Senin, 31 Desember 2012

Happy New Year

Pergantian tahun adalah suatu siklus dimana etika waktu berjalan maju dan berputar pada porosnya.
Dimana kita tidak bisa menghentikan dan memajukannya.
Dimana semuaorang ingin sesuatu yang baik di dalamnya.

Dengan melupakan segala sesuatu yang buruk di hari dan tahun sebelumnya.
Dimana seseorang ingin lebih baik dari kemarin.

Sabtu, 29 Desember 2012

Tanggung Jawab Negara dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial

A. Pendahuluan
Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dalam sila kelima Pancasila serta Undang-Uundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menekankan bahwa prinsip keadilan social mengamanatkan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial[1]. Namun demikian, amanat konstitusi tersebut belum dipraktikkan secara konsekuen, baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas wacana dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Pembangunan dalam bidang sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional yang mendapat perhatian cukup memadai dari pemerintah sehingga dari waktu ke waktu pembangunan bidang sosial ekonomi mengalami banyak kemajuan yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian pada gilirannya pula kesejahteraan tersebut dapat dijangkau dan dapat dinikmati secara adil, berkelanjutan, merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu bentuk pembangunan sosial ekonomi menjadi dinamika tersendiri dalam pembangunan nasional bangsa Indonesia karena dalam praktiknya masih banyak mengalami tantangan dan tuntutan yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, utamanya seperti dimaksud dalam Pasal 28H ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan matabat kemanusiaan”.
Lebih lanjut Sistem Jaminan Sosial juga diatur dan dijamin dalam deklarasi umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948, dan juga ditegaskan dalam konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor 102 Tahun 1952 yang pada intinya menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Selanjutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam TAP MPR Nomor X/MPR/2001 menugaskan kepada Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia yang menyeluruh dan terpadu dan sebagai tindak lanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2002 tentang pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. SJSN pada dasarnya merupakan program pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian atas perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melalui program SJSN diharapkan setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak yang sewaktu-waktu dapat hilang atau berkurang antara lain karena berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), habis masa bekerja (pensiun) maupun karena memasuki usia lanjut. SJSN seperti yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip-prinsip[2]:
  1. Prinsip kegotong-royongan, prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong-royong dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat, peserta yang beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotongroyongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
  2. Prinsip nirlaba, bahwa pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan bagi badan penyelenggara jaminan sosial adalah untuk memenuhi sebesarbesarnya kepentingan peserta. 
  3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas, prinsip-prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pegelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan dari hasil pengembangannya. 
  4. Prinsip kehati-hatian, pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib. 
  5. Prinsip akuntabilitas, pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 
  6. Prinsip Portabilitas, bahwa jaminan sosial yang dimaksud untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal, tetapi masih dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertambah majunya pertumbuhan ekonomi lebih lancarnya transportasi nusantara dan meluasnya usaha-usaha pemerintah maupun sektor swasta di seluruh nusantara menyebabkan penduduk akan lebih sering berpindah-pindah. 
  7. Prinsip kepesertaan yang bersifat wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta walaupun dalam penerapannya tetap menyesuaikan dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Peserta dimulai dari pekerja pada sektor formal dan pekerja pada sektor informal yang dapat menjadi peserta acara sukarela. 
  8. Prinsip dana amanat, bahwa dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. 
  9. Prinsip hasil pengelolaan dana jaminan sosial nasional bahwa hasil berupa deviden dari para pemegang saham dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial.
Dengan demikian tampak jelas bahwa dengan hadirnya Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dimaksudkan untuk memberikan jaminan dasar yang layak bagi seluruh masyarakat karena itu menjadi kewajiban konstitusional pemerintah terhadap rakyatnya yang harus dikelola langsung oleh pemerintah agar terciptanya suatu pemerataan dan keadilan di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Senin, 24 Desember 2012

Metode Penetapan Nasab



A.    Melalui Pernikahan Sah atau Fasid
Ulama fiqh menyepakati bahwa pernikahan yang sah atau fasid merupakan salah satu metode atau cara dasar kuat dan dianggap sah dalam menetukan atau menetapkan nasab seorang kepada kedua orangtuanya, walaupun pernikahan dan kelahiran anak itu tidak didaftarkan secara resmi kepada instansi terkait. Adapun syarat-syarat dalam menetapkan nasab melalu perkawinan, yaitu:
1.      Suami tersebut adalah seorang yang dapat atau memungkinkan memberikan keturunan (baligh).
2.      Menurut golongan Mazhab Hanafi, anak tersebut lahir 6 (enam) bulan setelah perkawinan.
3.      Menurut Jumhur Ulama, apabila kelahiran anak atas hubung suami istri kurang dari 6 (enam) bulan, maka anak yang lahir itu tidak bias dinasabkan kepada suami wanita tersebut.[1] Dikarnakan ini mengindikasikan kehamilan tersebut terjadi sebelum menikah.
4.      Suami istri bertemu minimal satu kali setelah menikah.

Kamis, 20 Desember 2012

Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme Indonesia



“Pada zaman dimana semua komunitas masyarakat adat tergabung dalam institusi negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa mereka harus menegosiasikan bahkan memperjuangkan hak atas wilayah hidup mereka diantara berbagai kategori hak yang dibuat oleh negara.”
1.      Pengantar
Eddie Riyadi Terre[1] menyebutkan ada tiga persoalan mendasar yang dialami oleh masyarakat adat (indigenous peoples): Pertama, masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah dimana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupan; Kedua, masalah self-determination yang sering menjadi berbias politik dan sekarang masih menjadi perdebatan sengit; dan Ketiga, masalah identification, yaitu siapakah yang dimaksud dengan masyarakat adat, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat bukan adat/asli/pribumi (non-indigenous peoples ).
Tulisan ini mencoba membahas persoalan pertama yaitu soal hubungan masyarakat adat dengan wilayah dimana mereka hidup dan mendapatkan penghidupan. Dalam beberapa literature di Indonesia, hubungan tersebut disebut hak ulayat[2]. Hak ulayat dalam tulisan ini dilihat dari dua sudut pandang. Pertama pendekatan hak asasi manusia yang melihat hak ulayat sebagai hak asasi masyarakat adat atas wilayah kehidupan mereka. Kedua pendekatan konstitusionalisme yang melihat hak ulayat sebagai hak konstitusional masyarakat adat dalam setiap rumusan undang-undang dasar yang pernah berlaku di Indonesia

Konstitusionalitas Pemilihan Umum Model Masyarakat Yahukimo



Pelaksanaan demokrasi ketika diterapkan pada masyarakat Indonesia yang plural (majemuk) meninggalkan pelajaran akan perlunya mempertimbangkan kondisi komunitas dan masyarakat yang relatif tertinggal dari dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, pendidikan, ekonomi maupun politik.
Masyarakat Yahukimo telah melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan caranya sendiri (adat), yaitu pemilih memasukkan surat suara yang telah dicontreng ke dalam “noken”, semacam kantong yang terbuat dari kain atau bahan alamiah lainnya. Terungkap dalam persidangan
Mahkamah Konstitusi bahwa pemilihan umum bagi masyarakat Yahukimo adalah identik dengan pesta gembira. Pada Pemilu Legislatif, kepala suku mengumpulkan masyarakat untuk bermusyawarah mengenai bagaimana cara melaksanakan Pemilu tersebut.
Musyawarah memutuskan bahwa pencontrengan dilakukan oleh Kepala Suku terhadap partai-partai yang telah disepakati, termasuk jumlah suaranya sekaligus. Sementara itu, telah disiapkan lubang yang cukup besar yang diisi dengan batu dan ditaruh babi serta umbi-umbian dan kayu bakar.
Setelah babi dan umbi-umbian masak, maka mulailah rakyat berpesta ria, sementara Kepala Suku tidak kalah sibuknya menyontreng surat suara untuk partai-partai yang telah ditentukan berdasarkan surat suara yang dimasukkan ke dalam kantong-kantong yang disebut “noken” tersebut.
Setelah surat surat dicontreng, kemudian direkap dalam formulir C1. Akan tetapi, karena keterbatasan pengetahuan tentang bagaimana merekap formulir C1, maka sampai berhari-hari formulir tersebut dibawa kesana kemari dengan tidak diisi. Akhirnya, setelah dimintakan bantuan oleh Pengawas Pemilu, rekapitulasi formulir C1 tersebut dapat dilakukan. Konon pada Pemilu Presiden pun dilakukan serupa, hanya saja para pemilihnya memilih sendiri calon Presiden dan Wakil Presiden yang suaranya dimasukkan ke dalam “noken” sesuai dengan nomor urut pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih. Cara yang mereka lakukan jelas berbeda dengan cara yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10 Tahun 2008).
Alasannya, menurut Kepala Suku, Pemilu tidak boleh meninggalkan permusuhan di antara mereka. Masyarakat Yakuhimo tidak mau terpecah-belah karena berbedanya pilihan. Oleh sebab itu, mereka bermusyawarah terlebih dahulu mengenai siapa atau partai mana yang akan dipilih.
Sekalipun telah terjadi “penyimpangan” karena tidak persis sama dengan tata cara yang telah ditentukan menurut UU 10 Tahun 2008, tetapi praktik tersebutlah yang selalu terjadi dari Pemilu ke Pemilu sebagai bentuk perwujudan cara melaksanakan kedaulatan rakyat dari masyarakat Yahukimo.

Membangun Sinergi Dalam Pengawasan Hakim



A.    Pendahuluan
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 bertanggal 23 Agustus 2006 yang “mengamputasi” kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam hal pengawasan hakim (termasuk hakim agung).
Setidaknya terdapat anggapan bahwa putusan tersebut telah meredupkan kiprah dari lembaga negara “anak” reformasi itu. Kewenangan tersisa yang masih menguatkan kehadiran KY, terkait dalam hal seleksi calon hakim agung. Keinginan untuk mengembalikan “gigi” KY mengalami jalan panjang bahkan hampir pada titik yang mengkhawatirkan.
Kehadiran KY pada awal mulanya diharapkan mampu membangun checks and balances dalam pilar kekuasaan kehakiman sebagai bagian tak terpisah dari dua pilar lainnya (eksekutif dan legislatif). Pilar kekuasaan kehakiman bagaimanapun juga merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat dan supremasi hukum. Pemahaman tersebut erat kaitannya dengan konsep negara hukum. Konsep negara hukum merupakan perpaduan yang menghendaki kekuasaan negara ataupun kedaulatan harus dilaksanakan sesuai hukum begitu pula sebaliknya.
Menurut A.V. Dicey, negara hukum menghendaki pemerintahan itu kekuasaannya berada di bawah kendali aturan hukum (the rule of law), terdapat tiga unsur utama di dalamnya, yaitu[1]:
a.       Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum/kedaulatan hukum.
b.      Equality before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara.
c.       Constitusion Based on Individual Rights artinya konstitusi itu bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi.

Mempertahankan Konstitusionalisme Pancasila


Beberapa orang tokoh pendiri bangsa (founding peoples) dikenal memiliki andil yang signifikan dalam sejarah pembentukan konstitusi Indonesia. Di antaranya adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohamad Hatta, Mr. Soepomo, dan Mr. Muhammad Yamin. Dengan latar belakang, dan analisis pemikiran yang berbeda, masing-masing tokoh tersebut memberikan konstribusi luar biasa dalam membidani lahirnya UUD 1945. Perbedaan kiblat konstitusionalisme yang mereka anut, bertemu pada satu titik yang melahirkan sebuah magnum opus, sebagai pondasi bangunan kenegaraan Indonesia.
Dari sekian tokoh, Muhammad Yamin adalah salah satu tokoh yang dianggap paling kontroversial, selama berlangsungnya proses penyusunan UUD 1945. Muh. Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 23 Agustus 1903. Ijazah Meester in de Rechten diperolehnya pada 1932, setelah menyelesaikan pendidikan Rechthogeschool di Jakarta. Yamin turut serta dalam menumbuhkan semangat kebangsaan dan nasionalisme Indonesia. Pada Kongres Pemuda II tahun 1928, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan.