Latar Belakang
PERLU diketahui
bahwa pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 bukanlah sebuah proyek
”mercusuar” tanpa roadmap[1] yang
jelas. MEA 2015 adalah proyek yang telah lama disiapkan seluruh anggota ASEAN
dengan visi yang kuat.
MEA
2015 hanyalah salah satu pilar dari 10 visi mewujudkan ASEAN Community.
Kesepuluh pilar visi ASEAN Community tersebut adalah outward
looking, economic integration, harmonious environment, prosperity, caring
societies, common regional identity, living in peace, stability, democratic, dan
shared
cultural heritage (Kementerian Luar Negeri, 2014). Dengan kata
lain, keliru bila ada anggapan bahwa MEA 2015 adalah ambisi Indonesia dari
pemerintah yang tidak jelas arahnya.
Sejak
dulu Indonesia memang sangat aktif memperjuangkan ASEAN sebagai masyarakat yang
”satu”. Ini antara lain dapat diidentifikasi dari pidato Presiden Soeharto pada
pembukaan Sidang Umum MPR, 16 Agustus 1966 yang mengatakan, ”Indonesia perlu
memperluas kerja sama Maphilindo untuk menciptakan Asia Tenggara menjadi
kawasan yang memiliki kerja sama multisektor seperti ekonomi, teknologi, dan
budaya.
Dengan
terintegrasinya kawasan Asia Tenggara, kawasan ini akan mampu menghadapi
tantangan dan intervensi dari luar, baik secara ekonomi maupun militer,” CPF
Luhulima, Jakarta Post, 7 Februari 2013. Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah
inisiator dari terbentuk integrasi kawasan ASEAN. Hanya, perjalanan setiap
negara dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ASEAN yang terintegrasi ini
berbeda- beda.
Ada
negara yang dengan cepat bisa mempersiapkan diri, namun ada juga negara yang
terlambat. Karakteristik, ukuran ekonomi, dan permasalahan yang dihadapi setiap
negara yang berbeda juga turut memengaruhi kecepatan setiap negara dalam
mempersiapkan diri menghadap MEA 2015.
Singapura
adalah negara ASEAN yang dapat dikatakan paling siap menghadapi MEA 2015. Meski
tidak yang paling tertinggal, Indonesia masih perlu kerja ekstra untuk
menghadapi MEA 2015 ini.
Pengertian MEA
Menurut Staf Direktorat Kerja Sama ASEAN
Kementerian Perdagangan, Astari Wirastuti, saat ini Indonesia tengah berada
pada arus perdagangan global. Untuk itu, pihaknya menghimbau agar para pelaku
UKM bersiap dan berani bersaing dengan produk dari negara lain. Menurutnya,
menutup diri dari dunia yang dinamis bukanlah pilihan terbaik.
Sebelum
itu, ada baiknya kita mengetahui apa yang bisa dilakukan para pelaku UKM dengan
adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini?
- Prosedur Bea Cukai Lebih Sederhana
Menurut
Tari, Masyarakat Ekonomi ASEAN akan memiliki sistem yang dapat memantau
pergerakan barang dalam perjalanannya ke negara-negara ASEAN. Tidak hanya itu,
izin barang ekspor pun akan lebih cepat. Ini akan menghemat waktu dan biaya
ekspor.
- Adanya Sistem Self-Certification
Ini
adalah sistem yang memungkinkan pengekspor menyatakan keaslian produk mereka
sendiri dan menikmati tarif preferensial[2]
di bawah skema ASEAN-FTA (Free Trade Area). Tanggung jawab utama
dari sertifikasi asal dilakukan oleh perusahaan yang ikut berpartisipasi dengan
menyertakan faktur komersial dokumen seperti tagihan, delivery order[3],
atau packaging list[4].
Fungsinya
adalah memudahkan pebisnis dalam melakukan ekspansi ke negara-negara anggota
ASEAN lainnya.
- Harmonisasi Standar Produk
Meski
masih belum ditetapkan seperti apa standar dari masing-masing jenis produk,
namun ASEAN akan memberlakukan sistem yang meminta masing-masing industri agar
sesuai dengan standar kualitas mereka.
Hingga
saat ini, terdapat 7 jenis produk yang menjadi prioritas mereka.
Ø
Produk
karet
Ø
Obat
tradisional
Ø
Kosmetik
Ø
Pariwisata
Ø
Sayur
dan buah segar
Ø
Udang
dan budidaya perikanan
Ø
Ternak
Selain
ketiga hal di atas, Tadi juga menjelaskan bahwa ia dan pemerintah akan
mendukung program globalisasi UKM, seperti:
Ø
Mencari
pasar baru di luar negeri
Ø
Promosi
ekspor
Ø
Delegasi
promosi perdagangan
Ø
Mendorong
spesialisasi dalam memperluas pasar luar negeri
Ø
Mendukung
pencapaian standar internasional
Ø
Mendukung
pengembangan global brand
Ø
Memberi
bantuan kepada UKM yang memiliki prospek baik untuk mengekspor produknya
Ya,
masih banyaknya anggapan tentang merek luar lebih berkualitas ketimbang produk
lokal akan mempersulit pelaku UKM, padahal tidak sepenuhnya begitu.
Untuk
itu, tiap UKM harus memperbaiki kualitas produknya agar semua konsumen bisa
bangga dengan kualitasnya. Pemerintah juga dirasa perlu untuk terus mengedukasi
masyarakat agar cinta terhadap produk lokal, dan masyarakat juga perlu
menghilangkan persepsi yang kerap menilai buruk merek lokal.
Apakah
Indonesia sudah siap untuk menghadapi MEA?
Sumber Daya
Manusia
Sementara data
lain menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia terhitung
31 Desember 2010 mencapai 259.940.857. Jumlah ini terdiri atas 132.240.055
laki-laki dan 127.700.802 perempuan. Data ini dikeluarkan oleh Departemen Dalam
Negeri.
Berangkat dari asumsi jumlah
penduduk tadi, jika kita menggunakan data
pertumbuhan penduduk indonesia yang dikeluarkan oleh bank dunia, yakni 1.49%
per tahun, maka jumlah penduduk indonesia tahun 2014 ini akan
menjadi 252.124.458 jiwa
Wakil Menteri
PANRB Eko Prasojo mengatakan, jumlah PNS di Indonesia
saat ini 4,5 juta harus melayani 244,8 juta jiwa, rasionya 1,83%.
Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat data tenaga kerja Indonesia
terbaru pada Februari 2014. Dalam catatan itu, jumlah orang yang bekerja di
Indonesia 118,17 juta orang.
Terdiri dari lulusan
SD ke bawah yang mencapai 55,3 juta orang atau
mencapai 46,80 persen, Sedangkan pekerja lulusan SMP terbanyak kedua sebanyak
21,1 juta atau sekitar 17,82 persen, lulusan SMA meningkat menjadi 18,91 juta
orang dibanding periode sama tahun lalu yang hanya 17,95 juta orang. Namun,
lulusan diploma sedikit menurun dari 3,25 juta
orang di Februari 2013 menjadi 3,13 juta orang Februari 2014, pekerja lulusan
universitas memang ada sedikit peningkatan di Februari 2014. Pekerja lulusan
universitas meningkat menjadi 8,85 juta orang. Angka ini sedikit naik dibanding
Februari 2013 yang hanya 8,07 juta orang.
Organisasi
Buruh Internasional (ILO) melaporkan, jumlah penganggur berusia 15-24 tahun
pada tahun 2012 mencapai 75 juta orang, naik dari 74,9 juta orang tahun 2011.
Adapun di Indonesia sesuai data BPS Agustus 2013, jumlah penganggur berusia
19-29 tahun mencapai 4,9 juta orang dari total 7,4 juta penganggur.
Yang terbaru
adalah kurikulum 2013. Masalah yang muncul dalam implementasinya adalah tatkala
sebahagian guru belum sempat memahami dengan benar kurikulum lama, kurikulum baru sudah diperkenalkan (jarjani Usman,
Serambi Indonesia. Sehingga kita sering mendengar
pameo yang menyebutkan “ganti menteri, ganti kurikulum”. Proses
“kejar-mengejar” target sering terjadi dalam sistem pendidikan kita yang dipengaruhi
oleh sistem perpolitikan di Indonesia.
Dari segi ekonomi, meskipun sudah diatur dalam undang-undang
tentang kesamaan hak bagi setiap warga negara, namun tidak setiap warga negara
dapat memperoleh derajat pendidikan yang sama pada dewasa ini. Hanya
orang-orang yang “berada” yang dapat mengenyam pendidikan yang layak dan sesuai
yang peserta didik kehendaki. Akibatnya timbullah kesenjangan antara satu
kalangan dengan kalangan yang lain.
Hal ini juga
terpengaruh dari tatanan sosial budaya yang ada di
negara kita. Orang yang kaya dengan miskin,
golongan buruh dengan pejabat, dan lain sebagainya akan memperoleh taraf
pendidikan yang berbeda. Hal ini juga merupakan permasalahan klasik pada bidang
pendidikan kita hari ini.
Selanjutnya,
setiap insan akan memperoleh pendidikan yang berbeda baik dari segi kualitas
maupun kuantitas pendidikan. Orang yang berda di daerah terpencil tentu akan
memiliki tingkat intelektualitas berbeda dengan mereka yang berada di
perkotaan. Juga dari segi letak daerahnya, pesisir atau pegunungan, hingga pada
level tatanan lingkungan di sekitar peserta didik itu berada. Apakah mendukung
untuk belajar atau malah sebaliknya. Sehingga harus diupayakan pendidikan yang
tidak diskriminatif dan tidak monolitik
Daya
Saing vs Infrastruktur
Bukan bermaksud untuk mencari alasan di balik ketertinggalan
tersebut, ukuran ekonomi Indonesia yang besar bisa jadi memang salah satu
penyebabnya. Indonesia negara terbesar di ASEAN, baik dari segi kewilayahan,
jumlah penduduk, maupun ukuran ekonominya. Sayangnya, dalam kualitas, terutama
daya saing, Indonesia tertinggal cukup jauh dibanding Singapura, Malaysia, dan
Thailand. Beberapa studi mengonfirmasikan terkait ketertinggalan Indonesia ini.
Studi Bank Dunia (2013) menyebutkan, daya saing produk ekspor Indonesia
relatif tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lain, terutama kaitannya
dengan nilai tambah produk ekspor kita. Komposisi ekspor kita terbesar
didominasi komoditas (resource based) dan barang primer
(primary
product). Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia rentan dengan
gejolak harga. Hal ini pula yang saat ini kita rasakan, ekspor kita melemah
akibat pelemahan perekonomian dunia yang menyebabkan harga komoditas dunia juga
ikut menurun.
Berbeda dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, sebagian besar
ekspornya didominasi oleh produk-produk yang telah disentuh teknologi (medium
and high tech product). Kondisi infrastruktur kita juga relatif tertinggal.
Infrastruktur logistik kita misalnya berdasarkan Logistics Performance Index
(LPI) 2012 yang dikeluarkan Bank Dunia, Indonesia hanya menduduki peringkat
ke-59 atau jauh di bawah Singapura yang berada di puncak di antara 155 negara
yang disurvei.
Posisi dan daya saing industri logistik Indonesia bahkan kalah
dibanding Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina dan hanya unggul terhadap
Myanmar dan Kamboja. Indonesia pasar ekonomi yang besar. Kelas menengah
Indonesia semakin bertambah. PDB[5]
per kapita Indonesia sudah mendekati USD 5.000, yang berarti daya beli
masyarakat kita yang cukup tinggi. Tingginya daya beli ini akan menjadi
bumerang bagi ”neraca ekonomi” kita bila daya saing dan kesiapan infrastruktur
kita tidak segera dibenahi dalam menghadapi MEA 2015 ini.
Ekspor kita menjadi kurang bersaing karena nilai tambahnya rendah.
Di sisi lain, Indonesia akan menjadi pasar barang dan jasa impor yang empuk,
sementara nilai tambah dari barang dan jasa impor tersebut bagi kita sangat
kecil. Saat ini dampak dari rendahnya daya saing kita tersebut sudah terasa.
Sejak 2012 neraca perdagangan kita telah defisit. Sementara neraca jasa kita
sejak dulu tidak mengalami perbaikan, dalam arti selalu defisit[6].
Tingginya pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia dalam satu
dekade ini menyebabkan demand[7] masyarakat
kita meningkat. Sayangnya, karena lemah struktur industri kita, demand masyarakat
tersebut tidak bisa dipenuhi industri domestik, melainkan harus diimpor. Ketika
ekspor booming, kita juga tidak bisa memaksimalkan nilai tambahnya. Ekspor
komoditas dan barang primer harus diangkut melalui pelabuhan dan menggunakan
kapal.
Sayangnya, karena ketidaksiapan infrastruktur pelabuhan dan kapal
kita, terpaksa ekspor tersebut harus dilakukan di pelabuhan negara tetangga dan
diangkut dengan kapal berbendera asing. Tidak hanya itu, asuransi angkutannya
pun harus dengan perusahaan asuransi asing sehingga neraca jasa kita mengalami
defisit. Indonesia negara dengan penduduk yang besar. Kebutuhan energinya juga
besar seiring pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Pada 2012 kebutuhan minyak
kita mencapai 73 juta ton, terbesar kelima di Asia.
Sayangnya, karena kapasitas infrastruktur kilang minyak yang tidak
cukup, setiap tahun impor BBM kita terus meningkat. Indonesia kini telah
menjadi importir premium (gasoline) terbesar di dunia. Sekitar 30 persen
kebutuhan BBM domestik harus dipenuhi dari impor. Negara yang memiliki
infrastruktur kilang minyak diuntungkan dengan posisi Indonesia ini. Siapa itu?
Salah satunya Singapura karena memiliki kilang minyak dengan kapasitas yang
besar sehingga bisa mengekspor BBM-nya, termasuk ke Indonesia.
Sepertinya Indonesia harus memiliki kebijakan yang agak
revolusioner untuk mengubah kondisi yang akut ini. Kebijakan fiskal kita harus
berubah, dari yang terlalu costly[8] ke
operasional dan subsidi BBM untuk dialihkan ke anggaran investasi, infrastruktur,
dan penguatan industri manufaktur. Tanpa langkah-langkah seperti ini, rasanya
sulit kita bisa mengejar ketertinggalan daya saing kita. Di sisi lain,
kebijakan sektoral juga harus memperlihatkan kesungguhannya untuk memperkuat
daya saing industri nasional kita.
[1] Merupakan peta
jalan yang berisi langkah-langkah strategis
[2]
Prefrensi atau selera adalah sebuah konsep, yang digunakan pada ilmu sosial,
khususnya ekonomi. Ini mengasumsikan pilihan
ralitas atau imajiner antara alternatif-alternatif dan kemungkinan dari
pemeringkatan alternatif tersebut, berdasarkan kesenangan, kepuasan,
gratifikasi, pemenuhan, kegunaan yang ada. Lebih luas lagi, bisa dilihat
sebagai sumber dari motivasi. Di ilmu kognitif, preferensi individual memungkinkan
pemilihan tujuan/goal.
[3]
Dokumen yang berfungsi sebagai surat perintah penyerahan barang kepada pembawa
surat tersebut, yang ditujukan kepada bagian yang menyimpan barang ( Bagian
gudang ) milik perusahaan atau bagian gudang perusahaan lain yang memiliki
konsensus dengan perusahaan yang menerbitkan Delivery Order
[4]
Document yang di keluarkan atau di buat oleh
pihak exportir atau importir yang data - data didalamnya berisi tentang nama
barang yang akan di Export atau Import. Data di dalamnya jika nama barang yang
di export atau di import lebih dari 1 (satu) nama barang biasanya diuraikan
atau di Break Down berdasarkan nomor HS.(Harmonized system codes)
[5]
produk domestik bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan
jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu
[6]
Defisit secara harfiah berarti adalah kekurangan dalam kas keuangan. Defisit biasa
terjadi ketika suatu organisasi (biasanya pemerintah)
memiliki pengeluaran lebih banyak daripada penghasilan
[7]
Permintaan
[8]
Mahal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar