Rabu, 08 Oktober 2014

Meniti Kesufian Menuju Baitullah



Said Aqil Siradj
            Seluruh serimoni haji sesungguhnya merupakan napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim. Ibrahim bukan hanya Bapak Tauhid yang ditugaskan membersihkan Rumah Tuhan dari kemusyrikan, tetapi juga sebagai teladan (matsal al-a’al) dari seorang manusia yang memilih untuk berangkat menuju Tuhan.
            Dengan meneladani Ibrahim, lihatlah saudara-saudara kita, tanpa peduli usia dan kesehatan, untuk sementara waktu mengabaikan kesibukan dan pekerjaan, tanpa menghiraukan keluarga dan kawan-kawan, meninggalkan Tanah Airnya, berangkat menuju Baitullah.
            Inilah syarat yang harus dipenuhi oleh semua orang yang kembali kepada Tuhan. Perjalan menuju Tuhan harus dimulai dengan meninggalkan segala dosa dan kemaksiatan. Lihatlah jamaah haji yang harus mandi sebelum menggunakan kain ihram, sungguh mereka yang hendak berangkat menuju Tuhan harus harus membersihkan diri dari segala kenistaan yang mereka lakukan, baik dalam sunyi senyap maupun dalam hirup-pikuk, baik dalam temaram sinar lampu maupun yang benderang.
Titik Sentral Sufi
            Haji merupakan ibadah yang kaya dengan symbol-simbol keagamman, pengorbana dan peringatan. Bagi kaum sufi, haji bukanlah kewajiban semata tanpa berupaya memahami symbol dan ritual yang terdapat di dalamnya. Mereka menekankan pada spritualitas haji sekaligus mengkritisi pemahaman literal terhadap teks wahyu dan ritual haji. Para sufi tertentu di masa awal Islama memandang haji sebagai alat dan sarana meraih tahapan-tahapan tingkat kesufian. Seorang sufi yang melaksanakan haji memutuskan semua pertalian dengan apa yang bersifat duniawi. Ia akan selalu rindu untuk mengulangi lagi perjalanan sepiritual ini guna meraih makna-makna spiritualnya. Lebih jauh, kaum sufi tidak memandang haji itu sendiri sebagai tujuan, sebab tujuan sebenarnya ibadah haji adalah kebersamaan dan kedekatan dengan Tuhan. Menyitir Annemarie Schimmel, seorang ahli sufisme asal jerman, haji merupakan titik sentral dalam kehidupan sufi.
            Junaid al-Baqhdadi (wafat. 910) seperti disitir al-Hujwir dalan Kasyf al-Mahjub ketika ia bertaya kepada muridnya yang baru pulang menunaikan haji, “Ketika kamu memakai kain ihram di miqat, apakah kau melepaskan semua atribut kemanusiaan seperti kau melepaskan semua pakaianmu? Ketika kau berangkat untuk pergi haji, apakah kau juga melepaskan diri dari dosa-dosamu?”
            Al-Hujwir (wafat. 1073) membagi haji menjadi dua macam: Pertama, berziarah ke rumah fisik yang dibangun pertama kali oleh Nabi Ibrahim. Bagi mereka yang beribadah ke rumah fisik Ibrahim, Makkah dan Ka’bah merupakan tujuan mereka. Mereka memakai pakaian ihram, bermalam di Arafah, menyembelih hewan kurban dan melakukan ritual wajib lainnya dan akhirnya memperoleh status sosial haji.
            Kedua, berziarah ke rumah spiritual Nabi Ibrahim. Mereka yang bermaksud menuju rumah spiritual ini harus melepaskan semua daya tarik dan kesenangan duniawi serta memakai ihram, yakni melepaskan diri dari mengingat selain Allah dengan meninggalkan hawa nafsu dan kemaksiataan. Mereka bermalam di Arafah untuk memperoleh makrifat, berjalan menuju Muzdalifah untuk mencapai ulfa (cinta), dan membuka rahasia diri paling dalam (sirr) untuk di uji dihadapan Ka’bah, melemparkan semua keserakahan dan hawa nafsu (ramy al-jimar) untuk meraih ketenangan dan ketentraman (Mina), dan berkurban binatang di altar perjuangan batin (mujahadah) untuk memperoleh kedekatan dengan Tuhan (khillat; pertemenan) seperti Ibramin yang menjadi teman Tuhan (khailullah).
            Pandangan senada dikemukakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi (wafat. 1075) dalam Latha’if al-Isyarah. Haji, baginya dapat dibedakan berdasarkan niat pelaku. Pertama, mereka yang mengadakan perjalanan berdasarkan diri untuk mengunjungi Ka’bah, mereka melepaskan ihram setelah menunaikan ritual-ritual haji. Kedua, mereka yang mengadaka perjalanan dengan hati untuk menemui Ka’bah, mereka tetap memakai ihram sehingga menyaksikan Tuhan dan ihram bagi mereka adalah sikap sejati untuk menghindarkan diri dari menyaksikan selain Allah.
            Al-Qusyairi membagi haji yang dilakukan oleh orang awam dan orang khusus. Orang awam pergi haji untuk menempuh jalan Tuhan yang dicintai, tetapi orang khusus untuk menyaksikan wajah Tuhan yang dicintai. Banyaknya orang pergi haji untuk mengunjungi Ka’bah, tetapi sedikit orang yang bertujuan mengunjungi Tuhan itu sendiri. Orang awam berangkat dengan jiwa untuk mengunjungi pintu dan dinding Ka’bah, tetapi orang khusus berangkat dengan ruh mereka dan menyaksikan Tuhan sebagai teman yang berbicara kepada mereka.
            Ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidak biasa, tetapi berlangsung selama satu tahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa diri siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktik kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya,  menundukannya kepada kehendak ilahi sedemikian rupanya agar dirinya benar-benar sepenuh nya dalam naungan Allah. Sehingga ketika ia pulang dari Tanah Suci, yang diwahnya adalah pikiran-pikiran baru tentang berbagai topic eperti inspirasi ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Di antaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.

Makna Spiritual di Balik Ritual
            Bagi kaum sufi, irham bukan hanya bermakna memakai pakaian yang tidak dijahit, melainkan lebih dari itu melepaskan semua atribut kemmanusian dan menganggap manusia sederajat dihadapan Tuhan kecuali dalam takwa kepadanya-Nya.
            Wukuf di Arafah, bermalam di Padang Arafah, dipandang sebagai inti ritual haji. Dalam pandangan sufistik, wukuf di Arafah merupakan momen untuk mengalami kehadiran Tuhan dan menyaksilkan tanda-tanda-Nya. Hal yang sama berlaku untuk wukuf di Muzdalifah yang sama secara simbolik merupakan upaya diri untuk melepaskan diri dari hawa nafsu. Demikian juka wukuf di Mina. Ia symbol dari kesediaan diri untu meninggalkan kesenangan duniawi dan kehendak diri yang tercela. Dalam hadits sahih dinyatakan, “al-Hajj ‘Arafah” (Haji adalah Arafah). Menurut ahli fikih, hadis ini berarti wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama (Mu’zhammu arkan al-hajj al-wuquf bi Arafah). Sebagai rukun ibadah haji. Ini berarti, tanpa ibadah haji tanpa wukuf di Arafah.
            Namun, kaum sufi memahami hadits di atas dalam pengertian yang aga berbeda. Menurut mereka, hadits itu berarti bahwa ibadah haji harus membuahkan ma’rifatullah, yaitu mengenal Allah dalam arti yang sembenarnya. Dalam perspektif ini, haji identik dengan perjalaan untuk mencapai ma’rifatullah itu sendiri. Tanpa ma’rifatullah, maka ibadah haji menurut mereka telah turun derajatnya menjadi ritual tanpa makna.
            Dalam upaya mencapai ma’rifatullah ini, manusia terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan awam, yaitu mereka yang mengenal Allah secara lisan melalui pengucapan dua kalimat syahadat. Kedua. Golongan intelektual atau kaum cerdik pandai, yaitu mereka yang mengenal Allah  melalui pembuktian rasional. Ketiga, kaum sufi, yaitu mereka yang mengenal Allah melalui penyingkapan tabir penghalang (kasyaf).
            Kata ‘Arafah memiliki akar kata yang sama dengan ma’rifah, yang secara bahasa berarti tahu atau kenal. Makrifat, menurut al-Qusyair, berarti seorang mengenal Allah dalam arti yang sebenar-benarnya. Makrifat dipandang sebagai pangkal agama sekaligus pangkal kebahagiaan. Menurut Qusyair, makrifat dapat dicapai melalui beberapa usaha berikut ini: Pertama, menyucikan diri dan meningkatkan moral atau akhlak. Kedua, memperkuat komunikasi dengan Allah melalui dzikir dan munajat kepada-Nya. Ketiga, mengosongkan hati dan pikiran dari selain Allah dan memusatkan diri hanya kepada-Nya. Keempat, meleburkan diri ke dalam realitas mutlak, sehingga kesadaran diri hilang dan berganti kesadaran ketuhanaan. Pada tingkat ini, seorang dikatakan telah mencapai makrifat. Orang yang mencapai makrifat dinamai orang arif. Orang arif adalah orang yang hanya melihat Allah di balik segala yang ada. Dari orang arif hanya lahir kebenaran dan kebaikan. Orang arif adalah man yunhidhuka qawluhu wa fi’luhhu, yakni orang yang kata-kata dan perbuatannya mampu membangkitkan semangat menggapai kebaikan.
            Ketika sampai di Makkah, para peziarah haji bertakwa mengelilingi Ka’bah, Rumah Tuhan yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Bagi kaum sufi, Ka’bah merupakan manifestasi Ilahi yang menjadi simbol arah dan petunjuk menuju jalan Tuhan. Al-Qusyair mengumpamakan haji laksana dating mengunjungi rumah seorang sahabat. Tujuannya bukan rumah itu, sahabat pemilik rumah itu.
            Bukan tubuh yang mengunjungi rumah itu, melaikan ruh dan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika tidak demikian, yang terjadi adalah pertemuan antara tanah yang darinya tubuh diciptakan dan batu yang dirinya Ka’bah dibangun. Ka’bah yang terbuat dari batu memiliki hubungan dengan keabadian. Jika seorang peziarah melihatnya dengan mata fisik, ia akan terpisahkan darinya. Tetapi, jika melihatnya melalui mata batin, ia akan menerima kedekatan dengan Tuhan pemilik Ka’bah. Al-Qusyair menegaskan, “Janganlah menempatkan Ka’bah dalam hatimu, tetapi kosongkanlah hatimu yang paling dalam (sirr) untuk menerima Teman (pemilik Ka’bah) yang memilihmu lebih dahulu.”
            Tawaf bagi kaum sufi symbol cinta dan kasih saying. Tawaf adalah gerakan yang menunjukan kepemilikan diri kitakepada pusat perputarannya. Seoarng peziarah yang meluruskan niatnya kepada Allah dengan cara memisahkan dirinya dari persoalan arah, Tuhan akan menjadi titik arah bagi dirinya dan ia menjadikan titik arag bagi orang lain, seperti Nabi Adam menjadi titik arah bagi semua malaikat. Menurut al-Qusyair, makna yawaf hanya dapat diraih oleh orang-orang yang mengetahui kebenaran sejati, yakni para ‘arifn (mereka yang mengenal Tuhan) dan muwahhid (orang yang mengesahkan Tuhan dengan benar).
            Tentang sa’I antara Safa dan Marwah, Baqli Shiraz (wafat. 1210) memandang bahwa berlari kecil dari Bukut Safa bermakna bahwa seorang peziarah haji mendaki untuk meraih kesucian batin dan pertemuan dengan Tuhan melalui cahaya ilmu pengetahuan. Sementara, Bukit Marwah bagi para sufi merupakan pendakian menuju pensucian ruh melalui jalan pertobatan. Mereka yang berlari mendekati Safa tetapi tidak membersihkan hati dan jiwa, mereka tidak memperoleh apa-apa dari ritual haji. Demikian juga, mereka yang mendekati Bukit Marwah tanpa melihat kebenaran yang tersembunyi, tidak mendapatkan apa-apa dari ibagah ini. Pendeknya, sa’I bagi kaum sufi merupakan upaya meraih kesucian (Safa) dan pemeliharaan diri (Muru’ah).
            Berkaitan dengan Ramy al-Jimar, kamum sufi memandang bahwa manasik ini bukan saja cara fisik melempar batu, tetapi lebih dari itu bahwa ia merupakan upaya simbolik dari melempar jauh-jauh pikiran dan kehendak yang mementingkan diri sendiri  dari hati dan pikiran seorang peziarah haji. Begitu juga dengan dhahiyya yang secara simbolik dari upaya untuk mengorbankan keinginan-keinginan pribadi untuk meraih cinta dan kedekatan dengan Tuhan.

Haji ‘Arif Billah
            Begitulah, haji adalah safari rohani menuju Tuhan. Sekali lagi, menurut al-Ghazali, orang tidak akan mencapai Tuhan tanpa meninggalkan kelezatan syahwat dan keterbelengguan kepada hawa nafsu. Sejarah mewartakan, dulu untuk mencapai Tuhan, para pendeta meninggalkan negerinya, mengembara dengan mengemban berbagai kesulitan. Mereka hidup bersahaja sembari merendahkan dirinya dihadapan kebesaran Allah. Mereka berpakaian aut-autan dan berpenampilan kusut masai, berkelana menjejaki perjalan panjang mencari Tuhan.
            Manakala Nabi Muhammad ditanya tentang kependetaan dan pengembaraan, beliau berkata: “Allah sudah menggantikannya untuk kamu dengan jihad dan takbir pada setiap tempat yang mulia.” Maksud Nabi dengan jihad dan takbir ini adalah haji. Ya, dalam ibadah haji, setiap Muslim menjalani kehidupan kependetaan.
            Panggilan untuk kembali kepada Allah sesungguhnya tak semata diembankan (khithab) pada jemaah haji. Panggilan itu juga ditunjukan pada kita semua. Suatu saat, amu atau tidak mau, Tuhan akan mengambil nyawa kita dan memaksa kita kembali kepada-Nya.
            Kita dibuat tercengang betapa berulang-ulang kita mengejar apa yang kita sangka sebagai tujuan hidup kita, ternyata hanya fatamorgana yang menyilap mata. Kita jadi kelelahan. Lalu, kita berhenti sejenak ditengah padang pasir. Kita dukan segala kealpaan dan kesalahan kita kepada-Nya.
            Selama ini, kita yakin, kekayaan adalah tujuan hidup kita, sehingga kita rela melakukan apa saja. Kita kehabisan waktu kita untuk mengumpulakan kekayaan. Kita rampas dan hancurkan milik orang lain. Atau kita injak-injak hak orang lemah. Semuanya demi jabatan dan kekayaan. Dan akhirnya, kita gagap, ternyata kekayaan tidak memuaskan kehausan kita.
            Bukankah kita juga pernah menyangka jabatan adalah kerjaan kita. Untuk itu, kita hantam kawan seiring. Kita fitnah orang-orang yang pernah berjasa kepada kita. Kita korbankan persahaban dan kekeluargaan. Kita enyahkan cinta dan kasih saying. Kita curang, culus dan khianat.
            Boleh jadi, kita telah bekerja keras mengerjakan apa saja, tetapi tidak secuil kesuksesan kita dapatkan. Pengorbanah sudah terlanjur kita kucurkan, kita cari kekayaan, tetapi kita juga masih miskin. Kita tuntut kedudukan, tetapi kita seperti semula, tetap orang kecil. Kita kejar popularitas, tetapi kita tetap saja kerdil. Kita sudah banting tulang, peras keringat untuk memburu beragam cita-cita, nyatanya kita masih saja tersungkur dalam kehidupan ini.
            Kini, kita persembahkan kekayaan kepada Tuhan dengan membagi-bagikanya kepada hamba-hamba-Nya yang memerlukan. Allah berfirman, “Dekatilah Aku di tengah-tengah orang-orang kecil diantara kamu. Temui Aku di tengah-tengah oaring yang menderita.” Kita juga persembahkan kedudukan kepada Tuhan dengan tujuan melindungi orang-orang mustadh’afin. Kita syukuri anugrah Tuhan dengan berusaha membahagiakan semua manusia.
            Walhasil, haji menjadi medium bagi kita untuk terus merenungi diri demi menggapai kesadaran yang paripurna (al-wa’y al-‘ulya). Maka itu, jangan lupa, ibadah haji haruslah menumbuhkan makrifat, sehingga para jamaah haji kembali ke kampong halaman dengan membawa dua gelar sekaligus, yakni gelar haji dan gelar ‘arif billah. Wallahu A’lam bi al-Shawab.                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar