Latar Belakang
Hukum kewarisan islam pada dasarnya berlaku untuk umat islam dimasa
mana saja didunia ini. Sekalipun demikian, corak suatu Negara islam dan
kehidupan masyrakat Negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan
didaerah itu. Pengaruh itu terbatas pada perkara yang bukan merupakan hal pokok
dalam ketentuan waris.
Khusus hukum kewarisan Islam di Indonesia, ada beberapa perbedaan
dikalangan para fuqaha yang pada garis besarnya terbagi menjadi dua golongan,
yaitu: pertama, yang lazim disebut dengan madzhab sunny (madzhab
Hanafi,Maliki, Syafi' i, dan Hambali) yang cenderung bersifat patrilineal dan kedua,
ajaran Hazairin yang cenderung bilateral.
Dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia selanjutnya lahirlah
Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan
hadirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pengertian
Hukum kewarisan islam biasa juga diatur dalam ilmu faraid atau ilmu
tentang waris-mewarisi.[1] Yang
dimaksud dengan faraid adalah masalah-masalah pembagian harta waris. Kata الفرائض(
al-fa’idh atau di indonesiakan menjadi faraidh-pen.) adalah bentuk jama dariالفريضة (al faridhah ) yang bermakna المفروض (al-mafrudhah) atau
sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya
Menurut bahasa, lafal faridhah diambil dari kata الفرض (al-fardh) atau kewajiban yang
memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara terminologis, kata al-fardh
memiliki beberapa arti, diantara sebagai berikut,
1.
) القطعal-qath’i) yang bererti ketetapan atau kepastian.
2.
التقدير(at-taqdir) yang berarti suatu
ketetntuan
3.
الإنزال(al-inzal) yang berarti menurunkan
4.
التبيين(at-tabyin) yang berarti penjelasan
5.
الإحلال(al-ihlal) yang berarti menghalalkan
6.
الاطاء(al-atha’) yang berarti pemberian
Keenam arti di atas dapat digunakan seluruhnya karena ilmu faraidh
meliputi beberapa bagian kepemilikan yang telah ditentukan secara tepat dan
pasti.
Sedangkan secara terminologis, ilmu faraidh memiliki beberapa
definisi, yakni sebagai berikut :
1.
Penetapan kadar
warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara’yang tidak bertambah,
kecuali dengan radd ( mengembalikan sisa
lebih kepada para penerima warisan) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul
(pembagian harta waris, dimana jumlah bagian dari para ahli waris lebih besar
daripada asal masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah
bagian-bagian.
2.
Pengetahuan
tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang terkait dengan pembagian
harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta peninggalan
untuk setiap pemilik hak waris.
3.
Disebut juga
dengan fiqh al-mawaris ‘fiqih tentang warisan’dan tata cara menghitung harta
waris
4.
Kaidah-kaidah
fiqih dan cara menghitung untuk mengetahui bagian setiap ahli waris dari harta
peninggalan masuk dalam definisi ini adalah batasan-batasan dan kaidah-kaidah
yang berkaitan erat dengan keadaan waris,
5.
Disebut juga
dengan ilmu yang digunakan untu mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi dan
yang tidak dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahli waris[2].
Dalam kompilasi hukum Islam pasal pasal 171 (a) hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta pe-ningga-lan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.[3]
Asas-asas
hukum kewarisan dapat digali dari keseluruhan
ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan penjelasan tambahan
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, dengan sunnahnya misalnya asas keadilan
hukum, asas, kepastian hukum, dan asas manfaat yang dialirkan dari Al-Quran
surat An Nissa ayat 135, Al Maidah ayat 8, disini akan dikemukakan lima asas
yaitu :
a.
Asas
ijbari, dalam hukum Islam
peralihan harta sesorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku
dengan sendirinya yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara “Ijbari”.
Ahli waris langsung menerima kenyataan pindahnya harta si meninggal dunia
kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan. Adanya asas ijbari dalam Hukum
Kewarisan Islam dapat dilihat dari :
a) Segi peralihan harta, sebagaimana dalam surat An Nisaa
ayat 7 :
7.” bagi orang laki-laki ada
hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
b) Segi jumlah pembagian dapat dilihat dari surat An Nisaa
ayat 11 :
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan.
c)
Segi
kepada siapa harta itu beralih dapat dilihat dalam surat, An Nisaa 176 : “ mereka meminta
fatwa kepadamu (tentang kalalah Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
d) Asas Bilateral, bahwa hukum kewarisan dalam Islam berarti seseorang menerima warisan dari
kedua belah pihak kerabat dari pihak laki-laki maupun perempuan, dapat dilihat
dalam firman Allah dalam surat An Nisaa ayat 7 :
7. bagi orang laki-laki ada
hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
e) Asas individual, artinya dalam sistem hukum waris Islam, harta peninggalan yang ditinggal
mati oleh si yang meninggala dunia dibagi secara individual secara pribadi
langsung kepada masing-masing, sebagaimana dalam firman Allah surat An Nisaa
ayat 11 :
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan ; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta.
f) Asas keadilan berimbang, semua bentuk hubungan keperdataan berasas adil dan
seimbang dalam hak dan kewajiban untung dan rugi, asas keadilan berimbang dalam
hukum kewarisan, secara sadar dapat dikatakan bahwa laki-laki maupun perempuan
sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris mewarisi harta peninggalan yang
ditinggal oleh pewaris.
g) Asas kewarisan semata akibat kematian, bahwa peralihan harta peninggalan seseorang kepada
orang lain dengan nama KEWARISAN berlaku sesudah meninggalnya yang mempunyai
harta.
Sumber hukum kewarisan (faraidh)
Sumber-sumber hukum ilmu faraidh adalah
Al-quran, As-sunnah Nabi saw. Dan ijma para ulama. Ijtihad atau qiyas didalam
ilmu faraidh tidak mempunyai ruang gerak, kecuali jika ia sudah menjadinijma
para ulama.
a.
Al-Qur’an
Ada tiga ayat yang memuat tentang hukum waris. Ketiga
ayat tersebut terdapat dalam surat an-Nissa, berikut ini penjelasannya:
Ayat
pertama, berbicara tentang warisan anak laki-laki dan perempuan serta ayah dan
ibu (al-furu dan al-ushul), seperti termaktub dalam firman allah swt:
“Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;[5]
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[6],
Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Qs.an-Nissa (4):11).
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah swt, menetapkan pembagian
warisan kepada 3 kelompok, yaitu anak laki-laki, anak perempuan, serta campuran
antara anak laki-laki dan perempuan.
Ayat
kedua, pada keadaan tidak memiki keturunan, jika simayit yang mewariskan tidak
memiliki furu dan yang mewarisinya adalah ushul, Allah telah menetapkan bagian
warisan bagi ibu adalah sepertiga, dan tidak ada bagian dari sang ayah. Bagian
dari sang ayah dalah sisa harta peninggalan si mayit, kecuali jika si mayit
mempunyai saudara, dua orang atau lebih. Dalam hal ini Allah telah menentukan
bagian dari sang ibu adalah seperenam, sedangkan sisanya untuk ayah.
Sementara
warisan untuk suami-istri, anak-anak ibu (saudara seibu bagi si mayit)
laki-laki maupun perempuan terdapat dalam firman Allah swt:
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu
itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.”(Qs. An-Nissa (4):12)
Kandungan
pertama ayat diatas menyebutkan bagian harta waris bagi suami istri. dan
kandungan yang kedua menyebutkan warisan bagi saudara seibu dari si mayit.
Demikian pula Allah menjelaskan bahwasanya istri mempunyai dua keadaan:
pertama,jika istri tidak mewarisi bersama-sama dengan anaknya, bagian tetap
untuknya adalah seperempat. Kedua jika istri mewarisi bersama-sama dengan
anaknya dari sang suami, istri mendapatkan bagian tetap seperempat.
Sementara
untuk waris saudara laki-laki ataupun perempuan Allah berfirman:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki
dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”)Qs. An-nisaa (4):176)
Pada
ayat diatas Allah menyebutkan bagian warisan untuk saudara laki-laki dan saudra
perempuan yang tidak seibu, dimana keadaan mereka terbagi menjadi tiga:
pertama, jika yang mewarisi laki-laki semua, mereka mewarisi sacara
bersama-sama tanpa ketentuan bagian yang tetap. Kedua, jka yang mewarisi
perempuan dan dia sendirian, dia akan mendapatkan bagian seperdua, sedangkan
bila ahli waris itu dua orang anak perempuan atau lebih, bagian mereka adalah
dua pertiga, ketiga, jika yang mewarisi harat peninggalanadalah anak laki-laki
dan perempuan, mereka dpat mewarisi dengan ketetapan anak laki-laki mendapat
dua kali kipat dari anak perempuan.
b.
Sunnah Nabi saw
Ada beberapa hadis yang menerangkan
tentang pembagian harta waris, antara lain:
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa
Nabi saw, bersabda, “berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak.
Sesudah itu, sisanya, yang lebih utama adalah orang laki-laki”. (HR. Bukhari
dan Muslim) adpun yang lebih utama adalah yang lebih dekat.
c.
Ijma
Para
sahabat, tabi’in, generasi pascasahabat, dan tabi’it tabi’in, generasi
pasca-tabi’in, telah berijma atau sepakat tentang legalitas ilmu faraidh dan
tiada seorangpun yang menyalahi ijma tersebut.[7]
Ahli
waris
Ahli waris adalah orang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan pernikahan dengan pewaris, beragama islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[8]
Terjadinya pewarisan disyaratkan pewaris adalah telah meninggal
dunia, baik secara hakiki
ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh
ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya
pewaris baik secara hakiki, hukum atau takdiri.[9]
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a)
Mengurus dan
menyelasaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b)
Menyelesaikan
baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris
maupun penagih piutang.
c)
Menyelesaikan
wasiat pewaris
d)
Membagi harta
warisan diantara ahli waris yang berhak[10]
Masyrakat yang dituju oleh Al Quran dan sistem
kewarisan yang dijumpai dalam Al Quran.
Ada berbagai bentuk masyarakat, namun manakah
yang dituju oleh Al Qur’an, hukum menentukan bentuk msayarakat, bentuk
kekeluargaan berpokok pangkal pda sistem keturunan, ada tiga sistem keturunan
yaitu[11] :
a.
Patrilineal, yang menimbulkan kesatuan-kesatuan
kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan, marga diman setiap orang selalu
menghubungkan dirinya hanya kepda ayahnya.
b.
Matrilineal, yang menimbulkan kesatuan-kesatuan
kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan, marga diman setiap orang selalu
menghubungkan dirinya hanya kepda ibunya.
c.
Bilateral yang menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan
yang besar-besar, seperti clan, marga diman setiap orang selalu menghubungkan
dirinya kepda dalam hal keturunan baik kepada ibunya maupun kepada
bapaknya.
Jika Al Quran dipelajari dengan beralatkan
ilmu tentang berbagai bentuk kemasyarakatan, yakni tentang berbagai jenis
sistem kekeluargaan, tentang jenis keturunan, maka ayat-ayat Al Quran
dilapangan perkawinan dan kewarisan mencerminkan suatu bentuk sistem
kekeluargaan yang bilateral.
Di Indonesia kita jumpai tiga macam sistem
kewarisan, yaitu :
-
Sistem kewarisan individuil yang cirinya bahwa harta
peninggalan dapat dibagikan pemiliknyadiantara ahli waris seperti dalam
masyarakat bilateral di Jawa. Ayat Al Quran yang memenuhi unsur-unsur
individual itu surat An Nisa ayat 7 :
7. bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan. Ayat ini mengandung prinsip-prinsip bagi
sistem kewarisan yang individuil, yaitu para ahli waris berhak atas suatu
bagian yang pasti dan bahwa bagian-bagian itu wajib diberikan kepada mereka,
maka sekrang tidak ada lagi keragu-raguannya untuk menyatakan bahwa sistem
kewarisan menurut Al Quran itu termasuk jenis yang individual bilateral.
-
Sistem kewarisan kolektif, yang cirinya ialah bahwa harta
peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang merupakan badan hukum
dimana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, seperti di Minangkabau.
-
Sistem mayorat, dimana anak tertua pada saat matinya
sipewarisnya berhak tunggal untuk mewarisi sluruh harta peninggalan, atu berhak
tunggal unutk mewarisi sejumlah harta pokok keluarga.
Penyebab
dan penghalang saling mewarisi
a.
Sebab-sebab
saling mewariskan
Lafad
asbab’ sebab-sebab adalah bentuk jamak dari lafazh sabab ‘sebab’. Sabab menurut
bahasa ialah sesuatu yang menyampaikan kepada sesuatau yang lain, naik sesuatu
tersebut bisa diraba, seperti tali, sebagaimana firman Allah swt., “…hendaklah
ia merentangkan tali kelangit…” (al-hajj (22):15) atau sesuatu itu abstrak,
seperti ilmu menjadi sebab kepada kebaikan, sebagaimana firman Allah swt.,
“…kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatau.” (Al-kahfi
(18):84) “jalan disini bermakna ilmu, sebagaimana yang ditafsirkan oleh
sebagian ahli tafsir.
adapun
sebab menurut islitah adalah satu hal
yang mengaharuskan keberadaan hal yang lain, sehingga hal yang lain itu menjadi
ada dan ketiadaan satu hal itu menjadikan hal yang lain tidak ada secara
substansial.
definisi
ulama yang mengatakan bahwa keberadaan sesuatu mengharuskan adanya sesuatu yang
lain, dengan sendrinya mengecualikan makna syarat, karna syarat tidak
mengharuskan adanya sesuatu. Sebab-sebab mewariskan yang disepakati yaitu:
a)
Kekerabatan
ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi
yang disebabkan oleh kelahiran baik dekat maupun jauh, adapun dalil al-Quran
yang menjelaskan karena kekerabatan antara lain:
“…jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, …” (Qs. An-nisaa
(4):12)
Adapun
ahli waris yang dapat mewarisi dari garis kekerabatan dari solongan ushul 1)
ayah, kakek, dan jalur keatasnya, 2) ibu, nenek (ibunya suami dan ibunya istri,
dan golongan keatasnya. Golongan furu adalah 1) anak laiki-laki, cucu, cicit
dan jalur kebawahnya sdangkan golongan khawsyi adalah 1) saudara laki-laki dan
perempuan secara mutlak, 2) anank saudara kandung, 3) paman sekandung
b)
Pernikahan
merupakan akad yang sah menurut syariat. Ahli waris yang dapat mewarisi karena
garis perkawinan mereka adalah suami yang istrinya meninggal dan istri yang
suaminya meningggal jadi perkawinan menyebabkan laki-laki dan perempuan dapat
saling mewarisi selama akadnya masih utuh.
Sebab
mewarisi yang paling kuat adalah nasab dikarenakan keberadaan lebih awal dan
utama, mewarisi karna nasab tidak bisa hinga untuh sampai akhir hayat dan nasab
dapat mewarisi warisan dengan cara bagian tetap (fardh) dan ta’shib
Sebab
penghalang pewarisan diantara lain :
a)
Berlainan
Agama, para ahli fiqih bersepakat bahwasanya, berlainan agama
Merupakan
salah satu pengahalang dari beberapa pewaris. Dengan demikian orang kafir tidak
bisa mewarisi harta seorang Islam dan seorang Muslim tidak dapat mewarisi harta
orang kafir. Sabda Nabi saw. Berikut :
لَايَرِثُ المُسْلِمُ وَلَاالكَافِرُ
المُسْلِمَ
“Orang Islam tidak
dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta
orang Islam.” (HR Mutafaq’ alaih)[12]
b)
Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa
orang lain secara langsung atau tidak langsung. Para ulama fiqih telah
bersepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu penghalang dalam hukum waris.
Dengan demikian, seorang pembunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan orang
yang dibunuh. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW :
لَايَرِثُ القَاتِلَ شَيْئًا
“Seorang pembunuh
tidak dapat mewarisi harta sedikit pun” (HR Abu Dawud)[13]
Bagian masing-masing Ahli Waris dan cara penyelesaiannya (Aul dan
Radd).
- Aul secara
istilah yaitu bertambahnya jumblah ash-habul furud, tetapi bagian yang didapatkan para ahli waris
berkurang. Hal ini terjadi jika jumblah Ash- habul furudh sangat banyak, dan
ada sebagian dari mereka yang mendapatkan warisan karena warisan telah habis
dibagikan untuk sebagian dari mereka. Dalam keadaan seperti ini, kita terpaksa
menambah asal maalah, dehingga warisan itu mencukupi dan dapat dibagikan untuk
seluruh ash-habul furudh. Dengan demikian bagian ahli waris akan dikurangi,
namun tidak ada ahli waris yang tidak mendapatkan bagian.
Masalah
aul tidak pernah terjadi pada zaman Rasulillah saw., juga pada zaman Abu Bakar
r.a. masalah ini baru terjadsi pada zaman umar bin khatab r.a, para perawi menyubutkan bahwa masalah
‘aul terjadi ketika seseorang wafat, meninggalkan ahli waris, seorang suami dan
2 saudara perempuan kandung. Dalam masalah ini, suami mendapatkan bagian tetap
separuh (1/2) dan 2 saudara perempuan mendapatkan bagian tetap dua pertiga
(2/3). Bagian tetap (fard) tersebut ternyata melebihi jumlah harta waris.
Kemudian, masalah ini diadukan kepada Umar r.a, sang suami menuntut bagiaanya
secara sempurna dan 2 orang saudara perempuan si mayit pun menuntut yang
demikian, saat itu Umar ragu untuk memutuskan akhirnya dia bermusyawarah dengan
beberapa orang sahabat tentang hal itu. Lalu Umar berkata, “Demi Allah, aku
tidak tahu siapa diantara kalian yang didahulukan dan diakhirkan Allah ? jika
aku memberikan suami haknya secara sempurna pastilah dua saudara perempuan
tidak bisa mendapat haknya sepenuhnya, dan sebaliknya. Ketika itu, Abbas bin
Abdul Muthalib mengusulkan ‘aul.
Diriwayatkan bahwa Abbas berkata, “ Wahai Amirul
Mu’minin, apa pendapat anda, jika seorang laki-laki wafat dan meninggalkan 6
dirham. Seorang ahli waris memiliki hak 3 dirham dan seorang lagi memiliki hak
dirham 4 dirham. Bagaimana anda memecahkannya ? bukankah anda akan menjadikan
hartanya itu 7 bagian ?”, “benar,” jawab Umar. “ Demikianlah penyelesaian untuk
masalah ini, kata Abbas. Umar akhirnya menyetujui pendapat itu, demuikian para
sahabat, sehingga terjadilah ijma masalah ini.
Asal masalah yang tidak bisa di-aul-kan ada empat, yakni
2, 3, 4, dan 8. Dan yang bisa di-aul-kan ada tiga, yakni 6, 12, dan 24.
Contoh seorang wanita wafat, meninggalkan ahli waris
suami, saudara perempuan sebapak, saudara seibu.
Suami
Saudara perempuan sebapak
Saudara seibu
|
½
½
1/6
|
3
3
1
|
Asal masalah dalam contoh ini adalah 6,
kemudian di-aul-kan menjadi 7.
-
Ahli waris yang mendapatkan Radd
Radd adalah pengurangan pada asal masalah dan
penambahan pada kadar atau nilai bagian ash-habul-furudh. Ahli waris yang
mendapatkan pengembalian (radd) adalah seluruh ash-habul furudh, selain suami
dan istri, yang berjumlah 8 orang, yaitu 1) anak perempuan; 2) cucu perempuan
dan anak laki-laki; 3) saudara perempuan kandung; 4) saudara perempuan sebapak;
5) ibu; 6) nenek dari bapak atau ibu; 7) saudara perempuan seibu; dan 8)
saudara laki-laki seibu. contoh :
Apabila seseorang wafat meninggalkan suami dan 2 orang
anak perempuan, suami mendapatkan bagian tetap seperempat (1/4). Sisanya, tiga
perempat (3/4), dibagi rata sesuai dengan jumlah anak perempuan.
Kesimpulan
-
Ilmu waris adalah : ilmu
yang digunakan untu mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi dan yang tidak
dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahli waris.
-
Lima
asas ilmu waris :
-
Asas
ijbari,
-
Asas
Bilateral.
-
Asas
individual.
-
Asas
keadilan berimbang.
-
Asas
kewarisan semata akibat kematian.
-
Ada tiga sistem keturunan di Indonesia yaitu :
a.
Patrilineal,
b.
Matrilineal,
c.
Bilateral
Di Al Quran menerangkan tentang perkawinan dan kewarisan
mencerminkan suatu bentuk sistem kekeluargaan yang bilateral.
-
Sistem kewarisan individuil yang cirinya bahwa harta
peninggalan dapat dibagikan pemiliknyadiantara ahli waris seperti dalam
masyarakat bilateral di Jawa. Ayat ini mengandung prinsip-prinsip bagi sistem
kewarisan yang individuil, yaitu para ahli waris berhak atas suatu bagian yang
pasti dan bahwa bagian-bagian itu wajib diberikan kepada mereka, maka sekrang
tidak ada lagi keragu-raguannya untuk menyatakan bahwa sistem kewarisan menurut
Al Quran itu termasuk jenis yang individual bilateral.
DAFTAR PUSTAKA
-
Hazairin, HUKUM
KEWARISAN BILATERAL menurut Al Quran dan Hadis, Tintamas Jakarta.
Cet kedua Januari 1961.
-
HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KOMPILASI HUKUM
ISLAM, penerbit FOKUSMEDIA, anggota IKAPI, cetakan november 2010.
-
Habiburrahman “Rekontrksi Hukum Kewarisan Islam Di
Indonesia” (Jakarta “ Kementrian Agama RI, 2011).
-
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, HUKUM WARIS, Senayan Abadi Publising Jakarta
Selatan. Cet pertama : Maret 2004.
-
Ramulyo, M Idris, PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN DI PENGADILAN AGAMA DAN KEWARISAN MENURUT
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ( BW ) DI PENGADILAN NEGERI, Pedoman Ilmu jaya,
cet pertama 1992.
-
Sabiq, Sayid, FIQH AS SUNNAH JUZ III, Semarang :
Toha Putra, 1980)
[1] H.
Habiburrahman “ Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia”
(Jakarta: kementrian agama RI, 2011)cet ke 1, h 87
[2], Addys
Aldizar, dan Faturahman “hukum waris”, (Jakarta :senayan abadi,2004)
cet. Ke 1. hal 13.
[3] Abdurahman,
Kompilasi hukum islam (Bandung: Fokusmedia, 2010) h.6
[4]. M Idris Ramulyo, PERBANDINGAN HUKUM
KEWARISAN ISALM DI PENGADILAN AGAMA DAN KEWARISAN MENURUT UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA (BW) DI PENGADILAN NEGERI. Hal 118.
[5]
bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban
laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiba membayar
maskawin dan memberi nafkah. (lihat surat An Nisaa ayat 34
[7]
Addys Aldizar, dan Faturahman. Op.cit. h.14-20
[8]
Abdurahman, op.cit. hal 56
[9] Sayid
Sabiq, Fiqh as Sunnah,Juz III (Semarang: Toha Putra, 1980), h. 426
[10]
Abdurahman. Op.cit. h 58
[11]. Hazairin, HUKUM KEWARISAN BILATERAL
Menurut Qur’an dan Hadist, hal 11.
[12]. Nail al-Authar, juz, VI, hlm. 30.
[13] Nail al-Authar, juz, VII, hlm. 70.
terimakasih sudah berbagi, tetap semangat dalam menulis...
BalasHapusjangan lupa kunjungi Bedah Buku Konstruksi Baru Budaya Hukum Berbasis Hukum Progresif karya Dr. M. Syamsudin