A.
LATAR BELAKANG
Pada era globalisasi dan
informasi saat ini, yang ditandai seamakin menipis dan hilangnya batas pemisah
antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa, yang diikuti dengan
kecendrungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang bersifat universal, tampak
studi tentang as-sunnah mejadi sangat penting dan mendapakan perhatian yang
sangat luas, baik dikalangan umat Islam maupun dikalangan non Islam.
Urgensi as-sunnah masa kemasa sekarang paling tidak dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi
internal dan ekternal. Dengan sisi internal dimaksudkan adalah nilai-nilai dan
sistem budaya yang berada dalam lingkungan umat Islam itu sendiri, sedangkan
sisi ekternal yang dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya diluar kalangan
Islam.
B. Rumusan Masalah
a.
Definisi As-Sunnah
b.
Posisi As-Sunnah
c.
Kedudukan
As-Sunnah
d.
Kehujjahan
As-Sunnah
BAB II
PEMBAHASAN
C.
DEFINISI AS-SUNNAH
Menurut
bahasa (Lughoh) سنّا،سنّة
- يَسنّ - سَنَّ
Ditinjau dari etimologinya (bahasa) As Sunnah berarti: siroh atau thoriqoh (jalan) yang baik maupun yang buruk Allah Ta’ala berfirman:
يريد اللٌه ليبيٌن لكم ويهديكم سنن
الٌذين من قبلكم ويتوب عليكم واللٌه عليم حكيم
“Allah Ta’ala hendak menerangkan (hukum syari`at-Nya) kepadamu,
dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu dan (hendak)
menerima taubatmu. Dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS.
An Nisaa: 26) Dalam tafsir
Al Qurthubi disebutkan bahwa salah satu makna:
ويهديكم سنن الٌذين من قبلكم
Adalah:“Dia menjelaskan kepadamu jalan-jalan orang sebelummu dari ahlul hak dan batil” Tafsiran ini menunjukkan bahwa kata sunan yang merupakan bentuk jama’ dari sunnah digunakan pada yang baik maupun yang buruk, Makna menurut bahasa ini juga ditunjukkan dalam sebuah hadits:
من سنٌ في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له ميٌل اجرمن عمل بها ولاينفص من اجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنٌة سيٌنة فعمل بها بعده كتب عليه ميٌل وزر من عمل بها ولاينفص من أوزارهم شيء
“Barangsiapa yang melakukan di dalam Islam sunnah (jalan/contoh)
yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya
sesudahnya tanpa mengurangi pahala dari orang-orang tersebut sedikit pun. Dan
barangsiapa melakukan di dalam Islam jalan/contoh (sunnah) yang tidak baik maka
atasnya dosa dan dosa orang-orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa
mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikit pun ”
Ada banyak istilah yang sering digunakan dalam pembahasan
as-Sunnah, yaitu : as-Sunnah itu sendiri, al-Hadits, Mandub, Mustabah, Khabar, dan
Atsar. Karena itu sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan as-Sunnah, ada
baiknya kita memahami dahulu istilah-istilah tersebut agar tidak terjadi salah
paham.
Sesungguhnya, segala sesuatu yang terdapat di dalam
Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah (hadits RasulullahSAW) adalah sunnah Rasulullah.
Dia merupakan sebuah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah. Di antara contoh
definisi ini adalah sabda beliau:
مَنْ
رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Barangsiapa yang menolak sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
As-Sunnah menurut pengertian
etimologi (bahasa) bararti tradisi yang bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah
al-maslukah) baik yang terpuji ataupun yang tercela. Sedangkan menurut
terminology (istilah syara’) ada ulama’ yang mengatkan as-Sunnah dan al-Hadits
itu sama namun adapula yang membedakan antara keduanya. Adapun ulama’ yang
membedakan keduanya adalah Ibnu Taimiyah menurutnya al-Hadits merupakan ucapan,
perbuatan maupun taqrir Nabi Muhammad sebatas beliau diangkat menjadi
Nabi/Rosul, sedangkan as-Sunnah lebih dari itu, yakni sebelum dan sesudah
diangkat menjadi Nabi/Rosul. Sedangkan jumhur ulama’ menyamakan arti as-Sunnah
dan al-Hadits.
Di antara bentuk kata “sunnah” yang bermakna “al-hadits” adalah perkataan
sebagian ulama dalam menyebutkan beberapa permasalahan, “Dan ini adalah sebuah
permasalahan yang berdasarkan dalil Al-Kitab, as-sunnah, dan ijma’ para ulama.”
Sunnah yang bermakna “al-hadits”. Hal tersebut jika digandengkan dengan
“Al-Kitab”. Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah SAW, bersabada:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنِ
اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian sesuatu
yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian kalian tidak akan
tersesat selamanya: (yaitu) Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam.”
Juga sabda beliau:
إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا:
كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua hal bagi kalian sehingga
kalian tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang teguh dengan kedua hal
tersebut: (yaitu) Kitabullah dan sunnahku.”[1]
Sunnah dapat didefinisikan sebagai lawan dari bid’ah. Di antara contoh
penggunaannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا
كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ
الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِانَّوَاجِذِ، وَ
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ،
وَكُلَّ بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang tetap hidup (setelah
kematianku), niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka, berpegang
teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang memperoleh
petunjuk dan berilmu. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian,
serta berhati-hatilah terhadap perkara-perkara baru yang dibuat-buat. Sungguh,
setiap perkara baru yang dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu
sesat!”[2]
Di antara contoh penerapan istilah “sunnah” yang bermakna “lawan dari
bid’ah” adalah sebagian ulama hadits zaman dahulu yang menyebut buku-buku karya
mereka dalam bidang akidah dengan nama “As-Sunnah”, semisal As-Sunnah karya
Muhammad bin Nashir Al-Marwazii, As-Sunnah karya Ibnu Abii ‘Aashim, As-Sunnah
karya Al-Laalikaa`i, dan selainnya. Dalam kitab Sunan karya Abu Daud pun
terdapat bab berjudul “As-Sunnah” yang memuat banyak hadits tentang akidah.
Sunnah pun dapat bermakna “mandub” dan “mustahab”, yaitu segala sesuatu
yang diperintahkan dalam bentuk anjuran, bukan dalam bentuk pewajiban. Definisi
ini digunakan oleh para ahli fikih. Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Seandainya bukan karena takut memberatkan umatku, niscaya akan
kuperintahkan mereka untuk melakukan siwak setiap hendak melaksanakan shalat.” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Sesungguhnya perintah untuk bersiwak berada pada derajat anjuran, dan hal
tersebut semata-mata karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
khawatir akan memberatkan umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
jika menetapkannya sebagai sebuah kewajiban.
Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi tentang as-Sunnah
alangkah baiknya kita mengatahui dulu tentang istilah-istilah yang berkaitan
dangan as-Sunnah antara lain al-Khabar, al-Atsar dan lain-lain:
a. Yang dimaksud
al-Khabar (pemberitahuan), yaitu berita yang disampaikan dari seseorang kepada
orang yang lain. Dengan demikian al-Khabar lebih luas daripada as-Sunnah,
karena tidak bersumber dari Nabi SAW. Tetapi juga dari sahabat dan tabi’in.
Al-Thiby menyamakan arti al-Khabar dangan al-Hadits.
b. Sedangkan
al-Atsar berarti bekas atau sisa sesuatu. Para fuqaha memakai istilah atsar
khusus dieruntukkan bagi perkataan sahabat tabi’in dan ulama’ salaf. Tetapi
jumhur ulama’ menyamakan atsar dengan al-Hadits/as-Sunnah. Al-Nawawi menyatakan
bahwa ulama’ fiqih menyebut hadits mauquf (perkataan sahabat) juga atsar.
D.
POSISI AS-SUNNAH
Secara
global, al-sunnah sejalan dengan al-Qur’an yang muhkam, menjelaskan
yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan
menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya, di samping membawa hukum-hukum
yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh al-Qur’an yang isinya sejalan
dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya.
Dengan demikian, al-sunnah merupakan tuntunan praktis terhadap apa yang
dibawa oleh al-Qur’an, suatu bentuk praktik yang mengambil bentuk
pengejawantahan yang beragam.
Terkadang
merupakan amal yang muncul dari Rasulullah saw, kemudian beliau melihat
perilaku itu, atau mendengar ucapan itu, kemudian memberikan pengakuan. Beliau
tidak menentang atau mengingkari, tetapi hanya diam atau justru menilai baik.
Itulah yang disebut dengan taqrir dari beliau.
Al-Sunnah
sejajar
dengan al-Qur’an, dari segi tingkatannya. Al-Sunnah berada berdampingan
dengan al-Qur’an, karena ia berfungsi menjelaskan. Sebagaimana firman Allah
swt:
بالبيٌنات والزٌبر والنازلنا إليك الذٌكر لتبيٌن للنٌاس
مانزٌل إليهم ولعلٌهم يتفكٌرون
“Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”. (QS. al-Nah}l (16): 44).
Al-Sunnah
menjelaskan
al-Qur’an dari berbagai segi. Al-sunnah menjelaskan ibadah dan hukum
yang bersifat global. Allah mewajibkan shalat kepada kaum muslimin tanpa
menjelaskan waktunya, rukunnya ataupun jumlah rakaatnya.
Kemudian
Rasulullah menjelaskan melalui praktik shalat beliau dan dengan pengajaran
kepada kaum muslimin tentang bagaimana melakukan shalat dan tatacaranya dan
dengan sabda Rasulullah saw:
صلوا كمار أيتنوني أصلي
Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihatku melakukan salat.[3]
لتأخذوا مناسككم فاني لا ادرى لعلى
لا أحج بعد حجتى هذه
Hendaklah
kamu mengambil (menunaikan) ibadah haji, karena mungkin kalau tidak dapat
melaksanakan haji lagi setelah haji ini (haji wada)”.[4]
Al-Shafi’i
dalam tafsirnya menyatakan secara global bahwa al-Qur’an dan al-sunnah adalah
sebagai satu kesatuan sumber shari’ah, yaitu sama-sama sebagai nas
shari’ah. Ia tidak banyak mempertentangkan kedudukan al-sunnah termasuk
al-Qur’an, bahkan al-Shafi’iy sangat tegas mengambil sikap untuk menempatkan
otoritas al-sunnah dalam shari’ah Islam, sehingga mendapat julukan Nasir
al-Sunnah.
Sebab
al-Shafi’iy mampu menyelamatkan al-sunnah dari dua dilema yang terjadi
pada masanya, ialah penangguhan dasar al-sunnah oleh kalangan ahl
al-Ra’y (rasional), dan ketidakkritisan pemakaian al-sunnah sebagai
dasar syari’ah oleh kalangan ulama ahl al-hadith. Karenanya al- Shafi’iy
merumuskan prinsip-prinsip teoritik global tentang dasar nas al-sunnah
sebagai sumber syari’ah, terutama sumber hukum Islam.
Selanjutnya
oleh al-Shatiby diperjelas bahwa tidak dimungkinkan mengambil istinba hukum
hanya dibatasi dengan al-Qur’an semata, tanpa mengaitkannya dengan
doktrin-doktrin dan ajaran dalam al-sunnah sebagai penjelas.[5]
Teori
di atas adalah suatu pandangan yang didasarkan pada aspek pragmatis tentang al-sunnah,
yaitu menempatkan fungsi al-sunnah terhadap al-Qur’an. Maka atas
dasar teori ini otoritas Nabi saw secara global meliputi:
1. Tabligh,
menyampaikan isi kandungan al-Qur’an kepada umat manusia. Dalam al-Qur’an
disebutkan:
ياأيهاالرٌسول
بلٌغ ماأنزل من ربٌك وان لم تفعل فمابلٌغت رسالته واللٌه يعصمك من النٌاس انٌ
اللٌه لا يهدي القوم الكافرين
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS.
al-Ma’idah (5): 67).
2. Bayan
al-tashri’, yaitu menerangkan ajaran shari’ah yang belum
dijelaskan secara pasti dalam al-Qur’an maupun berdasarkan penghayatan Nabi saw
sendiri.[6]
Al-Shafi’i mengatakan, “Apa yang di-sunnah-kan (ditetapkan) oleh
Rasulullah berkaitan dengan apa yang tidak ada dalam hukum Allah mengenai
masalah tertentu, maka berdasarkan hukum Allah-lah beliau membuat al-sunnah itu.
Demikianlah Allah swt menyampaikan kepada kita. Seperti firman Allah swt:
وكذلك أوحينا إليك روحا من أمرنا ما
كنت تدري ماالكتاب ولا الإيمان ولكن جعلناه نورا نهدي به من نشاء من عبادنا وإنٌك
لتهي إلى صراط مستقيم
“Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula
mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS.
al-Shura (52): 52).
E.
KEDUDUKAN AS-SUNNAH
Umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi SAW. Itu
dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam
yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil
yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan tidak dikhususkan
menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, maka hendaknya
dicarikan ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an dan penyelesaiannya dalam
as-Sunnah/al-Hadits. Seandainya usaha itu mengalami kegagalan, disebabkan karena
ketentuan hokum dan dan cara pengamalannya itu benar-benar terjadi dimasa Nabi
SAW., sehingga memerlukan ijtihad baru untuk menghindari kekosongan hokum dan
kebekuan beramal, maka baru dialihkan untuk mencari pedoman yang lain yang
dibenarkan oleh syariat, baik berupa ijtihad peperangan maupun kelompok yang
berbentuk ijma’ ulama’ atau pedoman lainnya, sepanjang tidak bertentangan
dangan jiwa syariat.
Al-Syatihi memberikan argumentasinya tentang kedudukan
as-sunnah/al-Hadits berada dibawah al-Qur’an, bahwa :
1. Al-Qur’an
diterima secara qoth’I (meyakinkan), sedangkan hadits diterima secara dzanni,
kecuali hadits mutawatir.
2. Hadits
adakalanya menerangkan sesuatuyang bersifat global dalam al-Qur’an, memberi
komentar terhadap al-qur’an dan adakalanya membicarakan sesuatu yang belum
dibicarakan dalam al-Qur’an.
3. Di dalam hadits
itu sendiri terdapat petunjuk mengenai hal tersebut, yakni hadits menduduki
posisi kedua setelah al-Qur’an.[7]
Sedangkan menurut mahmud Abu Rayyah,[8]
posisi as-Sunnah/al-Hadits itu berada dibawah al-Qur’an, karena al-Qur’an
sampai kepada ummat Islam dengan jalan mutawatir dan tiadk ada keraguan
sedikitpun. Sedangkan as-Sunnah/al-Hadits sampai kepada ummat Islam tidak
semuanya mutawatir.
F.
KEHUJAHAN AS-SUNNAH
Nabi SAW. adalah seorang Rasul yang maksum
(terjaga dari perbuatan hina, dosa, dan maksiat), sehingga sunnah-sunnah beliau
selalau dipelihara
oleh Allah SWT. dari segala apa
yang menurunkan citranya sebagai seorang Rosul.(QS.al-Najm ayat : 3-4,
dinyatakan :
وماينطق عن الهوى (1) ان هو الاٌ وحي يٌوحى (2)
Artinya : “dan Nabi tidak berbicara dangan
kamauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”.
Sebgaian ulama’ menyatakan
bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan al-qur’an, bukan as-sunnah/hadits.
Ketika orang-orang kafir mengingkari terhadap Al-Qur’an sebagai wahyu dan
dianggap sebagai bikinan Muhammad SAW. lalau Allah menurunkan ayat-ayat
tersebut sebagai bantahan terhadap pengingkaran mereka akan kewahyuan Al-Qur’an.
Atas dasar itu, maka ayat-ayat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai landasan
bahwa as-sunnah/hadits termasuk wahyu Ilahi.
Namun demikian, alasan ulama’ tersebut dibantah oleh
ulama’ lainnya yaitu bahwa walaupun ayat itu diturunkan untuk membela Al-Qur’an, tetapi
dalam mafhumnya as-sunnah/al-Hadits termasuk didalamnya, karena didalam kaidah ushul dinyatakan
bahwa “ungkapan itu menurut lafal bukan pada khususnya sebab”.
Dengan adanya kaidah tersebut, berarti bahwa
as-sunnah/hadits juga merupakan wahyu, karena melihat keumuman ayat tersebut
dan bukan melihat kekhususan sebabnya.
Sebagian ulama’ mendudukkan Nabi kedalam dua posisi yaitu
:
1. Posisinya
sebagai manusia biasa (al-Basyar), sehingga beliau diperbolehkan melakukan
ijtihad walaupun tanpa berkonsultasi dengan firman Allah melalui wahyu-Nya.
2. Posisinya
sebagai Rasulullah,
sehingga apapun yang diucapkan, diperbuat dan ditetapkan merupakan bagian
integral dari wahyu yang diterima dari Allah SWT. oleh karena itu,
as-Sunnah/al-Hadits Nabawi dapat dibagi kedalam dua macam yaitu:[9]
a. Tawqifi, yaitu
kandungannya yang diterima oleh Rasulullah dari wahyu Allah, lalu beliau menjelaskan kepada
manusia dengan kata-katanya sendiri. Meskipun kandungannya dinisbatkan kepada
Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbatkan kepada Rosulullah,
karena kata-kata itu dinisbatkan kepada yang mengatakannya, meskipun didalamnya
terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi, yaitu
yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahamannya terhadap al-qur’an, karena
mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an atau menyimpulkan dengan pertimbangan dan
ijtihad.
Pembagian as-Sunnah tersebut menimbulkan dua pendapat
yaitu :
1. Sunnah harus dijadikan
sebagai hujah dalam menetapkan semua hukum dan tidak ada perbedaan apakah
Sunnah itu dari wahyu Ilahi (tauqifi) atau dari ijtihad Nabi sendiri (taufiqi)
karena beliau adalah orang yang maksum.
2. Sunnah tawfiqi mutlak dipakai,
karena sebagai penjelas dari Al-Qur’an, sedangkan Sunnah tawfiqi terdapat
beberapa alternatif yaitu :
a. Apabila Sunnah
itu ditunjukkan oleh suatu petunjuk khusus bahwa sunnah itu dapat dijadikan
sebagai hujah sebagaimana mestinya.
b. Apabila Sunnah
itu ditunjukkan oleh suatu petunjuk khusus bahwa Sunnah itu khusus bagi Nabi,
maka Sunnah itu tidak boleh diamalkan oleh umatnya, misalnya, hukum nikah lebih
dari empat, hanya khusus bagi Nabi.
c. Apabila Sunnahnya
itu berkaitan dengan
kasus-kasus pidana dan perdata, maka ada dua kemungkinan :
1) Nabi SAW.
Menetapkan fakta-faktanya setelah memeriksa semua pihak yang bersengketa, kedua
keputusan Nabi SAW. Berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan.
2) Itulah yang
menjadi hujah
hukum syari’ah
bagi umat islam,
sekalipun masih
ada kemungkinan keputusan Nabi atas perkara perkara yang bersangkutan tidak
benar, karena data yang disampaikan kepada beliau tidak faktual.
3) Apabila Sunnah
itu hanya sekedar tradisi bangsa arab pada umumnya, maka sunnah tersebut tidak
bisa dijadikan hujahm misalnya ; tradisi memakai jubah dikala perkawinan.
d. Apabila Sunnah
itu hanya sekedar tradisi bangsa arab pada umumnya, maka sunnah tersebut tidak
bisa dijadikan hujahm misalnya; tradisi memakai jubah dikala perkawinan.
e. Apabila sunnah
itu berkaitan dengan pembawaan manusia, seperti makan, minum, tidur dan lain
sebagainya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. As-Sunnah adalah
suatu kebiasaan yang dapat dilakukan oleh semua manusia baik itu baik atau
jelek, dan perlunya seseorang mengetahui dan mempelajari berbagai pendapat
ulama’ dalam menggunakan istilah-istilah itu agar nantinya orang yang
mempelajari atau membaca kitab-kitab dapat memilah-milah, mana yang hadits Nabi
dan mana pula yang datang dari sahabat. Dalam kajian ini penulis cenderung
untuk menyamakan as-sunnah dangan al-hadits dalam penggunaanya, sebagaimana
pendapat para jumhur ulama’, karena pendapat ini banyak digunakan oleh para
ulama’ hadits akhir-akhir ini, disamping agar tidak bertele-tele dan terjebak
dalam perbedaanyang cenderung membingungkan bagi orang yang masih dalam taraf
pemula dalam mempelajari Islam, terutama as-sunnah dan al-hadits.
2. Adapun posis as-sunnah ialah sejalan
dengan al-Qur’an yang muhkam, menjelaskan
yang mujmal, membatasi yang
mutlak, mengkhususkan yang umum dan menguraikan hukum-hukum dan
tujuan-tujuannya, di samping membawa hukum-hukum yang belum dijelaskan secara
eksplisit oleh al-Qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan
merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya
3. Mengenai kedudukan as-Sunnah/al-Hadits
itu berada dibawah al-Qur’an, karena al-Qur’an sampai kepada ummat Islam dengan
jalan mutawatir dan tiadk ada keraguan sedikitpun. Sedangkan
as-Sunnah/al-Hadits sampai kepada ummat Islam tidak semuanya mutawatir.
4. Menegnai kehujjahan as-Sunnah para
ulama’ berbeda pendapat ada yang meletakannya pada derajat yang lebih rendah
dari pada Al-Qur’an dan ada pula ulama’ yang meletakan as-Sunnah sederajat
dengan Al-Qur’an, di dasarkan pada kaidah ushul “ungkapan
itu menurut lafal bukan pada khususnya sebab”.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Al-Bukhary,
Matn al-Bukhary, Bandung: Shirkah al-Ma’arif, vol. 4, tt.
Ø Al-Dawalibi,
Muhammad Ma’ruf, al-Madkhal ila Ilmi Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Alm
li al-Malayin,
1965
Ø As-Siba’I,
Mushtafa, As Sunnah Wa Makanatuha Fii At
Tasyri’ Al Islami, Beirut: Al Maktab Al Islami, Cet. IV, Thn 1405 H
Ø Basuny, Abbas, Dirasah
fi al-Hadith al-Nabawy, al-Iskandariyyah: Mu’assasah Shubbab al-Jam’ah,
1986
Ø Muhaimin, Kawasan
dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2005
Ø Muslim, Sahih
Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, vol. 1, 1988
Ø Zahrah,
Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, Beirut: Dar al- Fikr, tt
[1] Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam
Mustadrak beliau
[2]Hadits ini
dikeluarkan oleh Abu Daud, lafal hadits ini adalah milik beliau, dikeluarkan
pula oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah; At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan
shahih”)
[6] Abbas Basuny, Dirasah fi al-Hadith
al-Nabawy (al-Iskandariyyah:
Mu’assasah Shubbab al-Jam’ah, 1986), h. 2.
[8] Ibid.
Hlm. 54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar