Said Aqil Siradj
Seluruh serimoni haji sesungguhnya
merupakan napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim. Ibrahim bukan hanya Bapak Tauhid
yang ditugaskan membersihkan Rumah Tuhan dari kemusyrikan, tetapi juga sebagai
teladan (matsal al-a’al) dari seorang manusia yang memilih untuk
berangkat menuju Tuhan.
Dengan meneladani Ibrahim, lihatlah
saudara-saudara kita, tanpa peduli usia dan kesehatan, untuk sementara waktu
mengabaikan kesibukan dan pekerjaan, tanpa menghiraukan keluarga dan
kawan-kawan, meninggalkan Tanah Airnya, berangkat menuju Baitullah.
Inilah syarat yang harus dipenuhi
oleh semua orang yang kembali kepada Tuhan. Perjalan menuju Tuhan harus dimulai
dengan meninggalkan segala dosa dan kemaksiatan. Lihatlah jamaah haji yang
harus mandi sebelum menggunakan kain ihram, sungguh mereka yang hendak
berangkat menuju Tuhan harus harus membersihkan diri dari segala kenistaan yang
mereka lakukan, baik dalam sunyi senyap maupun dalam hirup-pikuk, baik dalam
temaram sinar lampu maupun yang benderang.
Haji merupakan ibadah yang kaya
dengan symbol-simbol keagamman, pengorbana dan peringatan. Bagi kaum sufi, haji
bukanlah kewajiban semata tanpa berupaya memahami symbol dan ritual yang
terdapat di dalamnya. Mereka menekankan pada spritualitas haji sekaligus
mengkritisi pemahaman literal terhadap teks wahyu dan ritual haji. Para sufi
tertentu di masa awal Islama memandang haji sebagai alat dan sarana meraih
tahapan-tahapan tingkat kesufian. Seorang sufi yang melaksanakan haji
memutuskan semua pertalian dengan apa yang bersifat duniawi. Ia akan selalu
rindu untuk mengulangi lagi perjalanan sepiritual ini guna meraih makna-makna
spiritualnya. Lebih jauh, kaum sufi tidak memandang haji itu sendiri sebagai
tujuan, sebab tujuan sebenarnya ibadah haji adalah kebersamaan dan kedekatan
dengan Tuhan. Menyitir Annemarie Schimmel, seorang ahli sufisme asal jerman,
haji merupakan titik sentral dalam kehidupan sufi.
Junaid al-Baqhdadi (wafat. 910)
seperti disitir al-Hujwir dalan Kasyf al-Mahjub ketika ia bertaya kepada
muridnya yang baru pulang menunaikan haji, “Ketika kamu memakai kain ihram di
miqat, apakah kau melepaskan semua atribut kemanusiaan seperti kau melepaskan
semua pakaianmu? Ketika kau berangkat untuk pergi haji, apakah kau juga
melepaskan diri dari dosa-dosamu?”
Al-Hujwir (wafat. 1073) membagi haji
menjadi dua macam: Pertama, berziarah ke rumah fisik yang dibangun
pertama kali oleh Nabi Ibrahim. Bagi mereka yang beribadah ke rumah fisik
Ibrahim, Makkah dan Ka’bah merupakan tujuan mereka. Mereka memakai pakaian
ihram, bermalam di Arafah, menyembelih hewan kurban dan melakukan ritual wajib
lainnya dan akhirnya memperoleh status sosial haji.
Kedua, berziarah ke rumah
spiritual Nabi Ibrahim. Mereka yang bermaksud menuju rumah spiritual ini harus
melepaskan semua daya tarik dan kesenangan duniawi serta memakai ihram, yakni
melepaskan diri dari mengingat selain Allah dengan meninggalkan hawa nafsu dan
kemaksiataan. Mereka bermalam di Arafah untuk memperoleh makrifat, berjalan
menuju Muzdalifah untuk mencapai ulfa (cinta), dan membuka rahasia diri
paling dalam (sirr) untuk di uji dihadapan Ka’bah, melemparkan semua
keserakahan dan hawa nafsu (ramy al-jimar) untuk meraih ketenangan dan
ketentraman (Mina), dan berkurban binatang di altar perjuangan batin (mujahadah)
untuk memperoleh kedekatan dengan Tuhan (khillat; pertemenan) seperti
Ibramin yang menjadi teman Tuhan (khailullah).
