Berqurban adalah suatu syiar yang diajarkan Allah
kepada manusia untuk manusia demi terjalainnya hubungan silaturahmi antar
manusia, sehingga menimbulkan sikap solidaritas antar sesame. Berqurban
biasanya dilakukan dengan bentuk Hewan, baik itu Unta, Sapi, Kerbou dan lain
sebagainya, yang mereupakan binatang yang dihalalkan oleh Allah dan dianjurkan
oleh Rosulnya.
Dengan bergulirnya jaman demi jaman cara berqurban
sangat banyak cara dan bentuknya, pada permasalahan sekarang ada sebuah kasus
dimana ketika seseorang hendak berqurban namun tidak bisa memilih dan
menentukan manakah hewan kurban yang baik untuk diqurbankan, maka ada inisitif
untuk berqurban mengunakan uang. Lalu timbullah pertanyaan bolehkah seseorang
berqurban dengan uang? Sedangkan pada jaman Rasulullah SAW tidak ada bentuk
qurban dengan uang. Inilah yang menjadi pokok masalah dalam pembahasan pada
makalah ini.
Namun sebelum membahas lebih jauh lagi mengenai hewan
berqurban dengan uang, hendaknya kita memahami apa itu qurban dan waktu serta
syarat berkurban itu sendiri.
A.
Definisi
Qurban adalah binatang ternak yang disembelih
pada harihari Idul Adha untuk menyemarakkan hari raya dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah[1].
Berqurban merupakan salah satu syiar Islam yang disyariatkan
berdasarkan dalil Al Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW
dan Ijma’ (kesepakatan hukum) kaum muslimin.
فصلّ لربكّ وانحر
“Maka shalatlah karena rabbmu
dan sembelihlah qurban!” (QS.
Al Kautsar: 2)
قل
إنّ صلا تى ونسكى ومحياي ومماتى للّه ربّ العالمين لاشريك له وبذلك أمرت وأناأوّل
المسلمين
“Katakanlah (wahai
Muhammad): Sesungguhnya shalatku, nusuk/ibadah qurbanku, hidup dan matiku hanya
untuk Allah rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, aku diperintahkan
seperti itu dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri.” (QS. Al An’am: 162)
Makna nusuk dalam ayat di atas adalah
menyembelih hewan, demikian penjelasan dari Said bin Jubair. Ada pula yang
menyatakan bahwa makna nusuk adalah semua bentuk ibadah, salah satunya
adalah menyembelih hewan. Pendapat ini bersifat lebih luas.
ولكلّ أمّة جعلنا منسكالّيذكروا اسم اللّه على مارزقهم
مّن بهيمة الا نعام فإلهكم إله وحدفله أسلموا
“Dan untuk setiap umat Kami tetapkan ibadah qurban, supaya
mereka mengingat nama Allah terhadap rizki yang telah Allah karuniakan kepada
mereka berupa binatang ternak. Maka sesembahan kalian itu adalah sesembahan
yang satu, maka hanya kepada-Nyalah kalian berserah diri.” (QS. Al Hajj: 34)
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim dari Anas bin Malik, beliau berkata:
ضحّى النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم بكبشين أملحين
ذبحهما بيده وسمّى وكبّر,وضع رجله على صفاحهما
“Nabi SAW berqurban dengan dua ekor kambing kibasy yang
berpenampilan sempurna. Beliau sembelih sendiri dengan tangannya. Beliau
membaca bismillah, bertakbir dan meletakkan salah satu kaki beliau pada lambung kambing
tersebut.”
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
beliau berkata:
أقام النّنيّ صلّى اللّه عليه وسلّم بالمدينة عشر سنين
يضحّي
“Nabi SAW tinggal di Madinah selama sepuluh tahun dan selalu
berqurban.” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi, beliau menyebutnya hadits hasan)
عن عقبة بن عامررضى اللّه عنه أنّ النّبيّ صلّى اللّه
عليه وسلّم قسم بين اصحابه ضحايافصارت لعقبة جذعة فقال: يارصول اللّه صارت لي جذعة
فقال: ضحّ بها
Dari Uqbah bin ‘Amir, sesungguhnya Nabi SAW membagikan hewan
qurban kepada para sahabat nya. Ternyata Uqbah bin ‘Amr mendapat bagian ternak yang masih kecil, belum dewasa (jadzah). Maka ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapat bagian berupa jadz-ah?” Rasulullah bersabda, “Berqurbanlah dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Al Bara’ bin ‘Azib, sesungguhnya Nabi SAW
bersabda yang artinya:
“Barangsiapa menyembelih qurban setelah shalat ‘Ied maka ibadah
qurbannya telah sempurna dan apa yang diperbuatnya itu telah sesuai dengan sunnah
umat Islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
B.
Hukum Berqurban
Nabi SAW dan para sahabat berqurban, bahkan Nabi bersabda
bahwa qurban merupakan sunnah kaum muslimin yang berarti kebiasaan umat Islam.
Oleh karena itu, umat Islam bersepakat bahwa berqurban itu disyariatkan,
sebagaimana keterangan beberapa ulama. Namun terjadi perselisihan pendapat di
antara para ulama, apakah qurban itu sunnah muakkad ataukah merupakan kewajiban
yang tidak boleh ditinggalkan?
Hukum berkurban menurut para ulama:
1. Pendapat Imam Maliki, Syafi’I, Hambali dan para ulama
pengikut Hanafi: Qurban hukumnya adalah sunnah Mu’akkadah.
2. Pendapat Imam Hanafi: Hukum berqurban adalah wajib
atas penduduk kota-kota besar, yaitu orang yang telah memiliki harta satu
nisab.[2]
Adapun waktu penyembelihan hewan kurban menurut para ulama
adalah:
1. Imam Syafi’I berpendapat: Waktu penyembelihan hewan
kurban adalah sejak terbit matahari pada hari nahar (Idul Adha) dan telah
berlalu kadar waktu shalat hari raya Idul Adha dan dua Khutbahnya, baik imam
sudah shalat maupun belum.
2. Imam Maliki dan Hambali berpendapat: waktu
penyembelihan hewan kurban adalah sesudah imam shalat dan berkhutbah.
3. Imam Hanafi berpendapat: waktu penyembelihan hewan
kurban adalah ketika telah terbit fajar kedua.
4. Menurut ‘Atha adalah masuknya waktu berqurban adalah
dengan terbitnya matahari pada Idul Adha.
Adapun waktu berakhirnya menyembelih hewan qurban
adalah hari tasyriq kedua, ini menurut Imam Syafi’I, Hanafi dan Maliki.
Di masa Nabi SAW pernah terjadi kelaparan, maka Nabi bersabda yang
artinya:
“Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka setelah
tiga hari tidak boleh di dalam rumahnya masih
terdapat sisa hewan qurban.”
Pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, kami harus berbuat sebagaimana yang telah kami lakukan pada tahun
kemarin?”
Maka Nabi bersabda, “Makanlah daging hewan qurban,
berilah makan kepada orang lain dan simpanlah. Karena pada tahun kemarin,
orangorang tengah mengalami kesulitan, maka aku ingin agar kalian turut
membantu mereka pada tahun itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Menyembelih hewan qurban pada waktunya lebih utama daripada bersedekah dengan
uang senilai harga hewan tersebut. Oleh karena itu jika ada orang yang
bersedekah dengan uang yang bernilai jauh lebih besar dibandingkan harga
kambing denda (dam) karena melaksanakan ibadah haji yang didahului oleh
ibadah umrah yang juga dilakukan di masa haji (haji tamattu’) dan
melaksanakan umrah sekaligus dengan ibadah haji dalam satu prosesi (qiran)
maka sedekah tersebut tidak bisa menggantikan dam. Demikian juga halnya
dalam masalah berqurban.”
Hukum asal qurban adalah disyariatkan untuk
orang-orang yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah SAW
dan para sahabat berqurban untuk diri dan keluarga
mereka. Adapun pemahaman sebagian orang awam bahwa qurban itu khusus dikenakan
bagi orang yang sudah mati adalah anggapan yang tidak berdalil.
Menyangkut hukum berqurban untuk orang yang sudah
meninggal ada tiga macam:
a. Meniatkan agar orang yang sudah meninggal mendapatkan
pahala berqurban bersama dengan orang yang masih hidup. Sebagai misal, ada
seorang yang berqurban untuk diri dan keluarganya. Orang tersebut meniatkan
bahwa keluarga yang dia maksudkan mencakup yang masih hidup maupun yang telah meninggal.
Dalil yang membolehkan hal ini adalah perbuatan Nabi SAW
berqurban untuk diri beliau sendiri dan sekaligus
pula diperuntukkan bagi keluarga beliau. Adapun yang tercakup dalam keluarga
yang beliau maksudkan adalah anggota keluarga beliau yang telah meninggal.
b. Berqurban untuk orang yang sudah meninggal dalam
rangka melaksanakan wasiatnya. Dalil yang membolehkan hal ini adalah firman
Allah:
فمن بدّله بعدما سمعه فإنّمآ إثمه على الّذين يبدّلونه إنّ اللّه
سميع عليم
“Barangsiapa mengganti wasiat setelah ia mendengarnya maka
dosanya ditanggung oleh orangorang yang menggantinya. Sesungguhnya Allah itu Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 181)
c. Berqurban untuk orang yang sudah meninggal secara
khusus sebagai bentuk ibadah tersendiri yang dilakukan oleh orang yang masih hidup
atas inisiatif sendiri atau tanpa wasiat. Hal ini diperbolehkan, bahkan para
ulama bermadzhab Hambali (Hanabilah) menyatakan bahwa pahalanya akan sampai ke
orang yang sudah meninggal tersebut dan bisa merasakan manfaatnya. Pendapat ini
berdasarkan analog dengan sedekah.
Namun demikian dalam pendapat kami pribadi bahwa
mengkhususkan qurban untuk orang yang sudah meninggal bukanlah sunnah Nabi,
karena Nabi SAW tidak pernah berqurban untuk salah satu anggota keluarga beliau
yang telah meninggal secara khusus. Beliau tidak berqurban untuk paman beliau,
Hamzah. Padahal Hamzah termasuk kerabat beliau yang sangat mulia bagi beliau.
Demikian pula, beliau tidak pernah berqurban untuk anak-anak beliau yang telah
meninggal saat beliau masih hidup, yaitu tiga anak wanita yang sudah menikah
dan tiga anak laki-laki yang masih kecil. Begitu pun, beliau tidak pernah
berqurban untuk Khadijah isteri beliau yang tercinta. Juga tidak terdapat keterangan
bahwa ada seorang sahabat di masa Nabi yang berqurban khusus untuk anggota keluarganya
yang telah meninggal.
Hal lain yang termasuk kesalahan dalam pandangan kami
adalah perbuatan sebagian orang yang berqurban untuk orang yang sudah meninggal,
pada tahun pertama kematiannya. Qurban seperti ini mereka sebut sebagai qurban hufrah.
Mereka berkeyakinan bahwa pahala qurban tersebut hanya dikhususkan untuk orang yang
sudah meninggal saja. Jadi dalam qurban tersebut tidak boleh ada orang lain
yang turut serta mendapatkan pahala qurban bersama dengan orang yang sudah
meninggal tersebut. Yang juga termasuk kesalahan adalah berqurban untuk orang
yang sudah meninggal dengan inisiatif sendiri (tanpa wasiat) atau karena tuntutan
wasiat, akan tetapi tidak pernah berqurban untuk diri sendiri dan keluarganya.
Padahal jika mereka mengetahui bahwa seseorang yang berqurban dengan hartanya
untuk diri dan keluarganya, maka hal ini sudah mencakup anggota keluarga yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sekiranya mereka mengetahui hal ini tentu
mereka tidak akan melakukan perbuatan sebagaimana yang telah mereka lakukan dan
meninggalkan perbuatan yang sudah dicontohkan oleh Nabi.
C. Syarat-syarat Berqurban
1. Binatang qurban harus berupa binatang ternak, yaitu
onta, sapi dan kambing, baik berupa kambing lokal maupun kambing domba (kibasy),
berdasarkan firman Allah:
وَلِكُلِّ
أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ
مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ
“Dan bagi setiap umat, telah kami syariatkan ibadah qurban
supaya mereka menyebut nama Allah SWT terhadap apa yang telah Allah berikan
kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al Hajj: 34)
Adapun yang dimaksud dengan bahimatul an’am adalah
onta, sapi dan kambing. Pengertian inilah yang umum dikenal di kalangan
orangorang Arab. Demikianlah penjelasan Hasan Al Basri, Qatadah
dan yang lainnya.
2. Usia hewan tersebut telah memenuhi criteria yang
telah ditetapkan oleh syariat (syara’), yakni jadz’ah untuk domba
dan tsaniyah untuk yang lainnya. Berdasarkan sabda Nabi SAW :
لاتذبحوا إلاّمسنّة إلاّأن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من
الضّأن
“Janganlah kalian menyembelih qurban kecuali berupa musinnah.
Namun apabila kalian kesulitan mendapatkannya maka sembelihlah domba yang
jadz’ah.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud musinnah adalah hewan yang telah
mencapai usia tsaniyah atau lebih tua daripada itu. Jika usianya kurang
dari tsaniyiah maka disebut jadz’ah. Usia tsaniyah untuk
onta adalah onta yang telah genap berusia 5 tahun.
Adapun untuk sapi adalah yang telah genap berusia
dua tahun. Sedangkan untuk kambing jika telah genap berusia setahun.
Sementara itu usia jadz’ah untuk kambing adalah kambing yang
sudah genap berusia setengah tahun. Dengan demikian tidak sah hukumnya
berqurban dengan hewan ternak yang belum memasuki usia tsaniyah untuk
onta, sapi dan kambing lokal atau ukuran jadz’ah untuk domba
(kibasy).
3. Hewan qurban tersebut tidak memiliki cacat yang bisa
menghalangi keabsahannya. Adapun cacat yang dimaksudkan ada empat bentuk:
a. Salah satu matanya buta, baik disebabkan karena tidak
memiliki bola mata, bola mata menonjol keluar seperti kancing baju atau karena
bagian mata yang hitam berubah warnanya menjadi putih yang sangat jelas menunjukkan
kebutaan.
b. Hewan yang sakit, yakni sakit yang gejalanya jelas
terlihat pada hewan tersebut seperti demam yang menyebabkan hewan tersebut tidak
bisa berjalan meninggalkan tempat penggembalaannya dan menyebabkan hewan tersebut
menjadi loyo. Demikian juga penyakit kudis yang parah sehingga bisa merusak
kelezatan daging atau mempengaruhi kesehatannya. Begitu pula luka yang dalam
sehingga mempengaruhi kesehatan tubuhnya dan lain-lain.
c. Dalam keadaan pincang, yakni pincang yang bisa
menghalangi hewan tersebut untuk berjalan seiring dengan hewan-hewan lain yang
sehat.
d. Dalam keadaan kurus, sehingga tulangnya tidak
bersumsum.
Keempat hal tersebut di atas didasarkan pada sabda
Nabi ketika beliau ditanya mengenai hewan yang tidak boleh dijadikan sebagai
hewan qurban, maka beliau berisyarat dengan tangannya dan bersabda:
أربعا:
العرجاء البيّن ظلعها, والعوراء البيّن عورها, والمريضة البيّن مرضها, والعجفاء
الّتي لاتنقي
“Empat jenis hewan, yakni hewan yang pincang dan jelas
kepincangannya; hewan yang salah satu matanya buta dan nyata kebutaannya; hewan
yang sakit dan nyata sakitnya; dan hewan yang kurus sehingga tidak bersumsum.” (HR. Malik dalam kitab Muwatha’ dari Al
Barra’ bin ‘Azib)
Dalam suatu riwayat dalam kitab-kitab sunan, dari
Al Barra’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah SAW berdiri di tengah-tengah kami,
lalu bersabda,
أربع لاتجوز في الأضاحي
“Empat jenis hewan yang tidak boleh digunakan untuk berqurban.”
Qurban tidak sah jika hewan qurbannya memiliki empat
cacat di atas. Demikian pula dengan cacat-cacat yang lain yang mirip dengan keempat
cacat di atas dan tentunya cacat lain yang lebih parah dari itu. Oleh karena
itu pula berqurban dengan hewan yang memiliki cacat berikut ini juga tidak sah:
a. Kedua belah matanya buta.
b. Hewan yang pencernaan tidak sehat sehingga kotorannya
encer. Hewan ini baru boleh digunakan untuk berqurban jika penyakitnya telah
sembuh.
c. Hewan yang sulit melahirkan. Hewan ini baru
diperkenankan untuk dijadikan hewan qurban setelah proses melahirkan selesai.
d. Hewan yang tertimpa sesuatu yang bisa menyebabkan
kematian seperti tercekik atau jatuh dari atas. Hewan ini baru bisa digunakan sebagai
hewan qurban setelah bisa selamat dari bahaya kematian yang mengancamnya.
e. Hewan yang lumpuh karena cacat.
f. Hewan yang salah satu kaki depan atau kaki belakangnya
terputus.
Jika enam tipe cacat ini ditambahkan dengan empat cacat
yang telah disebutkan, maka total hewan yang tidak boleh digunakan untuk
berqurban ada sepuluh jenis hewan.
4.
Hewan yang hendak digunakan untuk berqurban merupakan milik shahibul
qurban atau milik orang lain namun telah sah secara syariat (syara’)
atau telah mendapatkan izin dari pemilik.
Oleh karena itu tidak sah berqurban dengan hewan yang
bukan hak milik, seperti hewan rampasan, curian, hewan yang diklaim sebagai miliknya
tanpa bukti atau yang lainnya. Karena tidak sah mendekatkan diri kepada Allah dengan
perbuatan maksiat kepada-Nya. Dengan demikian pengasuh anak yatim diperbolehkan
berqurban untuk anak yatim yang diambil dari harta anak yatim tersebut jika hal
itu tidak dipermasalahkan oleh tradisi daerah setempat, bahkan si yatim akan
bersedih hati jika tidak ada yang berqurban.
5. Hewan qurban tersebut tidak berkaitan dengan hak
orang lain, sehingga tidak sah berqurban dengan hewan yang digunakan sebagai
agunan hutang. Lima syarat ini berlaku untuk berqurban dan seluruh sembelihan
yang sesuai dengan tuntunan syariat (syar’i) yang lain seperti hadyu,
karena melakukan haji tamattu’ atau qiran serta akikah.
6. Penyembelihan hewan qurban dilakukan pada waktu yang
telah ditentukan secara syar’i yaitu setelah shalat ‘Ied pada hari Nahr
(10 Dzulhijjah) hingga tenggelamnya matahari pada hari tasyriq terakhir
yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.
Dengan demikian waktu untuk menyembelih qurban adalah
4 hari, pada hari ‘Ied setelah selesai shalat ‘Ied dan tiga hari setelahnya.
Oleh karena itu barangsiapa berqurban sebelum shalat ‘Ied atau setelah matahari
terbenam pada tanggal 13 Dzuhijjah maka qurbannya tidak sah.
Ketentuan di atas berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dari Al Barra’ bin ‘Azib sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
من ذبح قبل الصّلاة فإنّما هولحم قدّمه لأهله وليس من
النّسك في شيء
“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum shalat maka hewan
tersebut adalah makanan berupa daging (biasa) untuk keluarganya dan sedikit pun
bukan merupakan ibadah qurban.”
Diriwayatkan dari Jundub bin Sufyan Al Bajali, beliau
berkata, “Aku menyaksikan Nabi SAW bersabda:
من ذبح قبل أن يصلّي فليعد مكانها أخرى
“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum shalat ‘Ied maka
hendaklah ia menggantinya!”
Dari Nabisyah Al Hadzali, Rasulullah SAW bersabda:
أيّام التّشريق أيّام أكل وشرب وذكر اللّه عزّوجلّ
“Hari-hari tasyriq merupakan hari-hari untuk makan, minum dan
mengingat Allah.” (HR.
Muslim)
Namun jika penyembelihan qurban dilakukan di luar
waktunya karena suatu sebab maka tidak apa-apa. Sebagai misal, hewan yang hendak
dijadikan qurban hilang dari kandangnya tanpa ada unsur keteledoran dari
shahibul qurban dan ternyata hewan tersebut baru ditemukan setelah habisnya
waktu penyembelihan qurban. Contoh lain, penyembelihan qurban dipasrahkan
kepada orang lain, ternyata orang yang menjadi wakil tersebut lupa dan baru teringat
setelah waktu qurban berakhir. Untuk kasus-kasus semisal di atas diperbolehkan menyembelih
hewan qurban di luar waktu penyembelihan, berdasarkan qiyas dengan orang
yang tertidur dan lupa melaksanakan shalat hingga waktu shalat berakhir, maka
orang ini cukup mengerjakan shalat ketika ia bangun atau ketika ia sudah
teringat.
Diperbolehkan menyembelih qurban di waktu malam
maupun siang hari. Namun demikian menyembelih hewan qurban pada siang hari
lebih utama. Dan menyembelih hewan qurban pada hari ‘ied setelah selesai shalat
‘Ied itu lebih utama. Karena semakin jauh dari hari ied maka menyembelih qurban
pada hari itu keutamaannya makin berkurang, karena Allah memerintahkan untuk
bersegera melakukan kebaikan.
D.
Kriteria Hewan Qurban
Hewan qurban yang paling utama adalah onta kemudian sapi
untuk jatah qurban satu orang, bukan untuk patungan kemudian domba (kibasy)
lalu kambing lokal, baru kemudian satu onta untuk patungan tujuh orang
(sepertujuh onta), lalu sepertujuh sapi.
Hewan qurban yang paling utama adalah hewan yang
paling gemuk, paling banyak dagingnya, paling sempurna bentuk tubuhnya dan paling
bagus rupanya. Dalam kitab Shahih Bukhari dari Anas bin Malik disebutkan
Nabi SAW berqurban dengan dua ekor kibasy yang bertanduk
dan gagah sempurna (amlah). Kibasy adalah domba besar, sedangkan
yang dimaksud amlah adalah putih yang tercampur warna hitam. Dari Abu
Said Al Khudri, beliau berkata:
ضحّى النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم بكبش أقرن فحيل
يأكل في سواد وينظر في سواد ويمشي في سواد
“Nabi SAW berqurban dengan kibasy bertanduk, pejantan, makan
dengan warna hitam, melihat dengan warna hitam dan berjalan dengan warna hitam.”
(HR. Imam Empat, Tirmidzi menyatakannya hasan shahih)
Adapun yang dimaksud “dengan warna hitam” dalam hadits
di atas adalah warna bulu pada mulut, kedua mata dan kaki-kakinya adalah hitam.
Dari Abu Rafi’, bekas budak Nabi, beliau berkata:
كان النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم إذاضحى اشترى كبشين
سمينين وفي لفظ: موجوعين
“Jika Nabi SAW berqurban beliau membeli dua ekor kibasy yang gemuk.”
Dalam lafal yang lain disebutkan: “yang dikebiri” (HR. Ahmad)
Adapun yang dimaksud “gemuk” adalah yang memiliki
banyak daging dan lemak. Hewan yang dikebiri umumnya dagingnya lebih enak.
Sementara itu hewan pejantan lebih sempurna dari sisi kesempurnaan ciptaan dan kelengkapan
anggota tubuh. Demikianlah hewan qurban yang lebih utama ditinjau dari jenis
dan keadaan/bentuk tubuhnya. Sedangkan hewan yang makruh dijadikan hewan qurban
adalah:
1. Hewan yang telinganya robek secara horizontal dari
arah depan.
2. Hewan yang telinganya robek secara horizontal dari
arah belakang.
3. Hewan yang terpotong separuh telinga atau tanduknya.
4. Hewan yang telinganya robek secara vertikal.
5. Hewan yang telinganya bolong.
6. Hewan yang telinganya terpotong hingga tampak lubang
telinganya, yang dalam bahasa Arab disebut mushfarah. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa hewan
tadi disebut mahzulah jika telinga yang terpotong tadi tidak sampai
menyebabkan cairan otaknya hilang.
7. Hewan yang sama sekali tidak memiliki tanduk.
8. Hewan yang telah hilang kemampuan memandangnya meski
kondisi matanya dalam keadaan utuh.
9. Hewan yang loyo sehingga tidak bisa berjalan seiring
dengan kelompoknya kecuali ada orang yang menggiringnya supaya bisa menyusul
teman-temannya. Hewan seperti ini disebut musyayya’ah. Demikian juga
dimakruhkan berqurban dengan musyayyi’ah, yaitu hewan loyo yang hanya
mampu berjalan di belakang rombongannya. Jadi seolaholah hewan tersebut
mengiringi hewanhewan yang berada di hadapannya.
Inilah hewan-hewan yang dimakruhkan untuk dijadikan
hewan qurban berdasarkan hadits yang melarang berqurban dengan hewan yang
memiliki cacat atau memerintahkan untuk menghindari berqurban dengan
hewan-hewan tersebut. Hewan-hewan tersebut dihukumi makruh, untuk
mengkopromikan hadits-hadits dalam hal ini dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Al Barra’ bin ‘Azib, sebagaiman telah disebutkan dalam syarat qurban yang
ketiga.
Demikian pula halnya dimakruhkan berqurban dengan
hewan-hewan yang memiliki cacat yang mirip dengan cacat yang telah disebutkan di
atas sebagaimana hewan-hewan berikut ini juga termasuk hewan yang dimakruhkan
untuk dijadikan sebagai hewan qurban:
1. Onta, sapi dan kambing lokal yang separuh atau lebih
dari telinganya terputus.
2. Hewan yang kurang dari separuh bagian pantatnya
dipotong. Adapun jika pantat yang dipotong itu lebih dari separuh maka
mayoritas ulama berpendapat bahwa hewan tersebut tidak sah dipergunakan sebagai
hewan qurban. Namun jika sejak lahir memang tidak memiliki pantat sama sekali
maka tidak dimakruhkan.
3. Hewan yang penisnya dipotong.
4. Hewan yang sebagian giginya rontok, misalnya gigi
seri atau gigi taring. Adapun jika sejak lahir hewan tersebut tidak memiliki
gigi maka tidak dimakruhkan.
5. Hewan yang puting susunya dipotong, jika puting
susunya itu tidak ada sejak lahir maka tidak apa-apa, meski air susunya tidak
bisa mengalir asalkan kantong susunya tidak rusak.
Jika lima jenis hewan yang dimakruhkan ditambahkan
dengan sembilan jenis hewan di muka, maka jumlah total hewan yang dimakruhkan untuk
dijadikan sebagai hewan qurban ada 14 jenis.
E.
Hal-hal yang Harus Dijauhi Oleh Orang yang
Hendak Berqurban
Jika bulan Dzulhijjah telah tiba yang ditunjukkan
dengan terlihatnya bulan sabit (hilal) atau dengan cara menggenapkan
bulan Dzulqa’dah menjadi tiga puluh hari, maka diharamkan bagi orang yang hendak
berqurban memotong rambut, kuku serta kulitnya meskipun hanya sedikit hingga
setelah ia selesai melaksanakan penyembelihan qurban. Hal ini berdasarkan
hadits Ummi Salamah radhiallahu ‘anha,
Nabi SAW bersabda:
إذا رأيتم هلالذي الحجّة وفي لفظ: إذا دخلت العشر وأراد
أحدكم أن يضحّي فليمسك عن شعره وأظفاره
“Jika kalian telah melihat hilal
Dzulhijjah (dalam lafal
lain: telah tiba sepuluh awal Dzulhijjah) dan salah satu kalian ingin
berqurban, maka hendaklah ia biarkan rambut dan kukunya.” (HR.
Muslim dan Ahmad)
Dalam lafal lain:
فلا يأخذ من شعره وأظفاره شيئا حتى يضحّي
“ Maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun
hingga ia berqurban.”
Dalam lafal yang lain:
فلا يمسّ من شعره ولا بشره شيئا
“Maka janganlah ia menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun.”
Jika ada orang yang timbul niat berqurban pada pertengahan
sepuluh hari pertama maka hendaklah ia membiarkan rambut, kuku dan kulitnya sejak
ia berniat. Tidak ada dosa baginya apa yang ia lakukan sebelum ia berniat.
Hikmah larangan ini adalah adanya persamaan antara
orang yang berqurban dengan orang yang melaksanakan ibadah haji, yakni dalam rangka
mendekat diri kepada Allah dengan menyembelih qurban. Oleh karena itu sama pula
halnya dengan orang yang keadaan ihram, yakni tidak boleh memotong kuku dan
semacamnya. Hukum ini hanya berlaku untuk orang yang berqurban, dan hukum ini
berkaitan dengan orang yang berqurban, karena Nabi SAW menyatakan
“Dan salah satu di antara kalian ingin berqurban”, Nabi
SAW tidak menyatakan “Ingin berqurban untuknya”.
Nabi juga berqurban untuk keluarganya dan
tidak ada keterangan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka untuk
tidak memotong kuku, rambut dan kulit.
Oleh karena itu bagi keluarga orang yang berqurban
pada sepuluh awal Dzulhijjah boleh mengambil dan memotong rambut, kuku dan kulit.
Jika ada orang yang ingin berqurban terlanjur mengambil dan memotong sebagian
rambut, kuku dan kulitnya maka kewajibannya hanya bertaubat dan berniat untuk
tidak mengulangi.
Namun tidak ada denda (kaffarah) untuknya dan pelanggaran
ini tidak menghalangi untuk berqurban sebagaimana sangkaan sebagian orang awam.
Jika larangan ini dilanggar karena lupa atau karena tidak mengetahui bahwa ia
melanggar hukum di atas atau ada rambut yang jatuh tanpa sengaja maka tidak ada
dosa baginya. Adapun jika terdapat suatu keperluan yang mendesak diperkenankan
memotong kuku, rambut dan kulitnya dan hal itu tidak menyebabkan dia menanggung
dosa. Sebagai misal, kukunya pecah sehingga mengganggu lalu dia gunting atau ada
rambut yang mengenai matanya lalu disingkirkan dengan dipotong atau ia perlu menggunting
rambut dalam rangka untuk mengobati lukanya, hal yang demikian tidaklah mengapa.
F.
Pembahasan (Berkurban dengan Uang)
Mendermakan
uang itu lebih simpel dibanding mendermakan benda lain. Sehingga terkadang ada
di antara kita melaksanakan kurban dengan membagikan uang seharga hewan kurban.
Praktek seperti ini tidak sah sebagai kurban karena kurban adalah suatu bentuk
ibadah yang dikhususkan dengan penyembelihan binatang ternak sebagaimana
ditegaskan di dalam QS. Al-Hajj: 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ
bagi tiap-tiap
umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama
Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka"
(Al-Hajj: 34)
Walaupun tidak
sah sebagai kurban, tetapi tidaklah sia-sia dan tidaklah termasuk bid'ah
meskipun secara implisit Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan, melegitimasi,
dan mengakuinya.
Dalam logika
atau nalar fikih uang yang dibagikan dengan niat kurban itu menjadi shadaqah
atau sedekah. Adapun keutamaan sedekah mengenai beberapa nashnya sudah cukup
jelas. Akan tetapi, betapa sayang bila kurban sebagai ibadah tahunan yang kita
laksanakan itu tidak diterima sebagai kurban karena kita melaksanakannya dalam
bentuk pembagian uang.
Bertolak dari
ayat di atas, ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah
menyatakan, bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah
ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan
benda lain termasuk dalam bentuk uang. Ulama' Hanafiyyah yang membolehkan
membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak
membolehkannya untuk kurban.
Dalam hal ini,
Muhammad ibn Abi Sahl As-Sarkhasiy (Wafat 490 H.) di dalam Al-Mabsuth;
juz II, h.157 menyatakan, bahwa zakat bagi para mustahiq berdimensi
kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bolehlah diberikan berupa
harganya. Sedangkan kurban adalah suatu ibadah dalam bentuk penyembelihan.
Sehingga seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan,
ternyata hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah
kurban itu sah.
Lebih jauh ia
menyatakan, bahwa penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan
mengandung makna atau esensi yang tidak dapat digambarkan kemuliaannya. Adapun
penggalan kalimatnya sebagai berikut:
فَكَانَ
اْلمُعْتَبَرُ فِي حَقِّهِمْ أَنَّهُ مَحَلٌّ صَالِحٌ
لِكِفَايَتِهِمْ حَتَّى
تُتَأَدَّى بِالْقِيْمَةِ بِخِلَافِ الهِدَايَا وَالضَّحَايَا فَإنَّ الْمُسْتَحِقُ فِيْهَا
إرَاقَةَ الدَّمِ حَتَّى وَلَوْ هَلَكَ
بَعْدَ الذَّبْحِ قَبْلَ نَظِيْرٍ بِهِ لَمْ يَلْزِمهُ شَيْءٌ
وَإرَاقَةُ الدَّمِ
لَيْسَ بِمُتَقَوِّمٍ وَلَا مَعْقُوْلٍ الْمَعْنَى
"Adapun apa yang diakui menjadi hak para mustahiq zakat adalah aspek kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga boleh diberikan berupa harganya. Hal ini berbeda dengan hadyu dan kurban yang esensinya adalah aliran darah (penyembelihan), sehingga seandainya setelah hewan kurban itu disembelih binasa sebelum dibagikan, maka tidak ada kewajiban sedikit pun yang dibebankan kepada orang yang kurban. Penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan tidak dapat dirasionalkan makna kemuliaannya ".
Demikian pula
hal yang senada dinyatakan oleh Zain ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Bakr (926-970 H) di dalam Al-Bahr ar-Raiq, jilid II, h.238. Adapun
sedikit kutipan kalimatnya sebagai berikut:
قَيَّدَ الْمُصَنِّفُ
بِالزَّكَاةِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ دَفْعُ الْقِيْمَةِ فِيْ
الضَّحَايَا وَالْهَدَايَا
وَالْعِتْقِ لِأنَّ مَعْنَى الْقُرْبَةِ إرَاقَةِ الدَّمِ وَذَلِكَ لَا يَتَقَوَّمُ
“Penyusun Kanz
ad-Daqaiq membatasi (pembahasan mengenai boleh memberikan berupa harga) dalam
kewajiban zakat. Persoalannya, tidak boleh memberikan dalam bentuk harga atas
kurban, hadyu dan memerdekakan budak karena esensi kurban adalah aliran darah
(penyembelihan) yang tidak dapat diukur dengan harga”.
Berikut pernyataan ulama yang
menyatakan qurban itu khusus pada binatang ternak:
1.
Imam an-Nawawi: “tidak sah qurban kecuali unta, kerbau/lembu
dan kambing/biri-biri”.[3]
2.
Zakaria al-Anshary: “Syarat qurban adalah binatang ternak,
yaitu unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri, baik betina, khuntsa atau
jantan, meskipun yang sudah dikebiri berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ
Artinya: Dan bagi tiap-tiap umat telah
Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas
binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka. (Al-Hajj : 34)[4]
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat
di atas, berkata: “Allah Ta’ala mengabarkan, senantiasa penyembelihan qurban
dan ihraqah dam (mengalirkan darah) atas nama Allah menjadi syari’at pada semua
agama Allah”.[5]
Bertolak dari ayat di atas dengan
penafsiran Ibnu Katsir tersebut, dapat dipahami bahwa kurban adalah ibadah yang
aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh
digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Kesimpulan ini lebih
tegas lagi apabila kita memperhatikan hadits di bawah ini:
ما عمل ادمي من عمل يوم النهر أحب الى الله من إهراق الدم إنه ليأتي يوم القيامهة بقرونها وأشعارها و أظلافها
Artinya : Tidak ada sebuah amalan
pada hari raya dari pada amalan anak Adam yang terlebih cinta kepada Allah
melebihi menumpah darah (saat sembelihan), karena sesungguhnya sembelihan itu
akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. (H.R.
at-Turmidzi)
Ulama Hanafiyyah yang membolehkan
membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak
membolehkannya untuk qurban. Dalam hal ini, Muhammad bin Abi Sahl As-Sarkhasy
salah seorang ulama besar Hanafiyah dalam Al-Mabsuth, menyatakan, bahwa zakat
bagi para mustahiq berdimensi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehingga bolehlah diberikan berupa harganya. Sedangkan kurban adalah suatu
ibadah dalam bentuk ihraqah dam (mengalirkan darah/penyembelihan). Sehingga
seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan, ternyata
hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah kurban itu
sah. Hal ini karena ihraqah dam adalah tidak dapat diukur dengan dihargakan dan
bukan sesuatu yang ma’qul makna.[6]
Fatwa ulama-ulama kita di atas,
sesuai pula dengan i’tiqad kaum muslim bahwa syari’at penyembelihan qurban
adalah karena mengikuti sunnah Nabi Ibrahim yang menyembelih kurban sebagai
ganti penyembelihan Nabi Ismail yang diperintah Allah kepadanya, sesuai dengan
hadits riwayat Ahmad bin Hanbal, yaitu:
قالو يا رسول الله ، ما هذه الأضاحي ؟ قال : "سنة أبيكم إبراهيم
Artinya : Para sahabat bertanya :
“ya Rasulullah, apa qurban ini ?”, jawab Rasulullah: “dia adalah sunnah bapakku,
Ibrahim.”(H.R. Ahmad)
Kalau kita mengikuti perkataan orang
yang membolehkan qurban dalam bentuk uang, tentunya pada ujungnya kaum muslimin
ini dikuatirkan akan lupa sejarah kenapa disyari’atkan qurban itu sendiri.
Untuk menutup kemungkinan itu maka sudah sepatutnya tidak dibenarkan qurban
dalam bentuk uang. Ini sesuai dengan salah satu sumber hukum dalam Islam, yaitu
saad al-zara-i’.[7]
Menyembelih qurban lebih utama daripada sedekah uang
senilai harga hewan qurbannya, karena beberapa alasan:
1. Menyembelih qurban merupakan amal Nabi SAW
dan para sahabat.
2. Menyembelih qurban merupakan salah satu syiar Allah Ta’ala.
Oleh karena itu jika orang lebih memilih untuk bersedekah niscaya syiar ini
akan hilang.
3. Jika bersedekah seharga hewan qurban lebih utama daripada
menyembelih hewan qurban tentu Nabi SAW telah menjelaskan kepada umatnya dengan perkataan atau perbuatan
beliau, karena Nabi selalu menjelaskan hal-hal yang terbaik untuk umatnya.
4. Bahkan jika bersedekah itu keutamaannya sama dengan
berqurban, tentu hal ini juga telah dijelaskan oleh Nabi, karena bersedekah
jauh lebih mudah daripada menyembelih qurban. Sebagaimana diketahui Nabi SAW tidak akan lalai untuk menjelaskan amal yang lebih
ringan dilakukan oleh umatnya namun memiliki keutamaan yang sama dengan amal
yang lebih berat.
5. Menganggap bahwa tujuan qurban itu
hanya untuk memberi makan orang miskin yang kelaparan. Kita tahu bahwa tujuan
seperti ini penting.
Namun,
Allah Ta’ala berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا
وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Jika memang engkau ingin bersedekah
dengan beribadah qurban, engkau ingin saudaramu yang muslim di tempat lain juga
mendapatkan manfaat dari qurbanmu, maka sembelihlah qurban tersebut di
negerimu. Lalu kalau mau memberi manfaat pada mereka, kirimlah beberapa dirham,
makanan, pakaian ke tempat lain (bukan mentansfer untuk qurban).[8]
G. Kesimpulan
1. Menurut para ulama qurban dengan uang dilarang,
dikarnakan tidak sesuai dan menyalahi syarta serta rukun qurban itu sendiri.
2. Menyembelih kurban lebih utama daripada berkurban
dengan uang.
3. Mengganti kurban dengan uang tidak bisa disamakan dengan
sodakoh karena shodakoh bisa kapanpun dilakukan, sedangkan qurban hanya
dilakukan satutahun sekali.
Daftar
Pustaka
Ø
Ad-Dimasyqi Syaikh
al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, Bandung; Hasyimi,
2012
Ø Al-Anshary Zakaria,
Fath al-Wahab, Beirut, Darul Fikri, Juz. IV, th
Ø Al Utsaimin Syaikh Muhammad bin
Sholih, Fatawa Liqho’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 24/32, Asy Syamilah
Ø An-Nawawi, Minhaj
at-Thalibin, Indonesia, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. IV
Ø As-Sarkhasy Muhammad,
Al-Mabsuth, Beirut, Darul Ma’rifah, Juz II, th
Ø Katsir Ibnu, Tafsir
Ibnu Katsir, Beirut, Darul Thaibah, Juz. V, th
Ø Rasjid Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung; PT. Sinar Baru
Algensindo, 2001
Ø Waly
Muhibuddin, Penggalian Hukum dari Masa ke-Masa, tp, tp,th
[1]
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, hlm. 476
[2]
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab,
Hasyimi, Bandung, Hal. 186
[3] An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 250
[4] Zakaria al-Anshary, Fath al-Wahab,
Darul Fikri, Beirut, Juz. Iv, Hal. 295
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul
Thaibah, Juz. V, Hal. 424
[6] Muhammad As-Sarkhasy, Al-Mabsuth, Darul
Ma’rifah, Beirut, Juz II, Hal. 157
[7] Prof. Dr. Muhibuddin Waly, Penggalian
Hukum dari Masa ke-Masa, Hal. 48-49
[8] Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Fatawa
Liqho’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 24/32, Asy Syamilah
wiihh panjang bener tuh makalahnya
BalasHapusbiasalah kan makalah bukan cerpen.. hehehehe
BalasHapusassalamualaiku kak,, kalau boleh tahu apa yah imbalan untuk orang yang melaksanakan kurban?
BalasHapusAkikah Jogja