Di Tulis:
Ali Mustafa Ya’qub
Muslim pada tahun 1977, ketika kami sedang pulanga liburan setelah
satu tahun belajar di Arab Saudi, ada dua orang tamu dating ke rumah kami.
Kedua tamu itu menyatakan maksudnya untuk beribadah haji ke Makkah. Kepada
mereka, kami tanyakan tentang kesiapan financial mereka untuk pergi haji.
Masing-masing menjawab, ia sudah memiliki uang sebasar Rp. 500
ribu. Sementara Ongkos Naik Haji (ONH) pada saaat itu sebesar Rp. 2,5 juta.
Jadi masing-masing perlu uang sebesar Rp. 2 juta. Kepada mereka, kami katakana
bahwa uang sebesar Rp. 500 ribu itu belum cukup untuk membayar ONH. Mereka
menjawab, “yang penting dengan uang Rp. 500 ribu itu kami bisa sampai ke
Makkah, nanti kami menjadi pembantu Bapak di sana, tidak apa-apa.” Begitu
mereka bertekad untuk beribadah haji.
“Kami di Arab Saudi sebagai mahasiswa dan tidak punya hak untuk
menanggung (kafalah) orang lain. Jadi, kami tidak boleh membawa orang
lain ke Arab Saudi,” begitu juga kami memeberi pengertian. “Terserah bagaimana
cara Bapak, yang penting kami berdua sampai ke Makkah, agar kami menjadi Muslim
yang sempurna,” begitu kata mereka berargumen. “Bapak-bapak,” begitu kami
merayu, “Sampeyan berdua ini tidak termasuk orang yang berkewajiban beribadah
haji. Apabila sampeyan berdua memeksakan diri untuk pergi ke Makkah, maka
sampeyan berdua tidak akan mendapatkan pahala, dan ibadah haji sampeyan juga
tidak akan mabrur, bahkan sampeyan akan berdosa,” begitu kami menangkis
argument mereka.