Selasa, 27 Mei 2014

Berkurban Menggunakan Uang

Berqurban adalah suatu syiar yang diajarkan Allah kepada manusia untuk manusia demi terjalainnya hubungan silaturahmi antar manusia, sehingga menimbulkan sikap solidaritas antar sesame. Berqurban biasanya dilakukan dengan bentuk Hewan, baik itu Unta, Sapi, Kerbou dan lain sebagainya, yang mereupakan binatang yang dihalalkan oleh Allah dan dianjurkan oleh Rosulnya.
Dengan bergulirnya jaman demi jaman cara berqurban sangat banyak cara dan bentuknya, pada permasalahan sekarang ada sebuah kasus dimana ketika seseorang hendak berqurban namun tidak bisa memilih dan menentukan manakah hewan kurban yang baik untuk diqurbankan, maka ada inisitif untuk berqurban mengunakan uang. Lalu timbullah pertanyaan bolehkah seseorang berqurban dengan uang? Sedangkan pada jaman Rasulullah SAW tidak ada bentuk qurban dengan uang. Inilah yang menjadi pokok masalah dalam pembahasan pada makalah ini.
Namun sebelum membahas lebih jauh lagi mengenai hewan berqurban dengan uang, hendaknya kita memahami apa itu qurban dan waktu serta syarat berkurban itu sendiri.
 
A.    Definisi
Qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada harihari Idul Adha untuk menyemarakkan hari raya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah[1]. Berqurban merupakan salah satu syiar Islam yang disyariatkan berdasarkan dalil Al Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW dan Ijma’ (kesepakatan hukum) kaum muslimin.
فصلّ لربكّ وانحر
“Maka shalatlah karena rabbmu dan sembelihlah qurban!” (QS. Al Kautsar: 2)

قل إنّ صلا تى ونسكى ومحياي ومماتى للّه ربّ العالمين لاشريك له وبذلك أمرت وأناأوّل المسلمين
 “Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya shalatku, nusuk/ibadah qurbanku, hidup dan matiku hanya untuk Allah rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, aku diperintahkan seperti itu dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri.” (QS. Al An’am: 162)
Makna nusuk dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan, demikian penjelasan dari Said bin Jubair. Ada pula yang menyatakan bahwa makna nusuk adalah semua bentuk ibadah, salah satunya adalah menyembelih hewan. Pendapat ini bersifat lebih luas.

ولكلّ أمّة جعلنا منسكالّيذكروا اسم اللّه على مارزقهم مّن بهيمة الا نعام فإلهكم إله وحدفله أسلموا
“Dan untuk setiap umat Kami tetapkan ibadah qurban, supaya mereka mengingat nama Allah terhadap rizki yang telah Allah karuniakan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka sesembahan kalian itu adalah sesembahan yang satu, maka hanya kepada-Nyalah kalian berserah diri.” (QS. Al Hajj: 34)
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Anas bin Malik, beliau berkata:

ضحّى النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم بكبشين أملحين ذبحهما بيده وسمّى وكبّر,وضع رجله على صفاحهما
“Nabi SAW berqurban dengan dua ekor kambing kibasy yang berpenampilan sempurna. Beliau sembelih sendiri dengan tangannya. Beliau membaca bismillah, bertakbir dan meletakkan salah satu kaki beliau pada lambung kambing tersebut.”
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata:

أقام النّنيّ صلّى اللّه عليه وسلّم بالمدينة عشر سنين يضحّي
“Nabi SAW tinggal di Madinah selama sepuluh tahun dan selalu berqurban.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, beliau menyebutnya hadits hasan)

عن عقبة بن عامررضى اللّه عنه أنّ النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم قسم بين اصحابه ضحايافصارت لعقبة جذعة فقال: يارصول اللّه صارت لي جذعة فقال: ضحّ بها
Dari Uqbah bin ‘Amir, sesungguhnya Nabi SAW membagikan hewan qurban kepada para sahabat nya. Ternyata Uqbah bin ‘Amr mendapat bagian ternak yang masih kecil, belum dewasa (jadzah). Maka ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapat bagian berupa jadz-ah?” Rasulullah bersabda, “Berqurbanlah dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Dari Al Bara’ bin ‘Azib, sesungguhnya Nabi SAW bersabda yang artinya:
“Barangsiapa menyembelih qurban setelah shalat ‘Ied maka ibadah qurbannya telah sempurna dan apa yang diperbuatnya itu telah sesuai dengan sunnah umat Islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

B.     Hukum Berqurban
Nabi SAW dan para sahabat berqurban, bahkan Nabi bersabda bahwa qurban merupakan sunnah kaum muslimin yang berarti kebiasaan umat Islam. Oleh karena itu, umat Islam bersepakat bahwa berqurban itu disyariatkan, sebagaimana keterangan beberapa ulama. Namun terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama, apakah qurban itu sunnah muakkad ataukah merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan?
Hukum berkurban menurut para ulama:
1.      Pendapat Imam Maliki, Syafi’I, Hambali dan para ulama pengikut Hanafi: Qurban hukumnya adalah sunnah Mu’akkadah.
2.      Pendapat Imam Hanafi: Hukum berqurban adalah wajib atas penduduk kota-kota besar, yaitu orang yang telah memiliki harta satu nisab.[2]
Adapun waktu penyembelihan hewan kurban menurut para ulama adalah:
1.      Imam Syafi’I berpendapat: Waktu penyembelihan hewan kurban adalah sejak terbit matahari pada hari nahar (Idul Adha) dan telah berlalu kadar waktu shalat hari raya Idul Adha dan dua Khutbahnya, baik imam sudah shalat maupun belum.
2.      Imam Maliki dan Hambali berpendapat: waktu penyembelihan hewan kurban adalah sesudah imam shalat dan berkhutbah.
3.      Imam Hanafi berpendapat: waktu penyembelihan hewan kurban adalah ketika telah terbit fajar kedua.
4.      Menurut ‘Atha adalah masuknya waktu berqurban adalah dengan terbitnya matahari pada Idul Adha.
Adapun waktu berakhirnya menyembelih hewan qurban adalah hari tasyriq kedua, ini menurut Imam Syafi’I, Hanafi dan Maliki.


Di masa Nabi SAW pernah terjadi kelaparan, maka Nabi bersabda yang artinya:
“Barangsiapa di antara kalian berqurban, maka setelah tiga hari tidak boleh di dalam rumahnya  masih terdapat sisa hewan qurban.”
Pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami harus berbuat sebagaimana yang telah kami lakukan pada tahun kemarin?”
Maka Nabi bersabda, “Makanlah daging hewan qurban, berilah makan kepada orang lain dan simpanlah. Karena pada tahun kemarin, orangorang tengah mengalami kesulitan, maka aku ingin agar kalian turut membantu mereka pada tahun itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyembelih hewan qurban pada waktunya lebih utama daripada bersedekah dengan uang senilai harga hewan tersebut. Oleh karena itu jika ada orang yang bersedekah dengan uang yang bernilai jauh lebih besar dibandingkan harga kambing denda (dam) karena melaksanakan ibadah haji yang didahului oleh ibadah umrah yang juga dilakukan di masa haji (haji tamattu’) dan melaksanakan umrah sekaligus dengan ibadah haji dalam satu prosesi (qiran) maka sedekah tersebut tidak bisa menggantikan dam. Demikian juga halnya dalam masalah berqurban.”
Hukum asal qurban adalah disyariatkan untuk orang-orang yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah SAW dan para sahabat berqurban untuk diri dan keluarga mereka. Adapun pemahaman sebagian orang awam bahwa qurban itu khusus dikenakan bagi orang yang sudah mati adalah anggapan yang tidak berdalil.
Menyangkut hukum berqurban untuk orang yang sudah meninggal ada tiga macam:
a.       Meniatkan agar orang yang sudah meninggal mendapatkan pahala berqurban bersama dengan orang yang masih hidup. Sebagai misal, ada seorang yang berqurban untuk diri dan keluarganya. Orang tersebut meniatkan bahwa keluarga yang dia maksudkan mencakup yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Dalil yang membolehkan hal ini adalah perbuatan Nabi SAW berqurban untuk diri beliau sendiri dan sekaligus pula diperuntukkan bagi keluarga beliau. Adapun yang tercakup dalam keluarga yang beliau maksudkan adalah anggota keluarga beliau yang telah meninggal.
b.      Berqurban untuk orang yang sudah meninggal dalam rangka melaksanakan wasiatnya. Dalil yang membolehkan hal ini adalah firman Allah:


فمن بدّله بعدما سمعه فإنّمآ إثمه على الّذين يبدّلونه إنّ اللّه سميع عليم
“Barangsiapa mengganti wasiat setelah ia mendengarnya maka dosanya ditanggung oleh orangorang yang menggantinya. Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 181)
c.       Berqurban untuk orang yang sudah meninggal secara khusus sebagai bentuk ibadah tersendiri yang dilakukan oleh orang yang masih hidup atas inisiatif sendiri atau tanpa wasiat. Hal ini diperbolehkan, bahkan para ulama bermadzhab Hambali (Hanabilah) menyatakan bahwa pahalanya akan sampai ke orang yang sudah meninggal tersebut dan bisa merasakan manfaatnya. Pendapat ini berdasarkan analog dengan sedekah.
Namun demikian dalam pendapat kami pribadi bahwa mengkhususkan qurban untuk orang yang sudah meninggal bukanlah sunnah Nabi, karena Nabi SAW tidak pernah berqurban untuk salah satu anggota keluarga beliau yang telah meninggal secara khusus. Beliau tidak berqurban untuk paman beliau, Hamzah. Padahal Hamzah termasuk kerabat beliau yang sangat mulia bagi beliau. Demikian pula, beliau tidak pernah berqurban untuk anak-anak beliau yang telah meninggal saat beliau masih hidup, yaitu tiga anak wanita yang sudah menikah dan tiga anak laki-laki yang masih kecil. Begitu pun, beliau tidak pernah berqurban untuk Khadijah isteri beliau yang tercinta. Juga tidak terdapat keterangan bahwa ada seorang sahabat di masa Nabi yang berqurban khusus untuk anggota keluarganya yang telah meninggal.
Hal lain yang termasuk kesalahan dalam pandangan kami adalah perbuatan sebagian orang yang berqurban untuk orang yang sudah meninggal, pada tahun pertama kematiannya. Qurban seperti ini mereka sebut sebagai qurban hufrah. Mereka berkeyakinan bahwa pahala qurban tersebut hanya dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal saja. Jadi dalam qurban tersebut tidak boleh ada orang lain yang turut serta mendapatkan pahala qurban bersama dengan orang yang sudah meninggal tersebut. Yang juga termasuk kesalahan adalah berqurban untuk orang yang sudah meninggal dengan inisiatif sendiri (tanpa wasiat) atau karena tuntutan wasiat, akan tetapi tidak pernah berqurban untuk diri sendiri dan keluarganya. Padahal jika mereka mengetahui bahwa seseorang yang berqurban dengan hartanya untuk diri dan keluarganya, maka hal ini sudah mencakup anggota keluarga yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sekiranya mereka mengetahui hal ini tentu mereka tidak akan melakukan perbuatan sebagaimana yang telah mereka lakukan dan meninggalkan perbuatan yang sudah dicontohkan oleh Nabi.

C.    Syarat-syarat Berqurban
1.      Binatang qurban harus berupa binatang ternak, yaitu onta, sapi dan kambing, baik berupa kambing lokal maupun kambing domba (kibasy), berdasarkan firman Allah:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ
“Dan bagi setiap umat, telah kami syariatkan ibadah qurban supaya mereka menyebut nama Allah SWT terhadap apa yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al Hajj: 34)
Adapun yang dimaksud dengan bahimatul an’am adalah onta, sapi dan kambing. Pengertian inilah yang umum dikenal di kalangan orangorang Arab. Demikianlah penjelasan Hasan Al Basri, Qatadah dan yang lainnya.
2.      Usia hewan tersebut telah memenuhi criteria yang telah ditetapkan oleh syariat (syara’), yakni jadz’ah untuk domba dan tsaniyah untuk yang lainnya. Berdasarkan sabda Nabi SAW :

لاتذبحوا إلاّمسنّة إلاّأن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضّأن
“Janganlah kalian menyembelih qurban kecuali berupa musinnah. Namun apabila kalian kesulitan mendapatkannya maka sembelihlah domba yang jadz’ah.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud musinnah adalah hewan yang telah mencapai usia tsaniyah atau lebih tua daripada itu. Jika usianya kurang dari tsaniyiah maka disebut jadz’ah. Usia tsaniyah untuk onta adalah onta yang telah genap berusia 5 tahun.
Adapun untuk sapi adalah yang telah genap berusia dua tahun. Sedangkan untuk kambing jika telah genap berusia setahun. Sementara itu usia jadz’ah untuk kambing adalah kambing yang sudah genap berusia setengah tahun. Dengan demikian tidak sah hukumnya berqurban dengan hewan ternak yang belum memasuki usia tsaniyah untuk onta, sapi dan kambing lokal atau ukuran jadz’ah untuk domba (kibasy).



3.      Hewan qurban tersebut tidak memiliki cacat yang bisa menghalangi keabsahannya. Adapun cacat yang dimaksudkan ada empat bentuk:
a.       Salah satu matanya buta, baik disebabkan karena tidak memiliki bola mata, bola mata menonjol keluar seperti kancing baju atau karena bagian mata yang hitam berubah warnanya menjadi putih yang sangat jelas menunjukkan kebutaan.
b.      Hewan yang sakit, yakni sakit yang gejalanya jelas terlihat pada hewan tersebut seperti demam yang menyebabkan hewan tersebut tidak bisa berjalan meninggalkan tempat penggembalaannya dan menyebabkan hewan tersebut menjadi loyo. Demikian juga penyakit kudis yang parah sehingga bisa merusak kelezatan daging atau mempengaruhi kesehatannya. Begitu pula luka yang dalam sehingga mempengaruhi kesehatan tubuhnya dan lain-lain.
c.       Dalam keadaan pincang, yakni pincang yang bisa menghalangi hewan tersebut untuk berjalan seiring dengan hewan-hewan lain yang sehat.
d.      Dalam keadaan kurus, sehingga tulangnya tidak bersumsum.
Keempat hal tersebut di atas didasarkan pada sabda Nabi ketika beliau ditanya mengenai hewan yang tidak boleh dijadikan sebagai hewan qurban, maka beliau berisyarat dengan tangannya dan bersabda:
أربعا: العرجاء البيّن ظلعها, والعوراء البيّن عورها, والمريضة البيّن مرضها, والعجفاء الّتي لاتنقي
“Empat jenis hewan, yakni hewan yang pincang dan jelas kepincangannya; hewan yang salah satu matanya buta dan nyata kebutaannya; hewan yang sakit dan nyata sakitnya; dan hewan yang kurus sehingga tidak bersumsum.” (HR. Malik dalam kitab Muwatha’ dari Al Barra’ bin ‘Azib)
Dalam suatu riwayat dalam kitab-kitab sunan, dari Al Barra’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah SAW berdiri di tengah-tengah kami, lalu bersabda,
أربع لاتجوز في الأضاحي
“Empat jenis hewan yang tidak boleh digunakan untuk berqurban.”
Qurban tidak sah jika hewan qurbannya memiliki empat cacat di atas. Demikian pula dengan cacat-cacat yang lain yang mirip dengan keempat cacat di atas dan tentunya cacat lain yang lebih parah dari itu. Oleh karena itu pula berqurban dengan hewan yang memiliki cacat berikut ini juga tidak sah:
a.       Kedua belah matanya buta.
b.      Hewan yang pencernaan tidak sehat sehingga kotorannya encer. Hewan ini baru boleh digunakan untuk berqurban jika penyakitnya telah sembuh.
c.       Hewan yang sulit melahirkan. Hewan ini baru diperkenankan untuk dijadikan hewan qurban setelah proses melahirkan selesai.
d.      Hewan yang tertimpa sesuatu yang bisa menyebabkan kematian seperti tercekik atau jatuh dari atas. Hewan ini baru bisa digunakan sebagai hewan qurban setelah bisa selamat dari bahaya kematian yang mengancamnya.
e.       Hewan yang lumpuh karena cacat.
f.       Hewan yang salah satu kaki depan atau kaki belakangnya terputus.
Jika enam tipe cacat ini ditambahkan dengan empat cacat yang telah disebutkan, maka total hewan yang tidak boleh digunakan untuk berqurban ada sepuluh jenis hewan.
4.      Hewan yang hendak digunakan untuk berqurban merupakan milik shahibul qurban atau milik orang lain namun telah sah secara syariat (syara’) atau telah mendapatkan izin dari pemilik.
Oleh karena itu tidak sah berqurban dengan hewan yang bukan hak milik, seperti hewan rampasan, curian, hewan yang diklaim sebagai miliknya tanpa bukti atau yang lainnya. Karena tidak sah mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan maksiat kepada-Nya. Dengan demikian pengasuh anak yatim diperbolehkan berqurban untuk anak yatim yang diambil dari harta anak yatim tersebut jika hal itu tidak dipermasalahkan oleh tradisi daerah setempat, bahkan si yatim akan bersedih hati jika tidak ada yang berqurban.
5.      Hewan qurban tersebut tidak berkaitan dengan hak orang lain, sehingga tidak sah berqurban dengan hewan yang digunakan sebagai agunan hutang. Lima syarat ini berlaku untuk berqurban dan seluruh sembelihan yang sesuai dengan tuntunan syariat (syar’i) yang lain seperti hadyu, karena melakukan haji tamattu’ atau qiran serta akikah.
6.      Penyembelihan hewan qurban dilakukan pada waktu yang telah ditentukan secara syar’i yaitu setelah shalat ‘Ied pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga tenggelamnya matahari pada hari tasyriq terakhir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.
Dengan demikian waktu untuk menyembelih qurban adalah 4 hari, pada hari ‘Ied setelah selesai shalat ‘Ied dan tiga hari setelahnya. Oleh karena itu barangsiapa berqurban sebelum shalat ‘Ied atau setelah matahari terbenam pada tanggal 13 Dzuhijjah maka qurbannya tidak sah.
Ketentuan di atas berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Al Barra’ bin ‘Azib sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
من ذبح قبل الصّلاة فإنّما هولحم قدّمه لأهله وليس من النّسك في شيء
“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum shalat maka hewan tersebut adalah makanan berupa daging (biasa) untuk keluarganya dan sedikit pun bukan merupakan ibadah qurban.”
Diriwayatkan dari Jundub bin Sufyan Al Bajali, beliau berkata, “Aku menyaksikan Nabi SAW bersabda:
من ذبح قبل أن يصلّي فليعد مكانها أخرى
“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum shalat ‘Ied maka hendaklah ia menggantinya!”
Dari Nabisyah Al Hadzali, Rasulullah SAW bersabda:
أيّام التّشريق أيّام أكل وشرب وذكر اللّه عزّوجلّ
“Hari-hari tasyriq merupakan hari-hari untuk makan, minum dan mengingat Allah.” (HR. Muslim)
Namun jika penyembelihan qurban dilakukan di luar waktunya karena suatu sebab maka tidak apa-apa. Sebagai misal, hewan yang hendak dijadikan qurban hilang dari kandangnya tanpa ada unsur keteledoran dari shahibul qurban dan ternyata hewan tersebut baru ditemukan setelah habisnya waktu penyembelihan qurban. Contoh lain, penyembelihan qurban dipasrahkan kepada orang lain, ternyata orang yang menjadi wakil tersebut lupa dan baru teringat setelah waktu qurban berakhir. Untuk kasus-kasus semisal di atas diperbolehkan menyembelih hewan qurban di luar waktu penyembelihan, berdasarkan qiyas dengan orang yang tertidur dan lupa melaksanakan shalat hingga waktu shalat berakhir, maka orang ini cukup mengerjakan shalat ketika ia bangun atau ketika ia sudah teringat.
Diperbolehkan menyembelih qurban di waktu malam maupun siang hari. Namun demikian menyembelih hewan qurban pada siang hari lebih utama. Dan menyembelih hewan qurban pada hari ‘ied setelah selesai shalat ‘Ied itu lebih utama. Karena semakin jauh dari hari ied maka menyembelih qurban pada hari itu keutamaannya makin berkurang, karena Allah memerintahkan untuk bersegera melakukan kebaikan.


D.    Kriteria Hewan Qurban
Hewan qurban yang paling utama adalah onta kemudian sapi untuk jatah qurban satu orang, bukan untuk patungan kemudian domba (kibasy) lalu kambing lokal, baru kemudian satu onta untuk patungan tujuh orang (sepertujuh onta), lalu sepertujuh sapi.
Hewan qurban yang paling utama adalah hewan yang paling gemuk, paling banyak dagingnya, paling sempurna bentuk tubuhnya dan paling bagus rupanya. Dalam kitab Shahih Bukhari dari Anas bin Malik disebutkan Nabi SAW berqurban dengan dua ekor kibasy yang bertanduk dan gagah sempurna (amlah). Kibasy adalah domba besar, sedangkan yang dimaksud amlah adalah putih yang tercampur warna hitam. Dari Abu Said Al Khudri, beliau berkata:

ضحّى النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم بكبش أقرن فحيل يأكل في سواد وينظر في سواد ويمشي في سواد
Nabi SAW berqurban dengan kibasy bertanduk, pejantan, makan dengan warna hitam, melihat dengan warna hitam dan berjalan dengan warna hitam.” (HR. Imam Empat, Tirmidzi menyatakannya hasan shahih)
Adapun yang dimaksud “dengan warna hitam” dalam hadits di atas adalah warna bulu pada mulut, kedua mata dan kaki-kakinya adalah hitam.
Dari Abu Rafi’, bekas budak Nabi, beliau berkata:

كان النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم إذاضحى اشترى كبشين سمينين وفي لفظ: موجوعين
“Jika Nabi SAW berqurban beliau membeli dua ekor kibasy yang gemuk.” Dalam lafal yang lain disebutkan: “yang dikebiri” (HR. Ahmad)
Adapun yang dimaksud “gemuk” adalah yang memiliki banyak daging dan lemak. Hewan yang dikebiri umumnya dagingnya lebih enak. Sementara itu hewan pejantan lebih sempurna dari sisi kesempurnaan ciptaan dan kelengkapan anggota tubuh. Demikianlah hewan qurban yang lebih utama ditinjau dari jenis dan keadaan/bentuk tubuhnya. Sedangkan hewan yang makruh dijadikan hewan qurban adalah:
1.      Hewan yang telinganya robek secara horizontal dari arah depan.
2.      Hewan yang telinganya robek secara horizontal dari arah belakang.
3.      Hewan yang terpotong separuh telinga atau tanduknya.
4.      Hewan yang telinganya robek secara vertikal.
5.      Hewan yang telinganya bolong.
6.      Hewan yang telinganya terpotong hingga tampak lubang telinganya, yang dalam bahasa Arab disebut mushfarah.  Ada juga ulama yang menyatakan bahwa hewan tadi disebut mahzulah jika telinga yang terpotong tadi tidak sampai menyebabkan cairan otaknya hilang.
7.      Hewan yang sama sekali tidak memiliki tanduk.
8.      Hewan yang telah hilang kemampuan memandangnya meski kondisi matanya dalam keadaan utuh.
9.      Hewan yang loyo sehingga tidak bisa berjalan seiring dengan kelompoknya kecuali ada orang yang menggiringnya supaya bisa menyusul teman-temannya. Hewan seperti ini disebut musyayya’ah. Demikian juga dimakruhkan berqurban dengan musyayyi’ah, yaitu hewan loyo yang hanya mampu berjalan di belakang rombongannya. Jadi seolaholah hewan tersebut mengiringi hewanhewan yang berada di hadapannya.
Inilah hewan-hewan yang dimakruhkan untuk dijadikan hewan qurban berdasarkan hadits yang melarang berqurban dengan hewan yang memiliki cacat atau memerintahkan untuk menghindari berqurban dengan hewan-hewan tersebut. Hewan-hewan tersebut dihukumi makruh, untuk mengkopromikan hadits-hadits dalam hal ini dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al Barra’ bin ‘Azib, sebagaiman telah disebutkan dalam syarat qurban yang ketiga.
Demikian pula halnya dimakruhkan berqurban dengan hewan-hewan yang memiliki cacat yang mirip dengan cacat yang telah disebutkan di atas sebagaimana hewan-hewan berikut ini juga termasuk hewan yang dimakruhkan untuk dijadikan sebagai hewan qurban:
1.      Onta, sapi dan kambing lokal yang separuh atau lebih dari telinganya terputus.
2.      Hewan yang kurang dari separuh bagian pantatnya dipotong. Adapun jika pantat yang dipotong itu lebih dari separuh maka mayoritas ulama berpendapat bahwa hewan tersebut tidak sah dipergunakan sebagai hewan qurban. Namun jika sejak lahir memang tidak memiliki pantat sama sekali maka tidak dimakruhkan.
3.      Hewan yang penisnya dipotong.
4.      Hewan yang sebagian giginya rontok, misalnya gigi seri atau gigi taring. Adapun jika sejak lahir hewan tersebut tidak memiliki gigi maka tidak dimakruhkan.
5.      Hewan yang puting susunya dipotong, jika puting susunya itu tidak ada sejak lahir maka tidak apa-apa, meski air susunya tidak bisa mengalir asalkan kantong susunya tidak rusak.
Jika lima jenis hewan yang dimakruhkan ditambahkan dengan sembilan jenis hewan di muka, maka jumlah total hewan yang dimakruhkan untuk dijadikan sebagai hewan qurban ada 14 jenis.

E.     Hal-hal yang Harus Dijauhi Oleh Orang yang Hendak Berqurban
Jika bulan Dzulhijjah telah tiba yang ditunjukkan dengan terlihatnya bulan sabit (hilal) atau dengan cara menggenapkan bulan Dzulqa’dah menjadi tiga puluh hari, maka diharamkan bagi orang yang hendak berqurban memotong rambut, kuku serta kulitnya meskipun hanya sedikit hingga setelah ia selesai melaksanakan penyembelihan qurban. Hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah radhiallahu ‘anha,
Nabi SAW bersabda:

إذا رأيتم هلالذي الحجّة وفي لفظ: إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحّي فليمسك عن شعره وأظفاره
“Jika kalian telah melihat hilal Dzulhijjah (dalam lafal lain: telah tiba sepuluh awal Dzulhijjah) dan salah satu kalian ingin berqurban, maka hendaklah ia biarkan rambut dan kukunya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam lafal lain:

فلا يأخذ من شعره وأظفاره شيئا حتى يضحّي
“ Maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga ia berqurban.”
Dalam lafal yang lain:

فلا يمسّ من شعره ولا بشره شيئا
Maka janganlah ia menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun.”
Jika ada orang yang timbul niat berqurban pada pertengahan sepuluh hari pertama maka hendaklah ia membiarkan rambut, kuku dan kulitnya sejak ia berniat. Tidak ada dosa baginya apa yang ia lakukan sebelum ia berniat.
Hikmah larangan ini adalah adanya persamaan antara orang yang berqurban dengan orang yang melaksanakan ibadah haji, yakni dalam rangka mendekat diri kepada Allah dengan menyembelih qurban. Oleh karena itu sama pula halnya dengan orang yang keadaan ihram, yakni tidak boleh memotong kuku dan semacamnya. Hukum ini hanya berlaku untuk orang yang berqurban, dan hukum ini berkaitan dengan orang yang berqurban, karena Nabi SAW menyatakan
Dan salah satu di antara kalian ingin berqurban”, Nabi SAW tidak menyatakan “Ingin berqurban untuknya”.
Nabi juga berqurban untuk keluarganya dan tidak ada keterangan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka untuk tidak memotong kuku, rambut dan kulit.
Oleh karena itu bagi keluarga orang yang berqurban pada sepuluh awal Dzulhijjah boleh mengambil dan memotong rambut, kuku dan kulit. Jika ada orang yang ingin berqurban terlanjur mengambil dan memotong sebagian rambut, kuku dan kulitnya maka kewajibannya hanya bertaubat dan berniat untuk tidak mengulangi.
Namun tidak ada denda (kaffarah) untuknya dan pelanggaran ini tidak menghalangi untuk berqurban sebagaimana sangkaan sebagian orang awam. Jika larangan ini dilanggar karena lupa atau karena tidak mengetahui bahwa ia melanggar hukum di atas atau ada rambut yang jatuh tanpa sengaja maka tidak ada dosa baginya. Adapun jika terdapat suatu keperluan yang mendesak diperkenankan memotong kuku, rambut dan kulitnya dan hal itu tidak menyebabkan dia menanggung dosa. Sebagai misal, kukunya pecah sehingga mengganggu lalu dia gunting atau ada rambut yang mengenai matanya lalu disingkirkan dengan dipotong atau ia perlu menggunting rambut dalam rangka untuk mengobati lukanya, hal yang demikian tidaklah mengapa.

F.     Pembahasan (Berkurban dengan Uang)
Mendermakan uang itu lebih simpel dibanding mendermakan benda lain. Sehingga terkadang ada di antara kita melaksanakan kurban dengan membagikan uang seharga hewan kurban. Praktek seperti ini tidak sah sebagai kurban karena kurban adalah suatu bentuk ibadah yang dikhususkan dengan penyembelihan binatang ternak sebagaimana ditegaskan di dalam QS. Al-Hajj: 34

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ
bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka" (Al-Hajj: 34)
Walaupun tidak sah sebagai kurban, tetapi tidaklah sia-sia dan tidaklah termasuk bid'ah meskipun secara implisit Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan, melegitimasi, dan mengakuinya.
Dalam logika atau nalar fikih uang yang dibagikan dengan niat kurban itu menjadi shadaqah atau sedekah. Adapun keutamaan sedekah mengenai beberapa nashnya sudah cukup jelas. Akan tetapi, betapa sayang bila kurban sebagai ibadah tahunan yang kita laksanakan itu tidak diterima sebagai kurban karena kita melaksanakannya dalam bentuk pembagian uang.
Bertolak dari ayat di atas, ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah menyatakan, bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Ulama' Hanafiyyah yang membolehkan membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak membolehkannya untuk kurban.
Dalam hal ini, Muhammad ibn Abi Sahl As-Sarkhasiy (Wafat 490 H.) di dalam Al-Mabsuth; juz II, h.157 menyatakan, bahwa zakat bagi para mustahiq berdimensi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bolehlah diberikan berupa harganya. Sedangkan kurban adalah suatu ibadah dalam bentuk penyembelihan. Sehingga seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan, ternyata hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah kurban itu sah.
Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan mengandung makna atau esensi yang tidak dapat digambarkan kemuliaannya. Adapun penggalan kalimatnya sebagai berikut:
فَكَانَ اْلمُعْتَبَرُ فِي حَقِّهِمْ أَنَّهُ مَحَلٌّ صَالِحٌ لِكِفَايَتِهِمْ حَتَّى تُتَأَدَّى بِالْقِيْمَةِ بِخِلَافِ الهِدَايَا وَالضَّحَايَا فَإنَّ الْمُسْتَحِقُ فِيْهَا إرَاقَةَ الدَّمِ حَتَّى وَلَوْ هَلَكَ بَعْدَ الذَّبْحِ قَبْلَ نَظِيْرٍ بِهِ لَمْ يَلْزِمهُ شَيْءٌ وَإرَاقَةُ الدَّمِ لَيْسَ بِمُتَقَوِّمٍ وَلَا مَعْقُوْلٍ الْمَعْنَى

"Adapun apa yang diakui menjadi hak para mustahiq zakat adalah aspek kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga boleh diberikan berupa harganya. Hal ini berbeda dengan hadyu dan kurban yang esensinya adalah aliran darah (penyembelihan), sehingga seandainya setelah hewan kurban itu disembelih binasa sebelum dibagikan, maka tidak ada kewajiban sedikit pun yang dibebankan kepada orang yang kurban. Penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan tidak dapat dirasionalkan makna kemuliaannya ".
Demikian pula hal yang senada dinyatakan oleh Zain ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Bakr (926-970 H) di dalam Al-Bahr ar-Raiq, jilid II, h.238. Adapun sedikit kutipan kalimatnya sebagai berikut:
قَيَّدَ الْمُصَنِّفُ بِالزَّكَاةِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ دَفْعُ الْقِيْمَةِ فِيْ الضَّحَايَا وَالْهَدَايَا وَالْعِتْقِ لِأنَّ مَعْنَى الْقُرْبَةِ إرَاقَةِ الدَّمِ وَذَلِكَ لَا يَتَقَوَّمُ
“Penyusun Kanz ad-Daqaiq membatasi (pembahasan mengenai boleh memberikan berupa harga) dalam kewajiban zakat. Persoalannya, tidak boleh memberikan dalam bentuk harga atas kurban, hadyu dan memerdekakan budak karena esensi kurban adalah aliran darah (penyembelihan) yang tidak dapat diukur dengan harga”.

Berikut pernyataan ulama yang menyatakan qurban itu khusus pada binatang ternak:
1.      Imam an-Nawawi: “tidak sah qurban kecuali unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri”.[3]
2.      Zakaria al-Anshary: “Syarat qurban adalah binatang ternak, yaitu unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri, baik betina, khuntsa atau jantan, meskipun yang sudah dikebiri berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ
Artinya: Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka. (Al-Hajj : 34)[4]
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas, berkata: “Allah Ta’ala mengabarkan, senantiasa penyembelihan qurban dan ihraqah dam (mengalirkan darah) atas nama Allah menjadi syari’at pada semua agama Allah”.[5]
Bertolak dari ayat di atas dengan penafsiran Ibnu Katsir tersebut, dapat dipahami bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Kesimpulan ini lebih tegas lagi apabila kita memperhatikan hadits di bawah ini:

ما عمل ادمي من عمل يوم النهر أحب الى الله من إهراق الدم إنه ليأتي يوم القيامهة بقرونها وأشعارها و أظلافها
Artinya : Tidak ada sebuah amalan pada hari raya dari pada amalan anak Adam yang terlebih cinta kepada Allah melebihi menumpah darah (saat sembelihan), karena sesungguhnya sembelihan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. (H.R. at-Turmidzi)
Ulama Hanafiyyah yang membolehkan membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak membolehkannya untuk qurban. Dalam hal ini, Muhammad bin Abi Sahl As-Sarkhasy salah seorang ulama besar Hanafiyah dalam Al-Mabsuth, menyatakan, bahwa zakat bagi para mustahiq berdimensi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bolehlah diberikan berupa harganya. Sedangkan kurban adalah suatu ibadah dalam bentuk ihraqah dam (mengalirkan darah/penyembelihan). Sehingga seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan, ternyata hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah kurban itu sah. Hal ini karena ihraqah dam adalah tidak dapat diukur dengan dihargakan dan bukan sesuatu yang ma’qul makna.[6]
Fatwa ulama-ulama kita di atas, sesuai pula dengan i’tiqad kaum muslim bahwa syari’at penyembelihan qurban adalah karena mengikuti sunnah Nabi Ibrahim yang menyembelih kurban sebagai ganti penyembelihan Nabi Ismail yang diperintah Allah kepadanya, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad bin Hanbal, yaitu:

قالو يا رسول الله ، ما هذه الأضاحي ؟ قال : "سنة أبيكم إبراهيم
Artinya : Para sahabat bertanya : “ya Rasulullah, apa qurban ini ?”, jawab Rasulullah: “dia adalah sunnah bapakku, Ibrahim.”(H.R. Ahmad)
Kalau kita mengikuti perkataan orang yang membolehkan qurban dalam bentuk uang, tentunya pada ujungnya kaum muslimin ini dikuatirkan akan lupa sejarah kenapa disyari’atkan qurban itu sendiri. Untuk menutup kemungkinan itu maka sudah sepatutnya tidak dibenarkan qurban dalam bentuk uang. Ini sesuai dengan salah satu sumber hukum dalam Islam, yaitu saad al-zara-i’.[7]
Menyembelih qurban lebih utama daripada sedekah uang senilai harga hewan qurbannya, karena beberapa alasan:
1.      Menyembelih qurban merupakan amal Nabi SAW dan para sahabat.
2.      Menyembelih qurban merupakan salah satu syiar Allah Ta’ala. Oleh karena itu jika orang lebih memilih untuk bersedekah niscaya syiar ini akan hilang.
3.      Jika bersedekah seharga hewan qurban lebih utama daripada menyembelih hewan qurban tentu Nabi SAW telah menjelaskan kepada umatnya dengan perkataan atau perbuatan beliau, karena Nabi selalu menjelaskan hal-hal yang terbaik untuk umatnya.
4.      Bahkan jika bersedekah itu keutamaannya sama dengan berqurban, tentu hal ini juga telah dijelaskan oleh Nabi, karena bersedekah jauh lebih mudah daripada menyembelih qurban. Sebagaimana diketahui Nabi SAW tidak akan lalai untuk menjelaskan amal yang lebih ringan dilakukan oleh umatnya namun memiliki keutamaan yang sama dengan amal yang lebih berat.
5.      Menganggap bahwa tujuan qurban itu hanya untuk memberi makan orang miskin yang kelaparan. Kita tahu bahwa tujuan seperti ini penting.
Namun, Allah Ta’ala berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Jika memang engkau ingin bersedekah dengan beribadah qurban, engkau ingin saudaramu yang muslim di tempat lain juga mendapatkan manfaat dari qurbanmu, maka sembelihlah qurban tersebut di negerimu. Lalu kalau mau memberi manfaat pada mereka, kirimlah beberapa dirham, makanan, pakaian ke tempat lain (bukan mentansfer untuk qurban).[8]

G.    Kesimpulan
1.      Menurut para ulama qurban dengan uang dilarang, dikarnakan tidak sesuai dan menyalahi syarta serta rukun qurban itu sendiri.
2.      Menyembelih kurban lebih utama daripada berkurban dengan uang.
3.      Mengganti kurban dengan uang tidak bisa disamakan dengan sodakoh karena shodakoh bisa kapanpun dilakukan, sedangkan qurban hanya dilakukan satutahun sekali.














Daftar Pustaka
Ø  Ad-Dimasyqi Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, Bandung; Hasyimi, 2012
Ø  Al-Anshary Zakaria, Fath al-Wahab, Beirut, Darul Fikri, Juz. IV, th
Ø  Al Utsaimin Syaikh Muhammad bin Sholih, Fatawa Liqho’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 24/32, Asy Syamilah
Ø  An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, Indonesia, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. IV
Ø  As-Sarkhasy Muhammad, Al-Mabsuth, Beirut, Darul Ma’rifah, Juz II, th
Ø  Katsir Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Beirut, Darul Thaibah, Juz. V, th
Ø  Rasjid Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung; PT. Sinar Baru Algensindo, 2001
Ø  Waly Muhibuddin, Penggalian Hukum dari Masa ke-Masa, tp, tp,th



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, hlm. 476
[2] Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi, Bandung, Hal. 186
[3] An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 250
[4] Zakaria al-Anshary, Fath al-Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. Iv, Hal. 295
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. V, Hal. 424
[6] Muhammad As-Sarkhasy, Al-Mabsuth, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz II, Hal. 157
[7] Prof. Dr. Muhibuddin Waly, Penggalian Hukum dari Masa ke-Masa, Hal. 48-49
[8] Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Fatawa Liqho’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 24/32, Asy Syamilah

3 komentar:

  1. wiihh panjang bener tuh makalahnya

    BalasHapus
  2. biasalah kan makalah bukan cerpen.. hehehehe

    BalasHapus
  3. assalamualaiku kak,, kalau boleh tahu apa yah imbalan untuk orang yang melaksanakan kurban?
    Akikah Jogja

    BalasHapus