Pandangan senada dikemukakan oleh
Abu al-Qasim al-Qusyairi (wafat. 1075) dalam Latha’if al-Isyarah. Haji,
baginya dapat dibedakan berdasarkan niat pelaku. Pertama, mereka yang
mengadakan perjalanan berdasarkan diri untuk mengunjungi Ka’bah, mereka
melepaskan ihram setelah menunaikan ritual-ritual haji. Kedua, mereka
yang mengadaka perjalanan dengan hati untuk menemui Ka’bah, mereka tetap
memakai ihram sehingga menyaksikan Tuhan dan ihram bagi mereka adalah sikap
sejati untuk menghindarkan diri dari menyaksikan selain Allah.
Al-Qusyairi membagi haji yang
dilakukan oleh orang awam dan orang khusus. Orang awam pergi haji untuk
menempuh jalan Tuhan yang dicintai, tetapi orang khusus untuk menyaksikan wajah
Tuhan yang dicintai. Banyaknya orang pergi haji untuk mengunjungi Ka’bah,
tetapi sedikit orang yang bertujuan mengunjungi Tuhan itu sendiri. Orang awam
berangkat dengan jiwa untuk mengunjungi pintu dan dinding Ka’bah, tetapi orang
khusus berangkat dengan ruh mereka dan menyaksikan Tuhan sebagai teman yang
berbicara kepada mereka.
Ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj
tidak biasa, tetapi berlangsung selama satu tahun penuh, dan setiap hari
dihabiskannya dengan puasa diri siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj
melakukan praktik kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya, menundukannya kepada kehendak ilahi
sedemikian rupanya agar dirinya benar-benar sepenuh nya dalam naungan Allah.
Sehingga ketika ia pulang dari Tanah Suci, yang diwahnya adalah pikiran-pikiran
baru tentang berbagai topic eperti inspirasi ilahi, dan ia membahas
pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Di antaranya adalah Amr al-Makki
dan juga Junaid.
Makna
Spiritual di Balik Ritual
Bagi kaum sufi, irham bukan hanya
bermakna memakai pakaian yang tidak dijahit, melainkan lebih dari itu
melepaskan semua atribut kemmanusian dan menganggap manusia sederajat dihadapan
Tuhan kecuali dalam takwa kepadanya-Nya.
Wukuf di Arafah, bermalam di Padang
Arafah, dipandang sebagai inti ritual haji. Dalam pandangan sufistik, wukuf di
Arafah merupakan momen untuk mengalami kehadiran Tuhan dan menyaksilkan
tanda-tanda-Nya. Hal yang sama berlaku untuk wukuf di Muzdalifah yang sama
secara simbolik merupakan upaya diri untuk melepaskan diri dari hawa nafsu.
Demikian juka wukuf di Mina. Ia symbol dari kesediaan diri untu meninggalkan
kesenangan duniawi dan kehendak diri yang tercela. Dalam hadits sahih
dinyatakan, “al-Hajj ‘Arafah” (Haji adalah Arafah). Menurut ahli fikih, hadis
ini berarti wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama (Mu’zhammu
arkan al-hajj al-wuquf bi Arafah). Sebagai rukun ibadah haji. Ini berarti,
tanpa ibadah haji tanpa wukuf di Arafah.
Namun, kaum sufi memahami hadits di
atas dalam pengertian yang aga berbeda. Menurut mereka, hadits itu berarti
bahwa ibadah haji harus membuahkan ma’rifatullah, yaitu mengenal Allah
dalam arti yang sembenarnya. Dalam perspektif ini, haji identik dengan
perjalaan untuk mencapai ma’rifatullah itu sendiri. Tanpa ma’rifatullah,
maka ibadah haji menurut mereka telah turun derajatnya menjadi ritual tanpa
makna.
Dalam upaya mencapai ma’rifatullah
ini, manusia terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan awam,
yaitu mereka yang mengenal Allah secara lisan melalui pengucapan dua kalimat
syahadat. Kedua. Golongan intelektual atau kaum cerdik pandai, yaitu
mereka yang mengenal Allah melalui
pembuktian rasional. Ketiga, kaum sufi, yaitu mereka yang mengenal Allah
melalui penyingkapan tabir penghalang (kasyaf).
Kata ‘Arafah memiliki akar
kata yang sama dengan ma’rifah, yang secara bahasa berarti tahu atau
kenal. Makrifat, menurut al-Qusyair, berarti seorang mengenal Allah dalam arti yang
sebenar-benarnya. Makrifat dipandang sebagai pangkal agama sekaligus pangkal
kebahagiaan. Menurut Qusyair, makrifat dapat dicapai melalui beberapa usaha
berikut ini: Pertama, menyucikan diri dan meningkatkan moral atau
akhlak. Kedua, memperkuat komunikasi dengan Allah melalui dzikir dan
munajat kepada-Nya. Ketiga, mengosongkan hati dan pikiran dari selain
Allah dan memusatkan diri hanya kepada-Nya. Keempat, meleburkan diri ke
dalam realitas mutlak, sehingga kesadaran diri hilang dan berganti kesadaran ketuhanaan.
Pada tingkat ini, seorang dikatakan telah mencapai makrifat. Orang yang
mencapai makrifat dinamai orang arif. Orang arif adalah orang yang hanya
melihat Allah di balik segala yang ada. Dari orang arif hanya lahir kebenaran
dan kebaikan. Orang arif adalah man yunhidhuka qawluhu wa fi’luhhu,
yakni orang yang kata-kata dan perbuatannya mampu membangkitkan semangat
menggapai kebaikan.
Ketika sampai di Makkah, para
peziarah haji bertakwa mengelilingi Ka’bah, Rumah Tuhan yang dibangun oleh Nabi
Ibrahim. Bagi kaum sufi, Ka’bah merupakan manifestasi Ilahi yang menjadi simbol
arah dan petunjuk menuju jalan Tuhan. Al-Qusyair mengumpamakan haji laksana
dating mengunjungi rumah seorang sahabat. Tujuannya bukan rumah itu, sahabat
pemilik rumah itu.
Bukan tubuh yang mengunjungi rumah
itu, melaikan ruh dan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika tidak demikian,
yang terjadi adalah pertemuan antara tanah yang darinya tubuh diciptakan dan
batu yang dirinya Ka’bah dibangun. Ka’bah yang terbuat dari batu memiliki
hubungan dengan keabadian. Jika seorang peziarah melihatnya dengan mata fisik,
ia akan terpisahkan darinya. Tetapi, jika melihatnya melalui mata batin, ia
akan menerima kedekatan dengan Tuhan pemilik Ka’bah. Al-Qusyair menegaskan,
“Janganlah menempatkan Ka’bah dalam hatimu, tetapi kosongkanlah hatimu yang
paling dalam (sirr) untuk menerima Teman (pemilik Ka’bah) yang memilihmu lebih
dahulu.”
Tawaf bagi kaum sufi symbol cinta
dan kasih saying. Tawaf adalah gerakan yang menunjukan kepemilikan diri
kitakepada pusat perputarannya. Seoarng peziarah yang meluruskan niatnya kepada
Allah dengan cara memisahkan dirinya dari persoalan arah, Tuhan akan menjadi
titik arah bagi dirinya dan ia menjadikan titik arag bagi orang lain, seperti
Nabi Adam menjadi titik arah bagi semua malaikat. Menurut al-Qusyair, makna
yawaf hanya dapat diraih oleh orang-orang yang mengetahui kebenaran sejati,
yakni para ‘arifn (mereka yang mengenal Tuhan) dan muwahhid
(orang yang mengesahkan Tuhan dengan benar).
Tentang sa’I antara Safa dan Marwah,
Baqli Shiraz (wafat. 1210) memandang bahwa berlari kecil dari Bukut Safa
bermakna bahwa seorang peziarah haji mendaki untuk meraih kesucian batin dan
pertemuan dengan Tuhan melalui cahaya ilmu pengetahuan. Sementara, Bukit Marwah
bagi para sufi merupakan pendakian menuju pensucian ruh melalui jalan
pertobatan. Mereka yang berlari mendekati Safa tetapi tidak membersihkan hati
dan jiwa, mereka tidak memperoleh apa-apa dari ritual haji. Demikian juga,
mereka yang mendekati Bukit Marwah tanpa melihat kebenaran yang tersembunyi,
tidak mendapatkan apa-apa dari ibagah ini. Pendeknya, sa’I bagi kaum sufi
merupakan upaya meraih kesucian (Safa) dan pemeliharaan diri (Muru’ah).
Berkaitan dengan Ramy al-Jimar,
kamum sufi memandang bahwa manasik ini bukan saja cara fisik melempar batu,
tetapi lebih dari itu bahwa ia merupakan upaya simbolik dari melempar jauh-jauh
pikiran dan kehendak yang mementingkan diri sendiri dari hati dan pikiran seorang peziarah haji. Begitu
juga dengan dhahiyya yang secara simbolik dari upaya untuk mengorbankan
keinginan-keinginan pribadi untuk meraih cinta dan kedekatan dengan Tuhan.
Haji
‘Arif Billah
Begitulah, haji adalah safari rohani
menuju Tuhan. Sekali lagi, menurut al-Ghazali, orang tidak akan mencapai Tuhan
tanpa meninggalkan kelezatan syahwat dan keterbelengguan kepada hawa nafsu.
Sejarah mewartakan, dulu untuk mencapai Tuhan, para pendeta meninggalkan
negerinya, mengembara dengan mengemban berbagai kesulitan. Mereka hidup bersahaja
sembari merendahkan dirinya dihadapan kebesaran Allah. Mereka berpakaian
aut-autan dan berpenampilan kusut masai, berkelana menjejaki perjalan panjang
mencari Tuhan.
Manakala Nabi Muhammad ditanya
tentang kependetaan dan pengembaraan, beliau berkata: “Allah sudah
menggantikannya untuk kamu dengan jihad dan takbir pada setiap tempat yang
mulia.” Maksud Nabi dengan jihad dan takbir ini adalah haji. Ya, dalam ibadah
haji, setiap Muslim menjalani kehidupan kependetaan.
Panggilan untuk kembali kepada Allah
sesungguhnya tak semata diembankan (khithab) pada jemaah haji. Panggilan
itu juga ditunjukan pada kita semua. Suatu saat, amu atau tidak mau, Tuhan akan
mengambil nyawa kita dan memaksa kita kembali kepada-Nya.
Kita dibuat tercengang betapa
berulang-ulang kita mengejar apa yang kita sangka sebagai tujuan hidup kita,
ternyata hanya fatamorgana yang menyilap mata. Kita jadi kelelahan. Lalu, kita
berhenti sejenak ditengah padang pasir. Kita dukan segala kealpaan dan
kesalahan kita kepada-Nya.
Selama ini, kita yakin, kekayaan
adalah tujuan hidup kita, sehingga kita rela melakukan apa saja. Kita kehabisan
waktu kita untuk mengumpulakan kekayaan. Kita rampas dan hancurkan milik orang
lain. Atau kita injak-injak hak orang lemah. Semuanya demi jabatan dan
kekayaan. Dan akhirnya, kita gagap, ternyata kekayaan tidak memuaskan kehausan
kita.
Bukankah kita juga pernah menyangka
jabatan adalah kerjaan kita. Untuk itu, kita hantam kawan seiring. Kita fitnah
orang-orang yang pernah berjasa kepada kita. Kita korbankan persahaban dan
kekeluargaan. Kita enyahkan cinta dan kasih saying. Kita curang, culus dan
khianat.
Boleh jadi, kita telah bekerja keras
mengerjakan apa saja, tetapi tidak secuil kesuksesan kita dapatkan. Pengorbanah
sudah terlanjur kita kucurkan, kita cari kekayaan, tetapi kita juga masih
miskin. Kita tuntut kedudukan, tetapi kita seperti semula, tetap orang kecil.
Kita kejar popularitas, tetapi kita tetap saja kerdil. Kita sudah banting
tulang, peras keringat untuk memburu beragam cita-cita, nyatanya kita masih
saja tersungkur dalam kehidupan ini.
Kini, kita persembahkan kekayaan
kepada Tuhan dengan membagi-bagikanya kepada hamba-hamba-Nya yang memerlukan.
Allah berfirman, “Dekatilah Aku di tengah-tengah orang-orang kecil diantara
kamu. Temui Aku di tengah-tengah oaring yang menderita.” Kita juga
persembahkan kedudukan kepada Tuhan dengan tujuan melindungi orang-orang mustadh’afin.
Kita syukuri anugrah Tuhan dengan berusaha membahagiakan semua manusia.
Walhasil, haji menjadi medium bagi
kita untuk terus merenungi diri demi menggapai kesadaran yang paripurna (al-wa’y
al-‘ulya). Maka itu, jangan lupa, ibadah haji haruslah menumbuhkan
makrifat, sehingga para jamaah haji kembali ke kampong halaman dengan membawa
dua gelar sekaligus, yakni gelar haji dan gelar ‘arif billah. Wallahu
A’lam bi al-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar