasi
Diantara produk
hukum yang positif di era reformasi sementara ini yang sangat jelas bermuatan
hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain :
a.
Undang-undang
No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
b.
Undang-undang
No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
c.
Undang-undang
No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan terhadapUndang-undang No. 7 tahun 1999
tentang Peradilan Agama (Ekonomi Syari`ah)
d.
Undang-undang
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 49 ayat
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang :
a.
Perkawinan;
b.
Kewarisan,
wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c.
Wakaf
dan shadaqah.
Undang-undang
No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan terhadap Undang-undang No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama
Pasal 49 ayat
(1) berubah menjadi sebagaiberikut :
Pengadilan
agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a.
Perkawinan;
b.
Waris;
c.
Wasiat;
d.
Hibah;
e.
Wakaf;
f.
Zakat;
g.
Infaq;
h.
Shadaqah;
dan
i.
Ekonomi
syari’ah.
Yang dimaksud
dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau
badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada
hukum Islam mengenai halhal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan Pasal ini.
Huruf a Yang
dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut
syari’ah,antara lain :
1.
Izin
beristri lebih dari seorang;
2.
Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3.
Dispensasi
kawin;
4.
Pencegahan
perkawinan;
5.
Penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6.
Pembatalan
perkawinan;
7.
Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8.
Perceraian
karena talak;
9.
Gugatan
perceraian;
10.
Penyelesaian
harta bersama;
11.
Penguasaan
anak-anak;
12.
Ibu
dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13.
Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.
Putusan
tentang sah tidaknya seorang anak;
15.
Putusan
tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.
Pencabutan
kekuasaan wali;
17.
Penunjukan
orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut;
18.
Penunjukan
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas)
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19.
Pembebanan
kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.
Penetapan
asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21.
Putusan
tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.
Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b Yang
dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Huruf c Yang
dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu bendaatau
manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang
memberi tersebut meninggal dunia.
Huruf d Yang
dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum
untuk dimiliki.
Huruf e Yang
dimaksud dengan “wakaf” adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang
(wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah.
Huruf g Yang
dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan,
memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Huruf f Yang
dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim
atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya
Huruf h Yang
dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi
oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala
dan pahala semata.
Huruf I Yang
dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
a.
Bank
syari’ah;
b.
Lembaga
keuangan mikro syari’ah.
c.
Asuransi
syari’ah;
d.
Reasuransi
syari’ah;
e.
Reksa
dana syari’ah;
f.
Obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g.
Sekuritas
syari’ah;
h.
Pembiayaan
syari’ah;
i.
Pegadaian
syari’ah;
j.
Dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah;dan
k.
Bisnis
syari’ah.
Arti Definisi
Pengertian Perkawinan/Pernikahan Dan Dasar Tujuan Nikah/Kawin Manusia. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut
Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan
galizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan
dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan
kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut
perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan
adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah
pihak baik suami maupun istri.
erkawinan
bertujuan .(UU NO. 1/1974) untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan
kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan
mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan
jalan hidup seseorang. Sedangkan (KHI Inpres No 1/1991) tujuan perkawinan
adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah ( mawadah warahmah)
Prinsip-prinsip
atau asas-asas perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan, disebutkan didalam
penjelasan umumnya sebagai berikut :
a.
Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b.
Perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
c.
Undang-undang
ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami
dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d.
Undang-Udang
ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus batas umur untuk kawin
baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi
wanita.
e.
Karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan
sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya
perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal
19 P P No. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
f.
Hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama suami istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar