Kamis, 12 Juni 2014

Haji Utang dan Utang Haji



Di Tulis:
Ali Mustafa Ya’qub

Muslim pada tahun 1977, ketika kami sedang pulanga liburan setelah satu tahun belajar di Arab Saudi, ada dua orang tamu dating ke rumah kami. Kedua tamu itu menyatakan maksudnya untuk beribadah haji ke Makkah. Kepada mereka, kami tanyakan tentang kesiapan financial mereka untuk pergi haji.
Masing-masing menjawab, ia sudah memiliki uang sebasar Rp. 500 ribu. Sementara Ongkos Naik Haji (ONH) pada saaat itu sebesar Rp. 2,5 juta. Jadi masing-masing perlu uang sebesar Rp. 2 juta. Kepada mereka, kami katakana bahwa uang sebesar Rp. 500 ribu itu belum cukup untuk membayar ONH. Mereka menjawab, “yang penting dengan uang Rp. 500 ribu itu kami bisa sampai ke Makkah, nanti kami menjadi pembantu Bapak di sana, tidak apa-apa.” Begitu mereka bertekad untuk beribadah haji.
“Kami di Arab Saudi sebagai mahasiswa dan tidak punya hak untuk menanggung (kafalah) orang lain. Jadi, kami tidak boleh membawa orang lain ke Arab Saudi,” begitu juga kami memeberi pengertian. “Terserah bagaimana cara Bapak, yang penting kami berdua sampai ke Makkah, agar kami menjadi Muslim yang sempurna,” begitu kata mereka berargumen. “Bapak-bapak,” begitu kami merayu, “Sampeyan berdua ini tidak termasuk orang yang berkewajiban beribadah haji. Apabila sampeyan berdua memeksakan diri untuk pergi ke Makkah, maka sampeyan berdua tidak akan mendapatkan pahala, dan ibadah haji sampeyan juga tidak akan mabrur, bahkan sampeyan akan berdosa,” begitu kami menangkis argument mereka.

Dengan raut muka yang sangat kecewa, kedua orang tadi akhirnya berpamitan dan meninggalkan kami. Tampaknya bagi mereka, kami tidak dapat diajaka kerja sama agar dapat mereka dapat dipanggil Pak Haji. Itu terjadi di Jawa Tengah. Lain lagi cerita berikut ini yang terjadi di Jakarta Selatan. Seorang janda dating kepada seorang Ketua KBHI (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Ia mengutarakan maksudnya untuk pergi beribadah haji.
“Ibu sudah punya uang tabungan berapa sekarang?” Tanya Ketua KBI. “Saya belum punya uang, tapi saya mau jual rumah kontrakan saya,” jawab ibu tadi. Memenag dia yang kini hidup sendiriran itu memiliki rumah petak tiga pintu. Satu pintu alias satu petak ia diami sendiri, sedangkan yang dua petak ia sewakan. Dari hasil sewa rumah itulah, ibu tadi mencukupi keperluannya sehari-hari. Bila rumahnya itu dijual, maka uangnya dapat dipakai untuk melunasi ONH.  “Nanti kalu pulang dari Makkah, ibu mau tinggal di mana, kalu rumah itu dijual?” Tanya Ketua KBIH itu lagi. Dengan aga malu-malu, ibu tadi menjawab, “Ya, nanti tinggal bersama suami.” Bukan ibu sekarang seorang janda?” Tanya Ketua KBIH itu penasaran. “Ya, nanti setelah bergelar Hajjah, saya akan mudah mendapatkan suami,” jawabnya bersemangat. “Ibu,” begitu kata Ketua KBIH itu membujuk, “sekarang ini, jangankan yang sudah janda, yang masih perawan saja sulit mendapatkan suami. Pasaran janda lagi sepi, Bu. Rumah ibu tidak perlu dijual.”
Dua kejadian di atas adalah contoh tentang adanya orang-orang yang hendak memaksakan diri untuk pergi haji, sementara mereka tidak berkewajiban untuk menjalankan rukun Islam yang kelima itu, karena tidak memiliki istitha’ah (kemampuan). Di sisi lain, cocntoh-contoh di atas menunjukan ketidakberdayaan mereka menghadapi provokator haji, sehingga mereka memaksakan diri untuk berhaji agar mendapatkan gelar sebagai Pak Haji atau Ibu Hajjah.
Sarat Provokator
            Memeksa diri untuk berhaji, sementara yang bersangkutan tidak berkewajiban haji merupakan tanda bahwa ibadah hajinya bukan termotivasi untuk menjalankan kewajiban kepada Allah, melainkan termotifasi oleh faktor-faktor lain seperti disebut tadi. Dibandingkan ibadah yang lain, ibadah haji memang paling sarat provokator. Itulah hikmahnya, dalam ayat-ayat haji terdapat dua ayat pertama diawali dengan kata lillahi dan yang kedua diakhiri dengan kata lillahi. Ayat Al-Qur’an yang diawali lillahi adalah:
……………………
            “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali-Imran [3]: 97)
Sementara ayat Al-Qur’an yang diakhiri lillahi adalah:
…………………………
            “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umroh karena Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 196)
            Kendati semua ibadah harus juga lillahi, namun tidak ada kata lillahi dalam ayat yang memperintahkan shalat, zakat, dan puasa. Ini memberikan isyarat bahwa ibadah haji memang sarat godaan, yang berpotensi menghilangkan motivasi lillahi menjadi li-qhary Allah (untuk selain Allah).
            Ketika ayat 97 surat Ali-Imran itu turun, Nabi Saw ditanya oleh seseorang, “Hai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan sabil Qalan dalam ayat itu?” Beliau menjawab: “al-Zadd wa al-Rahilah” (bekal dan kendaraan). Maka, menurut Imam Ibnu Qudamah (w. 620 H) dari mazhab Hambali, istitha’ah (kemampuan) dalam ayat tersebut ditafsirkan sendiri oleh Rasululllah sebagai adanya bekal dan kendaraan. Bekal adalah biaya hidup (living cost) selama perjalanan, tinggal di Makkah, dan perjalanan pulang, serta biaya hidup untuk keluarga yang menjadi tanggungannya selam mereka ditinggalkan untuk pergi haji.
            Sedangkan yang dimaksud dengan kendaraan adalah adanya sarana trasportasi dari kampong halamanya sampai ke Makkah dan sebaliknya, kendati dengan menyewa. Dan ini khusus bagi yang tinggal di luar Kota Suci Makkah. Menurut ahli tafsir papan atas, Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), istitha’ah itu ada dua macam, istitha’ah bi al-nafs, yaitu kemampuan yang bersumber dari diri sendiri, dan istitha’ah bi al-ghayr, yaitu kemampuan yang bersumber dari orang lain.
Utang Haji
            Seseorang yang telah memiliki kemampuan, baik istitha’ah bi al-nafs maupun istitha’ah bi al-ghayr, ia wajib menjalankan ibadah haji. Apabila sampai meninggal dunia ia belum menjalankan ibadah haji, maka ia punya utang ibadah haji. Dari harta pusakanya, wajib dikeluarkan untuk biaya perjalan ibadah haji yang dilakukan oleh ahli warisnya atau orang lain yang sudah pernah menjalankan ibdaha haji. Selagi ibadah haji itu belum dilakukan, maka selama itu pula ia masih punya utang ibadah haji.
            Di negeri kita, fenomena utang haji ini tampaknya tidak banyak. Yang banya kita jupai justru sebaliknya, yaitu ibadah haji utang, karena memang tidak memiliki istitha’ah. Tetapi, karena terkecoh oleh provokasi haji, akhirnya ia utang uang ke mana-mana untuk melunasi BPIH-nya. Dan berangkatlah ia menuju Baitullah dengan modal utang tadi. Inilah yang disebut haji utang. Dan inilah yang banyak kita jumpai di Indonesia.
            Adanya lembaga-lembaga tabungan haji, dan arisan haji, merupakan bukti adanya fenomena orang berhaji utang. Untuk arisan haji barangkali dapat dikecualikan bagi yang menerima dana arisan pada putaran terakhir. Ketika uang sudah terkumpul misalnya Rp 30 juta, kemudian uang itu ia pakai untuk membayar BPIH, maka ia telah memiliki istitha’ah. Tetapi bagi yang menerima uang Rp. 30 juta seperti itu pada putaran pertama, ia sebenarnya tidak memiliki istitha’ah, karena uang yang ia pegang bukan milik sendir.
            Beribdah haji dengan utang merupakan tanda bahwa haji tersebut tidak akan mabrur. Bagaimana tidak, Allah saja tidak mewajibkan orang yang bersangkutan untuk beribadah haji, tetapi dia justru cari utang kemana-mana utuk melunasi BPIH-nya. Maka jelas dan gamlang, ia berhaji bukan untuk mengikuti perintah Allah, tetapi mengikuti nafsunya alias selaranya agar disebut haji, naik status sosialnya, dan sebagainya.
            Apabila seseorang pergi haji tidak mengikuti perintah Allah, karena memang Allah tidak memerintahkanya untuk pergi haji karena ia tidak mampu pergi ke Baitullah secara financial, maka orang tadi ketika pergi ke Makkah, taat kepada siapa? Tidak ada lain, ia taat kepada selera alias hawa nafsunya atas bisikan setan.
            Inilah sebenarnya orang yang bersangkutan telah menjadi selera alias nafsunya sebagai tuhan, karena ia beribadah bukan taat kepada Allah, tetapi taat kepada selera alias nafsunya, ia telah mempertuhankan selera alias hawa nafsunya. Allah Swt berfirman:
…………………………..
            “terangkanlah pada-ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al-Furqon [25]: 43)
            Orang tersebut juga, ketika beribadah haji, ia taat kepada bisikan setan yang diembuskan lewat hawa nafsunya. Maka, haji seoerti ini juga bukan haji lillah, bukan haji pengabdi Allah, melainkan hajipengabdi setan. Dua tipologi haji seperti disebutkan di atas, yaitu Utang Haji  dan Haji Utang adalah sama-sama tidak baik, bahkan bermasalah dalam Islam. Oarang yang berutang haji adalah tanda kelalaian dalam menjalankan kewajiban kepada Allah, sedangkan orang berhaji utang adalah tanda beribadah tidah untuk Allah.
Kiai Rasimin
            Di kawasan Anyer, Banten, ada pesantren salaf yang diasuh oleh Kiai Muhammad Ahmad Rasimin. Di pesantren yang bangunannya terditi dari gubug-gubug bambu itu, para santri mengaji kitab-kitab kuning, dan mereka mandi dikolam yang airnya dialiri dari sungai. Ketika kami dating ke pesantren ini ada sowan ke Bapak Kiai Rasimin, kami tahu bahwa beliau belum beribadah haji. Faktor penyebabnya dalah karena beliau tidak memiliki istitha’ah. Beliau bercerita kepada kami, bahwa Walikota Cilegon pernah dating kepadanya. Ia menawarkan Kiai Rasimin untuk pergi beribadah haji atas biaya dari Walikota. Apa respon Kiai Rasimin? Beliau berkata kepada Walikota, “Bila Pak Wali ingin pahala yang banyak, Pak Wali tidak perlu menghajikan saya, karena yang akan mengambil manfaat hanya satu orang saja, yaitu saya, dan saya belum berkewajiban haji. Jadi, menghajikan saya tidak wajib. Tapi lebih baik uang untukbiaya haji itu dipakai untuk membangun jembatan yang dapat menghubungkan antara desa timur dan desa barat, dan dimanfaatkan oleh orang banyak.”
            Akhirnya, Walikota membangun jembatan dimaksud, sementara Kiai Rasimin tetap belum pergi haji. Beliau lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan peribadi. Beliau tidak terkecoh dengan provokasi haji, agar beliau dipanggil Pak Haji, karena beliau tidak punya istitha’ah untuk berhaji. Namun, masih adakah orang yang seperti Kiai Rasimin di negeri ini?     
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar